Derita, Akankah Berakhir?
"Hikhikhik..." terdengar tangisan sepupuku dan abangku malam itu, kulihat jam di dinding menunjukkan pukul 02.50 dini hari....
Aku mendongakkan kepala ku ke tempat tidur orang tua ku (keadaan kami memang tinggal dirumah yang sederhana, hanya tersedia 2 kamar tidur, sedangkan yang tinggal ada 8 orang). Kulihat ranjang orangtua ku kosong.
"Ada apa dengan mereka? Apakah mereka bertengkar lagi dan kini benar-benar meninggalkan kami?"
Aku gadis berusia 11 tahun, duduk di kelas 6 SD waktu itu, namaku Tiana Kartika. Aku anak kedua dari lima bersaudara, aku mempunyai 1 orang kakak laki-laki bernama Tiarsyah, umur 16 tahun dan masih sekolah kelas 1 SMU. Dan 3 orang adikku, Fitriana 9 tahun, Fery 6 tahun dan adik kecil ku Nindiana 3 tahun. Dan seorang sepupuku, keponakan dari ayah ku yang dibawa dari kampung halamannya ke Jakarta untuk bekerja, Kak Mia, 22 tahun.
Masih ku dengar, abangku, bang tiar dan Kak Mia menangis di ruang tamu.
Aku keluar kamar untuk mencari tahu keberadaan kedua orangtuaku. Melihatku keluar kamar, bang tiar menghampiriku dan memelukku sambil menangis.
"Tia, ayah sudah meninggalkan kita semua...hikhikhik..."
Aku langsung terduduk lemas tidak percaya dengan apa yang disampaikan Bang Tiar. Aku pun ikut menangis.
Abangku memesan agar aku berjaga dirumah dan sebisa mungkin merapikan rumah karena dia dan Ka Mia akan pergi ke RS menemani ibuku yang sedang menunggu pengurusan Jenasah ayahku.
Aku masih menangis sambil bebenah rumah. Adikku yang nomor 3, Fitri, dia terbangun mendengar aku menangis dan dia sempat kesal karena aku yang berisik tidak berhenti menangis.
"Kak Tia kenapa sih, malam-malam menangis?! berisik tahu!!" bentaknya.
Aku menghampiri adikku. "Fit bangun yuk bantuin kakak beberes rumah, ayah meninggal. hikhikhik..."
Mendengar perkataanku, adikku ikut menangis, dan kami berdua saling berpelukan menangis.
"Ayaaahhhh... hikhikhik.. kenapa ayah tinggalin fitri... hikhikhik...." Tangis Fitri
"Sudah dek, kasihan adik kita yang lagi tidur nanti mereka dengar kita menangis. Lebih baik sekarang kita merapihkan rumah, takutnya nanti tetangga dan Pak Danplek kerumah..."
Benar saja, baru kita memulai bebenah rumah, tetanggaku mengetuk pintu.
"Tia, ayahmu bener meninggal??" ( bu anda, tetangga depan rumah).
Aku pun tak sanggup lagi, menjawab pertanyaan bu anda sambil menangis. "hikhikhik... iya bu."
"Innalillahi wa inna ilaihi rajiun." Dan tetangga lainpun mulai berdatangan.
Adzan subuh pun terdengar dari musholah, mereka bergegas ke musholah untuk melaksanakan shalat subuh.
Akupun mengajak adikku untuk shalat subuh terlebih dahulu. Setelah shalat subuh terdengar suara towa di musholah mengumandangkan berita duka kepada seluruh warga komplek.
Rumahku mulai ramai berdatangan tetangga yang melayat, ada yang menanyakan sebab ayahku meninggal, aku hanya menangis, aku gak ngerti kenapa ayahku tiba-tiba pergi meninggalkan kita. Padahal sore tadi sesudah isya, ayahku masih ngobrol dengan tetangga membicarakan perbaikan jalan di gang rumah kami, dan masih terdengar gelak tawa nya dengan bapak-bapak komplek. Padahal kondisi nya ibu ku yang sedang sakit.
Abangku tiba dirumah seorang diri untuk menemani ku menghadapi tetangga yang berdatangan melayat. Saudara dari ayahku berdatangan, hanya saudara ibuku yang tidak ada karena mereka jauh diperantauan.
Pukul 9.00 pagi mobil jenasah tiba dirumahku yang membawa jasad ayahku, dan membawa ibuku serta sepupuku yang menemani ibuku yang terkulai lemas dan masih terus menangis belum bisa menerima kenyataan.
Tak lama jenasah ayahku dibawa ke TPU untuk dimakamkan. Adikku fitri histeris tak kuasa melihat jenasah ayahku masuk ke liang lahat, diiringi penghormatan terakhir dari angkatan bersenjata tempat ayahku bertugas.
Aku pun tak kuasa menahan airmata, ibuku ambruk tak sadarkan diri. Para pelayat dan kak mia membopong ibuku masuk kedalam mobil. Acara pemakaman pun selesai, Aku dan fitria masih disisi pusara ayah, sambil memanjatkan doa.
Dua orang adikku yang lain, mereka masih kecil belum mengerti, mereka hanya diam dan sesekali menertawakan kami yg menangis. Namanya juga anak kecil.
Malam pun diadakan tahlilan dirumah kami. Malamnya aku dan adik-adikku tertidur di karpet bekas tahlilan tadi yang belum dibenahi abangku.
Tengah malam aku terbangun, seperti ada yang membangunkanku, aku lihat ternyata aku tertidur sendiri di ruang tamu beralas karpet.
Aku pergi ke kamar mandi, berwudhu. Aku mengambil Al Quran di meja. Aku melantunkan ayat suci Al Quran, ku lihat jam menunjukkan sudah pukul 2 dini hari, aku pun menyelesaikan bacaanku dan pergi tidur.
Hari berganti, ku lihat ibuku masih saja terus melamun, entah apa yang dipikirkan karena akupun masih belum mengerti yg kutahu kesedihan ibuku yg terus berlarut.
Sumbangan datang terus menerus, ibuku seperti tak terima kepergian ayahku diganti dengan semua sumbangan itu.
"Bu, sudah makan belom?" tanya kak mia membuyarkan lamunan ibu.
"Kamu duluan saja makan, ajak adik-adikmu." Kata ibu muram.
"Bu, kami semua sudah makan. Kasian adik-adik bu, mereka masih kecil, masih butuh perhatian ibu. Mereka juga gak nafsu makan melihat ibu bersedih terus." Jelas kak mia.
"Huk.. huk.. huk..." Ibu kembali menangis. "Ibu ga tau, harus ngapain? Apa ibu bisa membesarkan adik-adik mu tanpa ayah? Huk.. huk.. huk.."
Mia memeluk ibu. Tia, fitri, feri dan nindi saling berpelukan, menangis melihat sang ibu yang terus menangis.
Ka mia menoleh. "Tuh bu, mereka jadi ikut nangis." kata mia.
"Sini nak... sini..." panggil ibu pada anak-anak nya.
Merekapun berhamburan memeluk sang ibu. "Ibuuuu.... huk.. huk.. huk.."
"Sudah, jangan pada nangis, ibu janji gak akan sedih lagi." Kata ibu sambil memeluk buah hati nya.
Ka mia segera ke belakang mengambilkan nasi untuk ibu. "Sekarang ibu makan ya?" pinta mia. "Ibu dari kemarin belom makan. Nanti kalo ibu sakit, kasian adik-adik bu."
Ibu mengangguk. Dan menerima piring makan nya dari mia.
"Bu, cini nindi yang cuapin ibu." kata nindy lucu. Yang membuat ibu tersenyum dan yang lain pun ikut tersenyum. Ibu mencium pipi nindi. "Anak ibu sudah besar ya?"
"Cudah dong bu, nindi kan jagoan ibu. Nih liat... ciat.. ciat.. ciat... Nindi tambah lucu, membuat yang lain tertawa demikian juga sama ibu. Nindi pun jadi tersipu malu.
Ibu jadi semangat makannya, melihat anak-anak nya yang semangat untuk bertahan hidup, walau mereka tak akan tahu, cobaan apa lagi yang akan datang di depan sana.
"Bang tiar mana? Koq ibu gak lihat dari tadi? Ini kan hari minggu, gak pergi sekolah kan dia?" tanya ibu mencari anak sulungnya.
"Tiar tadi abis subuh ke pasar bu. Mau cari uang katanya." Kata Mia.
Ibu kembali menangis. Nindi mengusap air mata ibu nya. "Cep... cep.. cep.. diem ya ibu." Kata nindy menirukan ibu nya kalo sedang menyuruhnya berhenti menangis.
Mereka pun kembali tertawa melihat ulah nindi. Ibu pun tersenyum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 213 Episodes
Comments
Aliarna Darwis
sedih😔
2023-07-31
0
Little Peony
Halooo Thor salam kenal dari Shadow ya ✨✨✨✨
2021-09-29
0
Shio Kelinci 🐰
save
2021-03-28
0