NovelToon NovelToon

Derita, Akankah Berakhir?

Kepergian Sang Ayah

"Hikhikhik..." terdengar tangisan sepupuku dan abangku malam itu, kulihat jam di dinding menunjukkan pukul 02.50 dini hari....

Aku mendongakkan kepala ku ke tempat tidur orang tua ku (keadaan kami memang tinggal dirumah yang sederhana, hanya tersedia 2 kamar tidur, sedangkan yang tinggal ada 8 orang). Kulihat ranjang orangtua ku kosong.

"Ada apa dengan mereka? Apakah mereka bertengkar lagi dan kini benar-benar meninggalkan kami?"

Aku gadis berusia 11 tahun, duduk di kelas 6 SD waktu itu, namaku Tiana Kartika. Aku anak kedua dari lima bersaudara, aku mempunyai 1 orang kakak laki-laki bernama Tiarsyah, umur 16 tahun dan masih sekolah kelas 1 SMU. Dan 3 orang adikku, Fitriana 9 tahun, Fery 6 tahun dan adik kecil ku Nindiana 3 tahun. Dan seorang sepupuku, keponakan dari ayah ku yang dibawa dari kampung halamannya ke Jakarta untuk bekerja, Kak Mia, 22 tahun.

Masih ku dengar, abangku, bang tiar dan Kak Mia menangis di ruang tamu.

Aku keluar kamar untuk mencari tahu keberadaan kedua orangtuaku. Melihatku keluar kamar, bang tiar menghampiriku dan memelukku sambil menangis.

"Tia, ayah sudah meninggalkan kita semua...hikhikhik..."

Aku langsung terduduk lemas tidak percaya dengan apa yang disampaikan Bang Tiar. Aku pun ikut menangis.

Abangku memesan agar aku berjaga dirumah dan sebisa mungkin merapikan rumah karena dia dan Ka Mia akan pergi ke RS menemani ibuku yang sedang menunggu pengurusan Jenasah ayahku.

Aku masih menangis sambil bebenah rumah. Adikku yang nomor 3, Fitri, dia terbangun mendengar aku menangis dan dia sempat kesal karena aku yang berisik tidak berhenti menangis.

"Kak Tia kenapa sih, malam-malam menangis?! berisik tahu!!" bentaknya.

Aku menghampiri adikku. "Fit bangun yuk bantuin kakak beberes rumah, ayah meninggal. hikhikhik..."

Mendengar perkataanku, adikku ikut menangis, dan kami berdua saling berpelukan menangis.

"Ayaaahhhh... hikhikhik.. kenapa ayah tinggalin fitri... hikhikhik...." Tangis Fitri

"Sudah dek, kasihan adik kita yang lagi tidur nanti mereka dengar kita menangis. Lebih baik sekarang kita merapihkan rumah, takutnya nanti tetangga dan Pak Danplek kerumah..."

Benar saja, baru kita memulai bebenah rumah, tetanggaku mengetuk pintu.

"Tia, ayahmu bener meninggal??" ( bu anda, tetangga depan rumah).

Aku pun tak sanggup lagi, menjawab pertanyaan bu anda sambil menangis. "hikhikhik... iya bu."

"Innalillahi wa inna ilaihi rajiun." Dan tetangga lainpun mulai berdatangan.

Adzan subuh pun terdengar dari musholah, mereka bergegas ke musholah untuk melaksanakan shalat subuh.

Akupun mengajak adikku untuk shalat subuh terlebih dahulu. Setelah shalat subuh terdengar suara towa di musholah mengumandangkan berita duka kepada seluruh warga komplek.

Rumahku mulai ramai berdatangan tetangga yang melayat, ada yang menanyakan sebab ayahku meninggal, aku hanya menangis, aku gak ngerti kenapa ayahku tiba-tiba pergi meninggalkan kita. Padahal sore tadi sesudah isya, ayahku masih ngobrol dengan tetangga membicarakan perbaikan jalan di gang rumah kami, dan masih terdengar gelak tawa nya dengan bapak-bapak komplek. Padahal kondisi nya ibu ku yang sedang sakit.

Abangku tiba dirumah seorang diri untuk menemani ku menghadapi tetangga yang berdatangan melayat. Saudara dari ayahku berdatangan, hanya saudara ibuku yang tidak ada karena mereka jauh diperantauan.

Pukul 9.00 pagi mobil jenasah tiba dirumahku yang membawa jasad ayahku, dan membawa ibuku serta sepupuku yang menemani ibuku yang terkulai lemas dan masih terus menangis belum bisa menerima kenyataan.

Tak lama jenasah ayahku dibawa ke TPU untuk dimakamkan. Adikku fitri histeris tak kuasa melihat jenasah ayahku masuk ke liang lahat, diiringi penghormatan terakhir dari angkatan bersenjata tempat ayahku bertugas.

Aku pun tak kuasa menahan airmata, ibuku ambruk tak sadarkan diri. Para pelayat dan kak mia membopong ibuku masuk kedalam mobil. Acara pemakaman pun selesai, Aku dan fitria masih disisi pusara ayah, sambil memanjatkan doa.

Dua orang adikku yang lain, mereka masih kecil belum mengerti, mereka hanya diam dan sesekali menertawakan kami yg menangis. Namanya juga anak kecil.

Malam pun diadakan tahlilan dirumah kami. Malamnya aku dan adik-adikku tertidur di karpet bekas tahlilan tadi yang belum dibenahi abangku.

Tengah malam aku terbangun, seperti ada yang membangunkanku, aku lihat ternyata aku tertidur sendiri di ruang tamu beralas karpet.

Aku pergi ke kamar mandi, berwudhu. Aku mengambil Al Quran di meja. Aku melantunkan ayat suci Al Quran, ku lihat jam menunjukkan sudah pukul 2 dini hari, aku pun menyelesaikan bacaanku dan pergi tidur.

Hari berganti, ku lihat ibuku masih saja terus melamun, entah apa yang dipikirkan karena akupun masih belum mengerti yg kutahu kesedihan ibuku yg terus berlarut.

Sumbangan datang terus menerus, ibuku seperti tak terima kepergian ayahku diganti dengan semua sumbangan itu.

"Bu, sudah makan belom?" tanya kak mia membuyarkan lamunan ibu.

"Kamu duluan saja makan, ajak adik-adikmu." Kata ibu muram.

"Bu, kami semua sudah makan. Kasian adik-adik bu, mereka masih kecil, masih butuh perhatian ibu. Mereka juga gak nafsu makan melihat ibu bersedih terus." Jelas kak mia.

"Huk.. huk.. huk..." Ibu kembali menangis. "Ibu ga tau, harus ngapain? Apa ibu bisa membesarkan adik-adik mu tanpa ayah? Huk.. huk.. huk.."

Mia memeluk ibu. Tia, fitri, feri dan nindi saling berpelukan, menangis melihat sang ibu yang terus menangis.

Ka mia menoleh. "Tuh bu, mereka jadi ikut nangis." kata mia.

"Sini nak... sini..." panggil ibu pada anak-anak nya.

Merekapun berhamburan memeluk sang ibu. "Ibuuuu.... huk.. huk.. huk.."

"Sudah, jangan pada nangis, ibu janji gak akan sedih lagi." Kata ibu sambil memeluk buah hati nya.

Ka mia segera ke belakang mengambilkan nasi untuk ibu. "Sekarang ibu makan ya?" pinta mia. "Ibu dari kemarin belom makan. Nanti kalo ibu sakit, kasian adik-adik bu."

Ibu mengangguk. Dan menerima piring makan nya dari mia.

"Bu, cini nindi yang cuapin ibu." kata nindy lucu. Yang membuat ibu tersenyum dan yang lain pun ikut tersenyum. Ibu mencium pipi nindi. "Anak ibu sudah besar ya?"

"Cudah dong bu, nindi kan jagoan ibu. Nih liat... ciat.. ciat.. ciat... Nindi tambah lucu, membuat yang lain tertawa demikian juga sama ibu. Nindi pun jadi tersipu malu.

Ibu jadi semangat makannya, melihat anak-anak nya yang semangat untuk bertahan hidup, walau mereka tak akan tahu, cobaan apa lagi yang akan datang di depan sana.

"Bang tiar mana? Koq ibu gak lihat dari tadi? Ini kan hari minggu, gak pergi sekolah kan dia?" tanya ibu mencari anak sulungnya.

"Tiar tadi abis subuh ke pasar bu. Mau cari uang katanya." Kata Mia.

Ibu kembali menangis. Nindi mengusap air mata ibu nya. "Cep... cep.. cep.. diem ya ibu." Kata nindy menirukan ibu nya kalo sedang menyuruhnya berhenti menangis.

Mereka pun kembali tertawa melihat ulah nindi. Ibu pun tersenyum.

Hari2 Tanpa Ayah

"Assalamualaikum..." Salam bang tiar.

"Wa alaikumussalaam..." Disahuti dari dalam serempak.

"Nah tuh, bang tiar pulang." Kata fitri.

Nindi dan feri langsung berhamburan keluar menghampiri bang tiar yang baru saja masuk kedalam rumah. "Bang Tiar bawa apa?" tanya feri yang melihat abang nya menenteng sesuatu.

"Nih, bawa kedalam. Jangan berebut." kata bang tiar memberikan bungkusan pada feri.

Tiar mencium tangan ibu nya. "Ibu sudah makan?" tanya tiar. Ibu mengangguk.

Tiar mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. "Bu, ini hasil jualan plastik tiar hari ini." Tiar menyerahkan pada ibu nya.

"Kamu simpan saja nak, buat keperluan sekolah kamu." pinta ibu. Tiar pun mengangguk.

______________________

Aku baru saja tiba dirumah jam 5 sore dari sekolah, memang jadwal sekolahku yang masuk jam 12 siang.

Aku lihat ibuku sedang berbicara dengan seseorang ditemani kak mia. "Assalamu alaikum.." ucapku.

"wa alaikumsalam.." jawab mereka.

Aku mencium punggung tangan ibuku. Ternyata ada keponakan ayahku yang lain yg tinggal tidak jauh dari komplek tempat tinggal kami.

Aku langsung membersihkan diriku. Aku melihat 3 adikku sedang bercanda di kamar, aku menghampiri mereka....

"Ayoooo kalian sudah mandi belom?" kataku dan dijawab serempak oleh adik-adikku.

"Sudah kak." Adikku yg paling kecil nindi menghampiriku dan langsung duduk dipangkuanku.

Nindi memang selalu dekat denganku. Aku melihat ibuku masuk kamar dan membuka lemari, kulihat beliau mengambil lembaran uang dari laci lumayan banyak.

Aku bertanya untuk apa uang sebanyak itu? ibuku hanya berlalu, kuikuti ibuku dengan pandanganku, dan aku pun berjalan ke depan pintu kamar. Kulihat ibuku memberikan uang tersebut kepada keponakan ayahku. ( oh ya, nama nya Abang Aril). Tak lama dia pun meninggalkan rumah.

Lalu aku menghampiri ibuku. "Bu, koq uangnya dikasihin ke bang aril?"

Ibu ku menjawab: "Iya, dia pinjam buat modal katanya. Bulan depan dibayar."

Aku hanya mengangguk. Kak mia menyuruh kami untuk siap-siap berwudhu karena adzan maghrib telah berkumandang. Bang tiar pun juga baru tiba dirumah pulang dari sekolah.

Setelah shalat maghrib kami makan malam bersama di ruang tamu beralas tikar, karena karpet sudah digulung.

Setelah makan aku dan fitri ke kamar mengambil buku pelajaran, karena memang ada PR yang harus dikerjakan, aku sengaja mengerjakan sendiri karena Ayah yg biasa mengajariku belajar sudah tidak ada.

Aku gak mau belajar dengan abangku, karena dia gak sabaran dan sering membentakku kalo aku lama mengerti.

Fitri juga begitu, dia lebih memilih bertanya padaku daripada ke abangku.

Soal demi soal ku kerjakan ternyata ada yg aku tidak mengerti, dengan terpaksa aku mendatangi abangku yg sedang belajar juga.

"Bang, tia gak ngerti soal no. 9. Tolong ajarin bang."

"Mana sini?!" kata abangku, lalu dia mengajariku dan lagi-lagi dia tidak sabaran.

Aku sampe menahan linangan airmata yg hendak jatuh, karena abangku terus saja ngomel aku gak ngerti.

Akhirnya aku ambil buku ku dan berlalu dari abangku, tapi abangku tidak puas, dia mengejarku dan menarik bukuku.

Sambil membentak: "Kalo lagi diajarin tuh jangan pergi!!! kebiasaan!!"

Aku tetap gak mau, karena percuma tidak akan masuk ke otakku kalo diajarin sambil dibentak-bentak.

Ibu ku masuk ke kamar mendengar keributan. "Ada apa ini!! Kenapa gak bisa akur??!! Selalu saja ribut, seneng ya bikin ibu jantungan haaahhh???" ibuku mulai kesal.

"Ini abang ngajarinnya sambil marah-marah, kan gak bisa masuk otak, beda kalo ayah yg ngajarin." Mendengar aku menyebut ayah, ibuku menangis.

Aku jadi merasa bersalah, lagi-lagi abangku memarahiku dan tak segan tangannya mengeplak kepalaku.

Aku langsung berlalu sambil menangis melihat itu kak mia langsung memarahi abangku.

"Kamu gak boleh begitu sama adikmu, kasihan tuh ibu tambah sedih liat kelakuan kalian."

Memang selama ini aku sering belajar sama ayah karena abangku yang tidak sabaran.

Sering ayahku menasehati kami, kalo kami bersaudara jangan saling bertengkar, harus saling membantu.

"Nanti kalo ayah sudah gak ada, ayah pesen sama kalian, jangan sampe berpisah, saling bantu satu sama lain , jangan sampe kesusahan keluarga orang lain tahu. Dan satu lagi ayah pesen, jadilah orang yang jujur, karena orang jujur itu rejeki nya lapang, mau melangkah kemana saja orang gampang memberi kepercayaan pada kita."

Begitulah hari-hari kulalui tanpa ayah, aku jadi harus belajar mandiri di usiaku yang baru 11 tahun.

Bulan pun berlalu, harus nya hari ini bang aril mengembalikan uang yang dia pinjam pada ibu, tapi sampe malam tiba, dia tak kunjung datang menepati janji.

"Kemana nih aril belum ada kabarnya?" Kata ibuku kepada kak mia.

"Sabar saja bu, mungkin besok kali dia kesini." kata kak mia. Ibu mengangguk.

Haripun berlalu, sudah lebih dari seminggu dari waktu yg ditentukan tapi tidak ada juga kabar dari bang aril. Akhir nya ibu menyuruh kak mia mendatangi rumah bang aril, aku pun ikut menemani kak mia.

"Assalamu alaikum...." kataku dan kak mia.

"Wa alaikumsalam ..." kata bang aril dan istrinya.

"Bang, mia kesini disuruh ibu minta uang yang abang pinjam dari ibu, karena kami sudah tidak pegang uang buat belanja besok dan ongkos adik-adik sekolah." jelas kal mia

Tapi jawaban bang aril diluar perkiraan kami. "Apa???? minta uang!!! Ayah kalian saja berhutang padaku sampe sekarang belom dibayar, aku gak pernah tagih!! Ini baru pinjam uang segitu saja sudah ditagih!!" bentak bang aril.

Aku dan kak mia kaget, tak menyangka mendengar kata-kata bang aril.

"Memang ayah pinjam uang buat apa sama abang sampe belom dibayar?" kata kak mia.

"Dulu ayah kalian pinjam uang buat beli tiket ibu kalian pulang kampung karena nenek sakit, sampe sekarang belom diganti!" kata bang aril masih dengan nada sinis.

"Harus nya abang bilang dong sama ibu kalo ayah punya hutang, bukan malah abang janji-janji pinjem uang akan dibalikin." sewot kak mia.

"Ooohh jadi sekarang mia sudah berani ya melawan abang??!! Baru tinggal di jakarta berapa bulan sudah berani sama abang.!!"

Dan pertengkaran itu terus berlanjut sampe istri bang aril juga ikut campur, ribut sama kak mia.

Aku gak mengerti masalah mereka karena mereka berbicara dengan bahasa daerah yang aku gak ngerti artinya. Aku menarik tangan kak mia untuk pulang karena ribut tak kelar. Aku lihat kak mia sudah menangis dan bang aril terus ngoceh-ngoceh. Akhir nya aku berhasil menarik kak mia dari rumah itu. Dan kami berjalan kearah rumah.

Sampai dirumah kak mia mengutarakan semua yang terjadi tadi, lagi-lagi aku tak mengerti apa yang dibicarakan mereka karena memakai bahasa daerah. Aku melihat ibuku menangis dan sedikit emosi.

Bang tiar datang dan bertanya padaku, lalu aku jelaskan. Dia begitu geram sambil mengepalkan tangannya, dia berlalu hendak kerumah bang aril, tapi buru-buru dicegah kak mia dan ibu.

"Sudah... sudah.. biarkan saja! Kalo memang ayah kalian berhutang, biarlah terlunasi hutang ayah, tapi kalau dia yg berbohong, biarlah Allah yg akan membalasnya." Ucap Ibu.

Penghinaan

"Tia..." Ibu memanggilku. "

"Ya bu." aku menghampiri ibuku.

"Ibu udah gak punya uang buat belanja, kamu pergilah ke warung bu eni minta diutangin sayuran, ya. Bilang nanti kalo gajian dibayar."

"Iya bu." Kata tia. Dan ibuku pun mendikte belanjaan apa saja yang akan dihutang.

Aku menulisnya pada selembar kertas. Aku pun pergi ke warung bu eni. "Bu, ini daftar belanjaannya, kata ibu nanti dibayar kalo udah gajian."

"Baiklah," kata bu eni. Dan bu eni pun membungkus satu persatu pesanan yg tertera di kertas.

Ibu-ibu yg berbelanja di warung bu eni berbisik. "Liat tuh ditinggal ayah nya, ga mampu belanja sayur." Kata ibu yg satu dan disahuti ibu yang lain.

Aku permisi pada bu eni dan bilang terima kasih. Aku hanya menunduk mendengar rumpian ibu-ibu itu dan cepat-ibu berlalu. Entah apalagi yg mereka bicarakan. Aku gak mau tau dan gak mau dengar, karena akan menambah kesedihan saja.

Sampai dirumah aku langsung ke dapur, ibuku sedang masak nasi. "Dapat sayur nya nak?" tanya ibu.

"Dapat bu, nih." kata tia menyerahkan bungkusan belanjaannya pada ibu.

"Apa kata bu eni?" tanya ibuku lagi.

"Ya gak apa bu." jawabku. Aku tak cerita yang dirumpiin ibu-ibu. "Biarlah ibu ga usah tau." batinku.

Hari berganti, dan hampir tiap hari aku ke warung bu eni untuk utang sayuran, dan banyak sekali omongan tidak enak yg kudengar dari ibu-ibu.

Suatu Hari

"Eh bu eni, jangan ngutangin bu nia, kemarin saya liat, tia belanja di warung bu ira." kata salah satu ibu-ibu rumpi itu.

Bu eni menegur ku. "Eh tia! Kalo ada duit jangan belanja ditempat lain dong!! Ngutang disini, punya duit belanja ditempat lain." Hardik bu eni.

"Ga bu, ga seperti itu." Tia mencoba menjelaskan tapi ibu yg satu lagi terus saja mengompori bu eni. Akhir nya aku hanya bisa diam menunduk tanpa ada kata penjelasan yang mau didengar oleh bu eni. Aku pun berlalu sambil menenteng belanjaanku.

Di jalan tia hampir saja menangis mendengar penghinaan ibu2 itu. Mereka gak tau, kalo tia ke warung bu ira karena bu ali yang menyuruhnya belanja ( Bu Ali salah satu tetanggaku yg baik hati, dia sering membantu keluarga kami, dan beliau juga salah satu langganan menjahit dengan ibuku)

Oh ya, aku belum jelaskan, Ayah ku seorang tentara angkatan darat yg hanya berpangkat Sersan Mayor. Ayahku meninggal di usia 46 tahun. Ibu ku seorang ibu rumah tangga yang punya keahlian menjahit pakaian, tapi langkah ibuku hanya menjahit baju ibu-ibu yang tinggal di komplek kami, karena ayahku yang begitu pecemburu yang membatasi langkah ibuku. Ibuku berusia 36 tahun. Dan kami hidup mengandalkan gaji pensiun dari ayah yang hanya setengah karena ayah meninggal masih dalam dinas, dan tambahan dari penghasilan jaitan ibuku kalo ada yg menjahit, itupun kalau langsung dibayar, terkadang ada juga yg ngutang dan pas ditagih pasti marah-marah dan semua nya ditimpakan pada diriku, karena memang cuma aku yang selalu disuruh ibuku, karena fitri sudah gak mau nagih uang ke langganan jahit ibu karena pernah dimarahin juga saat menagih.

Sepupuku ka mia, baru saja diterima kerja di salah satu counter jam terkenal di salah satu mall di jakarta, Abangku, bang tiar kadang kalo pagi pergi ke pasar untuk jadi kuli panggul atau menjual kantong plastik, karena siang dia harus sekolah. Sedangkan aku kadang membantu ibuku merapikan baju yg sudah selesai dijahit ibuku, seperti mengesum kiliman baju atau memasang kancing baju. Terkadang kalo ibu sedang tidak ada jahitan, beliau membuat kue bakpau kacang tanah, dan aku yg mengantarkan kue-kue itu ke warung untuk dititip jual.

Alhamdulillah kami tidak harus bayar sewa rumah, karena kami menempati salah satu rumah dinas di komplek.

Walau hidup kami pas-pasan terkadang malah kurang, tapi kami gak mau mengandalkan belas kasih dari orang lain, karena itu akan membuat kami jadi pemalas dan tak mau berusaha.

"Tiaaa.." Panggil ibu.

"Iya bu." sahut tia seraya menghampiri ibu nya yang sedang melipat sebuah baju.

"Tolongin ibu ya nak. Anterin nih baju ke rumah bu tisna. Uang nya tungguin, kemarin dia janji akan langsung bayar. Nanti kamu langsung beliin beras ya di toko Pak Haji." Ibu memberi penjelasan.

"Baik bu." kata tia. Tia pun berlalu dan segera mengantarkan baju jahitan itu ke rumah bu tisna.

"Assalamu alaikum." Salam tia di depan rumah bu tisna.

"Waalaikumsalam." Sahut seseorang dari dalam. "Eh tia, sini masuk." Ajak bu tisna.

Tia pun masuk kedalam rumah bu tisna. "Baju ibu udah jadi ya? Mana sini dicobain dulu." Tia pun menyerahkan bungkusan baju itu.

Tak lama bu tisna keluar dengan baju baru nya. "Bagus ga tia? Enak nih dipake nya."

"Bagus bu. Pas." kata tia.

"Bilang sama ibu kamu, uang nya besok aja ya. Udah malam pamali ngeluarin duit malam-malam." Kata bu tisna.

"Maaf bu. Tadi kata ibu uang nya sekarang aja, soalnya buat beli beras. Kata tia memohon.

"Sudahlah bu, bayar saja uangnya. Orang baju nya udah siap, bayar nya ditunda-tunda. Lagian besok kita berangkatnya abis subuh." Kata pak tisna yang tiba-tiba keluar dari kamar.

Dengan berat hati bu tisna pergi ke kamar mengambil uang jahitannya. "Nih tia uang nya. Udah lunas ya." Ketusnya.

"Makasih ya bu, pak. Tia pamit, assalamualaikum." Kata tia.

"Eehhhmmm..." Kata bu tisna.

Tia langsung keluar dan menutup pintu gerbang rumah bu tisna.

Tia pun bergegas ke Toko Pak Haji. "Assalamu alaikum pak haji." salam tia.

"Wa alaikumussalaam. Eh tia." kata pak haji. "Tia mo belanja apa?" tanya pak haji.

"Tia disuruh ibu beli beras 10 liter pak haji." kata tia.

"Yang biasa ya tia?" tanya pak haji.

"Ya pak haji." tia mengangguk.

Pak Haji pun menyiapkan pesanan tia. Tak lama kemudian. "Ujaang! Ujaang!" Pak haji berteriak memanggil salah seorang karyawannya.

"Ya pak haji." Sahut ujang yg tergopoh-gopoh menghampiri pak haji.

"Tolong anterin nih pesanan beras ibu nya tia. Kasian tia ga akan kuat bawa nya." Perintah pak haji.

Tia yang mendengar jadi bingung. "Pak Haji, tia bisa koq bawa sendiri beras nya. Ga usah dianterin mang ujang." kata tia.

Pak Haji tersenyum. "Kamu yakin bisa bawa itu semua?" kata pak haji menunjuk ke arah karung beras dan dus sembako untuk tia.

"Tapi pak haji, tia kan cuma beli beras 10 liter aja, kenapa jadi banyak begitu?" kata tia tambah bingung.

"Tidak apa tia, ini rejeki buat kamu dan adik-adikmu. Salam sama ibu mu ya. Bilang ini bukan dari pak haji tapi ada yang titip ke pak haji." Jelas pak haji.

"Alhamdulillaah.." kata tia. "Pak Haji ini uang nya." Tia menyerahkan uang beras nya pada pak haji.

Pak haji menggeleng. "Bawa aja uang nya tia, buat keperluan yang lain." kata pak haji.

Tia mengangguk tak enak. "Baiklah."

Tia pun pulang diantar mang ujang sampe rumahnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!