Bel istirahat baru berbunyi, padahal sedari tadi perut Dyana dan Dewi sudah keroncongan. Mereka berdua cuma mengeluh kecil saling tengok.
"Yeay. Akhirnya bel berbunyi juga. Aku hampir mati rasanya menahan lapar." Kata Dewi kegirangan sambil bergegas memasukkan bukunya ke dalam tas.
"Yuk cepetan, aku sudah tidak tahan lagi. Rasanya pengen muntah." Dyana juga bergegas memasukkan bukunya ke dalam bangku.
"Hey. Aku nitip beli snack, boleh?" Ronny menyetop Dyana dan Dewi saat baru keluar kelas.
"Huh! Kebiasaan." Keluh Dy sambil menatap wajah Dewi, tapi Dewi tetap senang-senang saja menanggapi setiap permintaan pacarnya itu. Apalagi hanya menitip beli makanan.
***
"Buk, saya duluan. Dari tadi belum dapat-dapat." Kata salah seorang siswi.
"Gimana sih aku udah lapar banget." Kesal seorang siswi di samping Dyana.
Baru saja sampai kantin, sudah banyak sekali siswa mengantri. Semua nampak tidak sabaran. Dan seperti biasa, Dyana harus merelakan rasa laparnya hilang baru mendapat giliran lalu makan tergesa-gesa karena waktu istirahat yang minim.
"Nihh...aku suapin, aa?" Sekar terus menyodorkan makanan ke mulut Sastra yang nampak menolak untuk disuapi.
Sekar nampak cekatan menyuapi Sastra di ujung meja sana. Padahal kemarin sampai jambak-jambakan ga karuan. Tapi sekarang sudah roman-romanan seperti tidak ada masalah sama sekali.
"Ih. Gitu banget tuh cewek. Lihat deh! Cowoknya tidak nafsu gitu disuapin, dipaksa juga!" Kesal Dewi yang melihat adegan mereka. Padahal sedari tadi Dyana sudah melihat mereka.
"Kamu ngga boleh kaya gitu, Dewi. Kamu juga gitu kan sama Ony." Setelah berkata Dy memilih membeli pop mie, hatinya merasa perih melihat pemandangan seperti itu. Ditambah perutnya sudah sangat lapar.
"Kamu tidak jadi beli soto? Labil banget sih!" Tanya Dewi cemberut melihat sahabatnya malah berjalan sendiri memilih makanan.
"Udah. Aku duluan ya! See u di kelas, Dewi."
Dyana meninggalkan Dewi begitu saja menuju ke kelas. Perut yang keroncongan membuatnya memlilih yang lebih praktis.
"Hey, Dewi mana? Kok kau sendiri?" Tanya Rony saat Dyana berjalan ke kelas.
"Oh ya, nih titipan dari Dewi." Dy memberikan sekantung plastik makanan tanpa menjawab pertanyaan Rony.
"Thanks." Ucap Rony yang melihat anehnya Dyana.
***
"Sas! Ngapain kau bengong disini aja? Tumben engga sama Sekar?" Glad, sahabat Sastrabertanya. Karena tidak biasanya Sastra duduk sendiri di bangku perpustakaan.
"Kamu ngapain di sini?" Sastra balik tanya tak menghiraukan pertanyaan sahabatnya.
"Biasa lah nyari wifi. Aku pura-pura belajar disini. Males banget di kelas, cewek-cewek pada teriak-teriak ga jelas. Kau ngapain di sini?" Tanya Glad lagi.
"Glad, kau sudah makan? Kantin, yuk!" Sastra balik tanya lagi dan tak menjawab pertanyaan Rony yang sederhana itu.
"Hey! Aku nanya sama kau dari tadi kok malah balik nanya. Kalau gini sih, tandanya ada yang kau sembunyikan dari aku!" Selidik Rony memicingkan matanya agar melihat tanda kebohongan pada wajah sahabatnya.
"Sok tau!" Jawab Sastra lalu duduk di sebelah Rony.
"Buktinya kau sendiri di sini. Sedangkan yang lain pada di kelas. Kalau aku mah sudah jadi langganan disini. Jadi, wajar dong!
"Sok kau." Cuek Sastra sambil memainkan gawainya.
"Udah deh, kau cerita saja sama aku. Siapa tahu aku bisa bantu. Oh ya, kalau Si Viona nelpon, terus nanyain aku jangan bilang di sini ya!" Glad memelankan suaranya dengan megatupkan kedua tangannya seakan mengatakan, please.
"Nah! Itu masalahnya." Sastra berteriak hingga menaiki bangku seakan-akan dia mengeluarkan isi pikirannya sedari tadi.
Pegawai perpustakaan yang melihatnya sampai tersentak karena bunyi bangku yang tersentak keras.
"Aduh! Soal yang ini sulit banget, gimana caranya?" Glad pura-pura menjawab soal agar tidak dimarahi petugas perpustakaan.
"Maaf ya, Bu. Ehehe, ini soalnya susah banget." Sastra kelepasan sampai refleks ikut berbohong.
"Hem." Pegawai perpus yang dikenal galak dan dingin hanya berdehem saja. Coba kalau orang selain Sastra mungkin sudah diterkamnya.
"Eh, kau ngapain sih?" Glad memelankan suaranya, sangat pelan hampir tak terdengar.
"Tadi kau ngomong apa?" Sastra balik bertanya.
"Viona? Kenapa dengan Viona? Dia disini? Oh tidak!" Glad tiba-tiba langsung menuju bawah meja. Kali ini Rony panik.
"Ngga,sama sekali ngga ada. Cepat balik. Balik ngga!" Seru Sastra sambil mendelik tapi tetap memelankan suaranya.
"Terus kenapa?" Tanya Rony sambil duduk kembali dari kolong bangku.
"Masalah kau sama Sekar dan Viona? Lupain aja, aku juga dikejar-kejar sama cewek itu. Tapi, aku cuek!" Glad menjelaskan tanpa mendengar jawaban masalah Sastra yang sebenarnya.
"Heh. Cuek kau bilang? Tadi saja sampai ngumpat! Hu!" Sastra balik mengejek sahabatnya yang selalu kepedean. Sastra menjitak kepala Rony berharap orangnya sadar dengan apa yang diucapkan.
"Yaudah. Terus masalah kau apa?" Rony mengelus kepalanya yang sedikit sakit.
"Ini bukan masalah Viona dan Sekar." Sastra mulai membuka curhatannya.
"Trus, masalah apa? Uang? Kayanya bentukan kaya kau ga ada masalah sama duit deh." Lagi-lagi Rony menebak masalah Sastra yang jelas-jelas bukan itu.
"Makanya dengerin dulu." Kesal Sastra terhadap Glad.
"Sebenarnya terpaksa menjalin hubungan sama Sekar. Aku ga suka sama sikap Sekar yang terlalu melebih-lebihkan. Hubungan kita cuma karena paksaan. Dan dia juga bukan tipe aku." Jelas Sastra.
Glad terkesiap mendengar pernyataan sahabatnya. Dia baru tahu. Lalu, Sastra melanjutkan bicaranya membiarkan Glad yang masih membisu.
"Jujur! Aku sudah ga kuat menahan ini semua. Berhubungan sama cewek yang ngga aku suka sangat tidak nyaman. Tapi, aku sayang sama bokap. Jadi,mau ga mau harus terima." Sastra mencoba menahan luapan kekecewaannya.
"Wait-wait. Sebenarnya hubungan bokap kau sama orang tua Sekar apa?" Glad makin penasaran setiap kali Sastra menyampaikan kebenaran.
"Mereka sudah berteman sejak SMA. Dan katanya Sekar suka sama aku. Tapi, aku sukanya sama cewek lain."
Glad terkejut karena ia tak tahu jika sahabatnya diam-diam menyukai cewek lain. Hingga Glad spontan bertanya.
"Siapa?"
"Kepo! Yang itu rahasia! Udah, aku mau ke kelas." Sastra langsung pergi tanpa memperdulikan sahabtanya yang masih menyimpan beribu pertanyaan dalam hatinya.
Glad melongo melihat Sastra yang berjalan tegap mau keluar dari perpustakaan.
"Hey, kau ga mau ikut? Bel udah bunyi." Glad sampai tak mendengar bel sudah berbunyi.
"Iya. Gue ikut." Kata Glad yang masih mencerna curhatan Sastra.
***
Ada rasa, ada cinta, ada sakit. Menyatu menjadi jalan kehidupan. Bila cinta hanya milik sepihak.
Ada rasa, ada sakit, tidak ada cinta, ada sakit.
Berharap adalah menunggu sesuatu yang tak pasti. Tapi aku memutuskan untuk tetap mencintaimu. Aku tak akan menyerah. Meski aku terus kecewa.
Cinta…
Dyana menulis curhatan hatinya yang seperti puisi dalam buku hariannya. Lia, adiknya juga berada di sampingnya.
"Dik, apakah kakak salah jika mencintai seseorang?" Tanya Dyana tiba-tiba setelah menutup bukunya rapat-rapat.
"Salah? Bukankah mencintai adalah hal yang mulia, setau aku sih." Adiknya berbicara dengan nada lucu dengan senyuman yang mengembang tahu kalau kakaknya sedang jatuh cinta.
"Bagaimana jika orang itu tidak mencintai kakak?" Dyana bertanya lagi.
"Ya, yang penting kan kita tidak menyakitinya. Yang kakak lakukan kan mencintai. Jadi, kakak ngga salah. Kalau kakak membenci baru salah." Jelas Lia sambil menggulingkan badannya santai ke kasur milik Dyana.
"Dia memang tidak tersakiti, Dek. Tapi, hati kakak yang lemah ini yang harus tersakiti." Tutur Dyana yang menahan linangan air matanya. Penjelasan adiknya membuat hatinya tak tentu arah.
"Berarti itu salah hati kakak yang terlalu lemah." Pekik Lia lagi.
"Kamu ga tau rasanya gimana. Ah,sudahlah.
Kamu mah masih kecil belum tahu gituan. Mending kamu bantuin ibu buat jajan sana." Dyana membangunkan adiknya paksa agar mau membantu ibunya.
"Iya-iya." Kesal Lia yang dipaksa bangun.
Dyana memilih untuk bersepeda mengelilingi kampung. Sambil menghilangkan penat, sejak pulang sekolah Dyana membantu ibunya membuat jajan. Sekarang Lia sudah pulang dari bermain, jadi bisa ditinggal sebentar untuk refreshing.
"Dya!"
Seorang cowok tiba-tiba memanggilnya. Dan ternyata setelah ditengok ia adalah cowok yang selama ini disukai Dyana.
"Kamu? Ee, kamu kok bisa di daerah sini? Nyari pacar kamu ya?" Tebak Dyana asal.
Ia tak menyangka akan bertemu Sastra di sini. Pas lagi mukanya acak-acakan. Dan Dyana belum mandi.
"Ngga kok. Ayahku punya rumah dekat sini."
"Oh…" Sahut Dyana singkat.
"Aku boleh mampir ngga?" Tanya Sastra tiba-tiba.
"Apa mampir?" Batin Dyana.
"Hah?" Dy terkejut bukan main mendengar ucapan Sastra. Dia masih mencerna pertanyaan Sastra barusan.
"Kenapa? Tidak boleh, ya?" Sastra bertanya lagi dengan senyuman khasnya.
"Emm, iya boleh kok." Jawab Dyana gugup.
Baru tadi ia menulis keluh kesahnya dalam buku dan sekarang malah bertemu orangnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Sasa (fb. Sasa Sungkar)
wez aq mampirin 3 bab nih thor.. plus like like nya..
bacanya nyicil 😁
.
.
ditunggu feedback nya yooo 🤗
2020-06-15
1
Phoenix Y G Malang
next up nya thor
2020-05-22
1
yuli novelis🕊🕊
semangat 😊😊💪💪
2020-03-11
1