BAB 2
"Dik! Kaos kakak yang kemarin mana? Ini udah siang banget." Dyana semakin emosi, sejak tadi barang yang dicari tak ditemukan.
"Paling masih di jemuran. Kan katanya mau dipakai sekarang buat pawai." Lia, gadis kecil yang lucu dan perhatian dengan kakaknya menghampiri sambil membawakan properti yang akan dibawa pawai.
"Terimakasih. Nanti kaosnya kakak ambil sendiri. Kamu kalau jadi bareng cepetan, ya?" Sambil masih mengepang rambutnya.
"Iya, aku jadi nebeng." Jawab Lia sambil tersenyum lalu cepat-cepat memakai seragamnya.
"Ehmm... ngomong-ngomong kamu tidak malu kan gandengan pakai sepeda? Apalagi teman-teman kamu nanti mengejek kita." Tanya Dyana saat akan membonceng adik kesayangannya itu. Hatinya sedikit sedih mengingat ia tidak bisa memberikan yang terbaik pada adiknya.
"Kak, kalau aku malu mana mungkin aku ikut. Jadi, jangan pikirkan itu ya, Kak?" Lagi-lagi senyum Lia makin melebar, meyakinkan kakaknya bahwa dia sama sekali tidak malu. Justru ia kagum terhadap kakaknya yang tidak gengsi naik sepeda ke sekolah.
Tanpa jawaban Dy memeluk adiknya. Setelah beberapa detik menahan pelukan sayangnya ia baru berucap, "Kakak akan berjuang untuk kamu, untuk Ibu, untuk kita. Janji." Sembari menautkan kelingking mereka berdua.
"Yaudah kita berangkat sekarang, Kak. Aku mau piket." Ucap Lia mengingatkan.
Pemandangan hangat di pagi hari. Seorang kakak yang mengayuh sepeda memboceng adiknya melewati jalanan yang ramai. Dengan busana ala waitress dan properti yang dibawakan adiknya.
"Kak, aku mau nanya boleh?" Kali ini Lia ingin menanyakan sesuatu yang lama dipendamnya.
"Nanya apa,sayang?" Dyana terus mengayuh sepedanya meski Lia sangat berat.
"Emm, Apa kakak tidak malu pergi ke sekolah yang besar memakai sepeda? Di sana muridnya kan jauh lebih keren-keren, Kak." Tanya Lia dengan wajah yang memperlihatkan kekagumannya.
"Kalau kakak malu, kakak ngga akan bawa sepeda ini. Iya kan?" Jawabnya sambil tersenyum tapi dadanya sedikit sesak saat ditanya begitu.
"Apasih kakak, itu kan dialog aku. Main contek aja." Lia pura-pura cemberut tapi senang mendengar jawaban kakaknya.
"Sudah sampai. Turun gih, katanya mau piket." Pintanya lalu mengambil alih properti yang dibawakan Lia.
"Iya,ini juga sudah mau turun. Dada-dada kakak. Hati-hati ya! Jangan sampai nabrak lagi." Teriak Lia kencang sembari masuk ke sekolah. Tidak lupa ia selalu mengecup pipi kakaknya sebelum memasuki gerbang.
"Daa…" Dyana melambaikan tangannya lalu bergegas mengayuh sepedanya kembali.
Dyana tidak tahu bahwa sejak tadi ada mobil mengikutinya. Mobil tersebut baru menyalip ketika Dy menuju sekolah adiknya. Mahluk di dalamnya hanya tersenyum melihat gadis itu. Dia sangat kagum sekaligus tersentuh melihat keduanya.
Mobil Sastra kemudian berhenti di mini market depan SD N 3 TJ. Ia mampir hanya sekedar membeli air mineral.
Baru beberapa meter Dyana merasakan kejanggalan dengan sepedanya.
"Aiss, kenapa sepedanya kok aneh? Apa karena udah tidak isi muatan. Tapi, kok malah makin berat?" Dyana sangat tidak nyaman, stang sepedanya terasa makin berat dibelokkan. Akhirnya, Dy turun dari sepeda untuk memastikan. Setelah dilihat ternyata ban sepedanya kempes.
" Aduh. Aku pasti akan terlambat. Gimana, nih?" Dyana menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Ditengah kepanikannya bahkan terasa ingin buang air kecil. Tiba-tiba ada mobil berhenti di sampingnya. Pemiliknya lalu keluar menampakkan wajahnya yang sangat segar pagi itu.
"Kamu? Ada apa dengan sepedanya?" Tanyanya heran melihat Dyana yang melirik-lirik ban sepeda.
"Hey?" Orang tersebut melambaikan tangannya di depan wajah Dyana karena cewek yang ditanyai malah bengong.
Dyana terus melongo sampai orang disebelah menepuknya.
"I-iya ini sepedaku bannya kempes. Jadi, ga bisa ke sekolah." Dyana menyahut lambat sekali dengan kegugupan tingkat dewa sampai-sampai wajahnya pucat. Karena yang menawarkan bantuan adalah orang yang ditabrak waktu hari pertama sekolah.
"Yaudah bareng kita saja di sini." Sambil menunjukkan ke arah mobilnya.
"Ma-makasi. Sepedanya aku titip disini aja." Dyana masih saja gemetar sampai refleks menitip sedanya di warung langganannya. Dyana tidak bisa menolak meskipun ia sangat malu. Mau bagaimana lagi, ini sudah sangat siang. Dia bisa terlambat kalau tidak segera menerima bantuan tersebut.
Dyana pun masuk dibukakan pintu oleh Sastra. Alangkah terkejutnya di sana sudah ada seorang cewek. Dyana merasa ada sesuatu aneh menjalar di hatinya. Apa mungkin cemburu? Tapi dia bahkan tak mengenal betul orang yang menolong, ia hanya tahu namanya saja.
Perjalanan pun begitu menyesakkan di mobil ber-AC dan mewah. Dua insan di depannya terus bermesraan. Tapi, Dy merasa sedikit lega sebab yang cowok agak dingin saat ceweknya terus ingin pamer kemesraan. Padahal ada seseorang juga di dalam mobil mereka. Dyana merasa sangat sakek selama perjalanan terasa sangat lama.
Khayalan kenangan Dy tiba-tiba harus terputus. Sahabatnya tiba-tiba langsung menarik tangan Dyana dan langsung menarik membawa entah kemana.
"Kita mau kemana?"
Hening.
"Dewi! Kita mau kemana?" Dyana semakin tidak mengerti.
Hening tidak ada jawaban sama sekali. Dewi terus memegang erat tangan Dy sambil berlari.
Rasa penasaran Dy semakin memuncak lalu menghempas tangan Dewi.
"Dewi! Sebenarnya kita mau kemana?" Tanya Dyana lagi.
"Itu ada ribut-ribut hot couple di depan perpustakaan."
Benar saja Dyana bisa melihat rimbunan orang. Sekarang malah Dy yang meninggalkan kawannya. Rasa penasarannya membawanya kesana. Setelah didekati ia pun tahu hot couple itu adalah Sastra dan Sekar.
"Dasar cewek murahan! Kamu bisa-bisanya deketin cowok orang! Gak tau apa berhadapan dengan siapa?" Dyana mendengar percakapan itu sebelum ia meninggalkan kerimunan.
"Heh! Boneka plastik! Aku ini cuma kerja kelompok sama cowok yang kamu bilang pacar."
"Aslinya mah?" Viona melanjutkan perkataannya dalam hati. Ia tersenyum miring ke arah Sekar hingga kembali menyulut emosi lawannya.
"Apaan kamu, hah?" Sekar mulai menjambak rambut Viona hingga bak gembel di jalanan."
Viona tak mau kalah, ia menendang kaki Sekar hingga tak bisa lagi menjambak rambutnya.
Sastra terus melerai keduanya menyuruh berhenti. Tapi, Viona dan Sekar tidak peduli ucapan cowok yang direbutkan.
Karena Sastra sudah geram melihat tingkah mereka setiap kali bertemu. Akhirnya ia meninggalkan keduanya. Dari tadi ia melerai sudah tak mendapatkan hasil. Lagi pula ia sangat muak dengan sikap Sekar yang selalu membuat gara-gara.
"Ternyata semua cowok sama saja. Kalau bukan dia yang tebar pesona, mana mungkin cewek-cewek sampai bertengkar seperti itu. Memalukan!" Dyana melemparkan tanggapan begitu di dalam hatinya sambil menjauhi kerumunan.
"Kalau bukan karena ayah, aku ngga mau pacaran sama Sekar. Kenapa hidup aku gini banget!" Sastra memilih duduk di bawah pohon mangga untuk meredakan emosinya.
Hari-harinya seakan memuakkan. Dia selalu diatur oleh ayahnya agar bersama Sekar. Padahal jelas-jelas Sastra sangat tidak menyukai cewek itu.
Sastra benar-benar malu hari ini. Semua siswa menjadikannya tontonan gratis. Tuduhan Sekar sangat tidak masuk akal. Sastra dan Viona adalah satu kelompok, jadi wajar mereka mengerjakan tugas bareng.
Dyana berlari menuju ke kelasnya. Sejujurnya ia tak ingin memperlihatkan kekesalannya tapi kakinya seperti otomatis membawanya menjauh.
Dewi yang mengoceh sedari tadi akhirnya menyadari jika di sampingnya sudah tidak ada Dyana.
"Sial. Ternyata dari tadi aku ngomong sama siapa?" Katanya lalu menyusul Dyana menuju ke kelas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
𝙳𝚑𝚢
𝔄𝔨𝔲 𝔪𝔞𝔪𝔭𝔦𝔯 𝔨𝔞𝔨❤
𝔍𝔞𝔫𝔤𝔞𝔫 𝔩𝔲𝔭𝔞 𝔪𝔞𝔪𝔭𝔦𝔯 𝔟𝔞𝔩𝔦𝔨 𝔶𝔞 𝔨𝔢 𝔫𝔬𝔳𝔢𝔩 𝔨𝔲
*𝙈𝙀𝙉𝙄𝙆𝘼𝙃 𝘿𝙀𝙉𝙂𝘼𝙉 𝘿𝙊𝙎𝙀𝙉𝙆𝙐
*𝙈𝙀𝙍𝙀𝙆𝘼 𝙔𝘼𝙉𝙂 𝙏𝘼𝙆 𝙏𝙀𝙍𝙇𝙄𝙃𝘼𝙏
*𝙋𝘼𝘾𝘼𝙍𝙆𝙐 𝘽𝙊𝙎𝙎𝙆𝙐
𝔍𝔞𝔫𝔤𝔞𝔫 𝔩𝔲𝔭𝔞 𝔩𝔦𝔨𝔢, 𝔯𝔞𝔱𝔢5, 𝔡𝔞𝔫 𝔣𝔞𝔳𝔬𝔯𝔦𝔱𝔢 𝔧𝔲𝔤𝔞 𝔧𝔢𝔧𝔞𝔨 𝔨𝔞𝔩𝔦𝔞𝔫 𝔶𝔞.
𝔐𝔞𝔯𝔦 𝔰𝔞𝔩𝔦𝔫𝔤 𝔰𝔲𝔭𝔭𝔬𝔯𝔱❤❤❤
2020-06-09
1
Phoenix Y G Malang
up Thor
2020-05-22
1
Mama Razan
yg melerai perkelahian sekar apa sastra??🤔🤔
Sastra kali ya.. sekar kn gamau berhnti berantem
2020-05-16
1