World Processor

World Processor

Prolog (Jilid 1: Binatang yang Menjadi Tuhan)

“PARA TUHAN SEMU.” Si Tua Skent menggosok-gosok luka gosong yang melalap seluruh kepalanya, meninggalkan kulit mengerut berhias totol dan borok. “Mereka sudah datang kembali.”

Ibu terbeliak, mata memandang liar ke sekeliling. Tak ada apa pun. Hanya dinding-dinding rumah yang temaram diterpa cahaya perapian, kegelapan di jendela, juga deru angin musim dingin. “Jaga mulutmu, Tua Bangka!” Ibu mendesis, seolah-olah para Tuhan yang dia takutkan sedang tidur di kamar sebelah. “Mereka mendengarmu.”

“Caranya?”

“Caranya sama seperti ketika mereka mengendalikan hujan untuk kebun-kebun kita; caranya sama seperti ketika mereka meledakkan gunung-gunung; caranya sama seperti ketika mereka menggambar galur-galur sungai!” Ibu berkata seolah-olah dia pernah melihat para Tuhan melakukannya.

Si Tua Skent pernah. Bukan hanya melihat, tapi merasakan. Kepala jeleknya yang sekarang adalah buktinya. “Mereka bukan Tuhan Sejati, Elyna! Mereka bisa mendengar kita, tapi hanya kalau mereka mau. Sayang, mereka terlalu pemalas—”

“Sshssss!” Sekarang, Ibu mulai belingsatan macam kuda ngadat. Katya memperhatikan lebih baik, dan dia mencium aroma ketakutan dari wanita itu.

Mata Katya dan Skent bertemu, heran, lalu bertukar tatapan geli. Mereka mati-matian untuk tidak tertawa. “Oh, tutup mulutmu, Kek!” Katya melompat dan memeluk ibunya, satu mata berkedip pada Skent. “Aku muak dengan bualanmu.”

Skent menunduk, pura-pura merasa bersalah. “Ma-maaf,” katanya gagu, penuh ketakutan. Katya nyaris meledak saking ingin tertawanya. “A-aku cuma ingin bicara .... Membanggakan sesuatu pada cucuku. Bukan maksudku untuk menakutimu.”

Ibu lanjut menangis dan buru-buru pergi, meninggalkan Katya dan Skent yang menutup mulut sambil terkikik-kikik. “Oh! Diam! Tawamu terlalu kencang, Nak!” Skent memperingati dengan ingus yang mentes dari hidung, wajah mengerut menahan gelak. “Para Tuhan mungkin tidak dengar, tapi ibumu bisa!”

“Kenapa Ibu setakut itu?”

“Oh, dia pantas takut, Nak. Tuhan-Tuhan-lah yang membunuh ayahmu sebelum kau lahir. Kau tahu ceritanya, bukan?”

Katya tentu saja tahu. Ibunya menceritakannya ratusan kali. Si gadis tak pernah melihatnya, tapi gara-gara ibunya, dia mulai bisa membayangkan kejadian itu secara detail. Langit yang hitam pekat di siang bolong, angin yang berderu dan mencabut pepohonan, api yang menggulung bak topan dan membakar segalanya—termasuk kepala Skent dan tubuh Ayah.

“Yang aku sayangkan adalah ... dia tak menganggapnya sebagai kejahatan.” Skent mengambil kayu bakar dan menambahkannya ke perapian. Dia kemudian meringkuk lagi di kursi malasnya, tiga lapis selimut butut membalut tubuh. “Dia menganggapnya sebagai ... azab. Kecelakaan. Bencana. Dia kira para Programer adalah alam itu sendiri alih-alih manusia—kau tak bisa marah-marah terhadap angin topan yang mengobrak-abrik ladangmu, bukan?”

“Programer.” Ibu dijamin akan menjerit histeris kalau tahu Katya mengucapkan kata terlarang itu. “Apa mereka benar-benar akan datang lagi?”

“Ya. Sudah, malah. Sama seperti lima tahun lalu. Eksamen.” Skent terdiam sejenak. “Mereka membunuh sesama demi memusnahkan bibit-bibit lemah di kalangan mereka.”

Katya pernah mendengar Skent mengatakan ini. Si pak tua tahu banyak hal. Ada seorang pemasok yang menyelundupkan buku-buku dari Surga ke Ekavrata. Skent adalah salah satu pembelinya. “Ya, aku ingat. Mereka ingin menciptakan ulang para Maha Tuhan lewat proses evolusi.”

“Ya. Evolusi. Seleksi alam: yang lemah mati, yang kuat berketurunan.”

“Apa Maha Tuhan lebih kuat dari para Programer?”

“Melantur apa kau ini, Nak? Merekalah awal dari semua ini.” Skent mengibaskan tangan ke sekeliling dengan jengkel. “Sang Maha Pencipta, Sang Maha Tahu, Sang Maha Ada, dan Sang Maha Perkasa. Empat Programer super yang coba bermain Tuhan-Tuhanan dengan Dunia Baru.”

Katya pernah mendengar cerita Skent soal Dunia Purba. Ketika alam masih di luar kendali Manusia Tuhan. Ketika kekeringan terjadi karena kesialan belaka, ketika empat musim datang silih berganti, ketika badai menyapu segala hal tanpa membedakan mana yang patuh dan mana yang memberontak. Katya tak mampu membayangkannya. Kini di Dunia Baru, mulai dari suhu api di tungku sampai kapan salju turun, semuanya atas dasar keinginan para Manusia Tuhan.

Ibunya bilang dia pernah melihat hujan ajaib hingga ketika panen, orang-orang jatuh sakit karena mengakut terlalu banyak gandum. Ada kalanya juga, ketika para Tuhan sedang muram, mereka mengirimkan segerombolan belalang yang memenuhi langit bagai asap raksasa, menutupi matahari dan menggelapkan dunia.

Bumi sekarat, para penyair Jubah Hitam biasa berkata di rumah minum milik Gob. Matahari membengkak, tanah tercemar, samudra naik, ozon hilang, zaman es datang. Kalau kita tak mati kekeringan, kita mati kedinginan. Kalau kita tidak mati tenggelam, kita mati disengat radiasi. Kalau kita tidak mati kehabisan oksigen, kita mati kehabisan makanan. Kita masih hidup hanya karena Manusia Tuhan telah menaklukkan alam, kita masih hidup hanya karena Manusia Tuhan berbelas kasih. Nyaris separuh apa yang dikatakan si Jubah Hitam tak bisa Katya pahami.

“Apa kita akan sembunyi?” Katya menggosok-gosok kakinya yang kedinginan. Perapian bergolak penuh bara, tapi ada Tuhan yang memindahkan separuh panasnya ke tempat lain—ke tempat yang lebih layak diberi imbalan. “Mereka akan menghancurkan Ekavrata, kan?”

“Tidak secara langsung.” Skent mengeluarkan pipa rokoknya. “Mereka akan bertempur di sini, saling bantai. Kita cuma semut yang terinjak-injak di ring tanding. Tak dipedulikan.”

“Apa Ratu akan berbuat sesuatu?”

Skent mendengus. “Gadis kecil itu cuma bakal meringkuk ketakutan di kamarnya.”

“Kenapa mereka berbuat begitu?”

Bibir Skent mengerut. “Mendekat, Nak,” Skent mendesis. Katya menggeser kursinya dan merapat. Mulut Skent hampir bersentuhan dengan telinganya. “Para Tuhan mendengar soal pemberontakan.”

Jantung Katya nyaris melompat ke mulut, tapi Skent buru-buru mencengkeram lengan gadis itu. “Pemberontakan .... Ta-tapi ... kenapa? Bagaimana? Mustahil kita melawan para Tuhan—”

“Kita bisa, Nak.” Skent makin mendekat. “Dengan bantuan Sang Kurir, kita pasti bisa. Para Manusia Tuhan juga punya jantung, kepala, dan perut. Mereka mati ketika mereka dijagal—karena mereka masih manusia.”

“Untuk apa?”

“Untuk kemerdekaan.” Kata-kata tersebut terasa manis di telinga Katya. “Mereka takut kita bersatu. Takut kita melawan serempak. Mereka cuma segelintir. Kita banyak. Ramalan Sang Kurir akan tergenapi, dan nama Tuhan Sejati akan diingat kembali.”

Katya menatap kakeknya dengan terkesima. “Bagaimana kau tahu ini?”

Skent cuma mengedipkan mata.

 

 

“KAT! BANGUN, NAK!” Malam masih menjelang. Kegelapan membungkus udara. Lampu minyak Skent, kendati redup, terasa menyilaukan karenanya.

Katya membuka mata dan mendapati bahunya diguncang keras. Si gadis mengerang sakit. “Mmmm .... Apa, Kek?” Derap kaki kuda berlari terdengar samar-samar dari kejauhan. Kuda. “Kek? Ada apa?” ulang Katya, kali ini lebih panik.

“Mereka mendengarnya,” desis Skent. Dia buru-buru bangkit dan menjejalkan banyak hal ke tas kulit Katya: pisau baja, tambang rami, gulungan senar busur, mata anak panah, kantong air. Dia mengerang jengkel ketika melihat Katya masih bingung di atas kasurnya. “Bangun, Nak! Kau harus pergi!”

“Pe-pergi? Ke mana? Bagaimana dengan kau dan Ibu?” Katya menelan ludah. “Dan siapa mereka?”

“Manusia Tuhan.”

Katya menahan pekikan. “Mereka mendengar kita.”

“Aku bilang begitu barusan.”

“Bagaimana—”

“Tak penting. Ini salahku, Nak. Mereka memang manusia, tapi bukan berarti aku mesti meremehkannya.” Skent menyelempangkan jubah bulu beruangnya ke bahu Katya, lalu meloloskan selendang tas ke bahu si gadis. “Pergi ke barat,” Skent menunjuk timur. Si pria tua kelihatan masih ingin mengatakan sesuatu, tapi mati-matian menahannya.

Dia takut para Tuhan mendengarnya, sadar Katya, dan ketika itulah pintu rumah didobrak. Skent mengumpat dan melempar Katya ke dalam oven roti. Pintu besi terbanting menutup. Sisa-sisa bara tadi pagi sudah padam sempurna, tapi hawanya pengap dan penuh abu. Cahaya remang lentera menyusup lewat celah mungil di atas pintu.

Hidung Katya pengap oleh aroma ketakutan dan ketegangan, yang kemudian bercampur dengan bau manis yang serupa campuran dari bunga dan madu. *Bau Tuhan*.

“Siapa kalian!” Skent menjerit seolah-olah kedatangan para tamu benar-benar tak terduga. Terdengar suara Ibu terisak.

“Skent?” Suara pria. Dia terkekeh. “Oh, aku sudah lama mendengar suaramu, jadi aku penasaran dengan wajahmu.” Para Tuhan!

“Dia kira kita tak mendengarnya.” Kali ini suara perempuan. Nadanya agak bergetar, menggigil dingin. “Ehe, aku tak melihat cucu gadisnya.”

Hening sejenak, lalu suara pertama menimpal. “Aku mendengar lima detak jantung.”

“Dia masih di sini berarti.”

“Sebentar, Tuhan!” Ibu memelas. “Katya tidak ada hu—”

“Sebenarnya apa yang Anda dengar, ya Tuhan?” Skent cepat-cepat memotong perkataan Ibu. “Aku tak mengerti—”

“Tak perlu mengelak, Skent,” Tuhan pria mengejek. “Kami sudah tahu semuanya. Kami membiarkanmu selama ini supaya kau mengoceh lebih banyak.”

“Kami bukan iblis, Skent,” tambah Tuhan wanita, terdengar lirih. “Yang kami butuhkan hanya pengetahuanmu. Anak dan cucumu akan kami tawan, tapi mereka akan bebas tanpa luka kalau kau mau bekerja sama.”

Si Tuhan pria terkekeh. “Kami Tuhan, Skent. Kau kira membuat kalian tetap hidup di bumi yang sudah sekarat ini hal gampang? Kami tak akan semena-mena membantai peliharaan yang kami rawat dengan susah payah.”

Untuk beberapa saat, Skent tak menimpal. Katya bergerak, coba mengintip lewat celah di atas pintu tepat ketika Skent meludahi kaki sang Tuhan pria dalam posisi berlututnya. Para Tuhan. Mereka amat berbeda dari Katya, baik dari aroma maupun rupa. Mereka lebih tinggi, dengan kulit bersih mulus, rambut lebat berkilau, mata jernih, serta rubuh ramping. Mereka teramat rupawan dengan cara yang tak manusiawi.

“Setan saja kalau aku sudi, kalian Tuhan Semu!” Tangan Skent berkelebat, bilah belati mengkilap di sana begitu teterpa cahaya lampu.

Tuhan pria mengumpat dan menarik mundur Tuhan wanita, tapi Skent tidak menyerang mereka. Dia memotong lehernya sendiri. Terdengar suara korok, dan si pak tua terjungkal jatuh. Kaki berkelojotan menendang sepatu Tuhan pria. Darah menyembur dalam denyut, beberapa menciprat ke wajah Ibu. Dan dia pun menjerit.

“Monyet Darwin.” Tuhan pria menghela napas jengkel. “Jadi becek begini.”

Becek? Katya tak percaya dengan reaksi si Tuhan Semu. Dia ingin menjerit, seperti ibunya, tapi api amarah membuat paru-parunya sesak. Dia nyaris tak bisa menarik napas, lupakan soal bersuara. Lututnya lemas, bibirnya gemetar, pandangan berkaca-kaca.

“Fu?”

“Ya. Sebentar.” Tuhan wanita maju melewati Tuhan pria, berjongkok dan meraih leher Skent. Skent terperanjat bangun, tercekat dan tersedak napasnya sendiri. Dia menoleh pada Ibu, lalu pada kedua Tuhan. Tangannya menggaruk-garuk jakun, mencari bekas gorokan—tak ada.

Tuhan pria kembali terkekeh, tapi lebih dingin. “Kau kira kau bisa bebas begitu saja? Hah!” Dia meludahi kepala Skent. “Kalian tak bisa mati kecuali kami mengizinkan.”

Ibu roboh dari posisi berlututnya, tubuh terkapar ke lantai.

“Ini malah pingsan lagi!” Tuhan pria memijat pangkal hidungnya. “Demi Darwin. Kalian bisanya cuma buat masalah saja. Benar-benar tak tahu diuntung.”

“Skent, ikut kami,” pinta Tuhan wanita sembari mengelap tangannya yang berlumur darah dengan kain. “Ini sama sekali tak perlu jadi menyulitkan ataupun menyakitkan. Kami cuma butuh pengetahuanmu soal Laskar Sang Kurir.”

Skent menatap lututnya dengan kosong, setengah terpana, setengah tak percaya. Manusia hanya hidup sekali, maka karenanya, tiap napas mereka sungguh berarti. Tapi di hadapan Tuhan-Tuhan ini ... mati tak ubahnya bentol karena digigit nyamuk. Bisa disembuhkan dengan meludahinya saja.

“Katya,” panggil Skent lemah, bangkit berdiri dengan ringkih, “lari.” Dan si pak tua menendang lenteranya hingga pecah. Minyak memercik pilar-pilar kayu dan karpet jerami, api menjilat mereka sekejap kemudian. Terdengar umpatan dan sumpah serapah dalam kobaran yang kian meluap. “Lari, Nak!”

Katya menendang pintu oven, menghambur ke dapur dan melompat mendobrak jendela. Dia terbanting ke salju yang menumpuk, jatuh berguling-guling, cepat-cepat merangkak bangkit, menembus semak belukar menuju hutan. Timur, timur, timur. Dia mengingat di sela-sela napasnya. Timur. []

 

 

 

 

Terpopuler

Comments

Hasso Happa

Hasso Happa

sama kah? kyk di wattys

2021-02-19

0

Alan Alanshorie

Alan Alanshorie

pas

2021-02-01

0

Djohan

Djohan

Pokonya semangat terus kakak. Jejakku sampai sini dulu ya. Ntar di lanjut bcanya. Bila berkenan mampir juga ya ke ceritaku yang baru berjudul " Usak" Terima kasih.😊

2021-01-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!