RIN MENGGUNAKAN SEEKOR KUDA SEBAGAI PIJAKAN, lalu merangkak naik ke puncak atap dan bersandar pada cerobong. Dia mengerang dan melonggarkan mantel bulunya, badan basah kuyup oleh keringat di balik pakaian. Hanya orang sakit yang mengenakan pakaian tebal di kawasan Republik. Tempat itu tak pernah didera oleh musim dingin atau malam-malam dengan udara menusuk. Selalu hangat di pagi hari, teduh di siang hari, dan sejuk di sore hari. Hujan yang turun hanya sekadar gerimis kecil; angin yang menyapu sekadar belaian sepoi-sepoi. Majelis Senat memastikan hal tersebut terjadi sepanjang tahun.
Banyak hal yang bisa dilihat dari tempat itu. Mulai dari jaring-jaring lajur komotif yang menghubungkan setiap distrik, kanal-kanal sebagai sarana transportasi komoditi, bukit-bukit buatan, taman yang menjamur, serta gedung-gedung pencakar langit.
Tempat yang Rin kini duduki sendiri teduh oleh bayang-bayang Menara Yustisi: sebongkah bangunan masif yang membentuk piramida lancip lima ratus meter ke atas langit. Bukan buatan manusia, tentu saja. Setidaknya bukan buatan tangan. Menara itu tak memiliki jendela atau balkon. Kecacatan yang sebenarnya selaras dengan fungsinya—penjara. Salah satu monumen modernisasi. Di seluruh Dunia Baru, Republik merupakan satu-satunya negeri yang memiliki penjara umum. Begitu pula dengan lokomotif, kanal, listrik, jaringan gas, percetakan, dan senjata api.
Rin mengangkat topi cepiaunya dan mendongak. Tampak Jalan Utara yang kini sesak padat oleh penonton parade. Kaum Keruh berbaris rapi di depan; Abdi bergumul pada lutut di belakang—beberapa dari mereka ada yang bersujud. Dari atap rumah yang dia pilih baik-baik, Rin bisa melihat rombongan Programer yang bergerak dalam sel-sel mereka: beberapa berjumlah trio, beberapa duo, tapi ada juga yang solo. Mereka duduk pongah di atas kuda-kuda gagah, panji dan jubah orde berkelebat kala diterjang angin.
Angin buatan, tentu saja. Tak banyak hal yang alami di Republik Terakhir. Tidak ketika alam sendiri sudah tewas puluhan ribu tahun lalu.
Sambil membuka buah kalengan dengan pisaunya, kesadaran Rin menggapai Prosesor Semesta dan menaut pada LongAis. Citra di perbesar dan dia bisa melihat warna-warna klan. Si agung Putih, si besar Merah, si biasa Biru, dan si kecil Kuning. Tak ada warna Hitam, tentu saja. Orang bahkan sering lupa kalau klan terdiri dari lima warna dan bukannya empat.
Panji putih Iez berkelebat lewat, nyaris perak, mengkilap kala diterpa sinar mentari hangat. Kabut dingin berhembus di sekeliling sang Programer, berpusar pada jubah halus dan pakaian sutranya. Massa bersorak menggila, memuja salah satu Tuhan yang menghangatkan bumi. Atau mendinginkan bumi, tergantung di sisi mana kau hidup.
Darwin! Di mana si Ken-si Ken ini?
Lokasi pos awal sudah dibagikan dan hari pertama Eksamen dihitung dari sekarang. Tak ada batas waktu kapan sel mesti berangkat, tapi tersedia tujuh hari periode gencatan senjata. Lewat masa itu, kanal, jalan, atau jalur kereta tak akan aman lagi untuk dilewati. Instruktur Enno—entah dia makan apa semalamnya—menyarankan agar Rin dan Ashe menahan keberangkatan sampai tiga hari. Semua itu cuma demi ... apa? Seorang Jubah Hitam?
Mereka sudah mencari ke mana-mana, tentu saja. Barang-barang de’Ken datang ke rumah Enno. Berjilid-jilid buku tebal berbau apak, berkoper-koper catatan ceker ayam, dan sejumlah “alat sulap” yang Rin tak pahami—tapi tidak dengan si empunya. Dia hilang layaknya diculik setan.
Rin sudah muak mencari, jadi untuk si Ken, dia putuskan kalau hari ini adalah kesempatan terakhirnya. Kalau dia masih pula tak muncul ... ya sudahlah. Apa pun yang dikatakan Instruktur Enno, Rin tidak percaya kalau seorang Jubah Hitam bisa memutar balik posisi sel Rin.
*Menahan keberangkatan sampai tiga hari itu terlalu berisiko. Rin tak mau mengambilnya. Dia tak mau nasibnya berujung sama dengan saudara-saudara tuanya: Rho, Eresta, Mekk, Davit. Semuanya pergi meninggalkan Rin sendirian sekarang.
Dengan mulut penuh, Rin mulai menghitung Jubah Kuning yang lewat di jalan. Tak banyak. Kendati miris bagi Rin, ini merupakan sebuah prestasi bagi Mahkamah Amandemen Mutu, bukti bahwa program eugenika memang bekerja dengan efektif.
Kecuali jika mereka berlindung di bawah naungan klan Terang, sulit bagi klan rendah untuk berhasil melewati Eksamen. Kian lama kian sulit, karena memang begitulah tujuan sistemnya. Yang lemah mati, yang kuat lestari. Evolusi. Selalu utamakan Evolusi.
Di era Rin sekarang, klan Kuning kian susut sampai bisa disebut dalam satu tarikan napas. Mahkamah berniat mengeleminasi tiap-tiap dari mereka sampai ludes tak bersisa. Menyisakan ruang bagi keturunan-keturunan berkualitas. Di Dunia Baru, degenerasi adalah dosa besar yang mampu mendatangkan kiamat kedua.
Rombongan parade lanjut merayap terus ke utara, melewati tanah lapang berkilo-kilo meter yang hijau dan subur. Republiken memanggil tempat itu “Pekarangan Raya”, tapi para Abdi menyebutnya dengan nama “Taman Firdaus”. Setiap Imperian yang dibawa masuk ke Republik berhenti di tengah-tengah Pekarangan untuk berlutut, bersujud, dan menangis. Mereka kira kalau diri mereka memang ada di surga.
Kawasan tersebut memang luas bukan kepalang, mengelilingi seantero tanah Republik dengan barisan pepohonan apel, pir, persik, anggur, jeruk, dan mangga yang senantiasa berbuah setiap tahun. Formasi tersebut dihias oleh ribuan hektar taman bunga penuh warna, jaringan sungai berbatu yang dipasok ribuan mata air jernih, padang gandum, kolam-kolam panjang, serta bukit-bukit landai berpuncak menara.
Kendati begitu, Rin sama sekali tak terkesan. Sejak lahir, dia sudah tahu soal Pekarangan Raya. Tak terhitung berapa kali Rin dan Ashe kecil kabur dari Institut untuk bermain di Pekarangan. Buah serta air di sana gratis untuk siapa pun, dan kau bisa naik menaranya yang menjulang hingga tiga ratus meter untuk menikmati pemandangan Republik. Para Abdi ditugaskan untuk merawat Pekarangan, tapi kesuburan tanah, sumber air, dan keajaiban pertumbuhan tanaman datang dari kekuatan program.
Di balik Pekarangan Raya, jauh di perbatasan Republik, menghampar Pegunungan Uz yang menjulang begitu tinggi. Alih-alih untuk pertahanan, para Maha Tuhan membuatnya untuk menghadang terjangan angin garang dari luar Republik. Tak ada dinding pertahanan, tak ada parit pelindung, tak ada menara pengawas. Untuk apa? Menghalangi pemandangan saja. Tak ada pasukan negara mana pun di muka bumi yang mampu menandingi elit-elit Programer. Mereka mendepak Tuhan dari kursinya dan mengambil alih kuasa dunia.
“Rin!” Suara Ashe.
Tampak si gadis aneh berdiri di pinggir jalan, tangan memegang dua tali kekang yang terhubung pada sepasang kuda. Dia juga mengenakan pakaian bulu di balik jubah ordenya, dengan sepatu bot selutut dan celana wol ketat. Yiil, Hex, dan Skar bergumul di kakinya.
Rin menceduk sisa buah kering dari kaleng dan menjilati jemari mungilnya. “Sudah jadi?”
Ashe mengacungkan Rhonan—sebuah senapan runduk yang tampan bukan main, dengan popor kayu mengkilap, bidikan besi, serta laras panjang kokoh. Baik ukuran dan skala bentuknya didesain khusus untuk tangan dan jari kecil. Ashe dan Enno bilang kalau cuma bocah yang memberi nama pada senjata mereka. Mereka salah untuk meremehkan hal tersebut. Ketika kau memberi sesuatu nama, sebuah ikatan sayang akan tercipta. Dan segala hal yang dicintai lebih akan lebih terawat dan mudah dikenal.
Rin merosot turun. Begitu mendarat, dia lekas disambut anjing-anjingnya. Tiga Husky bersaudara, masing-masing berbeda bulu. Yiil si Putih berpusar di kaki. Hex si Hitam coba melompat dan menjilat gigi Rin. Adik bungsu mereka, Skar, merupakan anjing abu dengan polet hitam disekitar pipi. Dia punya kecenderungan untuk bertingkah melawan arus. Jadi, alih-alih mendatangi Rin, si anjing malah menjatuhkan rahang di kaki Ashe.
Rin tergelak geli, topi cepiau nyaris jatuh dan melepas tumpukan rambut emas di baliknya.
“Kau yakin?” tanya Ashe sembari menyerahkan Rhonan. Oh, kemari, sayangku. Rin mengisi magasin dan mengokang, mata memicing di bidikan. Garis prediksi peluru muncul dari moncong laras, bentuknya serupa kilasan samar benda bergerak yang membelah udara. “Tenaganya anjlok turun.”
Rin menyeringai. “Tak ada bedanya kalau yang kubidik itu kepala atau jantung.” Begitu menarik pelatuk, Rin tak pernah meleset. Rin adalah seorang Cae, tapi ibunya datang dari klan Kyar—para peramal. Sepertinya ada setetes darahnya yang menciprati Rin. “Yang jadi masalah itu rekoil.”
“Badanmu cebol, sih.”
Rin menyodok dada Ashe dengan Rhonan.
“Monyet Darwin! Kena ke punting, kau lacur bangsat!” Setelah berusaha membalas dengan coba mengintip dalaman Rin, Ashe berjinjit dan memandang ke utara. “Mereka sudah pergi?”
Sembari memperbaiki kancing kemejanya yang lepas dan celananya yang merosot, Rin menoleh. Lewat LongAis dia bisa melihat barisan para Programer yang kini hilang di balik kebun anggur. “Kau tak bisa ikut mereka, Ashe. Enno benar soal itu.”
Si gadis aneh mengerang, dua gelung di sisi kepalanya bergoyang macam tanduk.
“Kalau kita ikut, orang-orang bakal tahu sel kita isinya cuma dua personel—satu Biru, satu Kuning. Kita bakal dibuntuti dan diburu begitu masa gencatan senjata habis.”
“Tahu.”
“Utamanya sama Hetorel. Dia masih dendam padamu soal telinganya itu.”
“Tahu.”
“Terus, jangan mikir kalau kau bisa susul rombongan parade. Kita bakal ambil jalur samping yang biasa dipakai Imperian, terus belok ke barat dan muter lewat—”
“Tahu, Rin!” Ashe melompat naik ke atas kudanya dan memperbaiki letak selendang senapan. “Ada kabar soal Papan Ken?”
“Fanpan Ken.”
“Gak lebih masuk akal.”
Rin menoleh ke sekitar, berharap bisa menemukan wajah mentornya di antara kerumunan yang bubar. Darwin! Rin heran kenapa dia mesti jadi waswas hanya gara-gara ketidakhadiran seorang Jubah Hitam. Dia tak akan berguna buat kami. Sejenak berlalu, dan Rin pun menggeleng. “Kita berangkat sendiri.”
“Oke, sief.” []
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Vigilo
hai aq mampir. semangat up terus sampai sukses! mari saling dukung sesama penulis ke depannya :D
-Penjahat Di Dunia Bodoh (comedy, fantasi)
-In TOKYO (action, romance)
2021-02-04
0
cerlang cemerlang
mantapppp
2021-02-01
0