1.1 (Tuhan-Tuhan Pascakiamat)

“Bahwa dahulu kala, ada masa gila di mana genus manusia hanya terdiri dari satu spesies tunggal yang tak memiliki saudara: Homo sapiens. Bahwa dahulu kala, ada masa gila di mana rakyat (demos) adalah pemegang kekuasaan (kratos). Bahwa dahulu kala, ada masa gila di mana manusia menyembah Tuhan Semu yang tak terlihat dan tak bicara. Kini, Tuhan (deus) hidup bersama kita, dan surga telah ditarik turun ke muka bumi. Kini, kitalah penguasa semesta.”—K. Eo, dalam The Old Ken.

 

 

FANPAN KEN MENYERUAK DARI SEMAK BELUKAR, berlari layaknya maling dikejar massa. Rasanya panas walau itu adalah siang hari di pertengahan musim semi abadi. Ada api tak tampak yang membakarnya dari dalam: menggolakkan lambung, menguliti jantung, mendidihkan darah. Dia melangkah dengan begitu mengenaskan, dengan iler yang terkatung-katung di sudut mulut, dengan ingus yang keluar masuk, dan dengan mata yang pedih oleh tangis dan cucuran keringat.

Dia nyaris buat celananya basah kuyup oleh urine. Untunglah, Fanpan sudah kencing sebelum pelarian terkutuk ini dimulai. Lebih tepatnya, dia memulainya sambil kencing.

Bagaimana ini bisa terjadi? Fanpan juga ingin tahu.

Jika kau lihat kondisi Fanpan Ken saat ini, yang bakal pertama kau pikir adalah: “Orang ini sudah lari puluhan kilo.” (Aslinya, dia belum lari tiga puluh meter pun.) Kau memandangnya sambil lalu, kembali ke kesibukanmu ... dan kau pun menyadari sesuatu. Kerut muncul di kening selagi kau menoleh untuk kedua kalinya, mengamati Fanpan lebih teliti. Segera, kau meralat kesimpulanmu yang pertama dan bilang, “Dia gembel.”

Oh ... tentu saja. Bagaimana mungkin orang berpikiran yang lain? Lihat Fanpan, lihat jubah hitamnya yang terkulai di lutut, lihat celana wol yang terkatung sejengkal jauhnya di atas mata kaki, lihat lengan kemejanya yang dilipat hingga sikut, lihat sandal jeraminya yang putus sebelah! Belum lagi fakta kalau seluruh kain hitam itu ada dalam kondisi yang ... menyakitkan mata: sudah lusuh, kusam, kotor, bertambal di sana-sini pula.

Yang berbusana macam begitu ... apalagi namanya kalau bukan gembel? Hanya orang buta dan orang teler yang tak bakal sependapat denganmu.

Sementara itu, si pemakainya .... Sulit untuk menentukan identitas si pemakai. Kau tahu dia laki-laki dari rambutnya yang dipotong pendek secara ngasal, juga dari bulu-bulu tipis yang jadi kumis, tapi umur? Dia terlalu tinggi bagi seorang bocah dan kelewat kerempeng bagi pria dewasa. Dia bergerak ringkih bagai pak tua, juga menjerit-jerit histeris laksana gadis perawan. Satu yang pasti: dia sipit. Itu unik. Republiken memiliki rupa-rupa warna mata: emas terang, hitam pekat, kuning pucat, merah terbakar, tapi jarang yang sipit.

“Anjing!” tak jauh di belakang Fanpan, seseorang mengumpat. “Jangan lari kau, bangsat kampret!”

Si pria sipit makin histeris. “Oh, Neraka!” sumpahnya di sela-sela napas kasar dan tenggorokan pedih. Fanpan meludah, mengumpat, menarik celananya yang merosot, lalu kembali mengumpat. Mereka keluar dari daerah hijau di pesisir sungai, memasuki jalanan batu rata di daerah pemukiman. Jalan batu. Mantap. Jatuh di sini, dan pecahlah jidatku. Fanpan Ken terkekeh sinting.

Di kedua sisi jalan, tampak barisan bangunan dari bata. Semuanya berlantai tiga, tak ada yang kurang, banyak yang lebih. Kanopi-kanopi terpal menjulur dari bagian depan tiap bangunan, menyediakan tempat teduh bagi kios-kios di bawahnya. Sekerumunan pembeli mengepung para pedagang di balik gerai, dengan pedati, kuda-kuda, dan lembu yang memadati jalanan.

“Tolong! Tolong! Tolong!” Fanpan menjerit-jerit seolah dialah korbannya, suaranya hampir tak terdengar di tengah hiruk pikuk kesibukan. Beberapa orang menoleh ke arahnya, tapi buru-buru berpaling. Siapa pula yang mau membantu seorang pria kerempeng dengan penampilan layaknya gelandangan?

“Kau malingnya, setan!” protes suara si pengejar, terdengar makin dekat. “Jangan pura-pura tak berdosa!”

Fanpan mengelak dari tiang lampu, menoleh. Tiga pria tampak di belakangnya. Tiga pria jangkung yang bertubuh sehat dan kuat. Jelas mereka tak kurang makan seperti Fanpan. Ada perbedaan rupa di tiap-tiap pria itu, tapi dalam satu hal mereka kompak: ketiganya sama-sama marah. Itu mengerikan sekali, terutama kalau biang keladinya adalah dirimu.

“Tolong!” Fanpan Ken menjerit makin kencang dengan suaranya yang sudah serak. Persetan dengan harga diri dan rasa malu! Kehormatan merupakan kemewahan baginya. Dia terlalu miskin dan lapar buat itu. “Tolong! Tol—” Fanpan gigit lidah sendiri sementara langkahnya terantuk kaki sendiri. Dia terpelanting, wajah menghampiri jalan batu.

Jidat pecah! Jidat pecah! Jidat—Jidat Fanpan tidak pecah. Alih-alih, dia tersungkur ke ember di pinggir jalan. Ember-ember itu mestinya diisi air guna memadamkan api di kala kebakaran. Mestinya. Di kenyataan, ember-ember dijadikan pembuangan tahi kuda, jeroan hewan para tukang daging, sampah, dan sekali-sekali air kencing.

Sulit untuk menentukan apakah itu untung atau sial, tapi “jelai mengerikan” di ember cukup kental untuk meredam hantaman. Seluruh wajah dan separuh dada Fanpan berlokot lumpur sampah; gantinya, jidat kotor pria itu tak jadi pecah. “Pah!” Fanpan menyembur dan menggosok wajah. Lumpur bau melebar ke telinga dan lehernya. Di sekitar, keramaian merapat penasaran dan membentuk dinding manusia. “Pah! Pah! Neraka!”

Seseorang meraih kakinya. “Balikin uangku, bangsat!”

Fanpan menoleh. Salah seorang dari pengejarnya rupanya. “Itu! Itu!” Fanpan menunjuk ke kiri. Semua orang menoleh ke sana. Ketika si pengejar ikut-ikutan berpaling, dia colok mata pria malang itu dan melepaskan diri.

Si pengejar mengumpat, coba tangkap si pria sipit. Sayang dia hanya berhasil menjambret ujung celana Fanpan, membuatnya merosot. Mati-matian Fanpan menahannya, lanjut jalan, tapi kemudian celana itu koyak diiringi bunyi seret yang mengerikan. Para penonton melotot, menjerit histeris kala menyaksikan pemandangan tak senonoh itu.

“Persetan, kalian!” Fanpan tersinggung, bersumpah dengan suara serak dan napas mengap-mengap. “Macam kalian punya paha yang lebih seksi, hah? Menyingkir!” Tak usah diperintah pun orang menyingkir karena takut ketularan kotor.

Fanpan bergerak dengan lancar. Di depannya, kerumunan membelah memberi jalan; untuk kemudian kembali merapat di belakang. Samar-samar dia bisa mendengar jeritan para pengejar yang tertahan di belakang kerumunan.

Merasa telah bebas, tawa Fanpan pun meledak sejadi-jadinya. Tuhan berkati aku! Tuhan berkati aku! Dia tersedak, lupa kalau perut dan jantungnya masih bergolak karena didera lelah. Untuk beberapa detik, Fanpan terbatuk, meludah, lalu muntah. Oh, Tuhan! Sarapanku! Sarapanku yang berharga! Buru-buru dia mengatupkan mulutnya, bergegas pergi dengan tubuh menunduk-nunduk. Orang-orang menyingkir dari hadapannya.

Lanjutkan rute ini dan dia akan tiba di Jalan Utara. Itu ide buruk. Di sana kawasan kalangan elit, tempat para Programer, senat, dan pejabat bermukim di kastel-kastel raksasa mereka. Di sana, di mana para Abdi senantiasa membersihkan jalan dan selokan dari tahi, kotor merupakan kejahatan yang patut dihukum. Utamanya kalau tak pakai celana. Mesti ambil jalan lain.

Jadi, setelah lewat beberapa bangunan, Fanpan Ken berbelok, masuk ke pintu. Papan iklan bergambar ranjang tergantung di atasnya. Penginapan. Lantai dasar berupa ruang umum, tempat orang makan dan memesan minum. Ruangan yang penuh sesak dengan meja dan belasan perapian, yang biasanya berisik, penuh hiruk pikuk Kaum Keruh.

Ketika itu, kedai memang sedang ramai dan riuh, yang kemudian langsung senyap tatkala seorang sipit tak bercelana masuk. Ada seorang pria di sudut, sibuk menggoda gadis pelayan dan berceloteh tiada habisnya. Butuh waktu baginya untuk menyadari keheningan di sekeliling, menoleh, dan dia pun jatuh dari kursinya. Sementara itu, di sudut yang lain, seorang bocah berusia tujuh tahunan duduk di samping ayahnya. Dia menonton paha Fanpan dengan pandangan terguncang, yang kemudian buat dia menjatuhkan gelas dan meledakkan tangis. Seorang nenek meremas dadanya dan jatuh kejang-kejang.

Fanpan menjilat bibirnya dengan malu-malu. “Aku ... aku pakai celana dalam,” ujarnya, lalu buru-buru melintasi ruangan sementara orang-orang masih terpesona. “Permisi. Permisi.”

Dia menghampiri pemilik penginapan—seorang pria gendut bercelemek dengan nampan makanan di tangan. Tepat ketika mulut si pria gendut terbuka, Fanpan menaruh batu gepeng ke saku celemeknya, cepat tanpa terlihat. “Untuk sedikit masalah yang kubawa.” Ujarnya sambil tersenyum. Dia mengambil satu butir batu lagi dari ikat pinggangnya, menggenggamnya, lalu menaruhnya kembali di saku si pemilik penginapan. “Untuk memperbolehkanku lewat dapurmu. Ya, cuma lewat. Terima kasih, Sobat.” Dan Fanpan pun melesat pergi, bergegas sebelum si pria dungu sadar bahwa benda di sakunya bukan koin.

Pintu dapur terletak di sudut ruangan, di samping panggung tempat para juru dongeng dan penyair unjuk gigi. Fanpan membukanya dengan kalem, melangkah lewat, lalu kembali menutupnya dengan lebih lembut. Kau tak akan percaya kalau gerakan itu dilakukan oleh seorang pria tak bercelana.

Oh, mantap gila! Aku bebas! Fanpan nyengir, mengusap sayang kantong uang yang tergantung di ikat pinggang, lalu berpaling dari pintu. Di lorong itu, tampak sepasang manusia, jantan dan betina, tergeletak di lantai, yang satu di atas yang lain.

“Oh.” Fanpan terkesiap, mundur setengah langkah, tangan di mulut. “Oh ... uh ....”

Keduanya kini menoleh pada si pendatang sipit: si wanita dengan mata berkaca-kaca dan pandangan memelas, si pria dengan mata menyalak dan pandangan galak. Itu jelas situasi di mana ada pihak yang ... “dipaksa”, tapi Fanpan tak peduli. Dia jarang peduli. “Maaf. Mohon maafkan aku. Cuma orang lewat.” Fanpan menunduk, menatap paha telanjangnya—pasangan itu ikut-ikutan mengalihkan pandangan ke sana. “Tak ada maksud untuk tak sopan. Celanaku sobek—”

Ketika itulah, secara sekilas, mata Fanpan menyapu jubah di punggung si pria. Sutra, warna putih, dengan huruf kuno “iez” tersulam di sana. Darwin ... jantung si Sipit mencelos, Programer. Dia cuma diberi satu kali kesempatan bernapas sebelum hawa dingin datang menyelimuti. Fanpan memekik, ingin melompat, tapi tak bisa. Kakinya terpaku ke lantai, membeku dari kulit sampai ke tulang. []

 

 

 

Terpopuler

Comments

cerlang cemerlang

cerlang cemerlang

sukaa

2021-02-01

0

cerlang cemerlang

cerlang cemerlang

bagus bangettttt

2021-02-01

0

cerlang cemerlang

cerlang cemerlang

bagus bangettttt

2021-02-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!