1.2

PARA PENJAGA MENJEPITNYA DI MASING-MASING KETIAK. Senapan terselempang di bahu mereka, menggantung dan berayun dengan tak nyaman. Si penjahat terkulai lemah di antara mereka, kakinya terseret-seret tak berguna di lantai batu, telanjang dan berwarna gelap karena radang dingin. Dia bersumpah serapah dalam bisikan. Selain itu, tak ada lagi yang bisa orang kerempeng ini mampu lakukan.

Hal pertama yang Denaes de’Iez perhatikan dari si penjahat adalah rupanya yang macam kain pel: lusuh, kotor, lagi basah. Pakaiannya yang dicelup hitam jatuh dengan berat, menampakkan postur tubuh seorang manusia kurang gizi. Rambutnya terkulai lepek, menempel pada kening dan pelipis, meneteskan titik-titik air ke lantai. Dan dia tak pakai celana. Denaes melongo.

Kemudian, semua itu jadi tak masalah lagi ketika si Inspektur mencium bau busuk yang menyengat. Denaes merasa seperti hidungnya kemasukan jarum.

“Komsos kutuk aku!” dia bersumpah serapah dan meludah ke asbak. “Kenapa dia basah? Kenapa dia bau? Kenapa dia tak pakai celana!”

Terlalu banyak pertanyaan. Salah seorang penjaga bertutur dengan terbata-bata, “Ma-maaf, Pak. Dia ... dia begitu kotor sewaktu putra Anda menangkapnya. Kami ... kami memandikannya, tapi sulit untuk menghilangkan baunya. Uh ... uh .... Mereka bilang dia tercemplung ke comberan ....”

“Ember,” betul rekannya. “Ember pemadam api.”

“Oh, ya ... ke ember air, Pak.”

Denaes mengumpat. Dasar Jubah Gelap! Tak pernah tahu peradaban! Pemerintahan Distrik-lah yang membagikan ember-ember itu secara cuma-cuma, menaruhnya di sisi-sisi jalan pasar yang padat. Dilakukan untuk membungkam keluhan seorang senat soal kebakaran yang kerap terjadi di kawasan kumuh. Dan sekarang apa? Mereka malah menggunakannya sebagai tempat buang air. Sungguh kelakuan yang patut dicontoh dari rakyat Republik Terakhir!

Para penjaga mendudukan si penjahat kurus di kursi bajanya. Mereka mengikat kaki, paha, perut, dan dadanya dengan sabuk kulit, sebelum akhirnya menjepit kedua tangannya ke pasung yang ditanam di atas meja. Si penjahat kelihatan masih linglung dan setengah sadar, jadi salah satu penjaga menjitak kepalanya. Dia terperanjat dengan cara yang berlebihan.

“Apa dia? Maling?” tebak Denaes, lalu mendengus dan meludah lagi. “Oh, ada yang bisa kita lakukan soal baunya?” Tak ada. Tentu saja. Ruangan interogasi dibangun di bawah tanah, tak berjendela dan tak punya ventilasi. Ditujukan untuk intimidasi. Satu-satunya hal yang menyamarkan bau yang menyengat itu adalah aroma asap lentera.

“Maling, Pak,” penjaga kedua menimpal hormat. “Dia mencuri uang dari seorang pemuda Jubah Hitam. Mereka berkelahi dan dia kehilangan celananya.”

Kenapa pula aku mesti mengurus hal remeh macam ini? “Uang? Berapa?”

“Dua ratus, Pak,” cetus penjaga tua takut-takut. “Korban bilang kalau orang ini mencuri dua ratus taaler pecahan kertas miliknya.”

Copet remeh. Gila. Aku urusan dengan copet remeh. Denaes harus mengingatkan diri berulang kali kalau dia menangani kasus ecek-ecek ini karena alasan yang lain betul.

“‘Korban’? Aku bahkan belum menentukan status mereka.” Denaes mengeluarkan sapu tangan untuk menutup hidung dan menoleh kembali pada si penjahat yang pecicilan. Tapi yah ... orang kerempeng ini macamnya cuma Abdi. Dia tak akan menang melawan tuntutan Jubah Hitam. “Siapa namamu, Nak?”

Untuk sesaat, yang keluar dari mulut kering itu hanyalah erang dan kemam berkumur. Ditatapinya tangan yang terpasung, dan pemahaman pelan-pelan terpancar di matanya. Uniknya, dia tak panik. “Fanpan ... Fanpan, Pak.”

Wajah Inspektur menggelap. “Kau main-main denganku, Nak.”

“Tidak,” si penjahat menimpal serak, gelagapan. “Itu ... itu namaku, Pak. Ya-yah ... mungkin agak kedengaran—”

“Berhenti mengada-ngada!”

“Tapi itu memang ada!” dia bersikeras. “Ayahku memang sedang kurang waras ketika aku lahir; memberiku nama menggelikan macam itu. Oh! Anda ... Anda bisa memeriksanya di daftar hak suara. Aku punya suara di Demikret ....”

“Kau Republiken?” Denaes nyaris terbelalak. “Nak, jangan kira kau bisa lepas ....”

Si pria kurus membalik lengan kanannya yang bersih dari Cap Abdi. “Dari klan Ken, Pak. Anda bisa lihat Teograf di jubahku. Bukan garis langsung, tapi aku masih keturunan Empat Maha Tuhan. Aku satu spesies dengan Anda.”

Mata Denaes berpindah-pindah dari wajah jelek Fanpan Ken dan Teograf di jubahnya. Bagaimana mungkin orang lusuh ini merupakan Republiken! itu yang pertama dipikirkan Denaes begitu sadar, lalu: Dia punya hak untuk membela diri! kemudian: Jubah Hitam menuntut Jubah Hitam. Oh, ini bakal jadi kasus yang merepotkan.

“Kau tahu apa kesalahanmu?” tanya Denaes.

Ketika itu, Fanpan masih mengeliat-geliut di kursinya macam orang cacingan. “Apa para preman itu membual tentang sesuatu, Pak?” Alis tebal pria itu bertaut. “Bolehkah aku menuturkan kejadiannya secara lengkap?”

“Kami tahu kejadiannya, Nak. Kau mencopet seorang Jubah Hitam. Dua lembar seratus taaler yang kau buang entah ke mana selagi kau kabur. Di jalan, kau mendorong seorang kakek-kakek ke selokan, menyikut bahu seorang gadis kecil, juga membunuh seekor kucing milik pedagang Jubah Kuning. Kalian berkelahi, kau kehilangan celanamu, kau kabur ke penginapan Rakyat Baik di Gang Abdi Pucat, dan kau menipu si pemilik penginapan—membayarnya dengan batu.” Dan di sanalah kau memergoki putraku, apa pun yang dia lakukan. “Apa aku mesti tepuk tangan? Pencurian, pencederaan, pembunuhan, perkelahian, perbuatan cabul, dan  penipuan. Oh! Dan ditambah perusakan barang umum—kau menghancurkan ember milik distrik. Tujuh pelanggaran dalam sekali pekerjaan.”

Fanpan Ken menjilat-jilat bibirnya, mengerjap-ngerjap, menghisap ingus, kemudian menelan ludah. Sudah melihat akhir nasibmu? “Semua pelanggaran itu ada dalam konteks ‘pembelaan diri’, Pak.”

“Masa?”

“Bukan seperti itu ceritanya. Setidaknya, ada yang salah dengan awalannya.”

“Baik.” Denaes mengoper tangan yang menutup hidungnya. “Ceritakan padaku, Nak. Dengan cepat. Dengan detail. Sehingga aku tahu kau tak sedang membual.”

Fanpan Ken tersenyum masam. “Detailnya agak-agak kurang pantas, tapi begini. Aku sedang kencing ketika itu—”

“Demi Darwin—”

“Aku serius, Pak. Sumpah. Ini kisah nyata, bukan fiksi, jadi tentu awalannya tak sedramatis yang khalayak umum inginkan.” Si bocah Fanpan lanjut bicara sebelum Denaes menyela. “Aku sedang kencing ketika itu. Di sebuah gang dekat Deret Pengrajin. Pokoknya gelap-gelap dan sepi-sepi begitu.

“Tiba-tiba, aku mendengar suara perempuan menjerit. Aku berhenti kencing dan pergi menengok—rupanya ada seorang gadis yang tengah disudutkan tiga laki-laki cabul. Tiga itu ya yang tadi kejar aku, Pak.”

Denaes mendesah bosan. “Oh, aku tahu kelanjutannya. Kau coba selamatkan gadis itu dan buat ketiga pemuda cabul jengkel. Kau dikejar, tapi si gadis berhasil lepas. Begitu?” Denaes bertepuk tangan dengan tak terkesan. “Cerita yang klise. Pasaran sekali. Lain kali, pakai imajinasi kalau mau ngebacot.”

“Eeh ....” Fanpan Ken menjilat-jilat bibirnya yang kering. “Sebenarnya, bukan begitu, Pak.”

“Hoh? Benarkah? Coba buat aku terkejut.”

“Begitu aku melihat mereka, aku menjerit sejadi-jadinya.”

Denaes memang terkejut kala mendengarnya. “Menjerit?”

“Pak, aku bukan orang narsis yang suka keren-kerenan dan berlagak melindungi orang lain sementara melindungi diri sendiri pun sudah buat aku kesusahan.”

“Kau ... menjerit ... macam perempuan?”

Fanpan Ken membuka mulutnya lebar-lebar dan mengeluarkan pekik nyaring yang mirip-mirip teriakan makhluk sekarat. Denaes dan ketiga penjaga nyaris melompat dibuatnya. “Macam itulah, Pak.”

“Dasar kau goblok! Orang sakit!” Denaes menggosok-gosok telinga. Dengungan tajam masih terdengar di dalam otaknya. “Kau punya harga diri tidak? Macam banci saja.”

“Nah, Pak, realistis saja. Kala kecil, tubuhku kekurangan asupan protein. Otot-ototku tak berkembang dengan baik. Badanku kecil dan cungkring. Kalau aku sampai berlagak dan lawan tiga orang tadi, aku cari mati namanya.”

Sekali lagi, Denaes menatap muram lengan Fanpan Ken yang longgar di lubang pasungan. Nyaris cuma tulang berbalut kulit. Dia ada benarnya. “Kau tahu? Jangan kira hanya karena kau Jubah Hitam, kau bisa seenaknya membual di hadapanku. Kalau kau sampai terbukti berbohong, kau mampus.”

“Kalau aku memang berbohong, Pak, aku akan bilang sudah melawan tiga orang tadi untuk melindungi si gadis malang yang jadi korban cabul mereka. Biar lebih keren.”

“Kita lihat saja nanti.” Denaes melirik salah satu penjaga. “Panggil yang satu lagi masuk.”

Penjaga berkumis melompat keluar dan membawa masuk seorang pemuda bersamanya. Sekitar delapan belas tahun, dengan tubuh tinggi dan perawakan kasar. Dia berjalan pongah di samping status Jubah Hitam-nya, menatap benci pada pria kerempeng, lalu menunduk pada Denaes. Setidaknya dia memakai pakaian yang lebih bersih dan manusiawi: kemeja biru, jubah hitam, serta sarung tangan kulit lusuh. Pistol terselip di sabuknya.

Pistol. Denaes nyaris tertawa kala melihat betapa bangganya si Jubah Gelap dengan logam rapuh itu. “Siapa namamu?”

“Wayn Ykare, Pak.”

“Wayn, kau bilang kau telah kehilangan uang?”

“Ya, Pak. Dua ratus taaler kertas.” Wayn menunjuk Fanpan Ken dengan gerakan menghentak. “Dia yang ambil. Dua temanku yang jadi saksinya.”

Fanpan Ken memutar bola matanya. “Lain kali, pakai imajinasi kalau mau bohong.”

Wajah Wayn menggelap. “Kau bilang apa, Maling!”

“Aku cuma mengutip apa yang Inspektur Iez bilang.”

Seketika, Wayn menoleh pada Denaes dengan takut-takut, lalu kembali pada Fanpan. Lebih marah. “Jangan permainkan aku, Sipit! Pak! Dia yang mencuri uangku! Tak salah lagi!”

Denaes hendak melontarkan pertanyaan ketika Fanpan tiba-tiba mengerang, lalu menggeliat-geliat macam kucing. Kelakuannya begitu menjengkelkan sampai-sampai Denaes harus menahan diri untuk tidak menampar si manusia sipit. “Uang! Hah! Buat apa uangmu? Aku bisa buat uang sendiri kalau aku mau! Lagi pula, memangnya kau punya uang buat dicuri?”

Salah satu penjaga maju dan menahan Wayn yang murka. “Ayahku bekerja sebagai pengrajin emas perak di Jalan Cincin. Aku membantunya dan akan mewarisinya—”

“Jalan Cincin,” Fanpan memotong dengan geli. Mata sipitnya berbinar nakal. “Jalan kecil. Jarang dilewati orang besar. Oh, terima kasih, Sobat. Akhirnya kau mengaku juga.”

Mendengar itu, amarah Wayn surut seketika. Wajah gelapnya sekarang disusupi ekspresi resah. “Apa maksudmu?” Dia mundur setengah langkah dan buat Denaes berjengit.

Fanpan Ken memutar-mutar kepalanya. “Jalan Cincin. Pengrajin emas-perak? Sebuah perhiasan berkelas bisa punya ongkos ratusan taaler, tapi orang besar tak mungkin memesan perhiasan macam itu di sana. Oh, tidak. Terlalu kumuh.” Fanpan melirik pelan lawannya, mata terpejam sebelah. “Berapa harga perhiasan paling besar yang pernah ayahmu buat, Sobat? Kuyakin masih bisa dibeli dengan segenggam uang koin.”

“Memangnya kenapa, keparat?” Wayn coba memberanikan diri. Mulutnya agak gagu. Dia jelas merasa takut, tapi tak tahu alasan dia takut. “Apa hubungannya denganmu? Toko ayahku populer. Kami punya banyak pelanggan—”

“Nah, kau tak salah,” sela Fanpan. “Memang, pengrajin laris bisa saja dapat dua ratus taaler dari sana, tapi dalam bentuk dua lembar ....” Si Sipit menggeleng, seringai tersungging di bibir. “Memang siapa yang membayarmu pakai pecahan seratus taaler, hah!”

Darwin, alis Denaes berkedut, dia cerdik. Cerdik dan licik. Denaes mendapati Wayn yang masih bingung, tak menyadari posisinya yang di ujung tebing. Lima detik berlalu, si pemuda masih bertampang bego; lima detik berikutnya, keringat dingin pun membulir di wajah.

Dia menoleh pada Denaes, kemudian Fanpan, lalu Denaes lagi. “Pak Inspektur, uang itu aku dapat dengan menukarkannya di—”

“Kau menukarkan uang besar jadi uang pecahan, Sobat,” Fanpan bicara sambil berlagu. “Bukan sebaliknya. Apa kau benar-benar Jubah Hitam? Bego sekali, tapinya.”

“Pa-Pak, aku menukar—”

“Kau berbohong soal pencurian itu, Sobat. Akuilah.” Fanpan Ken memutar-mutar pergelangan tangannya di lubang pasungan. “Kau mengejarku karena aku mengganggu kegiatan mesummu.”

Dia mendapatkannya, pikir Denaes. Cuma orang culas sejak lahir yang mampu merangkai kebohongan di kala panik. Wayn Ykare, sayangnya, terlahir sebagai manusia jujur. Dia tergagap-gagap, dia takut, dia gemetar. Lalu kemurkaan menguasainya.

Wayn menarik pistolnya, menodongnya pada Fanpan Ken, jari menarik pelatuk. Tak terjadi apa-apa. Si pemuda kembali panik dan berulang-ulang menarik pelatuknya lagi, tapi percuma. Denaes telah memindahkan ledakannya ke tempat lain.

“Bawa pergi,” Denaes mengibaskan tangan.

Kedua penjaga buru-buru meringkus Wayn, menggagalkan aksinya untuk menggetok Fanpan dengan gagang pistol. Denaes menatap dingin pintu begitu Wayn diseret keluar ruangan. Denda lima ratus taaler, minimal. Jika Wayn adalah Abdi, dia sudah terkulai tak bernyawa di tiang gantung pagi nanti.

“Pak,” Fanpan menjilat-jilat bibirnya, kelihatan sudah tenang dan senang, “maaf mengganggu waktumu.” Dia memutar-mutar lengannya, memberi tanda halus untuk dilepaskan.

Denaes menaikkan satu alis. Fanpan Ken, kendati rupanya begitu mengenaskan layaknya mumi berusia ribuan tahun, adalah manusia licik tak terbantahkan. Ancaman ataupun suapan tak mengubah fakta itu. Dia berbahaya, terutama bagi putra Denaes. “Siapa bilang kau bebas, Nak?”

Sebesit kebingungan lewat di mata si sipit. “Pak?”

“Masih ada satu pelanggaran lagi, Bocah.” Denaes mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya. “Kau menyerang seorang Jubah Putih, Jon de’Iez—putraku.”

Fanpan terdiam. “Menyerangnya!” Dia tertawa mengenaskan. “Aku cuma orang lewat!”

“Orang lewat yang telanjang.”

“Oke. Setengah telanjang.”

“Bagian setengah yang paling parah.” Denaes melirik kaki Fanpan yang setipis ranting. “Kau Republiken, tapi menyerang Jubah Putih adalah kesalahan tak termaafkan. Kau menyerang calon Tuhan, Nak.”

“Aku tidak melakukan apa-apa! Sumpah! Aku cuma ....”

Cuma lewat dan memergoki Jon yang sedang berbuat cabul, Denaes melanjutkan kata-kata Fanpan yang terpotong. Fanpan tak memberi tanda-tanda kalau dia tahu. Dia sadar kalau pengetahuan itu akan memberinya masalah. Memang orang cerdik.

Si pemuda sipit menggeleng, berlagak dia lemah dan pasrah. “Pak, dengar, aku tak mau mengatakan ini karena kuyakin kau tak akan percaya. Tapi ... dengar: aku juga seorang calon Tuhan.”

“Kau kena delusi, Nak?”

“Aku aset negara!”

“Pasti gara-gara salah makan.”

“Aku mungkin suka salah makan kadang-kadang, tapi paling juga kena mencret paling parah. Tak sampai jadi gila.”

“Gila.”

“Sumpah! Aku tak ikut Institut, tapi aku lima tahun di Akademi! Aku berniat ikut Eksamen tahun ini! Anda ... Anda bisa cek ke mentorku.”

“Tenang saja. Aku tak akan membawamu ke hakim distrik.” Karena kuyakin kau akan menyebar aib putraku di sana. “Kau tak bakal mati.”

Fanpan Ken seketika panik. Darah hilang dari wajahnya. “Pak, tidak. Aku bersumpah tak akan—”

Seketika, tangan Denaes menyambar rahang Fanpan, mencengkeramnya kuat dan mantap. Denaes mengejang ketika kesadarannya menggapai Prosesor Semesta. Kelima indranya menyurut sementara pikirannya menjelajah labirin hukum alam dan menautkan diri dengan salah satu program kosmos, HetVektee.

“Setan ala—” umpatan Fanpan terputus; menyambung menjadi jeritan makhluk sekarat. Lebih dari yang tadi. Dia memberontak, coba lari, tapi tubuhnya tertanam di kursi dan meja. Kepala bergerak liar. Liur menetes deras dari mulut yang menganga; uap dingin datang menyusul kemudian. Tampak lidahnya yang kini hitam kaku, beku dengan butir-butir kristal es di permukaannya. []

 

 

 

 

Terpopuler

Comments

cerlang cemerlang

cerlang cemerlang

" wajib asuh" apa maksudnya?

2021-01-01

0

anggita

anggita

critanya unik 👌, smangat trus dlam berkarya,👍

2020-12-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!