RIN DE’CAE MENUNDUK TEKUN DI BANGKUNYA, rambut emas tergelar lebat di bahu, mata kelabu pucat melebar fokus. Benaknya menyentuh Prosesor Dunia, menjelajah tiap lajur labirin sistem dan kemudian menaut dengan program milik klannya—LongAis. Penglihatannya membaik hingga puluhan kali lipat, memperbesar citra dari celana butut yang terhampar di meja. Seekor kutu terlihat, melompat-lompat liar dalam rupa monster dari dongeng orang teler. Seukuran sapi besarnya. Rin menjerit.
“Demi Darwin, Rin! Kamu langi ngapain, sih!” Ashe mendobrak masuk ke kamar. Seorang gadis tujuh belas tahun, rambut hitam digelung kembar sisi kepala, mulut merah meneteskan darah. Citranya (juga) diperbesar sampai ukuran abnormal. Rin kembali menjerit. “Rin! Keparat kau! Berisik!”
“Kosmos! Habis makan apa kamu!”
Ashe meludah. “Telinga de’Raa.”
“Hah!”
“Aku ingin merekrut si Bocah Tengik masuk ke sel kita, berhubung kudengar dia berniat main solo.” Sambil bicara dalam kecepatan kuda blingsatan, Ashe mengelap mulut basahnya dengan ujung pakaian. “Dasar kera! Makhluk gagal evolusi! Dia minta aku memohon dan berlutut. Dia kira aku Imperian?”
“Kau makan telinga dia gara-gara itu?”
Ashe terbelalak. “Kosmos! Tidak! Enak saja!” bantahnya. “Aku meludahkannya kembali tentu saja. Jijik banget kalau sampai aku telan daging najisnya. Aku meludahkannya! Tepat ke wajah imutnya!”
“Itu lebih parah.”
Ashe mengibas-ngibas tangannya jengkel. “Menjengkelkan, sih; tapi bukan sesuatu yang mesti jadi pikiran. Ngomong-ngomong, lagi apa kamu? Lap pel punya siapa itu?”
“Kalau ceritamu bukan sesuatu yang pantas dipikirkan, ceritaku cuma angin lalu, berarti.” Rin menggeleng dan melepas kesadarannya dari program. Penglihatannya kembali normal. “Dan ini bukan kain pel. Ini celana.”
Ashe mendadak hening. Pelan-pelan, dia duduk di tepi ranjang, menangkup tangan, lalu memasang wajah serius. “Oke, de’Cae. Ceritakan dengan lebih detail.”
Rin bercerita dengan malas. Bagaimana dia menyamar jadi Jubah Hitam untuk membeli senapan dan amunisi. Seorang Programer yang bergantung pada senjata adalah Programer lemah, dan tak ada yang lebih merugikan daripada dianggap enteng sebelum Eksamen. Tak ada orang yang mau satu sel dengan orang lemah.
Begitu dia masuk ke bagian di mana dia dicegat tiga pria di sebuah gang terpencil, Ashe memajukan kepalanya. Dia coba untuk mengalihkan perhatian para berandal, menjatuhkan dua ratus taaler dari Komisi bulanannya.
“Terus?” Ashe mendesak.
Rin angkat satu alis. “Ada pemuda lain yang datang,” timpalnya. “Orang kurus, pakai jubah hitam butut. Sipit. Dia datang mengendap-ngendap dan ambil uangku.”
“Hah?”
“Dia hampir lolos begitu saja, tapi ... hei! Itu uangku! Jadi, aku teriaki dia, bilang kalau dia mencopet dari saku para berandalan.”
“Eeh .... Dia dikejar?”
“Yup! Aku bebas tanpa lecet. Terima kasih buat dia.”
“Dasar tegaan.”
“Aku bilang itu uangku! Salah dia sendiri yang ambil tanpa izin, bukannya bantu tolong aku.” Rin geleng-geleng. “Laki-laki berengsek.”
“Itu celana ....”
“Kupikir ini celana dia.” Rin mencubitnya dengan jijik. Setelah tahu bentuk kutu-kutu yang menghuninya, dia gila kalau tak ngeri. “Aku susul mereka. Walau bagaimanapun, dia selamatkan aku.”
“Ketemu?”
Rin menggeleng. “Aku cuma nemu celananya, tergeletak robek di jalan.”
“Darwin, aku tak bisa bayangkan hal mengerikan apa yang dialami pemuda malangmu.”
“Kau coba buat aku merasa bersalah?”
“Macam kau bisa merasa bersalah saja—” Ashe menutup mulut cepat-cepat dan menepuk kening lebarnya. “Aku lupa sesuatu. Kita disuruh menghadap mentor.”
“Instruktur Enno?”
“Macamnya dia hendak memarahiku gara-gara gigit telinga orang sembarangan.”
Rin menelan ludah. Dia tahu apa yang teman gilanya maksud. Ashe menggigit telinga Hetorel de’Raa. Oh ... de’Raa. Siapa yang tak pernah dengar klan yang satu itu? Garis keluarganya nyaris masih bisa diruntut sampai ke Uz Sang Maha Pencipta. Gen mereka berasal dari perkawinan selektif. Tiap-tiap keturunannya adalah spesimen dengan kualitas kawakan.
Atmosfer separuh bumi dikuasai oleh mereka: musim, cuaca, arah angin, pergerakan awan, putaran badai ... segalanya ada dalam telapak tangan para Raa. Buat seorang de’Raa marah, dan sebuah negara akan musnah dilanda kekeringan. Programer macam merekalah yang patas disebut Tuhan. Tak macam klan Cae. Mata mereka nyaris tak berguna apa-apa dibanding manipulasi udara Raa.
Ashe menggigit telinga Hetorel de’Raa! Kosmos kutuk aku! Mereka berdua akan diburu habis-habisan olehnya dalam Eksamen. Dan siapa yang mau berkomplot dengan pihak yang punya musuh kuat? Hanya orang gila yang salah makan, mungkin.
“Kita kabur,” cetus Rin, wajah pias, keringat dingin menetes.
Ashe memandang Rin dengan tatapan kosong, bungkam sejuta bahasa. Sesaat kemudian, si gadis gila menyambar celana temannya. Rin menjerit histeris.
“Kau! Kau dasar kera cabul! Lepasin! Melorot, melorot ini!”
“Kau harus ikut, Rin,” Ashe berkata dingin.
“Tidak! Tidak mau! Ogah! Lepas!”
“Kau harus, Rin!” Mata Ashe berkaca-kaca. “Dia bakal meludahiku dan menginjak-injak kepalaku di lantai!”
“Kau tahu? Kau malah buat aku makin tak mau!”
“Tidakkah kau mencintaiku?”
“Stop. Jijik.”
“Dengar! Kau cuma perlu datang. Soal bersujud, menangis, memohon, dan menjilat sepatu—serahkan padaku.”
“Kau sudah berniat buat begituan, rupanya!”
“KALIAN BAKAL MAMPUS SEBELUM SAMPAI di pos pertama,” cetus Enno pedas. Dia adalah perempuan bertubuh semampai, dengan rambut hitam digerai bebas dan Jubah Putih membalut bahu. Matanya tajam dan alisnya tipis lagi panjang. “Kalau tidak ... yah ... Kosmos sendiri yang tolong kalian.”
Rin tak meragukan perkataan mentornya. Eksamen ditujukan untuk memusnahkan bibit-bibit gagal supaya tidak berkembang biak, menyisakan ruang bagi spesimen unggulan untuk lestari. Dalam kata lain: seleksi alam sintetis demi Evolusi lebih lanjut Homo deus. Demi mereproduksi seorang Maha Tuhan.
“Kalian mati, kalau sial. Kalian tunasuara, kalau beruntung.” Tunasuara—kehilangan hak voting. Di negeri yang segalanya didasari atas pemungutan pesetujuan, hal macam itu serupa dengan menjadi budak. Bahkan pernikahan pun digolongkan sebagai “voting” dari dua insan. “Hanya yang kuat yang boleh meninggalkan keturunan. Kalian tumbu-besar di Institut, kalian tahu apa yang kumaksud.” Seleksi Massa.
Ashe mengangkat bahu dengan enteng. Keningnya masih merah bekas digosok ke lantai. “Aku tak keberatan buat tak menikah.”
“Yang benar,” balas Enno, “para pria keberatan buat menikah denganmu.”
Ashe tertawa kasar. “Rin, bilang padanya! Bagaimana Zachry de’Nir memandangiku dengan penuh nafsu minggu kemarin!”
Rin celingukan. “Eeh ... kurasa dia memang memandangimu dengan penuh nafsu minggu kemarin—nafsu amarah, maksudku. Kau menggigit hidung adik dia, soalnya. Ingat?”
“Eh?”
“Sisa tiga hari lagi sebelum Eksamen dimulai,” Enno membuka-buka buku catatannya. “Selama aku bertugas, Cae maupun Kurd selalu jadi anggota pendukung, berlindung di belakang Klan Putih atau Merah. Tie, biasanya .... Atau Ief.” Hidung Enno berkedut. “Oh, keparat. Tidak ada klan Ief yang cukup umur tahun ini .... Tie terakhir lulus dua tahun yang lalu.” Dengan mata melotot, Enno memandang kembali kedua muridnya. “Kalian bakal mati. Asli.”
“Mati?” Ashe membeo.
“Mati, Kurd.” Enno menggorok lehernya dengan jari dan mengeluarkan suara hewan mengorok. “Komposisi sel kalian lemah. Tak punya daya tempur—hanya daya taktis. Setengah darahmu berasal dari de’Guf, Kurd—tapi kau sama sekali tak mewarisi program mereka. Kita butuh personel lain untuk menutupi lubangnya.”
“Siapa?” Rin mendekatkan wajah.
“Tak tahu. Kurd sudah gigit telinga Hetorel. Sekarang, tak ada lagi yang mau berteman sama kita. Bagus. Prestasi besar ini! Tepuk tangan, tepuk tangan.” Satu alis Enno terangkat. Buru-buru dia mengobrak-abrik tumpukan dokumen di mejanya, beralih ke laci, lalu ke lemari. “Aku kenal sama satu orang. Aneh, nyentrik, tapi punya potensi. Berani bertaruh dia belum direkrut siapa-siapa,” dia bicara sambil terus bergerak. “Ah, ini dia dokumennya. Fanpan de’Ken.”
“Orang tuanya pasti lagi teler waktu kasih nama itu,” cetus Ashe.
“De’Ken.” Satu alis Rin naik. “Tak pernah dengar nama klannya. Bukan dari Putih atau Merah, kurasa.”
“Hitam, tepatnya.” Enno menaruh dokumennya di meja dan mulai membuka-buka halaman.
Rin berkedip bingung. “Apa?”
Hidung Enno berkerut. “Dalam kata lain, cuma manusia biasa.”
Ashe menyeringai masam dan mengumpat, “Monyet Darwin.”
“Menurut catatan, akses klannya ke Prosesor sudah surut sekitar tiga generasi yang lalu. Dia sendiri tak ikut Wajib Asuh dan masuk Akademi di usia 15 tahun.”
“Ada kemungkinan buat akses sistemnya kembali lagi?” tanya Rin.
“Jangan harap,” Enno menimpal, mata menelusuri barisan kata. “Memang ada kemungkinan, tapi kecil. Sangat kecil. Tiga generasi. Gennya mengalami sekitar lima kali pengundian: satu banding tiga puluh dua. Bisa juga lewat mutasi DNA ... tapi itu faktor yang sulit dihitung. Terlalu acak. Bukan. Dia Jubah Gelap tulen.”
“Monyet Nonprogramer.” Ashe menggaruk kepala. “Dia lulusan Akademi, katamu? Itu isinya Kaum Keruh, doang. Memang boleh dia ikut Eksamen?”
“Siapa bilang tidak? Tak ada di klausulnya. Republiken yang punya hak akses ke Prosesor diwajibkan ikut Eksamen, tapi tak ada larangan buat yang lain untuk ikut. Istilah soal Kaum Keruh-Kaum Warna-Kaum Terang itu datang secara oral. Di mata hukum, kita semua keturunan Empat Maha Tuhan.”
Ashe menggeleng keras kepala. “Tapi dia guna buat apa coba! Perisai daging?”
Enno diam sejenak dan manyun. “Dia pintar.”
“Apa?”
“Di Akademi, dia mendapat peringkat pertama dan menerbitkan sejumlah tesis tentang ... akar program. Tahu? Soal sifat sejati program, dasar-dasar ilmunya, relasi antarklan, lain-lain. Dia master di bidang Programer.”
“Secara teori,” cetus Rin. “Secara praktis?”
“Dia bakal berguna, Rin. Percaya padaku.” Enno menghela napas. “Masalahnya, aku dan itu bocah badung sudah putus kontak tiga hari ini. Entah hilang ke mana dia.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments