“PARA TUHAN SEMU.” Si Tua Skent menggosok-gosok luka gosong yang melalap seluruh kepalanya, meninggalkan kulit mengerut berhias totol dan borok. “Mereka sudah datang kembali.”
Ibu terbeliak, mata memandang liar ke sekeliling. Tak ada apa pun. Hanya dinding-dinding rumah yang temaram diterpa cahaya perapian, kegelapan di jendela, juga deru angin musim dingin. “Jaga mulutmu, Tua Bangka!” Ibu mendesis, seolah-olah para Tuhan yang dia takutkan sedang tidur di kamar sebelah. “Mereka mendengarmu.”
“Caranya?”
“Caranya sama seperti ketika mereka mengendalikan hujan untuk kebun-kebun kita; caranya sama seperti ketika mereka meledakkan gunung-gunung; caranya sama seperti ketika mereka menggambar galur-galur sungai!” Ibu berkata seolah-olah dia pernah melihat para Tuhan melakukannya.
Si Tua Skent pernah. Bukan hanya melihat, tapi merasakan. Kepala jeleknya yang sekarang adalah buktinya. “Mereka bukan Tuhan Sejati, Elyna! Mereka bisa mendengar kita, tapi hanya kalau mereka mau. Sayang, mereka terlalu pemalas—”
“Sshssss!” Sekarang, Ibu mulai belingsatan macam kuda ngadat. Katya memperhatikan lebih baik, dan dia mencium aroma ketakutan dari wanita itu.
Mata Katya dan Skent bertemu, heran, lalu bertukar tatapan geli. Mereka mati-matian untuk tidak tertawa. “Oh, tutup mulutmu, Kek!” Katya melompat dan memeluk ibunya, satu mata berkedip pada Skent. “Aku muak dengan bualanmu.”
Skent menunduk, pura-pura merasa bersalah. “Ma-maaf,” katanya gagu, penuh ketakutan. Katya nyaris meledak saking ingin tertawanya. “A-aku cuma ingin bicara .... Membanggakan sesuatu pada cucuku. Bukan maksudku untuk menakutimu.”
Ibu lanjut menangis dan buru-buru pergi, meninggalkan Katya dan Skent yang menutup mulut sambil terkikik-kikik. “Oh! Diam! Tawamu terlalu kencang, Nak!” Skent memperingati dengan ingus yang mentes dari hidung, wajah mengerut menahan gelak. “Para Tuhan mungkin tidak dengar, tapi ibumu bisa!”
“Kenapa Ibu setakut itu?”
“Oh, dia pantas takut, Nak. Tuhan-Tuhan-lah yang membunuh ayahmu sebelum kau lahir. Kau tahu ceritanya, bukan?”
Katya tentu saja tahu. Ibunya menceritakannya ratusan kali. Si gadis tak pernah melihatnya, tapi gara-gara ibunya, dia mulai bisa membayangkan kejadian itu secara detail. Langit yang hitam pekat di siang bolong, angin yang berderu dan mencabut pepohonan, api yang menggulung bak topan dan membakar segalanya—termasuk kepala Skent dan tubuh Ayah.
“Yang aku sayangkan adalah ... dia tak menganggapnya sebagai kejahatan.” Skent mengambil kayu bakar dan menambahkannya ke perapian. Dia kemudian meringkuk lagi di kursi malasnya, tiga lapis selimut butut membalut tubuh. “Dia menganggapnya sebagai ... azab. Kecelakaan. Bencana. Dia kira para Programer adalah alam itu sendiri alih-alih manusia—kau tak bisa marah-marah terhadap angin topan yang mengobrak-abrik ladangmu, bukan?”
“Programer.” Ibu dijamin akan menjerit histeris kalau tahu Katya mengucapkan kata terlarang itu. “Apa mereka benar-benar akan datang lagi?”
“Ya. Sudah, malah. Sama seperti lima tahun lalu. Eksamen.” Skent terdiam sejenak. “Mereka membunuh sesama demi memusnahkan bibit-bibit lemah di kalangan mereka.”
Katya pernah mendengar Skent mengatakan ini. Si pak tua tahu banyak hal. Ada seorang pemasok yang menyelundupkan buku-buku dari Surga ke Ekavrata. Skent adalah salah satu pembelinya. “Ya, aku ingat. Mereka ingin menciptakan ulang para Maha Tuhan lewat proses evolusi.”
“Ya. Evolusi. Seleksi alam: yang lemah mati, yang kuat berketurunan.”
“Apa Maha Tuhan lebih kuat dari para Programer?”
“Melantur apa kau ini, Nak? Merekalah awal dari semua ini.” Skent mengibaskan tangan ke sekeliling dengan jengkel. “Sang Maha Pencipta, Sang Maha Tahu, Sang Maha Ada, dan Sang Maha Perkasa. Empat Programer super yang coba bermain Tuhan-Tuhanan dengan Dunia Baru.”
Katya pernah mendengar cerita Skent soal Dunia Purba. Ketika alam masih di luar kendali Manusia Tuhan. Ketika kekeringan terjadi karena kesialan belaka, ketika empat musim datang silih berganti, ketika badai menyapu segala hal tanpa membedakan mana yang patuh dan mana yang memberontak. Katya tak mampu membayangkannya. Kini di Dunia Baru, mulai dari suhu api di tungku sampai kapan salju turun, semuanya atas dasar keinginan para Manusia Tuhan.
Ibunya bilang dia pernah melihat hujan ajaib hingga ketika panen, orang-orang jatuh sakit karena mengakut terlalu banyak gandum. Ada kalanya juga, ketika para Tuhan sedang muram, mereka mengirimkan segerombolan belalang yang memenuhi langit bagai asap raksasa, menutupi matahari dan menggelapkan dunia.
Bumi sekarat, para penyair Jubah Hitam biasa berkata di rumah minum milik Gob. Matahari membengkak, tanah tercemar, samudra naik, ozon hilang, zaman es datang. Kalau kita tak mati kekeringan, kita mati kedinginan. Kalau kita tidak mati tenggelam, kita mati disengat radiasi. Kalau kita tidak mati kehabisan oksigen, kita mati kehabisan makanan. Kita masih hidup hanya karena Manusia Tuhan telah menaklukkan alam, kita masih hidup hanya karena Manusia Tuhan berbelas kasih. Nyaris separuh apa yang dikatakan si Jubah Hitam tak bisa Katya pahami.
“Apa kita akan sembunyi?” Katya menggosok-gosok kakinya yang kedinginan. Perapian bergolak penuh bara, tapi ada Tuhan yang memindahkan separuh panasnya ke tempat lain—ke tempat yang lebih layak diberi imbalan. “Mereka akan menghancurkan Ekavrata, kan?”
“Tidak secara langsung.” Skent mengeluarkan pipa rokoknya. “Mereka akan bertempur di sini, saling bantai. Kita cuma semut yang terinjak-injak di ring tanding. Tak dipedulikan.”
“Apa Ratu akan berbuat sesuatu?”
Skent mendengus. “Gadis kecil itu cuma bakal meringkuk ketakutan di kamarnya.”
“Kenapa mereka berbuat begitu?”
Bibir Skent mengerut. “Mendekat, Nak,” Skent mendesis. Katya menggeser kursinya dan merapat. Mulut Skent hampir bersentuhan dengan telinganya. “Para Tuhan mendengar soal pemberontakan.”
Jantung Katya nyaris melompat ke mulut, tapi Skent buru-buru mencengkeram lengan gadis itu. “Pemberontakan .... Ta-tapi ... kenapa? Bagaimana? Mustahil kita melawan para Tuhan—”
“Kita bisa, Nak.” Skent makin mendekat. “Dengan bantuan Sang Kurir, kita pasti bisa. Para Manusia Tuhan juga punya jantung, kepala, dan perut. Mereka mati ketika mereka dijagal—karena mereka masih manusia.”
“Untuk apa?”
“Untuk kemerdekaan.” Kata-kata tersebut terasa manis di telinga Katya. “Mereka takut kita bersatu. Takut kita melawan serempak. Mereka cuma segelintir. Kita banyak. Ramalan Sang Kurir akan tergenapi, dan nama Tuhan Sejati akan diingat kembali.”
Katya menatap kakeknya dengan terkesima. “Bagaimana kau tahu ini?”
Skent cuma mengedipkan mata.
“KAT! BANGUN, NAK!” Malam masih menjelang. Kegelapan membungkus udara. Lampu minyak Skent, kendati redup, terasa menyilaukan karenanya.
Katya membuka mata dan mendapati bahunya diguncang keras. Si gadis mengerang sakit. “Mmmm .... Apa, Kek?” Derap kaki kuda berlari terdengar samar-samar dari kejauhan. Kuda. “Kek? Ada apa?” ulang Katya, kali ini lebih panik.
“Mereka mendengarnya,” desis Skent. Dia buru-buru bangkit dan menjejalkan banyak hal ke tas kulit Katya: pisau baja, tambang rami, gulungan senar busur, mata anak panah, kantong air. Dia mengerang jengkel ketika melihat Katya masih bingung di atas kasurnya. “Bangun, Nak! Kau harus pergi!”
“Pe-pergi? Ke mana? Bagaimana dengan kau dan Ibu?” Katya menelan ludah. “Dan siapa mereka?”
“Manusia Tuhan.”
Katya menahan pekikan. “Mereka mendengar kita.”
“Aku bilang begitu barusan.”
“Bagaimana—”
“Tak penting. Ini salahku, Nak. Mereka memang manusia, tapi bukan berarti aku mesti meremehkannya.” Skent menyelempangkan jubah bulu beruangnya ke bahu Katya, lalu meloloskan selendang tas ke bahu si gadis. “Pergi ke barat,” Skent menunjuk timur. Si pria tua kelihatan masih ingin mengatakan sesuatu, tapi mati-matian menahannya.
Dia takut para Tuhan mendengarnya, sadar Katya, dan ketika itulah pintu rumah didobrak. Skent mengumpat dan melempar Katya ke dalam oven roti. Pintu besi terbanting menutup. Sisa-sisa bara tadi pagi sudah padam sempurna, tapi hawanya pengap dan penuh abu. Cahaya remang lentera menyusup lewat celah mungil di atas pintu.
Hidung Katya pengap oleh aroma ketakutan dan ketegangan, yang kemudian bercampur dengan bau manis yang serupa campuran dari bunga dan madu. *Bau Tuhan*.
“Siapa kalian!” Skent menjerit seolah-olah kedatangan para tamu benar-benar tak terduga. Terdengar suara Ibu terisak.
“Skent?” Suara pria. Dia terkekeh. “Oh, aku sudah lama mendengar suaramu, jadi aku penasaran dengan wajahmu.” Para Tuhan!
“Dia kira kita tak mendengarnya.” Kali ini suara perempuan. Nadanya agak bergetar, menggigil dingin. “Ehe, aku tak melihat cucu gadisnya.”
Hening sejenak, lalu suara pertama menimpal. “Aku mendengar lima detak jantung.”
“Dia masih di sini berarti.”
“Sebentar, Tuhan!” Ibu memelas. “Katya tidak ada hu—”
“Sebenarnya apa yang Anda dengar, ya Tuhan?” Skent cepat-cepat memotong perkataan Ibu. “Aku tak mengerti—”
“Tak perlu mengelak, Skent,” Tuhan pria mengejek. “Kami sudah tahu semuanya. Kami membiarkanmu selama ini supaya kau mengoceh lebih banyak.”
“Kami bukan iblis, Skent,” tambah Tuhan wanita, terdengar lirih. “Yang kami butuhkan hanya pengetahuanmu. Anak dan cucumu akan kami tawan, tapi mereka akan bebas tanpa luka kalau kau mau bekerja sama.”
Si Tuhan pria terkekeh. “Kami Tuhan, Skent. Kau kira membuat kalian tetap hidup di bumi yang sudah sekarat ini hal gampang? Kami tak akan semena-mena membantai peliharaan yang kami rawat dengan susah payah.”
Untuk beberapa saat, Skent tak menimpal. Katya bergerak, coba mengintip lewat celah di atas pintu tepat ketika Skent meludahi kaki sang Tuhan pria dalam posisi berlututnya. Para Tuhan. Mereka amat berbeda dari Katya, baik dari aroma maupun rupa. Mereka lebih tinggi, dengan kulit bersih mulus, rambut lebat berkilau, mata jernih, serta rubuh ramping. Mereka teramat rupawan dengan cara yang tak manusiawi.
“Setan saja kalau aku sudi, kalian Tuhan Semu!” Tangan Skent berkelebat, bilah belati mengkilap di sana begitu teterpa cahaya lampu.
Tuhan pria mengumpat dan menarik mundur Tuhan wanita, tapi Skent tidak menyerang mereka. Dia memotong lehernya sendiri. Terdengar suara korok, dan si pak tua terjungkal jatuh. Kaki berkelojotan menendang sepatu Tuhan pria. Darah menyembur dalam denyut, beberapa menciprat ke wajah Ibu. Dan dia pun menjerit.
“Monyet Darwin.” Tuhan pria menghela napas jengkel. “Jadi becek begini.”
Becek? Katya tak percaya dengan reaksi si Tuhan Semu. Dia ingin menjerit, seperti ibunya, tapi api amarah membuat paru-parunya sesak. Dia nyaris tak bisa menarik napas, lupakan soal bersuara. Lututnya lemas, bibirnya gemetar, pandangan berkaca-kaca.
“Fu?”
“Ya. Sebentar.” Tuhan wanita maju melewati Tuhan pria, berjongkok dan meraih leher Skent. Skent terperanjat bangun, tercekat dan tersedak napasnya sendiri. Dia menoleh pada Ibu, lalu pada kedua Tuhan. Tangannya menggaruk-garuk jakun, mencari bekas gorokan—tak ada.
Tuhan pria kembali terkekeh, tapi lebih dingin. “Kau kira kau bisa bebas begitu saja? Hah!” Dia meludahi kepala Skent. “Kalian tak bisa mati kecuali kami mengizinkan.”
Ibu roboh dari posisi berlututnya, tubuh terkapar ke lantai.
“Ini malah pingsan lagi!” Tuhan pria memijat pangkal hidungnya. “Demi Darwin. Kalian bisanya cuma buat masalah saja. Benar-benar tak tahu diuntung.”
“Skent, ikut kami,” pinta Tuhan wanita sembari mengelap tangannya yang berlumur darah dengan kain. “Ini sama sekali tak perlu jadi menyulitkan ataupun menyakitkan. Kami cuma butuh pengetahuanmu soal Laskar Sang Kurir.”
Skent menatap lututnya dengan kosong, setengah terpana, setengah tak percaya. Manusia hanya hidup sekali, maka karenanya, tiap napas mereka sungguh berarti. Tapi di hadapan Tuhan-Tuhan ini ... mati tak ubahnya bentol karena digigit nyamuk. Bisa disembuhkan dengan meludahinya saja.
“Katya,” panggil Skent lemah, bangkit berdiri dengan ringkih, “lari.” Dan si pak tua menendang lenteranya hingga pecah. Minyak memercik pilar-pilar kayu dan karpet jerami, api menjilat mereka sekejap kemudian. Terdengar umpatan dan sumpah serapah dalam kobaran yang kian meluap. “Lari, Nak!”
Katya menendang pintu oven, menghambur ke dapur dan melompat mendobrak jendela. Dia terbanting ke salju yang menumpuk, jatuh berguling-guling, cepat-cepat merangkak bangkit, menembus semak belukar menuju hutan. Timur, timur, timur. Dia mengingat di sela-sela napasnya. Timur. []
“Bahwa dahulu kala, ada masa gila di mana genus manusia hanya terdiri dari satu spesies tunggal yang tak memiliki saudara: Homo sapiens. Bahwa dahulu kala, ada masa gila di mana rakyat (demos) adalah pemegang kekuasaan (kratos). Bahwa dahulu kala, ada masa gila di mana manusia menyembah Tuhan Semu yang tak terlihat dan tak bicara. Kini, Tuhan (deus) hidup bersama kita, dan surga telah ditarik turun ke muka bumi. Kini, kitalah penguasa semesta.”—K. Eo, dalam The Old Ken.
FANPAN KEN MENYERUAK DARI SEMAK BELUKAR, berlari layaknya maling dikejar massa. Rasanya panas walau itu adalah siang hari di pertengahan musim semi abadi. Ada api tak tampak yang membakarnya dari dalam: menggolakkan lambung, menguliti jantung, mendidihkan darah. Dia melangkah dengan begitu mengenaskan, dengan iler yang terkatung-katung di sudut mulut, dengan ingus yang keluar masuk, dan dengan mata yang pedih oleh tangis dan cucuran keringat.
Dia nyaris buat celananya basah kuyup oleh urine. Untunglah, Fanpan sudah kencing sebelum pelarian terkutuk ini dimulai. Lebih tepatnya, dia memulainya sambil kencing.
Bagaimana ini bisa terjadi? Fanpan juga ingin tahu.
Jika kau lihat kondisi Fanpan Ken saat ini, yang bakal pertama kau pikir adalah: “Orang ini sudah lari puluhan kilo.” (Aslinya, dia belum lari tiga puluh meter pun.) Kau memandangnya sambil lalu, kembali ke kesibukanmu ... dan kau pun menyadari sesuatu. Kerut muncul di kening selagi kau menoleh untuk kedua kalinya, mengamati Fanpan lebih teliti. Segera, kau meralat kesimpulanmu yang pertama dan bilang, “Dia gembel.”
Oh ... tentu saja. Bagaimana mungkin orang berpikiran yang lain? Lihat Fanpan, lihat jubah hitamnya yang terkulai di lutut, lihat celana wol yang terkatung sejengkal jauhnya di atas mata kaki, lihat lengan kemejanya yang dilipat hingga sikut, lihat sandal jeraminya yang putus sebelah! Belum lagi fakta kalau seluruh kain hitam itu ada dalam kondisi yang ... menyakitkan mata: sudah lusuh, kusam, kotor, bertambal di sana-sini pula.
Yang berbusana macam begitu ... apalagi namanya kalau bukan gembel? Hanya orang buta dan orang teler yang tak bakal sependapat denganmu.
Sementara itu, si pemakainya .... Sulit untuk menentukan identitas si pemakai. Kau tahu dia laki-laki dari rambutnya yang dipotong pendek secara ngasal, juga dari bulu-bulu tipis yang jadi kumis, tapi umur? Dia terlalu tinggi bagi seorang bocah dan kelewat kerempeng bagi pria dewasa. Dia bergerak ringkih bagai pak tua, juga menjerit-jerit histeris laksana gadis perawan. Satu yang pasti: dia sipit. Itu unik. Republiken memiliki rupa-rupa warna mata: emas terang, hitam pekat, kuning pucat, merah terbakar, tapi jarang yang sipit.
“Anjing!” tak jauh di belakang Fanpan, seseorang mengumpat. “Jangan lari kau, bangsat kampret!”
Si pria sipit makin histeris. “Oh, Neraka!” sumpahnya di sela-sela napas kasar dan tenggorokan pedih. Fanpan meludah, mengumpat, menarik celananya yang merosot, lalu kembali mengumpat. Mereka keluar dari daerah hijau di pesisir sungai, memasuki jalanan batu rata di daerah pemukiman. Jalan batu. Mantap. Jatuh di sini, dan pecahlah jidatku. Fanpan Ken terkekeh sinting.
Di kedua sisi jalan, tampak barisan bangunan dari bata. Semuanya berlantai tiga, tak ada yang kurang, banyak yang lebih. Kanopi-kanopi terpal menjulur dari bagian depan tiap bangunan, menyediakan tempat teduh bagi kios-kios di bawahnya. Sekerumunan pembeli mengepung para pedagang di balik gerai, dengan pedati, kuda-kuda, dan lembu yang memadati jalanan.
“Tolong! Tolong! Tolong!” Fanpan menjerit-jerit seolah dialah korbannya, suaranya hampir tak terdengar di tengah hiruk pikuk kesibukan. Beberapa orang menoleh ke arahnya, tapi buru-buru berpaling. Siapa pula yang mau membantu seorang pria kerempeng dengan penampilan layaknya gelandangan?
“Kau malingnya, setan!” protes suara si pengejar, terdengar makin dekat. “Jangan pura-pura tak berdosa!”
Fanpan mengelak dari tiang lampu, menoleh. Tiga pria tampak di belakangnya. Tiga pria jangkung yang bertubuh sehat dan kuat. Jelas mereka tak kurang makan seperti Fanpan. Ada perbedaan rupa di tiap-tiap pria itu, tapi dalam satu hal mereka kompak: ketiganya sama-sama marah. Itu mengerikan sekali, terutama kalau biang keladinya adalah dirimu.
“Tolong!” Fanpan Ken menjerit makin kencang dengan suaranya yang sudah serak. Persetan dengan harga diri dan rasa malu! Kehormatan merupakan kemewahan baginya. Dia terlalu miskin dan lapar buat itu. “Tolong! Tol—” Fanpan gigit lidah sendiri sementara langkahnya terantuk kaki sendiri. Dia terpelanting, wajah menghampiri jalan batu.
Jidat pecah! Jidat pecah! Jidat—Jidat Fanpan tidak pecah. Alih-alih, dia tersungkur ke ember di pinggir jalan. Ember-ember itu mestinya diisi air guna memadamkan api di kala kebakaran. Mestinya. Di kenyataan, ember-ember dijadikan pembuangan tahi kuda, jeroan hewan para tukang daging, sampah, dan sekali-sekali air kencing.
Sulit untuk menentukan apakah itu untung atau sial, tapi “jelai mengerikan” di ember cukup kental untuk meredam hantaman. Seluruh wajah dan separuh dada Fanpan berlokot lumpur sampah; gantinya, jidat kotor pria itu tak jadi pecah. “Pah!” Fanpan menyembur dan menggosok wajah. Lumpur bau melebar ke telinga dan lehernya. Di sekitar, keramaian merapat penasaran dan membentuk dinding manusia. “Pah! Pah! Neraka!”
Seseorang meraih kakinya. “Balikin uangku, bangsat!”
Fanpan menoleh. Salah seorang dari pengejarnya rupanya. “Itu! Itu!” Fanpan menunjuk ke kiri. Semua orang menoleh ke sana. Ketika si pengejar ikut-ikutan berpaling, dia colok mata pria malang itu dan melepaskan diri.
Si pengejar mengumpat, coba tangkap si pria sipit. Sayang dia hanya berhasil menjambret ujung celana Fanpan, membuatnya merosot. Mati-matian Fanpan menahannya, lanjut jalan, tapi kemudian celana itu koyak diiringi bunyi seret yang mengerikan. Para penonton melotot, menjerit histeris kala menyaksikan pemandangan tak senonoh itu.
“Persetan, kalian!” Fanpan tersinggung, bersumpah dengan suara serak dan napas mengap-mengap. “Macam kalian punya paha yang lebih seksi, hah? Menyingkir!” Tak usah diperintah pun orang menyingkir karena takut ketularan kotor.
Fanpan bergerak dengan lancar. Di depannya, kerumunan membelah memberi jalan; untuk kemudian kembali merapat di belakang. Samar-samar dia bisa mendengar jeritan para pengejar yang tertahan di belakang kerumunan.
Merasa telah bebas, tawa Fanpan pun meledak sejadi-jadinya. Tuhan berkati aku! Tuhan berkati aku! Dia tersedak, lupa kalau perut dan jantungnya masih bergolak karena didera lelah. Untuk beberapa detik, Fanpan terbatuk, meludah, lalu muntah. Oh, Tuhan! Sarapanku! Sarapanku yang berharga! Buru-buru dia mengatupkan mulutnya, bergegas pergi dengan tubuh menunduk-nunduk. Orang-orang menyingkir dari hadapannya.
Lanjutkan rute ini dan dia akan tiba di Jalan Utara. Itu ide buruk. Di sana kawasan kalangan elit, tempat para Programer, senat, dan pejabat bermukim di kastel-kastel raksasa mereka. Di sana, di mana para Abdi senantiasa membersihkan jalan dan selokan dari tahi, kotor merupakan kejahatan yang patut dihukum. Utamanya kalau tak pakai celana. Mesti ambil jalan lain.
Jadi, setelah lewat beberapa bangunan, Fanpan Ken berbelok, masuk ke pintu. Papan iklan bergambar ranjang tergantung di atasnya. Penginapan. Lantai dasar berupa ruang umum, tempat orang makan dan memesan minum. Ruangan yang penuh sesak dengan meja dan belasan perapian, yang biasanya berisik, penuh hiruk pikuk Kaum Keruh.
Ketika itu, kedai memang sedang ramai dan riuh, yang kemudian langsung senyap tatkala seorang sipit tak bercelana masuk. Ada seorang pria di sudut, sibuk menggoda gadis pelayan dan berceloteh tiada habisnya. Butuh waktu baginya untuk menyadari keheningan di sekeliling, menoleh, dan dia pun jatuh dari kursinya. Sementara itu, di sudut yang lain, seorang bocah berusia tujuh tahunan duduk di samping ayahnya. Dia menonton paha Fanpan dengan pandangan terguncang, yang kemudian buat dia menjatuhkan gelas dan meledakkan tangis. Seorang nenek meremas dadanya dan jatuh kejang-kejang.
Fanpan menjilat bibirnya dengan malu-malu. “Aku ... aku pakai celana dalam,” ujarnya, lalu buru-buru melintasi ruangan sementara orang-orang masih terpesona. “Permisi. Permisi.”
Dia menghampiri pemilik penginapan—seorang pria gendut bercelemek dengan nampan makanan di tangan. Tepat ketika mulut si pria gendut terbuka, Fanpan menaruh batu gepeng ke saku celemeknya, cepat tanpa terlihat. “Untuk sedikit masalah yang kubawa.” Ujarnya sambil tersenyum. Dia mengambil satu butir batu lagi dari ikat pinggangnya, menggenggamnya, lalu menaruhnya kembali di saku si pemilik penginapan. “Untuk memperbolehkanku lewat dapurmu. Ya, cuma lewat. Terima kasih, Sobat.” Dan Fanpan pun melesat pergi, bergegas sebelum si pria dungu sadar bahwa benda di sakunya bukan koin.
Pintu dapur terletak di sudut ruangan, di samping panggung tempat para juru dongeng dan penyair unjuk gigi. Fanpan membukanya dengan kalem, melangkah lewat, lalu kembali menutupnya dengan lebih lembut. Kau tak akan percaya kalau gerakan itu dilakukan oleh seorang pria tak bercelana.
Oh, mantap gila! Aku bebas! Fanpan nyengir, mengusap sayang kantong uang yang tergantung di ikat pinggang, lalu berpaling dari pintu. Di lorong itu, tampak sepasang manusia, jantan dan betina, tergeletak di lantai, yang satu di atas yang lain.
“Oh.” Fanpan terkesiap, mundur setengah langkah, tangan di mulut. “Oh ... uh ....”
Keduanya kini menoleh pada si pendatang sipit: si wanita dengan mata berkaca-kaca dan pandangan memelas, si pria dengan mata menyalak dan pandangan galak. Itu jelas situasi di mana ada pihak yang ... “dipaksa”, tapi Fanpan tak peduli. Dia jarang peduli. “Maaf. Mohon maafkan aku. Cuma orang lewat.” Fanpan menunduk, menatap paha telanjangnya—pasangan itu ikut-ikutan mengalihkan pandangan ke sana. “Tak ada maksud untuk tak sopan. Celanaku sobek—”
Ketika itulah, secara sekilas, mata Fanpan menyapu jubah di punggung si pria. Sutra, warna putih, dengan huruf kuno “iez” tersulam di sana. Darwin ... jantung si Sipit mencelos, Programer. Dia cuma diberi satu kali kesempatan bernapas sebelum hawa dingin datang menyelimuti. Fanpan memekik, ingin melompat, tapi tak bisa. Kakinya terpaku ke lantai, membeku dari kulit sampai ke tulang. []
PARA PENJAGA MENJEPITNYA DI MASING-MASING KETIAK. Senapan terselempang di bahu mereka, menggantung dan berayun dengan tak nyaman. Si penjahat terkulai lemah di antara mereka, kakinya terseret-seret tak berguna di lantai batu, telanjang dan berwarna gelap karena radang dingin. Dia bersumpah serapah dalam bisikan. Selain itu, tak ada lagi yang bisa orang kerempeng ini mampu lakukan.
Hal pertama yang Denaes de’Iez perhatikan dari si penjahat adalah rupanya yang macam kain pel: lusuh, kotor, lagi basah. Pakaiannya yang dicelup hitam jatuh dengan berat, menampakkan postur tubuh seorang manusia kurang gizi. Rambutnya terkulai lepek, menempel pada kening dan pelipis, meneteskan titik-titik air ke lantai. Dan dia tak pakai celana. Denaes melongo.
Kemudian, semua itu jadi tak masalah lagi ketika si Inspektur mencium bau busuk yang menyengat. Denaes merasa seperti hidungnya kemasukan jarum.
“Komsos kutuk aku!” dia bersumpah serapah dan meludah ke asbak. “Kenapa dia basah? Kenapa dia bau? Kenapa dia tak pakai celana!”
Terlalu banyak pertanyaan. Salah seorang penjaga bertutur dengan terbata-bata, “Ma-maaf, Pak. Dia ... dia begitu kotor sewaktu putra Anda menangkapnya. Kami ... kami memandikannya, tapi sulit untuk menghilangkan baunya. Uh ... uh .... Mereka bilang dia tercemplung ke comberan ....”
“Ember,” betul rekannya. “Ember pemadam api.”
“Oh, ya ... ke ember air, Pak.”
Denaes mengumpat. Dasar Jubah Gelap! Tak pernah tahu peradaban! Pemerintahan Distrik-lah yang membagikan ember-ember itu secara cuma-cuma, menaruhnya di sisi-sisi jalan pasar yang padat. Dilakukan untuk membungkam keluhan seorang senat soal kebakaran yang kerap terjadi di kawasan kumuh. Dan sekarang apa? Mereka malah menggunakannya sebagai tempat buang air. Sungguh kelakuan yang patut dicontoh dari rakyat Republik Terakhir!
Para penjaga mendudukan si penjahat kurus di kursi bajanya. Mereka mengikat kaki, paha, perut, dan dadanya dengan sabuk kulit, sebelum akhirnya menjepit kedua tangannya ke pasung yang ditanam di atas meja. Si penjahat kelihatan masih linglung dan setengah sadar, jadi salah satu penjaga menjitak kepalanya. Dia terperanjat dengan cara yang berlebihan.
“Apa dia? Maling?” tebak Denaes, lalu mendengus dan meludah lagi. “Oh, ada yang bisa kita lakukan soal baunya?” Tak ada. Tentu saja. Ruangan interogasi dibangun di bawah tanah, tak berjendela dan tak punya ventilasi. Ditujukan untuk intimidasi. Satu-satunya hal yang menyamarkan bau yang menyengat itu adalah aroma asap lentera.
“Maling, Pak,” penjaga kedua menimpal hormat. “Dia mencuri uang dari seorang pemuda Jubah Hitam. Mereka berkelahi dan dia kehilangan celananya.”
Kenapa pula aku mesti mengurus hal remeh macam ini? “Uang? Berapa?”
“Dua ratus, Pak,” cetus penjaga tua takut-takut. “Korban bilang kalau orang ini mencuri dua ratus taaler pecahan kertas miliknya.”
Copet remeh. Gila. Aku urusan dengan copet remeh. Denaes harus mengingatkan diri berulang kali kalau dia menangani kasus ecek-ecek ini karena alasan yang lain betul.
“‘Korban’? Aku bahkan belum menentukan status mereka.” Denaes mengeluarkan sapu tangan untuk menutup hidung dan menoleh kembali pada si penjahat yang pecicilan. Tapi yah ... orang kerempeng ini macamnya cuma Abdi. Dia tak akan menang melawan tuntutan Jubah Hitam. “Siapa namamu, Nak?”
Untuk sesaat, yang keluar dari mulut kering itu hanyalah erang dan kemam berkumur. Ditatapinya tangan yang terpasung, dan pemahaman pelan-pelan terpancar di matanya. Uniknya, dia tak panik. “Fanpan ... Fanpan, Pak.”
Wajah Inspektur menggelap. “Kau main-main denganku, Nak.”
“Tidak,” si penjahat menimpal serak, gelagapan. “Itu ... itu namaku, Pak. Ya-yah ... mungkin agak kedengaran—”
“Berhenti mengada-ngada!”
“Tapi itu memang ada!” dia bersikeras. “Ayahku memang sedang kurang waras ketika aku lahir; memberiku nama menggelikan macam itu. Oh! Anda ... Anda bisa memeriksanya di daftar hak suara. Aku punya suara di Demikret ....”
“Kau Republiken?” Denaes nyaris terbelalak. “Nak, jangan kira kau bisa lepas ....”
Si pria kurus membalik lengan kanannya yang bersih dari Cap Abdi. “Dari klan Ken, Pak. Anda bisa lihat Teograf di jubahku. Bukan garis langsung, tapi aku masih keturunan Empat Maha Tuhan. Aku satu spesies dengan Anda.”
Mata Denaes berpindah-pindah dari wajah jelek Fanpan Ken dan Teograf di jubahnya. Bagaimana mungkin orang lusuh ini merupakan Republiken! itu yang pertama dipikirkan Denaes begitu sadar, lalu: Dia punya hak untuk membela diri! kemudian: Jubah Hitam menuntut Jubah Hitam. Oh, ini bakal jadi kasus yang merepotkan.
“Kau tahu apa kesalahanmu?” tanya Denaes.
Ketika itu, Fanpan masih mengeliat-geliut di kursinya macam orang cacingan. “Apa para preman itu membual tentang sesuatu, Pak?” Alis tebal pria itu bertaut. “Bolehkah aku menuturkan kejadiannya secara lengkap?”
“Kami tahu kejadiannya, Nak. Kau mencopet seorang Jubah Hitam. Dua lembar seratus taaler yang kau buang entah ke mana selagi kau kabur. Di jalan, kau mendorong seorang kakek-kakek ke selokan, menyikut bahu seorang gadis kecil, juga membunuh seekor kucing milik pedagang Jubah Kuning. Kalian berkelahi, kau kehilangan celanamu, kau kabur ke penginapan Rakyat Baik di Gang Abdi Pucat, dan kau menipu si pemilik penginapan—membayarnya dengan batu.” Dan di sanalah kau memergoki putraku, apa pun yang dia lakukan. “Apa aku mesti tepuk tangan? Pencurian, pencederaan, pembunuhan, perkelahian, perbuatan cabul, dan penipuan. Oh! Dan ditambah perusakan barang umum—kau menghancurkan ember milik distrik. Tujuh pelanggaran dalam sekali pekerjaan.”
Fanpan Ken menjilat-jilat bibirnya, mengerjap-ngerjap, menghisap ingus, kemudian menelan ludah. Sudah melihat akhir nasibmu? “Semua pelanggaran itu ada dalam konteks ‘pembelaan diri’, Pak.”
“Masa?”
“Bukan seperti itu ceritanya. Setidaknya, ada yang salah dengan awalannya.”
“Baik.” Denaes mengoper tangan yang menutup hidungnya. “Ceritakan padaku, Nak. Dengan cepat. Dengan detail. Sehingga aku tahu kau tak sedang membual.”
Fanpan Ken tersenyum masam. “Detailnya agak-agak kurang pantas, tapi begini. Aku sedang kencing ketika itu—”
“Demi Darwin—”
“Aku serius, Pak. Sumpah. Ini kisah nyata, bukan fiksi, jadi tentu awalannya tak sedramatis yang khalayak umum inginkan.” Si bocah Fanpan lanjut bicara sebelum Denaes menyela. “Aku sedang kencing ketika itu. Di sebuah gang dekat Deret Pengrajin. Pokoknya gelap-gelap dan sepi-sepi begitu.
“Tiba-tiba, aku mendengar suara perempuan menjerit. Aku berhenti kencing dan pergi menengok—rupanya ada seorang gadis yang tengah disudutkan tiga laki-laki cabul. Tiga itu ya yang tadi kejar aku, Pak.”
Denaes mendesah bosan. “Oh, aku tahu kelanjutannya. Kau coba selamatkan gadis itu dan buat ketiga pemuda cabul jengkel. Kau dikejar, tapi si gadis berhasil lepas. Begitu?” Denaes bertepuk tangan dengan tak terkesan. “Cerita yang klise. Pasaran sekali. Lain kali, pakai imajinasi kalau mau ngebacot.”
“Eeh ....” Fanpan Ken menjilat-jilat bibirnya yang kering. “Sebenarnya, bukan begitu, Pak.”
“Hoh? Benarkah? Coba buat aku terkejut.”
“Begitu aku melihat mereka, aku menjerit sejadi-jadinya.”
Denaes memang terkejut kala mendengarnya. “Menjerit?”
“Pak, aku bukan orang narsis yang suka keren-kerenan dan berlagak melindungi orang lain sementara melindungi diri sendiri pun sudah buat aku kesusahan.”
“Kau ... menjerit ... macam perempuan?”
Fanpan Ken membuka mulutnya lebar-lebar dan mengeluarkan pekik nyaring yang mirip-mirip teriakan makhluk sekarat. Denaes dan ketiga penjaga nyaris melompat dibuatnya. “Macam itulah, Pak.”
“Dasar kau goblok! Orang sakit!” Denaes menggosok-gosok telinga. Dengungan tajam masih terdengar di dalam otaknya. “Kau punya harga diri tidak? Macam banci saja.”
“Nah, Pak, realistis saja. Kala kecil, tubuhku kekurangan asupan protein. Otot-ototku tak berkembang dengan baik. Badanku kecil dan cungkring. Kalau aku sampai berlagak dan lawan tiga orang tadi, aku cari mati namanya.”
Sekali lagi, Denaes menatap muram lengan Fanpan Ken yang longgar di lubang pasungan. Nyaris cuma tulang berbalut kulit. Dia ada benarnya. “Kau tahu? Jangan kira hanya karena kau Jubah Hitam, kau bisa seenaknya membual di hadapanku. Kalau kau sampai terbukti berbohong, kau mampus.”
“Kalau aku memang berbohong, Pak, aku akan bilang sudah melawan tiga orang tadi untuk melindungi si gadis malang yang jadi korban cabul mereka. Biar lebih keren.”
“Kita lihat saja nanti.” Denaes melirik salah satu penjaga. “Panggil yang satu lagi masuk.”
Penjaga berkumis melompat keluar dan membawa masuk seorang pemuda bersamanya. Sekitar delapan belas tahun, dengan tubuh tinggi dan perawakan kasar. Dia berjalan pongah di samping status Jubah Hitam-nya, menatap benci pada pria kerempeng, lalu menunduk pada Denaes. Setidaknya dia memakai pakaian yang lebih bersih dan manusiawi: kemeja biru, jubah hitam, serta sarung tangan kulit lusuh. Pistol terselip di sabuknya.
Pistol. Denaes nyaris tertawa kala melihat betapa bangganya si Jubah Gelap dengan logam rapuh itu. “Siapa namamu?”
“Wayn Ykare, Pak.”
“Wayn, kau bilang kau telah kehilangan uang?”
“Ya, Pak. Dua ratus taaler kertas.” Wayn menunjuk Fanpan Ken dengan gerakan menghentak. “Dia yang ambil. Dua temanku yang jadi saksinya.”
Fanpan Ken memutar bola matanya. “Lain kali, pakai imajinasi kalau mau bohong.”
Wajah Wayn menggelap. “Kau bilang apa, Maling!”
“Aku cuma mengutip apa yang Inspektur Iez bilang.”
Seketika, Wayn menoleh pada Denaes dengan takut-takut, lalu kembali pada Fanpan. Lebih marah. “Jangan permainkan aku, Sipit! Pak! Dia yang mencuri uangku! Tak salah lagi!”
Denaes hendak melontarkan pertanyaan ketika Fanpan tiba-tiba mengerang, lalu menggeliat-geliat macam kucing. Kelakuannya begitu menjengkelkan sampai-sampai Denaes harus menahan diri untuk tidak menampar si manusia sipit. “Uang! Hah! Buat apa uangmu? Aku bisa buat uang sendiri kalau aku mau! Lagi pula, memangnya kau punya uang buat dicuri?”
Salah satu penjaga maju dan menahan Wayn yang murka. “Ayahku bekerja sebagai pengrajin emas perak di Jalan Cincin. Aku membantunya dan akan mewarisinya—”
“Jalan Cincin,” Fanpan memotong dengan geli. Mata sipitnya berbinar nakal. “Jalan kecil. Jarang dilewati orang besar. Oh, terima kasih, Sobat. Akhirnya kau mengaku juga.”
Mendengar itu, amarah Wayn surut seketika. Wajah gelapnya sekarang disusupi ekspresi resah. “Apa maksudmu?” Dia mundur setengah langkah dan buat Denaes berjengit.
Fanpan Ken memutar-mutar kepalanya. “Jalan Cincin. Pengrajin emas-perak? Sebuah perhiasan berkelas bisa punya ongkos ratusan taaler, tapi orang besar tak mungkin memesan perhiasan macam itu di sana. Oh, tidak. Terlalu kumuh.” Fanpan melirik pelan lawannya, mata terpejam sebelah. “Berapa harga perhiasan paling besar yang pernah ayahmu buat, Sobat? Kuyakin masih bisa dibeli dengan segenggam uang koin.”
“Memangnya kenapa, keparat?” Wayn coba memberanikan diri. Mulutnya agak gagu. Dia jelas merasa takut, tapi tak tahu alasan dia takut. “Apa hubungannya denganmu? Toko ayahku populer. Kami punya banyak pelanggan—”
“Nah, kau tak salah,” sela Fanpan. “Memang, pengrajin laris bisa saja dapat dua ratus taaler dari sana, tapi dalam bentuk dua lembar ....” Si Sipit menggeleng, seringai tersungging di bibir. “Memang siapa yang membayarmu pakai pecahan seratus taaler, hah!”
Darwin, alis Denaes berkedut, dia cerdik. Cerdik dan licik. Denaes mendapati Wayn yang masih bingung, tak menyadari posisinya yang di ujung tebing. Lima detik berlalu, si pemuda masih bertampang bego; lima detik berikutnya, keringat dingin pun membulir di wajah.
Dia menoleh pada Denaes, kemudian Fanpan, lalu Denaes lagi. “Pak Inspektur, uang itu aku dapat dengan menukarkannya di—”
“Kau menukarkan uang besar jadi uang pecahan, Sobat,” Fanpan bicara sambil berlagu. “Bukan sebaliknya. Apa kau benar-benar Jubah Hitam? Bego sekali, tapinya.”
“Pa-Pak, aku menukar—”
“Kau berbohong soal pencurian itu, Sobat. Akuilah.” Fanpan Ken memutar-mutar pergelangan tangannya di lubang pasungan. “Kau mengejarku karena aku mengganggu kegiatan mesummu.”
Dia mendapatkannya, pikir Denaes. Cuma orang culas sejak lahir yang mampu merangkai kebohongan di kala panik. Wayn Ykare, sayangnya, terlahir sebagai manusia jujur. Dia tergagap-gagap, dia takut, dia gemetar. Lalu kemurkaan menguasainya.
Wayn menarik pistolnya, menodongnya pada Fanpan Ken, jari menarik pelatuk. Tak terjadi apa-apa. Si pemuda kembali panik dan berulang-ulang menarik pelatuknya lagi, tapi percuma. Denaes telah memindahkan ledakannya ke tempat lain.
“Bawa pergi,” Denaes mengibaskan tangan.
Kedua penjaga buru-buru meringkus Wayn, menggagalkan aksinya untuk menggetok Fanpan dengan gagang pistol. Denaes menatap dingin pintu begitu Wayn diseret keluar ruangan. Denda lima ratus taaler, minimal. Jika Wayn adalah Abdi, dia sudah terkulai tak bernyawa di tiang gantung pagi nanti.
“Pak,” Fanpan menjilat-jilat bibirnya, kelihatan sudah tenang dan senang, “maaf mengganggu waktumu.” Dia memutar-mutar lengannya, memberi tanda halus untuk dilepaskan.
Denaes menaikkan satu alis. Fanpan Ken, kendati rupanya begitu mengenaskan layaknya mumi berusia ribuan tahun, adalah manusia licik tak terbantahkan. Ancaman ataupun suapan tak mengubah fakta itu. Dia berbahaya, terutama bagi putra Denaes. “Siapa bilang kau bebas, Nak?”
Sebesit kebingungan lewat di mata si sipit. “Pak?”
“Masih ada satu pelanggaran lagi, Bocah.” Denaes mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya. “Kau menyerang seorang Jubah Putih, Jon de’Iez—putraku.”
Fanpan terdiam. “Menyerangnya!” Dia tertawa mengenaskan. “Aku cuma orang lewat!”
“Orang lewat yang telanjang.”
“Oke. Setengah telanjang.”
“Bagian setengah yang paling parah.” Denaes melirik kaki Fanpan yang setipis ranting. “Kau Republiken, tapi menyerang Jubah Putih adalah kesalahan tak termaafkan. Kau menyerang calon Tuhan, Nak.”
“Aku tidak melakukan apa-apa! Sumpah! Aku cuma ....”
Cuma lewat dan memergoki Jon yang sedang berbuat cabul, Denaes melanjutkan kata-kata Fanpan yang terpotong. Fanpan tak memberi tanda-tanda kalau dia tahu. Dia sadar kalau pengetahuan itu akan memberinya masalah. Memang orang cerdik.
Si pemuda sipit menggeleng, berlagak dia lemah dan pasrah. “Pak, dengar, aku tak mau mengatakan ini karena kuyakin kau tak akan percaya. Tapi ... dengar: aku juga seorang calon Tuhan.”
“Kau kena delusi, Nak?”
“Aku aset negara!”
“Pasti gara-gara salah makan.”
“Aku mungkin suka salah makan kadang-kadang, tapi paling juga kena mencret paling parah. Tak sampai jadi gila.”
“Gila.”
“Sumpah! Aku tak ikut Institut, tapi aku lima tahun di Akademi! Aku berniat ikut Eksamen tahun ini! Anda ... Anda bisa cek ke mentorku.”
“Tenang saja. Aku tak akan membawamu ke hakim distrik.” Karena kuyakin kau akan menyebar aib putraku di sana. “Kau tak bakal mati.”
Fanpan Ken seketika panik. Darah hilang dari wajahnya. “Pak, tidak. Aku bersumpah tak akan—”
Seketika, tangan Denaes menyambar rahang Fanpan, mencengkeramnya kuat dan mantap. Denaes mengejang ketika kesadarannya menggapai Prosesor Semesta. Kelima indranya menyurut sementara pikirannya menjelajah labirin hukum alam dan menautkan diri dengan salah satu program kosmos, HetVektee.
“Setan ala—” umpatan Fanpan terputus; menyambung menjadi jeritan makhluk sekarat. Lebih dari yang tadi. Dia memberontak, coba lari, tapi tubuhnya tertanam di kursi dan meja. Kepala bergerak liar. Liur menetes deras dari mulut yang menganga; uap dingin datang menyusul kemudian. Tampak lidahnya yang kini hitam kaku, beku dengan butir-butir kristal es di permukaannya. []
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!