PENGKHIATAN CINTA
"Sebuah travel bus yang berpenumpang tujuh orang jatuh ke dalam jurang sedalam lima ratus meter dan tenggelam ke dalam sungai di daerah Pagar Alam Palembang. Kejadian ini terjadi kemarin sore, dan beberapa saksi mata menyatakan bahwa sebelum travel bus tersebut jatuh ke dalam jurang terlihat laju kendaraan seperti kehilangan arah. Tak lama kemudian terlihat kendaraan tersebut menabrak pagar di sisi jurang lalu terguling- guling ke dalam jurang lalu tercebur ke sungai dan tenggelam. Sampai siang ini kendaraan tersebut belum bisa ditemukan, dan masih terus dicari oleh tim SAR dibantu masyarakat setempat".
Maya dan adiknya Mega sedang menghadapi televisi saat berita itu disampaikan oleh pembawa berita.
Tapi mereka berdua tampak tak peduli, keduanya sibuk dengan ponselnya masing- masing.
Maya sibuk dengan grup chat teman sekelasnya, sementara Mega sibuk dengan game nya.
Ibu mereka Soraya sedang sibuk dengan laptop nya, dia sedang mempersiapkan materi yang akan disampaikan besok kepada mahasiswanya.
Di luar hujan cukup lebat, sehingga membuat hari minggu ini semakin malas untuk melakukan kegiatan apapun.
"Maya....Mega...apakah Papa ada menghubungi kalian? Soalnya sejak semalam tidak bisa Mama hubungi ponselnya," Soraya ingin tahu apakah suaminya ada menghubungi salah satu anaknya.
"Tidak Ma, ke Maya sih tidak, entah kalau Mega," sahut Maya sambil mata dan tangannya sibuk dengan ponselnya.
Mega diam saja tak menyahuti apa yang kakaknya katakan.
"Mega...apakah Papa ada kontak sama kamu sayang?" tanya Soraya kepada anak bungsunya.
Mega masih tak menyahuti ketika ibunya bertanya langsung kepadanya.
"Heh!!!" Maya melempar wajah adiknya dengan bantal kursi.
"Apaan sih Kak Maya?! Ganggu orang saja deh. Menyebalkan!" seru Mega kesal kepada kakaknya.
"Mama nanya sama kamu, ditelepon sama Papa tidak ?!" Maya juga berkata dengan nada tinggi.
"Oh...enggak kok. Papa kan biasa seperti itu. Paling juga meeting atau apalah, gitu aja kok repot," sahut Mega sambil kembali ke permainan game nya.
"Mama aneh sama kalian, setiap Papa keluar kota pasti kalian tak pernah peduli sama sekali. Giliran minta uangnya saja baru sok manja sama Papa kalian," ujar Soraya mencoba menyindir anak- anaknya.
"Ma, bukan kami tak peduli. Tapi kan sejak dulu kala juga kalau Papa keluar kota pasti susah dihubungi dan kalau sempat dihubungi jawabannya cuma sibuk, sibuk dan sibuk," kata Maya menanggapi pernyataan Mamanya.
"Iya sih, cuma memang agak aneh juga sih Papa sejak kemarin sore ponselnya tidak aktif sama sekali. Entah apakah memang sibuk sekali atau bagaimana yah," kata Soraya sambil merasa aneh.
"Biasa sajalah Ma, nanti juga pasti telepon sendiri. Paling bilang kemarin meeting dengan siapalah atau siapalah. Yang penting sih oleh-olehnya saja yang dibawa Papa dari luar kota," sahut Maya sambil acuh tak acuh.
Soraya hanya bisa menghela nafas saja melihat tingkah kedua anaknya.
Pernikahannya dengan Mario selama tujuh belas tahun ini merupakan sesuatu yang indah setiap harinya.
Mario memang kerap bekerja di luar kota karena dia adalah seorang insinyur pembangunan.
Saat ini ada beberapa proyek yang sedang dikerjakannya, ada tiga proyek sedang berjalan di Banten, Madura dan juga di Lombok.
Dia sering mendapat tender dari pemerintah untuk pembangunan jembatan atau irigasi, sehingga dia bisa berada di rumah sekitar seminggu itu pun sebulan sekali. Sisanya harus ada di luar kota untuk memeriksa semua proyeknya agar bisa selesai sesuai tengat waktu yang ditetapkannya pihak pemerintah.
Kemarin siang Soraya masih sempat berbincang dengan suaminya di telepon, kabar terakhir suaminya akan meninjau pembangunan jembatan di Madura yang letaknya cukup jauh di pedesaan terpencil.
Sebenarnya suaminya sudah berkata agar Soraya jangan marah kalau misalkan nanti suaminya akan sulit dihubungi karena kemungkinan di tempat pembangunan jembatan sedang berjalan agak susah sinyal.
Tapi kadang suaminya suka tidak menghubunginya tetapi menelepon anak-anaknya, dan seringnya suaminya lebih suka saling berkontak dengan Maya atau Mega dibanding dirinya.
Kedua anaknya pasti ingin tahu dimana ayahnya dan apakah ada sesuatu dari lokasi tersebut yang bisa dibawa dan diberikan kepada mereka berdua.
Sampai malam hari suaminya belum juga menghubungi, sesungguhnya hal seperti ini sering terjadi namun entah mengapa hari ini perasaannya agak sangat terganggu.
Tidak biasanya ada pikiran buruk mengganggunya, Soraya malam itu hanya bisa berdoa agar suaminya diberikan keselamatan dalam bekerja di luar kota sana.
Senin pagi Maya dan Mega turun dari lantai atas menuju ruang makan, Maya sekarang kelas satu di Sekolah Menengah Atas favorit di kota Depok dan Mega masih duduk di kelas tiga Sekolah Menengah Pertama.
Soraya sedang menyiapkan roti bakar selai untuk kedua anaknya, untuk Maya selai kacang dan Mega selai nenas.
Dua gelas susu juga sudah tersedia di meja makan, Soraya dan kedua anak gadisnya sarapan pagi bersama.
"Papa masih belum juga bisa dihubungi sejak kemarin, ada apa yah gerangan?"ujar soraya kepada kedua anak gadisnya.
"Mama lebai banget deh, paling juga Papa di hutan tak ada sinyal. Sudahlah Ma, jangan suka begitu nanti juga Papa pasti telepon," sahut Maya sambil mengunyah rotinya.
Mega diam saja sambil tetap makan roti buatan Mamanya.
Anak itu memang agak tidak peduli dengan apapun, agak introvert dan sulit diajak bicara.
Mau bicara kalau dia ada perlu atau ada yang mengganggu pikirannya dan memang harus dia sampaikan, kalau baginya tak penting maka dia tak akan ambil peduli.
Ketika selesai makan, mbak Mince baru datang sambil membawa belanjaan sayur dan ikan. Dia itu pembantu rumah tangga yang pulang sore hari, sebenarnya namanya Minah tapi Maya dan Mega menggantinya dengan Mince agar lebih kekinian.
"Mince, nanti kamu masak ikannya jangan terlalu pedas yah agar Mega bisa makan. Saya nanti pulang sehabis Maghrib karena banyak pekerjaan di kampus".
"Ini ada uang belanja dan lain- lain di kotak biasa yah, nanti saya pulang agak terlambat. Kamu kalau sudah beres, tak usah menunggu saya pulang. Silahkan saja pulang duluan," kata Soraya sambil meraih tas kerjanya dan juga kunci mobil sambil menjelaskan kepada Mince.
"Siap Nyonya, pokoknya Nyonya tahu beres saja deh," sahut Mince yang sudah bekerja di rumah mereka sejak lima tahun lalu.
Soraya tak banyak bicara lagi, segera ke garasi masuk ke mobil, Mince membuka pintu garasi dan pagar.
Kedua gadis kalau pagi hari diantar oleh Mamanya ke sekolah, tetapi pulang sekolah sendiri-sendiri karena jadwal mereka pulang berbeda.
Biasanya Mince akan pulang ke rumahnya kalau kedua gadis sudah pulang ke rumah, sudah makan siang, sudah mandi sore dan yakin keduanya sudah tidak butuh bantuannya baru dia pulang ke rumah.
Untung rumah Mince tak jauh letaknya dari rumah Soraya yaitu di kampung belakang, dan karena Mince cekatan kerjanya maka selama ini Soraya tak pernah pusing dengan urusan rumah.
Sesungguhnya Mince sangat merasa kasihan kepada Soraya, karena majikannya ini wanita yang baik hati dan sangat peduli kepada siapapun.
Soraya tidak pernah berkata kasar atau memperlakukan buruk kepada Mince, bahkan selama ini Mince merasa sudah dianggap saudara oleh majikannya itu.
Kedua gadis juga sangat baik, apalagi Mega yang paling dekat dengannya, dan selama ini antara Mince dan Mega menyimpan rahasia yang tak bisa diungkapkan kepada Soraya atau Maya kakaknya.
Waktu itu Mega sedang mencuci sepatu olah raganya, dan Mince sedang membongkar koper Mario yang baru pulang dari luar kota.
Semua pakaian kotor Mario dia buka dan periksa satu persatu, takut ada uang atau nota atau dokumen yang tertinggal di saku pakaian atau celana panjang.
Mince sangat terkejut sekali ketika melihat ada pakaian dalam wanita di dalam koper majikan lelakinya itu, sialnya saat itu Mega sedang membantunya setelah selesai mencuci sepatunya.
Saat itu Mega terdiam sambil melihat pakaian dalam itu, dia sangat yakin itu bukan milik ibunya karena dia sangat paham jenis dan merek yang selalu digunakan oleh ibunya.
Mega meminta Mince untuk membuang benda itu, lalu berlalu ke kamarnya meninggalkan Mince yang merasa kebingungan.
Disatu sisi ingin rasanya menanyakan langsung benda ini milik siapa kepada majikan lelakinya itu, tapi tak mungkin dia melakukan hal tersebut.
Melaporkan kepada Soraya tentu lebih mudah, tapi dia juga tak tega saat melihat kedua majikannya sedang duduk santai di ruang makan dan terlihat sangat mesra.
Soraya tengah menyuapi suaminya suatu makanan dan di sana juga ada Maya yang sedang tertawa gembira mendengar cerita yang tengah disampaikan oleh ayahnya.
Mince berjalan perlahan ke ruangan makan, berpura-pura mau menambahkan air panas ke dalam poci teh yang ada di atas meja itu sambil menatap majikan lelakinya.
Dan disana terlihat lelaki itu tengah menikmati kebersamaan dengan istri dan anak sulungnya, tak terlihat sedikitpun kalau sebenarnya lelaki itu menyimpan dosa besar.
"Mince, mana Mega? tadi dia bersama kamu kan di belakang?" tanya Mario Maliangkay majikan lelakinya.
Ingin rasanya ujung lidah ini bertanya benda tadi milik siapa karena dia paham itu bukan punya Nyonya Soraya.
"Tadi sih langsung naik ke kamar, mungkin mengerjakan PR nya Tuan," sahut Mince sambil rasanya ingin menyiramkan air panas yang sedang ada ditangannya ke wajah majikan lelakinya itu.
"Anak itu memang susah sekali untuk diajak kumpul, semoga saja kalau sudah SMA sih tidak begitu," keluh Mario kepada istrinya.
"Ya itulah Pap, anak kita yang satu itu memang unik," sahut Soraya sambil menghela nafas.
Dan saat itu Mario menarik bahu istrinya ke pelukannya kemudian mencium kening istrinya.
Tapi mulai hari itu juga Mince melihatnya sebagai suatu kebohongan, dan dia merasa sedih karena Soraya setidaknya sedang dikhianati oleh suaminya.
Sejak saat itu juga Mega semakin tertutup sampai sekarang, semakin sulit diajak bicara dan semakin jarang berkata apapun.
Sore ini Maya dan Mega sedang duduk menanti Mamanya pulang karena hujan sangat besar sekali dan petir juga terus bersahutan.
"Mbak Mince, jangan pulang dulu dong. Takut nih banyak petir, biasanya suka mati listrik," pinta Maya kepada Mince.
"Tenang, kalau hujan besar sih nanti Mince menginap saja di sini deh. Tapi kalau Mama pulang lebih cepat, Mince ijin pulang yah," kata Mince sambil duduk memeluk Mega yang diam saja sejak tadi.
"Kak Maya lihat berita di televisi tidak? Ada travel Bus masuk jurang lalu tenggelam ke dalam sungai di Palembang," ujar Mega kepada Maya.
"Sempat lihat sih, memangnya kenapa?" Maya berbalik tanya.
"Kok aku merasa kalau Papa ada di sana yah," sahut Mega dengan wajah penuh rasa khawatir.
"Papa itu sedang di Madura, kamu tahu peta tidak sih. Madura dimana letaknya dan Palembang juga ada dimana. Aneh banget kamu tuh Mega," tukas Maya dengan ketusnya.
"Iya Non Mega, kata Mama juga kemarin cerita ke Mince kalau Papa sedang ada di Madura. Katanya minggu depan baru mau pulang ke rumah," Mince juga berkata demikian agar Mega menjadi tenang.
Mega kembali diam, tapi entah mengapa hati kecilnya kembali berkata kalau ada sesuatu yang buruk sedang menimpa ayahnya.
Dan entah mengapa tragedi kecelakaan di kota Palembang yang diberitakan di televisi sangat membuat hatinya merasa kalau ayahnya menjadi salah satu korban dalam kejadian itu.
"Mega dengar kamu itu terlalu banyak membaca cerita seram dan juga menonton film horor. Jadi saja selalu berpikiran buruk," lanjut Maya sambil menatap tajam kepada adiknya.
Tiba-tiba terdengar telepon rumah berbunyi dan Mince segera beranjak untuk mengangkatnya.
"Selamat sore, kami dari Kepolisian Kota Depok mau menanyakan apakah benar yang kami hubungi ini berada di jalan Mawar nomor dua belas, kediaman Bapak Mario Maliangkay?"tanya seseorang yang diduga suara seorang Polisi dari seberang telepon sana.
"Betul Pak, apa ada yang bisa kami bantu?"tanya Mince dengan nada gemetar karena ditanya Polisi.
"Maaf saya berbicara dengan siapanya Bapak Mario?".
"Oh saya pembantunya Pak".
"Apakah istri Pak Mario ada di rumah?".
"Ibu belum kembali dari mengajar di kampus, mungkin agak malam katanya ada pekerjaan".
"Baik kalau begitu, tolong sampaikan kepada istri Bapak Mario kalau besok pagi kami dari Kepolisian akan datang menemui beliau," kata Polisi tadi meminta Mince menyampaikan kepada Soraya.
"Maaf Pak, ada apakah gerangan agar nanti saya sampaikan kepada Nyonya Soraya?"Mince minta penjelasan kepada Polisi tersebut.
"Nanti saja besok pagi kami akan langsung menemui istri Bapak Mario. Terima kasih atas bantuannya dan nanti tolong sampaikan apa yang kami ucapkan di telepon ini".
Kemudian Polisi tadi menutup telepon dari seberang sana dan Mince yang sekarang merasa kebingungan.
"Dari siapa sih Mbak?"tanya Maya.
"Dari....".
DUAAAAARRRRRRR!!!!!!!
Suara petir menggelegar sangat kencang sekali dan...
PET ...listrik mati seketika.
"Mbak Mince dimana!!!!" teriak Maya dan Mega berbarengan.
"Di sini dekat meja telepon, nyalakan senter di ponselnya Non !!!" teriak Mince kepada kedua gadis.
Lalu Maya menyalakan senter di ponselnya dan Mince berjalan ke arah mereka berdua.
"Mbak jangan pulang dong, kami takut," rengek Mega kepadanya.
"Iya Mince tidak pulang, Non Maya tolong dong telepon ke Ridwan, bilangin Mince menginap di sini," pinta Mince agar Maya menelepon Ridwan anaknya Mince.
Anak Mince sudah SMK kelas tiga jurusan mesin sepeda motor, namanya Ridwan dan anak satu-satunya. Mince dulu menikah sangat muda sekali, suaminya seorang buruh bangunan dan meninggal dunia saat terjatuh sewaktu ikut dalam tim pembangunan jalan layang.
Waktu itu Ridwan masih kecil, tapi Mince bertekad untuk tidak menikah lagi, dia takut kalau punya suami yang tidak sayang kepada anaknya.
Sekarang dia tinggal bersama ibunya dan juga Ridwan, untung Ibunya punya usaha warung sayuran sehingga setiap hari Mince bisa datang ke rumah Soraya sambil membawa sayur dan lauk dari dagangan ibunya.
Mince sekarang bekerja menjadi pembantu di rumah Soraya untuk memenuhi biaya sekolah Ridwan, anaknya itu berencana setelah lulus SMK akan bekerja di bengkel sepeda motor.
Tak lama tampak ada cahaya sorotan lampu mobil di depan pagar, Mince dan kedua gadis berbarengan membuka pintu pagar dan garasi.
Soraya memarkirkan mobilnya, dan listrik masih dalam kondisi padam.
"Ini sudah lamakah mati listriknya?"tanya Soraya saat turun dari mobilnya.
"Sudah lama, sudah sejak setengah jam yang lalu," sahut Mega sambil memeluk ibunya.
"Jadi Mince menginap di rumah sini? kamu tidur saja bersama di kamar Maya dan Mega yah. Kan kasur di bawah tempat tidur Mega bisa ditarik keluar," kata Soraya sambil masuk rumah dan tangannya merangkul bahu Mega.
"Nyonya sudah makan malam?"tanya Mince.
"Sudah tadi, ayo kunci semua pintu tampaknya akan lama mati listriknya. Kita ke atas saja semua, kalian masuk kamar dan tidur. Mama juga mau mandi lalu tidur," kata Soraya sambil mencium kepala Mega.
Kedua gadis naik ke atas duluan, dan Mince berjalan beriringan dengan Soraya sambil menyampaikan pesan telepon yang tadi dia terima.
"Polisi....hmmm...ada apakah gerangan. Kok aku jadi was-was begini yah," ujar Soraya dengan terkejut.
"Semoga bukan apa-apa Nyonya, jangan terlalu dipikirkan".
Soraya membawa lampu tanpa kabel ke kamarnya, dan satu lampu tanpa kabel juga dibawa Mince ke kamar kedua gadis.
Setelah mandi lalu Soraya berdoa kepada Tuhan meminta petunjuk semoga tidak terjadi sesuatu terhadap suaminya.
Esok paginya benar saja ada dua orang Polisi datang dan mengetuk pintu rumah Soraya.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi dan listrik baru menyala sekitar lima belas menit yang lalu.
Pagi itu semua tampak sibuk karena Maya dan Mega baru bisa mandi, karena air di tong penampungan habis jadi saat listrik menyala mereka harus rebutan air untuk mandi agar tidak terlambat ke sekolah.
Maya dan Mega turun dari kamar atas dan mendengar ibunya sedang berbicara dengan nada tinggi kepada tamu yang datang.
Keduanya mengintip ingin tahu siapa yang datang bertamu di pagi itu.
"Iya memang benar pak, tapi mungkin anda salah. Bukan Mario Maliangkay suami saya yang meninggal. Karena hari minggu siang kemarin suami saya menelepon dan mengatakan sedang ada di Madura. Dan pak Polisi mengatakan Mario Maliangkay meninggal di Palembang. Saya yakin kalian salah," kata Soraya sambil bibirnya bergetar karena mendapat berita kalau suaminya Mario Maliangkay telah meninggal dunia.
"Maaf Bu, ini data foto tanda pengenal yang kami terima dari Kepolisian Palembang. Disini tertera Kartu Penduduk atas nama suami anda dengan alamat di rumah ini. Dan sekarang jenazah masih ada di Rumah Sakit Kepolisian Palembang".
"Mohon Ibu bersedia menanda tangani berkas ini, agar jenazah dapat segera dikirim ke kota ini," ujar Polisi tadi sambil memperlihatkan foto kartu penduduk dan beberapa tanda pengenal milik suaminya.
Soraya menangis dan menjerit.
"TIDAAAAAKKKKK!!!!!!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Roberto Rino
.
2021-03-04
0