Hansen Maliangkay memiliki tiga anak lelaki sebagai buah cintanya dengan Regina Van Koenraad, seorang wanita cantik yang kakek moyangnya keturunan Belanda.
Robert, Mario dan Jimmy adalah nama ketiga anak mereka.
Robert si pendiam, Mario si playboy dan sedikit urakan, sementara Jimmy yang terpaut jauh dengan Mario adalah anak yang sangat mengidolakan abang Mario.
Regina saat usianya menjelang empat puluh tahun diberi kepercayaan lagi oleh Tuhan untuk hamil dan melahirkan Jimmy, sehingga jarak usia Jimmy dengan Mario adalah hampir sembilan tahun.
Tahun itu usia Mario sudah dua puluh tujuh tahun, dan sudah mendirikan perusahaan kontraktor sendiri walau masih kecil-kecilan.
Sementara Robert sang kakak yang merupakan dokter spesialis penyakit dalam atau internis, sudah berkeluarga dan punya satu anak lelaki.
Pak Hansen dan Ibu Regina ingin agar Mario juga cepat menikah, sebab mereka risih melihatnya, hampir setiap hari ada saja wanita muda datang mencari Mario dan mengaku sebagai kekasihnya.
"Papih, aku pusing melihat Mario. Pulang tengah malam, kadang sambil bau alkohol, lalu setiap hari ada saja wanita kemari mencarinya. Jangan kata kalau yang menelepon ke rumah dan mencarinya, hampir setiap jam aku angkat telepon dan pasti dari wanita mencari Mario ," keluh Ibu Regina yang tak habis pikir dengan kelakuan anak keduanya.
"Ya itulah anak kita yang satu itu, keras kepala dan susah diatur, apapun maunya sendiri saja. Sudah untung dia lulus sarjana juga walau terlambat, semoga usaha yang dia rintis sekarang tidak membuat masalah," kata Pak Hansen yang sama merasa pusing dengan tingkah Mario.
"Hansen...Regina...kemarin minggu waktu kebaktian di gereja, aku melihat ada anak gadis yang manis, namanya Soraya. Aku diberi tahu oleh Ibu Wawolangi kalau dia itu anaknya almarhum Bapak Wongso yang usahanya hancur saat kerusuhan Mei beberapa tahun lalu," tiba-tiba Oma Elisabeth Maliangkay yang merupakan Ibunya Pak Hansen masuk ke ruangan itu.
"Mama, silahkan duduk di sebelah sini," kata Ibu Regina mempersilahkan ibu mertuanya yang bari datang untuk duduk bersama.
Kebanyakan orang ada yang memanggil beliau dengan sebutan Nyonya Maliangkay tapi anak muda biasa memanggilnya Oma Maliangkay.
Adat budaya orang Manado selalu memanggil dengan nama keluarganya kepada orang tua.
"Ibu Wawolangi kan teman baik denganku, beliau bilang kalau Soraya itu gadis baik yang hidupnya prihatin. Ibu Wongso kan sekarang jalan kaki juga susah, habis jatuh kecelakaan sewaktu mau menjemur pakaian," lanjut Oma Elisabeth Maliangkay meneruskan ceritanya.
"Pak Wongso kan meninggal dulu setelah toko dan usahanya habis dibakar massa, dan balik berhutang ke bank. Untung sudah lunas karena ada asuransi, tapi sekarang hidup istri dan anaknya sangat prihatin".
"Istri Wongso selama ini menjadi pembantu harian di beberapa rumah dan juga menjadi buruh cuci setrika pakaian orang-orang. Nah, Soraya anaknya kerja di toko apa yah aku lupa, dan malam hari anak itu kuliah," Oma Elisabeth sangat antusias menceritakan tentang seorang gadis bernama Soraya.
"Jadi apa maksud Mama bercerita tentang keluarga pak Wongso ini?" tanya Pak Hansen tampak tak paham.
"Mama mau menjodohkan anak gadis bernama Soraya itu dengan Mario," kata Oma Elisabeth dengan mantap.
Ibu Regina menghela nafas dan berkata," Mama, maafkan Regina tapi kan Mama juga paham bagaimana anak itu, mana mungkin menjodohkan dia dengan gadis sebaik itu".
Pak Hansen juga hanya bisa geleng-geleng kepala, bukan senang tapi takut kalau anaknya nanti malah akan menyakiti hati anak orang saja.
"Mama, mereka itu orang tak mampu, lalu kita akan coba menjodohkan dengan Mario, yang ada nanti malah gadis itu akan sedih. Sudah tak mampu malah nanti hanya akan dijadikan bahan permainan saja oleh Mario," ujar Pak Hansen yang merasa hal itu mustahil untuk dilakukan.
"Mama yang akan bergerak, nanti Mama yang atur. Karena Mama yakin kalau gadis itu yang akan meluluhkan hati cucuku Mario," kembali Oma Elisabeth menegaskan dengan semangat.
"Robert tidak ikut-ikutan yah, kalau sampai Mario bikin ulah nantinya," kata Robert yang ternyata tadi datang bersama Oma Elisabeth.
"Ya sudahlah, bagaimana Oma mu saja Robert, Papih dan Mamih juga khawatir kalau nantinya Mario malah akan mencoreng nama keluarga," keluh Pak Hansen sambil menghela nafas panjang.
Tapi Oma Elisabeth berbeda, beliau sangat semangat ingin menjodohkan Mario dengan gadis bernama Soraya itu.
Hingga suatu sore sengaja Oma Elisabeth meminta Mario datang ke rumahnya.
Oma tinggal di rumah sendiri hanya ditemani pembantu, beliau tak mau tinggal bersama anak dan menantunya.
Hobbynya berkebun dan membuat kue, bahkan di hari tuanya juga masih saja membuat kue untuk dibagikan di gereja.
"Oma, ada apa sih? Kok tumben ingin pergi dengan Rio?"tanya Mario sambil memeluk dan mencium kening neneknya.
"Oma kangen saja, sudah lama tidak pergi denganmu. Selama ini selalu Robert yang mengantar Oma sambil sekalian jalan ke rumah sakit, atau Papih dan Mamihmu yang mengantar Oma berobat," sahut Oma Elisabeth sambil mengelus wajah cucu keduanya yang paling bandel ini.
"Memangnya Oma mau kemana sama Rio? Ayo Rio antar, maafkan Rio yah Oma kalau jarang sekali menemani Oma".
"Tidak apa-apa, Oma paham kamu sibuk, hanya sekarang Oma ingin diantar ke rumah teman lama. Namanya Ibu Wongso, katanya dia sakit habis jatuh dan sulit berjalan," kata Oma Elisabeth meminta Mario menemaninya.
Dalam hatinya Mario merasa pasti akan membosankan kalau mengantar neneknya ke rumah kawannya, terbayang dia harus mendengarkan obrolan nenek-nenek.
Tapi sudah janji dengan neneknya, sehingga tak mungkin kalau menolaknya sebab sang nenek sangat berharap diantar oleh dirinya.
Sambil merasa enggan dia akhirnya mengantarkan juga neneknya menuju rumah kawan lamanya.
Menuju rumah kawannya itu harus parkir di jalan yang tidak terlalu besar tapi cukup untuk lintasan dua kendaraan.
Lalu mereka harus berjalan lagi menyusuri gang kecil yang padat dan agak sedikit kumuh.
Rumah kawan lama sang nenek cukup jauh dari jalan di depan, setelah berkelok dua kali baru ketemu.
Sebuah rumah yang temboknya sudah mengelupas sana sini, atap depannya hampir roboh karena kena ditempa panas dan hujan.
Oma mengetuk pintu rumah itu, dan tak lama pintu terbuka dengan diiringi suara deritan karena pintunya mulai lapuk.
"Astaga Nyonya Maliangkay, apa kabarnya? ada angin apa yang membawa Nyonya sampai kemari?" sambut seorang ibu yang jalannya diseret karena kakinya kirinya terlihat membengkak.
"Ibu Wongso apa kabarmu? sudah lama tak jumpa di gereja, jadi kemarin aku tanya Ibu Wawolangi dan katanya Ibu Wongso sakit kakinya," sahut Oma Elisabeth sambil memeluk Ibu Wongso.
"Silahkan masuk Nyonya, maaf gubuk kami kotor sekali. Tapi memang ini keadaan kami, Nyonya dan tuan muda mau minum teh hangat?" sambut Ibu Wongso sambil menawarkan minuman hangat untuk kedua tamunya.
"Tak usah repot, duduklah di sini, aku hanya ingin menjenguk saja. Maaf Ibu Wongso tinggal bersama siapa di rumah ini?"tanya Oma Elisabeth yang merasa kasihan melihat kondisi Ibu Wongso.
"Oh, saya tinggal bersama anak gadis saya, namanya Soraya. Dia sebentar lagi pulang, kerja di toko sembako di dekat pasar. Dia bagian gudang, jadi setelah toko tutup jam empat tadi masih harus berkutat di gudang memeriksa barang yang keluar dan masuk pada hari ini," Ibu Wongso menjelaskan pekerjaan anak gadisnya.
"Oh anak gadismu tidak kuliah selama ini?"tanya Oma Elisabeth.
"Kuliah Nyonya, sudah selesai, tinggal membuat skripsi. Tapi dia minta cuti dulu setahun ini, mau mengumpulkan uang dulu untuk skripsi dan wisuda nya nanti. Sambil sebagian gajinya dia pakai untuk membeli obat untuk kaki saya," jawab Ibu Wongso apa adanya.
Tiba- tiba terdengar bunyi halilintar pertanda akan turun hujan.
"Maaf Nyonya Maliangkay, saya mau mengangkat jemuran dulu di belakang. Takut tersiram air hujan lagi," kata Ibu Wongso sambil beranjak berjalan perlahan menuju halaman belakang rumahnya untuk mengangkat jemuran pakaian.
"Rio, ayo kau bantu ibu Wongso, kasihan kakinya sakit begitu harus mengangkat jemuran pakaian banyak sekali," perintah Oma Elisabeth ketika tahu jemuran pakaian yang akan diambil Ibu Wongso sangat banyak sekali.
Mario segera bangkit berdiri dan berlari membantu Ibu Wongso mengangkati jemuran pakaian yang ada di halaman belakang.
Itu senangnya Oma kepada Mario, walau anaknya bandel tapi kalau Oma minta tolong sesuatu pasti akan segera dia lakukan dan apapun yang Oma minta pasti akan dia turuti.
Untuk itu Oma juga tahu dan akan selalu berusaha memberi yang terbaik untuk Mario cucu kesayangannya.
"Saya simpan dimana Bu Wongso semua pakaian ini?" tanya Mario.
"Maaf tuan muda jadi merepotkan yah, di sini saja di meja ini, biar nanti anak saya yang akan merapihkannya. Terima kasih banyak tuan muda sudah membantu," ujar Ibu Wongso merasa tak enak hati telah dibantu oleh Mario.
"Tidak apa-apa Bu, selagi saya bisa membantu," sahut Mario sambil tersenyum tapi hatinya merasa sedih melihat kondisi Ibu Wongso.
"Kaki ibu kenapa bisa begitu?"tanya Mario sambil jongkok dan melihat kaki bengkaknya Ibu Wongso.
"Saya jatuh kemarin ini, ada sekitar dua bulan yang lalu. Tulangnya mungkin retak, dokter di Puskemas menyarankan untuk dibawa ke dokter spesialis tulang," kata Ibu Wongso menjelaskan.
"Lalu mengapa Ibu belum ke dokter spesialis tulang itu?" tanya Mario lagi.
"Kami tak ada biayanya, kasihan Soraya dia harus kerja mati-matian untuk menyembuhkan kaki saya ini," kata Ibu Wongso mulai menitikan air mata.
"Ibu yang sabar yah, siapa tahu akan ada jalan untuk mengobati kaki ibu," kata Mario ikut sedih sambil menepuk lengan atas Ibu Wongso.
Lalu mereka kembali ke ruang tamu di depan, dan Oma Elisabeth mendengar pembicaraan cucunya tadi dengan Ibu Wongso.
"Mama....Aya pulang!!!"teriak seorang gadis sambil masuk ke dalam rumah, seluruh tubuh dan pakaiannya basah kuyup karena kehujanan.
"Astaga ada tamu, maafkan saya Nyonya, maafkan saya tuan," ujar Soraya sambil membungkukkan badannya kepada Oma Elisabeth dan Mario.
"Ini anak saya Nyonya, namanya Soraya," kata Ibu Wongso mengenalkan anak gadisnya.
"Ya aku tahu, kasihan kamu, sudah sana mandi nanti sakit loh, kamu basah kuyup kehujanan," ujar Oma Elisabeth merasa kasihan melihat Soraya.
Lalu Soraya pamit ke belakang untuk mandi membersihkan badannya.
Mario cukup terkejut ketika melihat gadis yang tampak polos dan lugu, jarang dia melihat gadis seperti itu.
Tak lama Soraya selesai mandi, rambutnya masih basah sehabis keramas dan dia membawa teh manis hangat untuk tamu dan juga ibunya.
"Cantik juga anak ini, gadis baik-baik tapinya, mana bisa aku goda," ujar Mario dalam hatinya.
"Silahkan diminum teh nya, selagi hujan begini enak minum yang hangat," kata Soraya dengan senyum manis.
"Gila..., manis banget itu senyumnya, sayang barang original tak bisa aku apa-apa kan deh," jerit Mario dalam hatinya.
"Mengapa kamu tidak meneruskan kuliahmu, nak Soraya ?" tanya Oma Elisabeth.
"Saya cuti dulu nyonya, nanti tahun depan saya baru akan selesaikan skripsi. Karena biaya skripsi dan wisuda cukup mahal. Belum lagi obat untuk mama, saya harus menabung dulu," jawabnya dengan ringan dan tetap tersenyum.
"Maaf Nyonya, sambi mengobrol saya menyetrika pakaian yah. Agar besok bisa diberikan kepada orang yang akan menggunakannya," ujar Soraya sambil memasukan kabel listrik untuk menyetrika pakaian tadi.
"Sebanyak itu pakaian siapa dik?" tanya Mario keheranan.
"Oh ini pakaian orang tuan, saya kan buruh mencuci pakaian dan menyetrika pakaian juga, lumayan untuk makan sehari-hari. Kebetulan di dekat sini ada tempat kost karyawan, jadi kami yang mencucikan dan menyetrika pakaian mereka," sahut Soraya menjelaskan.
Mario manggut-manggut memahami keadaan ekonomi keluarga Ibu Wongso ini.
"Kamu tak makan nak Soraya?" tanya Oma Elisabeth yang merasa aneh sebab orang pulang kerja langsung bekerja lagi menyetrika pakaian.
Biasanya di keluarga Oma Elisabeth, anak dan cucunya pulang kerja atau pulang sekolah pasti langsung makan karena sudah tersedia makanan di meja makan.
"Nanti saja, saya belum lapar," sahut Soraya berbohong padahal perutnya keroncongan.
"Hujan sudah reda, Mario ayo kita pulang," ajak Oma Elisabeth.
Mario menganggukan kepalanya.
Oma mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
"Ibu Wongso, Nak Soraya, maaf yah ini saya beri sekedar bantuan untuk pengobatan Ibu dan juga untuk menambah biaya kuliah Soraya," kata Oma sambil menyerahkan segepok amplop tebal kepada Ibu Wongso.
Melihat itu Soraya segera meraih amplop tebal itu dan bersimpuh dihadapan Oma Elisabeth.
"Nyonya, maafkan kami, sepertinya kami tidak bisa menerima uang sebanyak ini. Bukan kami sombong tapi kami tidak akan bisa membalas budi Nyonya atas bantuan ini nantinya," kata Soraya sambil mengusung amplop tadi untuk dikembalikan kepada Oma Elisabeth.
"Soraya, ambillah. Ini bantuan untuk kalian, memang suatu saat kamu harus membayar kepada saya bantuan ini. Tapi bukan dengan uang," kata Oma Elisabeth sambil tersenyum.
"Nyonya dengan apa saya harus membayarnya, saya mau bekerja mengabdi di rumah nyonya. Saya mau menjadi pembantu di rumah nyonya, karena sudah menolong kami seperti ini," kata Soraya dengan semangat.
"Nanti akan aku beritahu, kamu tak usah menjadi pembantu di rumahku. Tunggu saja nanti aku akan kembali lagi kemari untuk memintamu membayar apa yang sudah aku lakukan kepada kalian," kata Oma sambil senyum.
"Terima kasih nyonya, sekali lagi terima kasih dan saya janji akan menyanggupi apapun yang nyonya minta sebagai bayaran atas bantuan ini".
Lalu Oma Elisabeth dan Mario pamit pulang kepada Ibu Wongso dan Soraya.
Di dalam mobil Mario bertanya kepada neneknya.
"Oma, mau menagih apa kepada mereka. Aku yakin mereka tak akan sanggup membayar uang sebanyak itu kepada Oma".
"Aku tak akan menagih uang itu, tapi kesanggupannya untuk memenuhi apapun yang aku inginkan,"kata Oma dengan senyum lebar.
"Memangnya Oma mau meminta apa kepadanya?".
"Oma ingin mengawengkan ngana deng gadis itu, torang berdua cocok menjadi suami istri".
(Oma ingin menikahkanmu dengan gadis itu, kalian berdua cocok menjadi suami istri)
Mata Mario membulat karena terkejut dengan apa yang Oma katakan, dia tak menyangka kalau neneknya akan berkata demikian.
Sementara di rumah Soraya dan ibunya sedang menangis berpelukan, keduanya bahagia mendapatkan rejeki yang tak disangka sehingga bisa untuk membawa ibunya ke dokter spesialis tulang.
Seminggu kemudian Soraya membawa ibunya ke gereja, kali ini Ibu Wongso bisa beribadah dengan didorong kursi roda oleh anaknya.
Kakinya juga sudah di bungkus gips, pertanda sudah ditangani oleh dokter spesialis tulang dengan benar.
Selesai ibadah, Soraya mendorong ibunya untuk menemui keluarga Maliangkay yang saat itu sedang berbincang-bincang dengan penatua gereja.
"Maaf Nyonya dan Tuan, kami mau mengucapkan terima kasih atas bantuan dari Nyonya Maliangkay. Mama saya sudah ditangani dokter ahli, sekali lagi kami sangat berterima kasih," ujar Soraya sambil membungkukkan badannya layaknya orang Jepang.
Kedua orang tua Mario mengiyakan dan kemudian mengajak Ibu Wongso dan penatua gereja berbincang.
Mario bersama adiknya juga sedang ada disitu, keduanya duduk tak jauh dari orang tuanya.
"Bang, sumpah Bang...putih mulus begitu, kalau aku sih mau loh. Mantap Bang, pasti seksi kalau buka baju yang begini sih," kata Jimmy sambil menatap Soraya.
"Bodoh kau, anak SMA banyak tingkah. Sok tahu, pasti kau suka menonton film dewasa," kata Mario sambil menjitak kepala adiknya.
"Ah, aku kan cuma lihat sedikit di laptop abang kok," tukas Jimmy yang membuat Mario kaget.
"Bocor kau memang, enak saja lihat laptop orang. Awas kau kuadukan sama Papih dan Mamih," kata Mario kesal.
"Silahkan saja, nanti pasti abang juga kena, soalnya menyimpan film begitu di laptop...wew...".
"Awas yah kau, sempat kau buka lagi laptop ku, nanti ku hajar kau".
Jimmy hanya cekikikan saja melihat abangnya, dan dia tahu kalau abangnya diam-diam memperhatikan gadis yang bernama Soraya itu.
Lantas Jimmy iseng dan mendekati Soraya, lalu berkata," Kak Soraya, kenalkan aku Jimmy adiknya Bang Mario. Kata Abang salam manis buat Kakak".
"Hai, senang kenal denganmu. Salam manis lagi untukmu dan abangmu juga yah," sahut Soraya dengan polosnya.
Kedua orang tuanya dan Ibu Wongso menatap Jimmy yang sedang berbincang dengan Soraya.
"Kakak Soraya cantik ya, senang punya kakak ipar seperti kakak," lanjut Jimmy yang tentunya membuat Mario melotot ke arahnya.
"Ipar...hahaha...becanda," kata Soraya yang risih mendengar kata itu.
"Jimmy...sini," Ibu Regina memanggilnya dan otomatis Jimmy pamit kepada Soraya.
Lalu Jimmy mendapat jeweran di telinganya oleh Mamihnya.
Pulang gereja keluarga pak Hansen berkunjung ke rumah Oma yang katanya sedang tidak enak badan.
Di sana sudah ada Robert yang tengah memeriksa kondisi Oma Elisabeth.
Semua duduk mengelilingi tempat tidur Oma Elisabeth yang saat itu kelihatan lemas sekali.
"Ini gejala jantung lagi, Oma sedang memikirkan apa sih?"tanya Robert kepada neneknya.
Oma Elisabeth menghela nafas, lalu menatap Mario.
"Oma ingin Rio menikah, mungkin umur Oma tak lama lagi, alangkah senangnya kalau diberi kesempatan melihat Rio menikah".
Semua mata langsung menatap Mario, dan tentu saja dirinya menjadi merasa tak enak hati.
"Iya Oma, padahal Kakak Soraya itu cantik loh. Jimmy juga kalau usianya lebih besar sedikit lagi saja pasti mau sama Kakak Soraya".
Mario diam saja tak bicara apapun.
"Ya cantik anak gadis itu, dan Oma minta kamu harus menikahinya. Sudah berhenti mempermainkan hati wanita, cukup kau harus menikah dengan Soraya".
"Atau ngana ingin melihat ngana pe oma menjadi hoga penasaran karena mati sebelum melihat ngana kaweng," lanjut Oma sambil menatap tajam ke arah Mario.
(Atau kau ingin melihat nenek menjadi hantu penasaran karena mati penasaran sebelum melihatmu menikah)
Mario terdiam, begitu juga kedua orang tuanya, karena melihat kondisi Oma begitu mengkhawatirkan lalu Mario berkata.
"Baik, Rio mau menikah dengan Soraya, karena Rio yakin dia wanita yang baik".
Semua yang di ruangan menghela nafas lega, akhirnya ada kalimat seperti itu meluncur dari bibir Mario.
Soraya dan Ibunya terkejut sekali ketika Oma Elisabeth, beserta seluruh keluarga Hansen Maliangkay mendatangi rumah mereka.
Dan lebih terkejut lagi saat Oma mengatakan menagih janjinya kepada Soraya untuk membayar apa yang sudah diberikan oleh Oma.
"Bukan aku minta kembali uang, tapi aku minta kesanggupanmu yang akan memenuhi permintaanku," kata Oma Elisabeth kepada Soraya.
"Baik Nyonya saya siap".
"Jangan panggil aku Nyonya, panggil aku Oma".
"Baik Oma, apa yang Oma inginkan dariku maka aku siap melakukannya".
"Menikahlah dengan cucuku Mario".
Mata Soraya membelalak, tangan dan kakinya gemetaran.
"Tapi maaf Oma, bukankah untuk sebuah pernikahan itu harus ada rasa cinta. Saya perempuan mungkin bisa menjalaninya tetapi lelaki belum tentu bisa. Kasihan tuan muda Mario kalau harus memaksakan perasaan kepada saya," ujar Soraya sambil merasa bingung dengan permintaan ini.
Di sini Mario yang terkejut, sedari tadi dia berpikir kalau wanita miskin seperti Soraya pasti akan bahagia saat mendengar akan dijodohkan dengan dirinya.
Tapi wanita ini lain, dia ingin menolak bahkan dengan kalimat yang sangat bijaksana.
"Memangnya apa yang kamu pikir tentang Mario?" tanya Oma Elisabeth lagi.
"Maaf Oma, seorang lelaki pasti akan lebih bahagia hidup dengan wanita pilihan hatinya. Kasihan nanti tuan muda Mario kalau menikahi saya dan ternyata saya tidak bisa memberikan kebahagiaan kepadanya".
Mario takjub mendengar apa yang dikatakan oleh Soraya.
"Jujur saja Soraya, apakah kamu sudah punya kekasih?"
tanya Ibu Regina sambil menatap wajah Soraya.
"Maaf Nyonya Regina, saya belum punya kekasih. Hanya saja kemarin kami mendapatkan bantuan dari Oma sehingga mama saya bisa berobat ke dokter ahli yang mana sebelumnya kami tak mampu untuk membayar biaya pengobatan tersebut".
"Saya berjanji kepada Oma, kalau misalkan saya harus menjadi pembantu di rumah keluarga Maliangkay juga saya bersedia".
"Tapi ketika sekarang saya diminta menjadi bagian keluarga Maliangkay tentu sangat berlebihan untuk saya. Maaf saya tak layak dan tak berani menerima tawaran ini. Saya tidak mau tuan muda Mario akan menderita bila menikah dengan saya".
Mario duduk sambil melipat kedua tangannya di atas dada, lalu senyum-senyum sendiri sambil memandang ke semua orang yang ada di ruangan itu.
Robert sebagai kakak sulung merasa yakin Mario akan senang dengan penolakan Soraya, karena di matanya wanita sebaik Soraya bukanlah selera adiknya.
Mario memegangi dagunya dengan tangan kirinya seakan berpikir sesuatu, sementara suasana ruangan hening tak ada satupun yang berkata-kata.
Lalu Mario menatap Soraya dan berkata," Kalau aku sendiri yang minta kamu menjadi istriku bagaimana?".
Soraya terkejut, lalu menatap Mario sambil matanya membulat tanda tak percaya.
Yang pasti tiga bulan sejak kejadian itu, tepatnya tanggal sebelas januari tahun dua ribu satu merupakan hari yang berbahagia.
Hari pernikahan Mario dan Soraya, pemberkatan nikah dan resepsi diadakan di gereja tempat ibadah mereka.
Dan hari itu juga sahabat Soraya yaitu Nania membisikkan sesuatu kepadanya.
"Raya, aku hamil".
Nania adalah sahabat Soraya sejak sekolah dulu, keduanya sejak lama menaksir kepada Yosep yaitu anaknya Pendeta Lukas Pontoh.
Tapi rupanya Yosep Pontoh lebih memilih Nania, dan saat ini Yosep sedang dalam proses menjadi pendeta untuk menggantikan ayahnya yang sudah tua dan harus pensiun.
Kedua sahabat berpelukan, Nania bahagia karena akhirnya Soraya mendapatkan jodoh yang terbaik, dan Soraya juga bahagia karena Nania akhirnya hamil setelah dua tahun menikah.
Kisah mereka akan berlanjut nanti di bab selanjutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments