Sixth Sense [Rahasia Semesta]

Sixth Sense [Rahasia Semesta]

Satu Spesies

...Selamat membaca!...

...*****...

Malam berganti siang.

Detik berganti menit.

Menit berganti jam.

Waktu silih berganti, tanpa bisa dicegah maupun dihentikan. Tak peduli meski kita ingin, waktu tiada peduli. Ia terus bergerak tanpa henti. Juga tak peduli seberapa keras kita berjuang, di ujung selalu kesia-siaan yang kita temui.

Mematikan, waktu itu mematikan. Bagi seorang gadis bersurai coklat sepunggung, waktu adalah salah satu hal yang ia takuti sekaligus ia benci.

Rambut coklat originalnya bergoyang-goyang mengikuti irama angin berhembus. Tangan mungilnya, terus menerus melempar batu ke arah danau asri yang nampak tenang menciptakan riak air dibeberapa titik permukaan danau. Semilir angin membelai lembut paras indahnya. Memanjakannya. Hingga terasa sedikit demi sedikit ia merasa ringan. Rileks dan nyaman.

Menepi, sendiri dalam sepi. Itu yang dilakukan sang gadis bersurai coklat. Menghela nafas berat, entah sudah keberapa kalinya. Meratapi takdir yang seolah tak pernah mau berpihak padanya. Waktu memang berputar namun baginya, takdir seiring berjalannya waktu tidak pernah berubah. Selalu, selalu dan selalu tak adil padanya.

Dunia memang indah, namun tak seindah bentangan alam buatan tangan manusia yang saat ini memanjakan mata madunya. Baginya, hidup itu hanyalah sebuah permainan. Permainan tak berujung...hanya berujung dengan kematian.

Ya, begitulah yang ia pikirkan ditengah kemelut sejuta cabang gundah gulana yang merangsek di rongga dadanya.

Mata bulat jernih itu berkedip, tangannya terangkat menjadikannya tempat hinggap bagi kupu-kupu cantik berwarna biru gelap.

Sangat mempesona.

Selang beberapa detik kemudian, kupu-kupu cantik itu kembali terbang melambung tinggi. Meninggalkan goresan kecewa pada wajah sang gadis.

Jarum jam ditangannya menunjukkan pukul 06.55 WIB. Tak terasa, ia yang sudah berada disini selama kurang lebih dua jam dan memakai seragam lengkap dengan tujuan–

Wait--Seragam? Sekolah? Jam berapa sekarang? Tidak. Masa iya di awal masuk ke sekolah barunya harus telat. Sungguh ini seperti adegan yang ada di cerita klasik dunia pernovelan.

Ia benci. Ia tak suka membaca novel atau apalah itu. Tapi, ia mendengar apa yang dibicarakan orang lain di sekitarnya. Dan itu cukup membuat hari harinya terasa begitu melelahkan.

Tersadar sesuatu, ia mengernyit, menatap seksama pantulan dirinya di air. Seketika, mata bulat itu semakin membulat diiringi pekikan nyaringnya. Ekspresinya lucu. Jeritannya berhasil membubarkan sekelompok burung yang sedang bertengger ria di dahan pohon tak jauh darinya duduk.

"Oh God. Gue telat!"

Sialnya, waktu gerbang sekolah ditutup kurang dari lima menit. Dan sekarang...ah sudahlah, kali ini ia akan mencoba menerima nasibnya tak peduli apapun konsekuensinya nanti.

Sepanjang jalan, bibir mungil gadis itu terus meluncurkan aksi-aksi menggerutu sebal. Sedikit lagi. Sedikit lagi kurang dari lima puluh meter ia sampai.

Namun untuk kesekian kalinya, laju mobil kebanggaannya tertahan lampu merah. Nafasnya lama kelamaan tidak teratur. Gugup dan emosi kini bercampur jadi satu.

Ah, salahkan saja ia yang pagi-pagi sudah keluyuran hingga membuatnya lupa waktu. Yang jadi pertanyaan, kenapa pagi-pagi sekali sudah berada di danau? Harus ya di danau sepagi itu?!

Ya, Ya, Ya! salahkan saja dia.

Gadis itu menyentakkan kepalanya ke kiri, panca inderanya menangkap sesuatu yang menurutnya menarik. Disana terdapat seorang pria tua berusia sekitar kepala lima sedang duduk bersandar pada sebuah pohon yang besar dan berusia sangat tua. Namun, rindang.

Tak jauh dari si pria tua itu, terdapat sebuah gerobak Es Serut berukuran sedang dan sangat sederhana yang teronggok tak berdaya. Di depan gerobak itu, terdapat sesosok anak kecil berkepang dua sedang bergelantungan pada dorongan gerobak dengan gerakan aktif layaknya bocah berumur lima tahun yang sedang nakal-nakalnya.

Ia, bukan manusia. Tapi, roh atau setan atau yang biasa manusia menyebutnya hantu.

Perlahan-lahan gerobak itu berjalan menjauh. Sang pemilik tak menyadari gerobaknya bergerak menjauh dikarenakan kedua kelopak mata sang pria tua tersebut menutup. Ia, terlihat begitu lelah.

Jeritan para pejalan kaki berhasil menyadarkan sang pria tua. Dengan tanggap si lelaki itu berlari mengejar gerobaknya yang semakin melaju cepat dan semakin cepat.

Gadis bersurai coklat itu tanpa aba-aba dan tanpa diminta berlari menuju gerobak. Sebelumnya, mobilnya ia tepikan di sebuah tempat yang menurutnya tidak akan mengganggu pengendara lain.

Netra coklat madunya melihat sosok sang anak itu berlari dan mendorong gerobak itu layaknya sebuah mainan kecil baginya. Padahal, tubuh si anak dengan gerobak itu, lebih besar ukuran gerobak dari pada tubuh kecilnya.

Sesekali juga anak itu tertawa nyaring khas anak kecil dan bagi gadis bermata madu itu, tawanya mengerikan. Ditambah lagi darah terus menetes dari kepala bocah berumur lima tahun itu. Membasahi aspal jalan yang dilaluinya.

Dalam sebersit memori, bocah itu merupakan korban tabrak lari, sedangkan mayatnya dibuang oleh sang pelaku tak bertanggung jawab. Sedangkan orang tua bocah itu belum mengetahui anaknya menjadi korban salah satu manusia tak bertanggung jawab. Si orang tua terus mencari si bocah hingga sekarang, Namun belum kunjung temu. Sudah tujuh hari berlalu.

Satu minggu berlalu.

Tujuh hari itu pula, arwah bocah itu gentayangan. Setiap hari menempeli sang Ayah. Menjailinya, terus mencari perhatian. Namun sayangnya, Ayahnya hanya manusia biasa yang tak diberi anugrah oleh Tuhan untuk melihat apa yang tak seharusnya dilihat.

"Dasar bocah nakal." Geram sang gadis seraya berhenti dan mengatur nafasnya yang terengah-engah. Mata sang gadis berubah menggelap, tangannya terulur ke depan wajahnya datar. "Stop it."

Berhenti.

Gerobak itu berhenti. Si pemilik gerobak sudah memegangi gerobaknya. Helaan nafas lega berkumandang. Sebagian orang yang ikut berlari menolong sang lelaki itu mendekat, dan memberi beberapa wejangan agar supaya lebih berhati-hati dan direspon dengan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan permintaan maaf.

Bocah itu, menghilang. Sang gadis kini sudah berada persis di depan sang gerobak. Tangan mungilnya mengoleskan sesuatu pada beberapa sisi gerobak dagangannya. Sang pemilik mengernyit bingung namun tak pelak ia membiarkan sang gadis berbuat demikian.

Mungkin ia sungguh letih, makanya si Bapak hanya menurut saja.

Gadis itu menoleh, mata bulatnya mengerjap-ngerjap. "Mulai sekarang, Bapak jangan khawatir. Dagangan Bapak akan cepat habis."  Dengan senyum ramah gadis itu menuntun sang pemilik menuju sebuah tempat duduk disekitaran taman tersebut. "Saya, ingin mengatakan sesuatu ke Bapak. Mari ikut saya."

*****

Kesal. Rasanya sang gadis bersurai coklat itu ingin sekali menangis histeris sekarang. Jam menunjukkan pukul 08.28 WIB dan di depannya terpampang dengan jelas gerbang sekolah yang sudah ditutup rapat. Sudah sedari tadi ia mencoba membujuk sekaligus merayu sang Satpam sekolah itu. Tetapi tetap saja tidak berhasil.

Sang satpam masih kekeh tidak mau membuka gerbang walau dengan alasan apapun. Apapun. Termasuk alasan sang gadis yang mengaku siswi baru pun ditolak mentah-mentah. Padahal kan ia berkata jujur.

Namun, kata si Bapak Satpam. "Kamu teh, pasti cuma mengada-ada kan?! Alah bapak mah udah paham sama akal-akalan bocah kayak kamu neng. Geulis sih Geulis, tapi kok perilakunya ada-ada saja. Yang alesan kayak gitu mah banyak neng. Udah pasaran. Bapak sampai hapal neng."

Dan berbagai kalimat tanda penolakan garis keras lainnya yang meluncur bebas tanpa filter dari Sang Satpam bertubuh kekar.

Tak kehabisan ide, akhirnya gadis cantik itu memilih memutar ke belakang gedung sekolah dan menemukan tembok tinggi dan sialnya tak memungkinkan bagi sang gadis pemakai rok span selutut itu untuk memanjat kecuali dengan alat bantu, walaupun ada pasti tetap sulit. Masalahnya adalah roknya!

Hembusan nafas putus asa terdengar. Bibirnya mengerucut, kepalanya ia sandarkan pada tembok. Perlahan kelopak mata itu terpejam karena putus asa.

Tak jauh dari itu, terdapat sebuah tangga yang dapat ia gunakan. Ah beruntungnya. Kepalanya celingak-celinguk, kaki mungilnya bersiap memanjat tangga layaknya mau mendaki gunung. Penuh perjuangan dan tekad. Sebagai seseorang yang tak memiliki pengalaman, sang gadis terlihat sedikit...ragu.

Ah, tapi ya sudahlah!

Berbekal modal nekat, kini dirinya sudah menapak pada hamparan rumput hijau layaknya sebuah taman pada umumnya, ya walau dilewati dengan pendaratan yang tak elit. Lututnya harus mau menjadi korban, sedikit lecet dan mengeluarkan darah.

Dari kejauhan, telinga sang gadis menangkap derap langkah seseorang yang mendekat padanya. Bibir gadis itu berkomat-kamit seakan membaca sebuah mantra. Peluh membanjiri wajahnya hingga memerah ditambah terik matahari yang mulai membumbung tinggi.

Ungu kebiru-biruan pekat. Warna itu--

Tak salah lagi. Jangan bilang kalau dia...satu spesies dengannya.

Degup jantungnya menggila. Didepannya berdiri seorang pemuda dengan baju tak dimasukan. Penampilannya urak-urakan tipikal badboy kelas kakap. Namun yang paling mencolok adalah warna rambut pirangnya serta wajahnya yang...ganteng.

Eh...

EH?! Pemuda itu...Indigo?!

"Lo?!"

"Lo–"

Terpopuler

Comments

PORREN46R

PORREN46R

uda mampir ya

2023-06-22

0

PORREN46R

PORREN46R

gak bisa berkata-kata lagi aku ceritanya bagus dan nyambung tidak seperti cerita ku

2023-06-22

0

ᏉᎨᎾᏁᎯ

ᏉᎨᎾᏁᎯ

𝚊𝚠𝚊𝚕 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚋𝚊𝚐𝚞𝚜 𝚝𝚑𝚘𝚛, 𝚜𝚎𝚖𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 😉

2022-12-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!