...Selamat membaca!...
...*****...
"Lo?!"
"Lo–"
Cowok bule itu mengedipkan matanya, tersadar dari ke-tertegunan-nya. "Eh, ada cewek." Matanya berkedip genit.
"Sebentar, lo murid baru ya?"
Setengah tersadar gadis itu mengangguk kaku. Sesaat kemudian kepalanya menggeleng. Mata bundar jernihnya mengerjap, sontak saja tanpa ditutupi pemuda di depannya terpesona. Lalu menatapnya intens seraya tersenyum kecil. Kalau diamati lebih seksama, senyumnya merupakan senyum lega.
"Lo...satu spesies kayak gue?" tanya sang gadis polos.
Otaknya sedang mencerna sesuatu. Kalau benar, takdir macam apa yang akan ia jalani di sekolah barunya. Takdir atau justru malapetaka baru buatnya?
Mata bundar gadis itu beradu pandang dengan netra hitam kelam cowok bule itu. Saling berkomunikasi tanpa sepatah kata yang terlontar dari dua mulut insan manusia. Dari hati ke hati. Dari pikiran ke pikiran. Lebih tepatnya, telepati.
Keduanya mengangguk kaku sebagai hasil sekaligus pertanda komunikasi selesai.
Akhirnya, entah karena kasihan atau karena apa. Cowok bule yang belum diketahui identitasnya itu membawa sang gadis duduk berhadap hadapan di bangku taman yang tak jauh darinya. Sadar atau tidak sadar sang pemuda itu melupakan tujuannya ke taman belakang yaitu bolos.
Taman belakang ini sepi. Terlebih jam pembelajaran sedang berlangsung. Hanya ada dua manusia ditambah beberapa sosok tak kasat mata.
Namun, mereka yang melihat tak berani mendekat atau pun mengusik keduanya. Terlalu berisiko. Satu langkah mendekat, entah hal buruk apa yang akan mereka dapatkan. Yang jelas, keduanya memiliki potensi luar biasa satu sama lain.
Keduanya istimewa. Indigo dengan kemampuannya masing-masing. Tetapi, keduanya memang lebih dari itu.
"Lo belum jawab pertanyaan gue."
Gadis itu mengernyit bingung. "Hah? Pertanyaan apa? Kapan lo ngomong?" Ujarnya kebingungan namun netra coklat terangnya terus menjelajah penjuru taman. Tak terlalu memperdulikan eksistensi cowok bule yang duduk di depannya dengan raut wajah tanpa riak.
Taman belakang ini luas serta asri. Banyak bunga-bunga yang beragam jenis tumbuh dan berkembang indah. Beberapa ada juga pohon yang tumbuh besar nan rindang. Dan ada kursi kayu panjang serta kursi duduk berhadap hadapan. Ada dua macam kursi duduk, yaitu tempak duduk berpasangan dan tempat duduk melingkar, yang satu ini cocok sekali untuk siswa siswi yang suka berkelompok dengan teman sebayanya.
Menurutnya, taman ini cukup memukau untuk ukuran sekolah. Nyaman dan mampu memanjakan mata. Terutama suasana yang tenang dan segar.
Mungkin setelah ini, tempat ini akan selalu menjadi tujuan sang gadis selain kelasnya.
Gadis itu tersentak kala merasakan sentuhan pada kepalanya seraya dihentakkannya pelan hingga wajahnya menghadap pemuda bule di depannya.
Reflek, secepat kilat tangannya menepis kasar tangan cowok itu. "Wowoo, santai girl. Gue gak ngapain-ngapain lo kok." Kedua tangannya ia angkat, bagai buronan yang tercyduk polisi.
Gadis itu menghunuskan tatapan tajamnya. Sedari dulu dan pada dasarnya, gadis itu tidak suka jika ada orang asing yang menyentuh dirinya secara serampangan.
"Gak ngapa-ngapain maksud lo? Siapa lo sentuh-sentuh gue. Apa itu namanya kalau bukan apa-apain hah?!" Serunya, nadanya sedikit membentak, tak terima dengan perlakuan pemuda itu yang kini justru tertawa tak berdosa. "Cih, dasar cowok."
"Bawel banget sih," balasnya tak kalah judes. "Lagian, kalau ada orang ngomong tuh di tatap matanya bukan malah jelalatan gak jelas." Kali ini nada bicaranya tegas. Wajahnya ia condongkan ke depan. Mengamati dengan raut datar garis wajah ayu sang gadis.
Gadis itu pun turut menatap datar sebagai respon. Pemuda itu melanjutkan ucapannya, Wajahnya ia sangga dengan tangan kanannya. "Lo anak baru kan?" matanya memicing. Ada binar seringai tajam dalam manik hitamnya.
"Kalau iya kenapa? Masalah gitu buat lo?" jawabnya jutek seraya memundurkan wajahnya dan bersidekap dada. Ekspresi wajahnya sinis seraya tersenyum kecil. Oh bukan senyum namun seringai.
Cowok bule itu berdecak kesal. Antara kesal dan gemas. Gadis di depannya itu, judes juga galak. Yang membuatnya geli adalah sifat dan wajahnya yang mana sangat bertolak belakang. Sedangkan sang gadis wajahnya Baby Face. Pipinya chubby. Matanya bundar. Netra matanya coklat terang. Layaknya madu.
Cantik sekali.
Cowok itu merasa, jika lama-lama didekatnya bisa membuatnya khilaf. Sekuat tenaga, tangannya ia tahan supaya tidak menyentuh pipi chubby yang sangat menggoda untuk dicubit. Ugh, menggemaskan sekali.
Ditambah, hatinya mulai dirambati ketertarikan luar biasa pada gadis di depannya. Ia terpikat pada pesona dan tingkah lakunya. Ia pun menyeringai, pada otaknya tersusun berbagai strategi licik. Ia pun membatin.
Harus jadi milikku, selamanya.
Cowok bule itu lantas mengangguk-anggukan kepalanya pelan, menatap lekat sang gadis dan sang gadis balas menatap datar cowok itu.
"Jelek." Katanya, tanpa intonasi. Datar.
Hah?
Apa?
Siapa yang jelek?
Gadis dengan surai coklat atau siapa?
Gadis berpipi chabby itu molotot tak terima merasa bahwa ungkapan itu ditujukan padanya. Dengan tatapan tajam, ia mencibir galak pemuda di depannya. "Kalau gue jelek? Terus lo ganteng gitu? Dih pede banget lo."
Sang pemuda tertawa, tawa kecilnya meramaikan suasana yang sepi. "Siapa yang bilang lo jelek? Emang tadi gue ngomong apa? Kapan gue ngomong ke lo?" pemuda itu tersenyum miring, riak wajahnya berubah licik dan menjengkelkan. "Atau mungkin lo emang merasa jelek." Lanjutnya sinis, seperti tengah menabuh genderang perang.
Genderangnya pun bersambut. Karena kesal, gadis itu berdiri dan menghentakkan kakinya. Kakinya ia ayunkan menjauh dari peredaran cowok bule yang ia anggap menyebalkan.
Baru satu langkah kaki pendeknya berjalan, cekalan pada tangannya mampu menghentikan gerak-geriknya. "Itu yang gue rasain, saat lo mengabaikan gue. Dan menganggap angin lalu pertanyaan gue." Katanya, sembari menatapnya serius.
"Gue enggak peduli." Gadis itu melepaskan cekalan tangan sang pemuda dengan kasar. Manik madunya menatap tajam tepat pada iris mata hitam kelamnya.
"Gue mau ke kelas. Minggir."
Menghela nafas gusar, pemuda pirang itu berdiri, tatapan matanya begitu lekat. "Emang tahu jalannya? Yakin tuh gak bakal nyasar? gue cuma niat bantuin doang. Gak mau ngapa ngapain lo. Biasa aja bisa kan."
Pemuda itu mendesis jengkel. Menatap sengit sang gadis. Ada rasa tidak terima dalam benaknya kala niat baiknya dipertanyakan dan direspon kurang baik. Namun, kendati demikian. Ia tak urung, menyelusupkan tangannya ke sela-sela jemari sang gadis dengan senyum tipis menghiasi wajahnya yang rupawan.
Menggandengnya tanpa syarat. Sebelum sang gadis menolak, ia sudah terlebih dahulu berjalan sembari mengeratkan genggaman tangannya. Sebelum sang gadis berujar penuh penolakan, ia terlebih dahulu membungkamnya dengan sederet kalimat khas dirinya dibumbui dengan sedikit nada kesal bercampur pede yang terlampau.
"Jangan bawel. Ikutin gue aja, lo gak bakal nyasar. Gue jamin. Tangan lo cuma gue gandeng doang, kasian. Pasti tangan lo gak pernah digandeng cowok seganteng gue. Udah keliatan tangan lo ada sarangnya tuh."
Sang gadis terpana. Mulutnya membeo. Menatap sang pemuda itu tanpa kata. Yang menari dalam benaknya adalah betapa mengesalkannya cowok itu. Dan kenapa raut wajahnya pede sekali?! dih.
Dengan malas dan ogah-ogahan, akhirnya gadis itu berjalan pasrah saja tanpa penolakan. Ia setuju saja tatkala pemuda itu menjadi pemandu jalannya kali ini, dari pada tersesat dan berujung hanya memutari sekolah. Toh, saat ini ia memang tidak mengenal siapa siapa selain pemuda bule tampan yang ia ketahui satu spesies dengannya.
"Modus lo. Bilang aja pengin gandeng tangan gue. Pake acara nyinyir duluan, dih."
*****
Di bangku pojok paling belakang, gadis bermata bundar indah itu terus menggerutu pelan. Inhale. Exhale. Terus dan berulang ulang. Disampingnya, pemuda bule yang ia harapkan lenyap dari planet bumi ini justru malah duduk disampingnya dan sedang berpangku tangan menatapnya sembari cengar-cengir tak jelas.
Persis orang gila. Dasar sinting! batinnya, menjerit kesal.
Takdirnya memang begitu buruk atau mungkin ini hanyalah proses menjadi sesuatu yang indah pada akhirnya. Ah, intinya ia jadi semakin tak menyukai apa yang dinamakan takdir. Kenapa harus dengannya sih?
Lihat saja, ekspresi cowok bule itu masih cengar-cengir menatap sang gadis yang justru membuat gadis itu merasa tak nyaman dan jengkel. Bahkan rasa rasanya, segala sumpah serapah yang dilontarkan sang gadis padanya seolah tak masuk di telinganya.
Berulang kali juga ia menyuruhnya untuk duduk tidak berada disampingnya. Namun apa daya, cowok itu benar benar tebal telinga. Dan dengan menyebalkannya, ia memanfaatkan kesempatan itu untuk selalu dekat dengannya. Kendati dirinya dengan sang gadis satu kelas.
Tak merasa cukupkah ia sudah membuat sensasi panas beberapa saat lalu. Bahkan, kini telinga gadis itu terasa hendak meledak. Boom! Panas dan sakit di waktu bersamaan.
Singkat cerita, sepanjang jalan beberapa saat lalu, segala jenis bisik bisik tetangga bisa ia dengar secara gamblang karena memang telinga gadis itu sangat sensitif dan super tajam. Jarak sepuluh meter saja masih bisa ia dengar. Apalagi jika, yang menjadi bahan gosip adalah dirinya. Telinganya sangat respect terhadap hal-hal seperti itu.
Ditambah sekarang, walau sebagian mereka cuek, nampak tak peduli. Tapi sebagian juga, tak dapat mengontrol nafsu nyinyirnya. Hingga membuat gadis itu jengah dan kesal secara diam diam.
"Lo hebat. Berhasil membuat mereka penasaran sama lo."
Gadis itu menyentakan kepalanya saat mendengar nada serius dari seorang manusia yang duduk di sebelahnya. Siapa lagi jika bukan dia. Si pemuda bule yang entah siapa itu.
"Terus kenapa? lo gak lagi iri sama gue kan?pada dasarnya, mereka memang selalu penasaran dengan manusia bukan?" balasnya sembari bertumpu tangan menghadap cowok itu.
Menggeleng tegas, cowok bule itu melanjutkan ucapannya. Bibirnya menipis greget. "Bisa nggak sih, judesnya kurangin dikit. Heran gue." Tubuh cowok itu maju, hampir menempel pada sang gadis. "Lo... jadi tambah jelek."
Alis gadis itu terangkat sebelah, ditatap balas sang pemuda itu dengan pandangan mencemooh. "Bibir lo bilang jelek, tapi pancaran mata lo sampai terpesona sama gue. Itu kah definisi jelek lo buat gue?"
Cowok bule itu sontak memundurkan badannya kembali ke posisi semula. Cowok itu lantas tertawa. Bahkan tawanya menciptakan dua lubang di pipi kanan kirinya. Sangat menawan. Oh, pantas saja ia digilai banyak lawan jenis. Terlepas dari sikapnya yang menjengkelkan namun–
–Ia, sungguh mempesona.
"Soalnya, lo itu tak terdefinisikan." Katanya pelan.
Jeda. Hening mengisi keduanya.
Pemuda itu lantas berkedip dua kali. Ia menyadari suatu hal, garis wajahnya menjadi tanpa riak. Gadis itu mengernyit bingung, ada apa dengan perubahan raut wajah pemuda berambut pirang itu?
Hingga–
–satu kalimat terlontar dengan ringan dan datar, mampu menghempas keduanya hingga kebagian otak paling bawah. Keduanya menyadari adanya penurunan nilai IQ mereka sekarang. Keduanya pun tertawa kecil. Wajah keduanya di selimuti ekspresi malu malu dan salah tingkah.
"Ngomong-ngomong, kita belum tahu, masing masing nama kita berdua, hehe."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
Om Rudi
dua like dari Alma Fatara
2022-01-14
0
Hanna Devi
sukaaa, semangat terus 😄
2021-02-21
1
Twitria
aku mampir + bawa like Thor ..
BARAFELMA menunggumu juga ya :)
2021-02-12
1