...Selamat membaca!...
...*****...
Malam berganti siang.
Detik berganti menit.
Menit berganti jam.
Waktu silih berganti, tanpa bisa dicegah maupun dihentikan. Tak peduli meski kita ingin, waktu tiada peduli. Ia terus bergerak tanpa henti. Juga tak peduli seberapa keras kita berjuang, di ujung selalu kesia-siaan yang kita temui.
Mematikan, waktu itu mematikan. Bagi seorang gadis bersurai coklat sepunggung, waktu adalah salah satu hal yang ia takuti sekaligus ia benci.
Rambut coklat originalnya bergoyang-goyang mengikuti irama angin berhembus. Tangan mungilnya, terus menerus melempar batu ke arah danau asri yang nampak tenang menciptakan riak air dibeberapa titik permukaan danau. Semilir angin membelai lembut paras indahnya. Memanjakannya. Hingga terasa sedikit demi sedikit ia merasa ringan. Rileks dan nyaman.
Menepi, sendiri dalam sepi. Itu yang dilakukan sang gadis bersurai coklat. Menghela nafas berat, entah sudah keberapa kalinya. Meratapi takdir yang seolah tak pernah mau berpihak padanya. Waktu memang berputar namun baginya, takdir seiring berjalannya waktu tidak pernah berubah. Selalu, selalu dan selalu tak adil padanya.
Dunia memang indah, namun tak seindah bentangan alam buatan tangan manusia yang saat ini memanjakan mata madunya. Baginya, hidup itu hanyalah sebuah permainan. Permainan tak berujung...hanya berujung dengan kematian.
Ya, begitulah yang ia pikirkan ditengah kemelut sejuta cabang gundah gulana yang merangsek di rongga dadanya.
Mata bulat jernih itu berkedip, tangannya terangkat menjadikannya tempat hinggap bagi kupu-kupu cantik berwarna biru gelap.
Sangat mempesona.
Selang beberapa detik kemudian, kupu-kupu cantik itu kembali terbang melambung tinggi. Meninggalkan goresan kecewa pada wajah sang gadis.
Jarum jam ditangannya menunjukkan pukul 06.55 WIB. Tak terasa, ia yang sudah berada disini selama kurang lebih dua jam dan memakai seragam lengkap dengan tujuan–
Wait--Seragam? Sekolah? Jam berapa sekarang? Tidak. Masa iya di awal masuk ke sekolah barunya harus telat. Sungguh ini seperti adegan yang ada di cerita klasik dunia pernovelan.
Ia benci. Ia tak suka membaca novel atau apalah itu. Tapi, ia mendengar apa yang dibicarakan orang lain di sekitarnya. Dan itu cukup membuat hari harinya terasa begitu melelahkan.
Tersadar sesuatu, ia mengernyit, menatap seksama pantulan dirinya di air. Seketika, mata bulat itu semakin membulat diiringi pekikan nyaringnya. Ekspresinya lucu. Jeritannya berhasil membubarkan sekelompok burung yang sedang bertengger ria di dahan pohon tak jauh darinya duduk.
"Oh God. Gue telat!"
Sialnya, waktu gerbang sekolah ditutup kurang dari lima menit. Dan sekarang...ah sudahlah, kali ini ia akan mencoba menerima nasibnya tak peduli apapun konsekuensinya nanti.
Sepanjang jalan, bibir mungil gadis itu terus meluncurkan aksi-aksi menggerutu sebal. Sedikit lagi. Sedikit lagi kurang dari lima puluh meter ia sampai.
Namun untuk kesekian kalinya, laju mobil kebanggaannya tertahan lampu merah. Nafasnya lama kelamaan tidak teratur. Gugup dan emosi kini bercampur jadi satu.
Ah, salahkan saja ia yang pagi-pagi sudah keluyuran hingga membuatnya lupa waktu. Yang jadi pertanyaan, kenapa pagi-pagi sekali sudah berada di danau? Harus ya di danau sepagi itu?!
Ya, Ya, Ya! salahkan saja dia.
Gadis itu menyentakkan kepalanya ke kiri, panca inderanya menangkap sesuatu yang menurutnya menarik. Disana terdapat seorang pria tua berusia sekitar kepala lima sedang duduk bersandar pada sebuah pohon yang besar dan berusia sangat tua. Namun, rindang.
Tak jauh dari si pria tua itu, terdapat sebuah gerobak Es Serut berukuran sedang dan sangat sederhana yang teronggok tak berdaya. Di depan gerobak itu, terdapat sesosok anak kecil berkepang dua sedang bergelantungan pada dorongan gerobak dengan gerakan aktif layaknya bocah berumur lima tahun yang sedang nakal-nakalnya.
Ia, bukan manusia. Tapi, roh atau setan atau yang biasa manusia menyebutnya hantu.
Perlahan-lahan gerobak itu berjalan menjauh. Sang pemilik tak menyadari gerobaknya bergerak menjauh dikarenakan kedua kelopak mata sang pria tua tersebut menutup. Ia, terlihat begitu lelah.
Jeritan para pejalan kaki berhasil menyadarkan sang pria tua. Dengan tanggap si lelaki itu berlari mengejar gerobaknya yang semakin melaju cepat dan semakin cepat.
Gadis bersurai coklat itu tanpa aba-aba dan tanpa diminta berlari menuju gerobak. Sebelumnya, mobilnya ia tepikan di sebuah tempat yang menurutnya tidak akan mengganggu pengendara lain.
Netra coklat madunya melihat sosok sang anak itu berlari dan mendorong gerobak itu layaknya sebuah mainan kecil baginya. Padahal, tubuh si anak dengan gerobak itu, lebih besar ukuran gerobak dari pada tubuh kecilnya.
Sesekali juga anak itu tertawa nyaring khas anak kecil dan bagi gadis bermata madu itu, tawanya mengerikan. Ditambah lagi darah terus menetes dari kepala bocah berumur lima tahun itu. Membasahi aspal jalan yang dilaluinya.
Dalam sebersit memori, bocah itu merupakan korban tabrak lari, sedangkan mayatnya dibuang oleh sang pelaku tak bertanggung jawab. Sedangkan orang tua bocah itu belum mengetahui anaknya menjadi korban salah satu manusia tak bertanggung jawab. Si orang tua terus mencari si bocah hingga sekarang, Namun belum kunjung temu. Sudah tujuh hari berlalu.
Satu minggu berlalu.
Tujuh hari itu pula, arwah bocah itu gentayangan. Setiap hari menempeli sang Ayah. Menjailinya, terus mencari perhatian. Namun sayangnya, Ayahnya hanya manusia biasa yang tak diberi anugrah oleh Tuhan untuk melihat apa yang tak seharusnya dilihat.
"Dasar bocah nakal." Geram sang gadis seraya berhenti dan mengatur nafasnya yang terengah-engah. Mata sang gadis berubah menggelap, tangannya terulur ke depan wajahnya datar. "Stop it."
Berhenti.
Gerobak itu berhenti. Si pemilik gerobak sudah memegangi gerobaknya. Helaan nafas lega berkumandang. Sebagian orang yang ikut berlari menolong sang lelaki itu mendekat, dan memberi beberapa wejangan agar supaya lebih berhati-hati dan direspon dengan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan permintaan maaf.
Bocah itu, menghilang. Sang gadis kini sudah berada persis di depan sang gerobak. Tangan mungilnya mengoleskan sesuatu pada beberapa sisi gerobak dagangannya. Sang pemilik mengernyit bingung namun tak pelak ia membiarkan sang gadis berbuat demikian.
Mungkin ia sungguh letih, makanya si Bapak hanya menurut saja.
Gadis itu menoleh, mata bulatnya mengerjap-ngerjap. "Mulai sekarang, Bapak jangan khawatir. Dagangan Bapak akan cepat habis." Dengan senyum ramah gadis itu menuntun sang pemilik menuju sebuah tempat duduk disekitaran taman tersebut. "Saya, ingin mengatakan sesuatu ke Bapak. Mari ikut saya."
*****
Kesal. Rasanya sang gadis bersurai coklat itu ingin sekali menangis histeris sekarang. Jam menunjukkan pukul 08.28 WIB dan di depannya terpampang dengan jelas gerbang sekolah yang sudah ditutup rapat. Sudah sedari tadi ia mencoba membujuk sekaligus merayu sang Satpam sekolah itu. Tetapi tetap saja tidak berhasil.
Sang satpam masih kekeh tidak mau membuka gerbang walau dengan alasan apapun. Apapun. Termasuk alasan sang gadis yang mengaku siswi baru pun ditolak mentah-mentah. Padahal kan ia berkata jujur.
Namun, kata si Bapak Satpam. "Kamu teh, pasti cuma mengada-ada kan?! Alah bapak mah udah paham sama akal-akalan bocah kayak kamu neng. Geulis sih Geulis, tapi kok perilakunya ada-ada saja. Yang alesan kayak gitu mah banyak neng. Udah pasaran. Bapak sampai hapal neng."
Dan berbagai kalimat tanda penolakan garis keras lainnya yang meluncur bebas tanpa filter dari Sang Satpam bertubuh kekar.
Tak kehabisan ide, akhirnya gadis cantik itu memilih memutar ke belakang gedung sekolah dan menemukan tembok tinggi dan sialnya tak memungkinkan bagi sang gadis pemakai rok span selutut itu untuk memanjat kecuali dengan alat bantu, walaupun ada pasti tetap sulit. Masalahnya adalah roknya!
Hembusan nafas putus asa terdengar. Bibirnya mengerucut, kepalanya ia sandarkan pada tembok. Perlahan kelopak mata itu terpejam karena putus asa.
Tak jauh dari itu, terdapat sebuah tangga yang dapat ia gunakan. Ah beruntungnya. Kepalanya celingak-celinguk, kaki mungilnya bersiap memanjat tangga layaknya mau mendaki gunung. Penuh perjuangan dan tekad. Sebagai seseorang yang tak memiliki pengalaman, sang gadis terlihat sedikit...ragu.
Ah, tapi ya sudahlah!
Berbekal modal nekat, kini dirinya sudah menapak pada hamparan rumput hijau layaknya sebuah taman pada umumnya, ya walau dilewati dengan pendaratan yang tak elit. Lututnya harus mau menjadi korban, sedikit lecet dan mengeluarkan darah.
Dari kejauhan, telinga sang gadis menangkap derap langkah seseorang yang mendekat padanya. Bibir gadis itu berkomat-kamit seakan membaca sebuah mantra. Peluh membanjiri wajahnya hingga memerah ditambah terik matahari yang mulai membumbung tinggi.
Ungu kebiru-biruan pekat. Warna itu--
Tak salah lagi. Jangan bilang kalau dia...satu spesies dengannya.
Degup jantungnya menggila. Didepannya berdiri seorang pemuda dengan baju tak dimasukan. Penampilannya urak-urakan tipikal badboy kelas kakap. Namun yang paling mencolok adalah warna rambut pirangnya serta wajahnya yang...ganteng.
Eh...
EH?! Pemuda itu...Indigo?!
"Lo?!"
"Lo–"
...Selamat membaca!...
...*****...
"Lo?!"
"Lo–"
Cowok bule itu mengedipkan matanya, tersadar dari ke-tertegunan-nya. "Eh, ada cewek." Matanya berkedip genit.
"Sebentar, lo murid baru ya?"
Setengah tersadar gadis itu mengangguk kaku. Sesaat kemudian kepalanya menggeleng. Mata bundar jernihnya mengerjap, sontak saja tanpa ditutupi pemuda di depannya terpesona. Lalu menatapnya intens seraya tersenyum kecil. Kalau diamati lebih seksama, senyumnya merupakan senyum lega.
"Lo...satu spesies kayak gue?" tanya sang gadis polos.
Otaknya sedang mencerna sesuatu. Kalau benar, takdir macam apa yang akan ia jalani di sekolah barunya. Takdir atau justru malapetaka baru buatnya?
Mata bundar gadis itu beradu pandang dengan netra hitam kelam cowok bule itu. Saling berkomunikasi tanpa sepatah kata yang terlontar dari dua mulut insan manusia. Dari hati ke hati. Dari pikiran ke pikiran. Lebih tepatnya, telepati.
Keduanya mengangguk kaku sebagai hasil sekaligus pertanda komunikasi selesai.
Akhirnya, entah karena kasihan atau karena apa. Cowok bule yang belum diketahui identitasnya itu membawa sang gadis duduk berhadap hadapan di bangku taman yang tak jauh darinya. Sadar atau tidak sadar sang pemuda itu melupakan tujuannya ke taman belakang yaitu bolos.
Taman belakang ini sepi. Terlebih jam pembelajaran sedang berlangsung. Hanya ada dua manusia ditambah beberapa sosok tak kasat mata.
Namun, mereka yang melihat tak berani mendekat atau pun mengusik keduanya. Terlalu berisiko. Satu langkah mendekat, entah hal buruk apa yang akan mereka dapatkan. Yang jelas, keduanya memiliki potensi luar biasa satu sama lain.
Keduanya istimewa. Indigo dengan kemampuannya masing-masing. Tetapi, keduanya memang lebih dari itu.
"Lo belum jawab pertanyaan gue."
Gadis itu mengernyit bingung. "Hah? Pertanyaan apa? Kapan lo ngomong?" Ujarnya kebingungan namun netra coklat terangnya terus menjelajah penjuru taman. Tak terlalu memperdulikan eksistensi cowok bule yang duduk di depannya dengan raut wajah tanpa riak.
Taman belakang ini luas serta asri. Banyak bunga-bunga yang beragam jenis tumbuh dan berkembang indah. Beberapa ada juga pohon yang tumbuh besar nan rindang. Dan ada kursi kayu panjang serta kursi duduk berhadap hadapan. Ada dua macam kursi duduk, yaitu tempak duduk berpasangan dan tempat duduk melingkar, yang satu ini cocok sekali untuk siswa siswi yang suka berkelompok dengan teman sebayanya.
Menurutnya, taman ini cukup memukau untuk ukuran sekolah. Nyaman dan mampu memanjakan mata. Terutama suasana yang tenang dan segar.
Mungkin setelah ini, tempat ini akan selalu menjadi tujuan sang gadis selain kelasnya.
Gadis itu tersentak kala merasakan sentuhan pada kepalanya seraya dihentakkannya pelan hingga wajahnya menghadap pemuda bule di depannya.
Reflek, secepat kilat tangannya menepis kasar tangan cowok itu. "Wowoo, santai girl. Gue gak ngapain-ngapain lo kok." Kedua tangannya ia angkat, bagai buronan yang tercyduk polisi.
Gadis itu menghunuskan tatapan tajamnya. Sedari dulu dan pada dasarnya, gadis itu tidak suka jika ada orang asing yang menyentuh dirinya secara serampangan.
"Gak ngapa-ngapain maksud lo? Siapa lo sentuh-sentuh gue. Apa itu namanya kalau bukan apa-apain hah?!" Serunya, nadanya sedikit membentak, tak terima dengan perlakuan pemuda itu yang kini justru tertawa tak berdosa. "Cih, dasar cowok."
"Bawel banget sih," balasnya tak kalah judes. "Lagian, kalau ada orang ngomong tuh di tatap matanya bukan malah jelalatan gak jelas." Kali ini nada bicaranya tegas. Wajahnya ia condongkan ke depan. Mengamati dengan raut datar garis wajah ayu sang gadis.
Gadis itu pun turut menatap datar sebagai respon. Pemuda itu melanjutkan ucapannya, Wajahnya ia sangga dengan tangan kanannya. "Lo anak baru kan?" matanya memicing. Ada binar seringai tajam dalam manik hitamnya.
"Kalau iya kenapa? Masalah gitu buat lo?" jawabnya jutek seraya memundurkan wajahnya dan bersidekap dada. Ekspresi wajahnya sinis seraya tersenyum kecil. Oh bukan senyum namun seringai.
Cowok bule itu berdecak kesal. Antara kesal dan gemas. Gadis di depannya itu, judes juga galak. Yang membuatnya geli adalah sifat dan wajahnya yang mana sangat bertolak belakang. Sedangkan sang gadis wajahnya Baby Face. Pipinya chubby. Matanya bundar. Netra matanya coklat terang. Layaknya madu.
Cantik sekali.
Cowok itu merasa, jika lama-lama didekatnya bisa membuatnya khilaf. Sekuat tenaga, tangannya ia tahan supaya tidak menyentuh pipi chubby yang sangat menggoda untuk dicubit. Ugh, menggemaskan sekali.
Ditambah, hatinya mulai dirambati ketertarikan luar biasa pada gadis di depannya. Ia terpikat pada pesona dan tingkah lakunya. Ia pun menyeringai, pada otaknya tersusun berbagai strategi licik. Ia pun membatin.
Harus jadi milikku, selamanya.
Cowok bule itu lantas mengangguk-anggukan kepalanya pelan, menatap lekat sang gadis dan sang gadis balas menatap datar cowok itu.
"Jelek." Katanya, tanpa intonasi. Datar.
Hah?
Apa?
Siapa yang jelek?
Gadis dengan surai coklat atau siapa?
Gadis berpipi chabby itu molotot tak terima merasa bahwa ungkapan itu ditujukan padanya. Dengan tatapan tajam, ia mencibir galak pemuda di depannya. "Kalau gue jelek? Terus lo ganteng gitu? Dih pede banget lo."
Sang pemuda tertawa, tawa kecilnya meramaikan suasana yang sepi. "Siapa yang bilang lo jelek? Emang tadi gue ngomong apa? Kapan gue ngomong ke lo?" pemuda itu tersenyum miring, riak wajahnya berubah licik dan menjengkelkan. "Atau mungkin lo emang merasa jelek." Lanjutnya sinis, seperti tengah menabuh genderang perang.
Genderangnya pun bersambut. Karena kesal, gadis itu berdiri dan menghentakkan kakinya. Kakinya ia ayunkan menjauh dari peredaran cowok bule yang ia anggap menyebalkan.
Baru satu langkah kaki pendeknya berjalan, cekalan pada tangannya mampu menghentikan gerak-geriknya. "Itu yang gue rasain, saat lo mengabaikan gue. Dan menganggap angin lalu pertanyaan gue." Katanya, sembari menatapnya serius.
"Gue enggak peduli." Gadis itu melepaskan cekalan tangan sang pemuda dengan kasar. Manik madunya menatap tajam tepat pada iris mata hitam kelamnya.
"Gue mau ke kelas. Minggir."
Menghela nafas gusar, pemuda pirang itu berdiri, tatapan matanya begitu lekat. "Emang tahu jalannya? Yakin tuh gak bakal nyasar? gue cuma niat bantuin doang. Gak mau ngapa ngapain lo. Biasa aja bisa kan."
Pemuda itu mendesis jengkel. Menatap sengit sang gadis. Ada rasa tidak terima dalam benaknya kala niat baiknya dipertanyakan dan direspon kurang baik. Namun, kendati demikian. Ia tak urung, menyelusupkan tangannya ke sela-sela jemari sang gadis dengan senyum tipis menghiasi wajahnya yang rupawan.
Menggandengnya tanpa syarat. Sebelum sang gadis menolak, ia sudah terlebih dahulu berjalan sembari mengeratkan genggaman tangannya. Sebelum sang gadis berujar penuh penolakan, ia terlebih dahulu membungkamnya dengan sederet kalimat khas dirinya dibumbui dengan sedikit nada kesal bercampur pede yang terlampau.
"Jangan bawel. Ikutin gue aja, lo gak bakal nyasar. Gue jamin. Tangan lo cuma gue gandeng doang, kasian. Pasti tangan lo gak pernah digandeng cowok seganteng gue. Udah keliatan tangan lo ada sarangnya tuh."
Sang gadis terpana. Mulutnya membeo. Menatap sang pemuda itu tanpa kata. Yang menari dalam benaknya adalah betapa mengesalkannya cowok itu. Dan kenapa raut wajahnya pede sekali?! dih.
Dengan malas dan ogah-ogahan, akhirnya gadis itu berjalan pasrah saja tanpa penolakan. Ia setuju saja tatkala pemuda itu menjadi pemandu jalannya kali ini, dari pada tersesat dan berujung hanya memutari sekolah. Toh, saat ini ia memang tidak mengenal siapa siapa selain pemuda bule tampan yang ia ketahui satu spesies dengannya.
"Modus lo. Bilang aja pengin gandeng tangan gue. Pake acara nyinyir duluan, dih."
*****
Di bangku pojok paling belakang, gadis bermata bundar indah itu terus menggerutu pelan. Inhale. Exhale. Terus dan berulang ulang. Disampingnya, pemuda bule yang ia harapkan lenyap dari planet bumi ini justru malah duduk disampingnya dan sedang berpangku tangan menatapnya sembari cengar-cengir tak jelas.
Persis orang gila. Dasar sinting! batinnya, menjerit kesal.
Takdirnya memang begitu buruk atau mungkin ini hanyalah proses menjadi sesuatu yang indah pada akhirnya. Ah, intinya ia jadi semakin tak menyukai apa yang dinamakan takdir. Kenapa harus dengannya sih?
Lihat saja, ekspresi cowok bule itu masih cengar-cengir menatap sang gadis yang justru membuat gadis itu merasa tak nyaman dan jengkel. Bahkan rasa rasanya, segala sumpah serapah yang dilontarkan sang gadis padanya seolah tak masuk di telinganya.
Berulang kali juga ia menyuruhnya untuk duduk tidak berada disampingnya. Namun apa daya, cowok itu benar benar tebal telinga. Dan dengan menyebalkannya, ia memanfaatkan kesempatan itu untuk selalu dekat dengannya. Kendati dirinya dengan sang gadis satu kelas.
Tak merasa cukupkah ia sudah membuat sensasi panas beberapa saat lalu. Bahkan, kini telinga gadis itu terasa hendak meledak. Boom! Panas dan sakit di waktu bersamaan.
Singkat cerita, sepanjang jalan beberapa saat lalu, segala jenis bisik bisik tetangga bisa ia dengar secara gamblang karena memang telinga gadis itu sangat sensitif dan super tajam. Jarak sepuluh meter saja masih bisa ia dengar. Apalagi jika, yang menjadi bahan gosip adalah dirinya. Telinganya sangat respect terhadap hal-hal seperti itu.
Ditambah sekarang, walau sebagian mereka cuek, nampak tak peduli. Tapi sebagian juga, tak dapat mengontrol nafsu nyinyirnya. Hingga membuat gadis itu jengah dan kesal secara diam diam.
"Lo hebat. Berhasil membuat mereka penasaran sama lo."
Gadis itu menyentakan kepalanya saat mendengar nada serius dari seorang manusia yang duduk di sebelahnya. Siapa lagi jika bukan dia. Si pemuda bule yang entah siapa itu.
"Terus kenapa? lo gak lagi iri sama gue kan?pada dasarnya, mereka memang selalu penasaran dengan manusia bukan?" balasnya sembari bertumpu tangan menghadap cowok itu.
Menggeleng tegas, cowok bule itu melanjutkan ucapannya. Bibirnya menipis greget. "Bisa nggak sih, judesnya kurangin dikit. Heran gue." Tubuh cowok itu maju, hampir menempel pada sang gadis. "Lo... jadi tambah jelek."
Alis gadis itu terangkat sebelah, ditatap balas sang pemuda itu dengan pandangan mencemooh. "Bibir lo bilang jelek, tapi pancaran mata lo sampai terpesona sama gue. Itu kah definisi jelek lo buat gue?"
Cowok bule itu sontak memundurkan badannya kembali ke posisi semula. Cowok itu lantas tertawa. Bahkan tawanya menciptakan dua lubang di pipi kanan kirinya. Sangat menawan. Oh, pantas saja ia digilai banyak lawan jenis. Terlepas dari sikapnya yang menjengkelkan namun–
–Ia, sungguh mempesona.
"Soalnya, lo itu tak terdefinisikan." Katanya pelan.
Jeda. Hening mengisi keduanya.
Pemuda itu lantas berkedip dua kali. Ia menyadari suatu hal, garis wajahnya menjadi tanpa riak. Gadis itu mengernyit bingung, ada apa dengan perubahan raut wajah pemuda berambut pirang itu?
Hingga–
–satu kalimat terlontar dengan ringan dan datar, mampu menghempas keduanya hingga kebagian otak paling bawah. Keduanya menyadari adanya penurunan nilai IQ mereka sekarang. Keduanya pun tertawa kecil. Wajah keduanya di selimuti ekspresi malu malu dan salah tingkah.
"Ngomong-ngomong, kita belum tahu, masing masing nama kita berdua, hehe."
...Selamat membaca!...
...*****...
"Ngomong-ngomong, kita belum tahu masing-masing nama kita berdua hehe."
Setelah keduanya tertawa geli, gadis bersurai coklat itu kini duduk tegak, tangannya bersidekap dan netra madunya menyorot datar iris hitam kelam pemuda berambut pirang itu.
"Deket-deket lo ternyata..." Gadis itu menjetikan jari-jemarinya tepat di wajah kebarat-baratan pemuda itu. Membuat sang pemuda terkesiap. "....bikin otak gue bodoh seketika."
Pemuda itu terdiam kaku, mulutnya membeo. Sedetik kemudian decakan sebal terdengar, namun ekspresi wajahnya menunjukkan gemas yang tertahan.
"Lo itu, cewek apa bukan sih? Pedes amat ucapannya, neng." Tangannya melayang hendak mencubit pipi chubby di depannya yang tampak sangat menggoda namun secepat angin berhembus, secepat itu pula gerakan pemuda itu dibaca oleh gadis indigo itu.
"Jangan coba-coba sentuh gue!" tegasnya tanpa mau dibantah.
Pemuda itu mengangguk, bibirnya menyunggingkan senyum miring hingga deret gigi putihnya nampak. Ugh, cewek di depannya ini memang ganas tapi cantik, sangat. "Oke, sorry. Kembali ke awal, kita belum tahu nama kita masing-masing." Katanya serius.
Sang pemuda mengulurkan tangan kanannya sebagai simbol perkenalannya secara resmi seraya melayangkan senyum seratus juta pesonanya. "Kenalin, kembarannya Leonardo Dicaprio sewaktu muda. Gue, Seifried Osric Gideon. Panggil aja Osric." Katanya penuh percaya diri.
Gadis cantik itu mendengus jengah. Dengan malas, gadis itu balas menjabat tangan pemuda di depannya tanpa segaris senyum pun. Tanpa diperintah, sesuatu hangat itu menjalar di rongga dada keduanya. Mencipta ribuan kupu dalam dada, merambati kegembiraan tiada tara.
"Adora Odelia Aloysius. Biasa dipanggil Odelia." Balas sang gadis memperkenalkan namanya, kali ini nada bicaranya tidak datar namun halus dan hangat.
Osric tersenyum kian lebar. Namun, euforia bahagia keduanya tak berselang lama. Tiba tiba saja—
—keduanya tersentak kaget tatkala sepasang netra madu dan netra kelam itu berhasil menyorot kilat petir yang menyambar ganas, menciptakan lantai keramik menjadi berwarna hitam layaknya benda yang terbakar. Diluar kelas gelegar suara petir yang sedang saling adu suara, bergaung hebat. Tanpa sadar tangan keduanya saling bertaut. Menggenggam tanpa kata yang terucap.
Cuaca diluar gelap gulita. Angin berhembus kencang seolah tengah murka. Padahal, beberapa saat yang lalu matahari tengah sombong sombongnya, bersinar terik. Panas, tidak berawan hitam. Tetapi, entah bagaimana ceritanya kekacauan ini terjadi.
Ada apa?
Jeritan siswa siswi bergaung menjadi satu. Menciptakan nada suara yang memilukan. Kaca kaca jendela pecah. Sebagian siswa terluka akibat pecahan kaca tersebut.
Odelia, gadis bermata coklat madu itu hampir saja menjadi target kaca selanjutnya jika saja, Osric pemuda berambut pirang itu tidak dengan cepat mendekap sang gadis. Menjauhkannya dari goresan luka. Beruntungnya.
"Ini kenapa sih, ada apa?" Tanyanya seraya menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Osric. Gelenyar suara ketakutannya terdengar jelas sekali.
Odelia lantas terdiam. Shock di tempat, tubuhnya kaku. Wajahnya pucat pasi, kulitnya yang putih bersih semakin putih. Kini justru kulit gadis itu layaknya vampire dalam cerita kuno. Gadis itu juga membiarkan Osric mendekapnya. Sesuatu yang bukan Odelia sekali. Jika dalam situasi normal, ia pasti enggan diperlakukan sedemikian rupa oleh orang baru.
Osric menunduk, menghidu aroma surai Odelia dalam. Matanya terpejam, namun pendengarannya awas. "Gak akan ada apa apun yang terjadi sama lo. Lo aman sekarang. Ada gue, pokoknya jangan jauh jauh dari gue mulai sekarang."
Odelia mengangguk patuh. Hatinya mulai digandrungi ketakutan dan kekhawatiran. Ia pun melepas pelukan pemuda itu kala dirasakannya permukaan kelas yang ia pijak bergetar hebat. Dinding kelas mulai retak. Sontak saja, para siswa siswi berhamburan keluar kelas. Berusaha menyelamatkan dirinya masing masing.
Gadis itu merintih kesakitan kala volume kebisingan terus meningkat. Telinganya sangat sakit. Ia berusaha meredam suara dengan menutup telinganya dibantu kedua tangannya. Namun, gagal. Volume suara suara itu tidak berkurang sedikit pun. Justru semakin keras. Osric panik, namun raut wajahnya lihai. Ia nampak begitu tenang.
"Odelia lo–"
"—OSRIC AWAS?!"
Tanpa menoleh, pemuda itu menggerakan telunjuknya ke arah bingkai kaca jendela yang hendak jatuh menimpa ke arahnya, hingga bingkai kaca jendela itu hancur menjadi beberapa kepingan kecil seperti partikel halus.
"Kita harus keluar sekarang." Tangannya menuntun gadis itu menuju pintu kelas. Namun langkah keduanya terpaksa terhenti, tatkala Odelia mencengkram erat tangan Osric.
"Tunggu. Sebentar saja, gue mau mastiin beberapa hal dulu." Katanya, dengan suara pelan.
Garis wajah gadis itu berubah tajam, matanya awas. Sorot matanya menajam, menghujam setiap sudut kelas yang kini hampir roboh. Memandang curiga, menyadari ada sesuatu yang janggal, yang hampir saja terlewatkan.
Odelia menoleh, menatap Osric dengan raut wajah penuh tanda tanya. "Osric, lo liat *******mereka*******? Kenapa mereka gak terlihat satu pun, Ric?"
Osric terhenyak. Ia kalah cepat menyadari hal itu. "Lo bener. Disaat seperti ini, setan selalu merasa senang."
Gadis itu benar, mereka tak tampak barang sesosok pun. Kemana mereka? Kenapa mereka tak tampak? Osric mulai bergelut dengan pikirannya. Mulai larut memikirkan berbagai hal. Hingga menyadari posisi mereka yang kini berbahaya.
Odelia memekik kesakitan. Telinganya berdengung. Bunyi kretek-kretek berkumandang, alarm tanda atap di atas mereka semakin rapuh. Dalam hitungan menit, dipastikan atap itu akan roboh.
"Osric." Rintihnya.
Gadis itu mulai kehilangan gravitasi buminya. Tubuhnya terasa ringan, samar samar, suara Osric yang terus memanggilnya bergaung dan menggema. Setelahnya, kegelapan berhasil menguasai sang gadis.
"Odelia. Delia, Delia!"
Pemuda berambut pirang itu menghentakkan kepalanya. Matanya membulat. Netra gelap itu berkedip, raut wajahnya tajam tatkala melihat darah menetes dari hidung Odelia diiringi teriakan kesakitannya sebelum tak sadarkan diri.
Pemuda itu yang tak lain Osric menangkap tubuh mungil itu dengan posesif. Di ruangan itu kini hanya tersisa dua orang, hanya dirinya dan Odelia yang tak sadarkan diri. Sedangkan siswa siswi yang lainnya berhasil keluar kelas. Walau beberapa ada yang terluka.
Osric memejamkan matanya rapat. Bibirnya bergerak tanpa suara. Sebuah cahaya biru terang berpendar, bersamaan dengan atap kelas yang runtuh.
Semuanya kacau. Kekacauan itu dimulai sejak keduanya saling memberitahu nama keduanya. Tapi–
–Kenapa bisa demikian? apa yang terjadi?
*****
Osric, pemuda itu kini tengah menjelajahi bangunan sekolahnya, yang rasanya, sudah tak pantas di sebut bangunan sekolah setelah terjadi kekacauan besar. Puing puing bangunan berserakan. Semua fasilitas sekolah rusak. Tak ada sisa.
Beberapa tim medis tengah melakukan tugasnya, mengobati sebagian siswa siswi yang luka dan sebagian lainnya dipulangkan karena kondisi yang tidak memungkinkan.
Dalam benak Osric ia bertanya tanya, akan seperti apa reaksi Daddynya nanti saat tahu dan melihat bangunan sekolah kesayangannya sekarang. Ia berharap jantung Daddy nya akan baik-baik saja. Setidaknya, Daddynya tidak akan sinting dalam waktu dekat. Semoga, ya, semoga saja.
Namun anehnya, semua kekacauan tadi hanya terjadi disini. Diluar sekolah tampak seperti biasa. Tidak ada satu jejak pun yang dapat ditemukan dari insiden mengerikan beberapa saat lalu. Ini terlalu aneh bukan? Dan bagaimana ini bisa terjadi?
Ia juga sudah mengecek dan mencari berita terbaru mengenai bencana alam di internet. Barangkali memang baru baru ini, sebagian wilayah Indonesia mengalami gempa bumi. Atau dilanda fenomena alam lainnya yang imbasnya mengenai wilayah sekolahnya.
Namun, nihil. Tiada berita apapun yang ia temukan mengenai fenomena yang terjadi pada sekolahnya. Atau informasi bencana alam di sekitar wilayahnya pun tidak ada sama sekali. Oh, come on! sekarang era digital, segala sesuatu dapat diperoleh dengan mudah.
Tak sampai disitu, ada sebuah tempat bagian sekolah ini yang seolah tak tersentuh. Seperti tidak terkena guncangan besar beberapa saat lalu. Yaitu taman belakang sekolah. Setelah ia berhasil membawa dirinya dan seorang gadis keluar dari keadaan membahayakan, Osric membawa Odelia yang tak sadarkan diri ke taman belakang. Dan untuk sementara waktu, gadis itu ia tinggalkan sendirian disana.
Oh, wait! Something happen. Sepertinya ia melakukan kesalahan. Gadisnya—
—Osric terpaku. Matanya tiba tiba saja menatap kosong pemandangan di depannya, lalu ia menutup kelopak matanya, mencoba memusatkan penglihatan mata batinnya. Indra keenamnya.
Disana! di dunia yang berbeda, ia melihat, Odelia masih dengan seragam sekolahnya, nampak kebingungan. Ia–
—di dunia Astral. Dunia yang memisahkan antara hidup dan mati. Dunia yang saling berdampingan, walau tak tampak oleh mata biasa, karena perlu keistimewaan untuk dapat melihat dan berinteraksi dengan mereka yang sudah mati.
Secara seksama, gadis itu baru akan memasuki ke dunia astral. Ibarat sebuah rumah, ia baru sampai di pelataran rumah, belum melewati pintu utama rumah. Sama halnya dengan Odelia, gadis itu baru sampai di gerbangnya.
Sepanjang lorong, suasana disana berwarna merah terang. Semua pintu astral tertutup rapat. Keadaan sunyi, senyap. Tak ada tanda tanda kehidupan. Tetapi, keberadaan mereka, dirasa sangat kuat. Dan jumlahnya, tak terhitung. Mereka bersembunyi. Tetapi–
–Why? Dan bagaimana gadis itu bisa sampai disana secara tiba tiba? yang mengherankan lagi, kenapa semua pintu astral tertutup rapat. Jika memang ia terpanggil untuk menyelesaikan misi, biasanya seorang petualang akan langsung masuk ke dunia mereka tidak seperti sekarang.
Selain itu, biasanya, jika ada sebuah misi atau seorang petualang terpanggil, ada sebuah pintu yang terbuka dan menyala terang. Tapi, ini? Apa mungkin, sukma gadis itu keluar dengan sendirinya?
Atau, mungkinkah, gadis itu belum dapat mengendalikan kemampuan Astralnya? Sungguh, benarkah seperti itu?
Osric mengepalkan tangannya erat, geram rasanya. Tubuhnya ia putar, dan dengan kesetanan berlari menuju taman belakang. Dapat ia lihat pula dengan mata terbuka, di depan gadis itu kira kira berjarak lima meter, sosok pria dengan jubah hitam seukuran orang dewasa dengan rantai besi panjang ditangannya, berdiri menjulang seolah memang sedang menunggu kedatangan Odelia. Sosok itu begitu mencolok diantara keadaan disana yang serba merah.
Sedangkan Odelia, ia hanya mampu terdiam. Dirinya kaku, ingin berlari menjauh namun seluruh syaraf di tubuhnya seolah mati. Ia tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Sedangkan, peluh bercucuran deras. Gadis itu panik.
Oh, tolong aku! Apa yang terjadi?
Dan kemungkinan terburuknya, gadis itu berada dalam bahaya.
Tolong!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!