NERO: The Deep Sea Rider
Permukaan laut beriak tak beraturan. Getaran arus di dasar samudra menaikkan gelombang, hingga mampu mengaramkan perahu nelayan. Nyatanya, hal itu hanya refleksi kecil dari kegaduhan di bawahnya. Jauh dari penglihatan manusia dan makhluk berdarah panas lainnya.
"TERPILIH! Sang Ratu sudah terpilih!" seru Bulla, si Kepala Penasihat, yang langsung disambut gemuruh oleh Atlantican, rakyat Atlantica, di aula besar.
Mereka bersorak, menari, dan sebagian melakukan salto di dalam air, membuat lingkaran buih.
"TIDAK SETUJU!" pekik Mentri Obster sambil mengentakkan tongkat trisulanya, "bagaimana mungkin makhluk berdarah campuran seperti itu bisa memimpin negeri kita yang besar ini?" sambungnya.
"Samudra telah memilihnya. Kau menyaksikannya sendiri di pantulan cermin Mata Samudra tadi," jelas Bulla.
Wajah Mentri Obster mengeras dan semakin menunjukkan kebengisan di mukanya. Ia pun berlalu setelah menganggukkan kepala untuk memberi salam, "Bulla!"
Beberapa mentri penasihat yang sependapat dengannya ikut berpamitan. Ekor Mentri Obster yang kuat, mengibas keras sampai membentuk arus. Tiga Atlantican yang tengah bersalto terhuyung dibuatnya.
"Kita tak bisa tinggal diam. Apa jadinya Atlantica di bawah seorang ratu berkaki?" ujar salah seorang pengikut Mentri Obster yang berenang di belakangnya.
"DIAM!" teriak sang Mentri. Ia memutar tubuhnya, lalu mengayunkan trisulanya. Satu senti lagi, leher itu akan memiliki lubang dan pastinya akan menarik hiu pemburu untuk mendekat. "Tak perlu kau ingatkan lagi tentang 'kaki'. Aku muak melihat makhluk itu dalam Mata Samudra. Tidak akan kubiarkan makhluk darat itu dinobatkan." Mentri Obster meninggalkan para pengikutnya dan berenang lebih cepat menuju ruangannya.
Sesuai tradisi, seluruh kerajaan akan dihias untuk menyambut Sang Terpilih. Bukan hanya istana, tetapi seluruh penjuru negeri. Terumbu karang mempercantik dirinya dengan warna-warni yang indah. Sekumpulan ubur-ubur melatih tariannya. Lumba-lumba juga hiu penjaga ikut ambil bagian dalam penyambutan, bahkan para paus sudah menyiapkan nyanyian mereka. Kepala Mentri Penasihat memang belum mengumumkan kapan pastinya sang Ratu akan datang, tetapi seluruh Atlantica mulai bersolek untuknya.
Bulla sendiri yang akan menjemput calon ratu dari asalnya. "Anak yang menarik," gumamnya sambil terus berenang menuju permukaan.
...*...
[Jauh di luar Atlantica]
"Ke mana anak itu? Hari semakin gelap tapi belum tampak batang hidungnya," gerutu lelaki dengan kumis dan brewok tipis. Dia memandang cemas ke jalan setapak yang mengarah ke teluk. "Semakin lama, anak itu semakin sering ke teluk. Apa dia sudah tahu sesuatu tentang Atlan...."
"Papaaaa!"
Suara riang itu membuatnya tak melanjutkan kalimatnya. Rambut leam sebahu, bergoyang seirama dengan gerak tubuhnya. "Akuari," lirih Ivan.
"Papa!" seru gadis itu sembari memeluk tubuh yang mematung.
Pelukan itu menyadarkannya. "Nero," tuturnya pelan.
"Papa, melamun lagi? Memangnya yang Papa harapkan siapa?" Nero merajuk sambil menarik tangannya, lalu bersedekap, dan membelakangi Ivan.
"Sayang, jangan marah!" Ivan membalikkan tubuh putrinya, "sekilas tadi, Papa melihat sosok Mama dalam dirimu," sambungnya sambil menatap lekat mata hijau kecokelatan di hadapannya.
"Benarkah? Apa aku mirip Mama?"
"Sudahlah! Ayo cepat masuk. Lihat! Pakaianmu basah seperti ini. Cepat mandi, lalu kita makan malam. Papa membuatkanmu pasta keju."
Nero masuk ke kamarnya sambil bersenandung. Ia tampak bahagia, semua terpancar dari wajahnya yang ceria. Selesai berganti pakaian, remaja putri itu langsung menuju dapur. Hidungnya menangkap aroma sedap yang terus menggelitik perutnya yang bergejolak.
"Papa, ini lezat sekali. Cream cheese Fettuchini, favoritku," ujarnya dengan mulut penuh.
Gadis itu makan dengan lahapnya. Cairan berwarna putih memenuhi bibirnya, setelah ia memasukkan suapan besar pasta ke dalam mulut. Nero menjilati bibirnya, lalu kembali melahap fettuchini di piringnya.
“Sayang! Apa kau berenang di teluk lagi?”
Nero tersedak mendengar pertanyaan yang begitu tiba-tiba dan tanpa basa-basi. Ia menenggak segelas air putih, lalu mengatur napasnya, "Papa! Teman-temanku di sini banyak yang berenang di sana, dan aku rasa tidak ada yang menanyakan itu pada mereka?"
"Nero, kau tau pasti 'berenang' yang Papa maksud."
"Oh come on, Pa! Tidak semua anak, mm bukan, bahkan hanya sedikit manusia yang bisa berenang bebas dengan lumba-lumba. It's awesome! Seolah-olah, aku dan Dolp bisa saling mengerti. Aku juga tak tau mengapa saat berada di laut, hati dan pikiranku tenang. Kadang aku merasa, aku bisa hidup di dalam air," mata gadis itu menerawang menembus dinding, jauh hingga lautan yang dimaksud olehnya.
"STOP IT!" Seru Ivan. Ia bangkit dari kursinya, "I’ve done!"
Nero ikut merasa kesal. Setiap kali ia membicarakan laut, Papanya selalu terlihat gusar. Sejak beberapa bulan terakhir, Papanya semakin intens melarang. Gadis itu bukannya menurut, justru sebaliknya, ia semakin penasaran dengan sikap Papanya dan mulai menaruh curiga, seperti ada sesuatu yang disembunyikan darinya.
Sisa hari itu ditutup dengan saling diam. Nero kembali ke kamarnya. Hanya terdengar dentingan gantungan pintu yang terbuat dari logam dan kulit kerang, pemberian Napoleon.
"LEON!" Nero menendang selimut, lalu menyambar ponselnya di meja, begitu teringat sahabatnya.
“Leon, maaf. Tadi aku pulang begitu saja. Aku lupa bahwa hari ini aku memintamu menunggu di mercusuar. Jangan marah, ya! Oiya, besok aku akan kerumahmu,” tulis Nero dalam pesannya. Dia terpaksa mengirimkan pesan singkat, karena ponsel Leon tidak bisa dihubungi. "Semoga dia sudah pulang dan tak marah," batinnya.
...*...
Matahari menyusupkan sinarnya melalui celah jendela, memaksa pemilik kamar untuk bangun dari peraduan. Tak seperti biasanya, pagi ini begitu lengang.
“Papa ke mana, ya? Biasanya Papa akan mengetuk pintu berkali-kali untuk membangunkanku. Dia pergi atau masih marah?” Nero bergumam sambil menyeret tubuhnya ke kamar mandi.
Badan gadis itu terasa lebih segar setelah diguyur air dingin. Dia menyambar kaos oblong berpotongan longgar dan celana denim selutut. Nero memutar matanya, menyapu seluruh ruangan mencari Ivan. Gadis itu beralih ke dapur, dia hanya mendapati setangkup roti panggang dan segelas jus jeruk di meja dapur.
Nero menghabiskan sarapannya dengan cepat, lalu mencuci peralatan makannya. Dia melihat seseorang berdiri di halaman depan. Meski hanya melihat punggungnya saja, dia tahu itu siapa. Alih-alih menghampirinya, Nero memilih kembali ke kamar, menyalakan musik, dan membaca komik di atas ranjangnya.
Rumah mungil itu memang tampak sepi, hari ini terlihat lebih sunyi tanpa ada percakapan dari penghuninya. Pun saat santap siang, Ivan dan Nero sama-sama tak bersuara. Sungguh orangtua dan anak yang keras kepala.
Mereka berdua mengerjakan kegiatannya masing-masing tanpa bertegur sapa sepanjang hari. Hingga Nero mulai bersuara.
"Pa! Aku mau ke rumah Leon dan makan malam di sana," ujarnya dari balik pintu kayu bercat putih.
Rumah itu memang didominasi warna putih. Mulai dari dinding, plafon hingga sebagian besar furniturnya, kecuali lantai parket yang dibiarkan berwarna alami, cokelat. Perang dingin keduanya belum usai. Tapi jelas satu hal, sifat keras kepala gadis itu diperoleh dari siapa.
Ivan tak memberi tanggapan atas ucapan putrinya. Meski merasa kesal, Nero berusaha abai, lalu mengeluarkan sepedanya. Remaja putri itu tengah berada di atas sepeda dan siap untuk mengayuhnya, saat Ivan mendekat dan berdiri di ambang pintu.
"Usahakan pulang sebelum jam Delapan. Ada yang mau Papa tunjukkan padamu.
...**...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Kamaratih
bintang 5 done
2021-07-10
1
Caramelatte
dan ku hadirrr membawa like dan comment
2020-12-18
1
@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ
salam kenal kakak
asisten dadakan hadir😘
mampir yuk kak..
semangat teruss💪
2020-12-17
1