Permukaan laut beriak tak beraturan. Getaran arus di dasar samudra menaikkan gelombang, hingga mampu mengaramkan perahu nelayan. Nyatanya, hal itu hanya refleksi kecil dari kegaduhan di bawahnya. Jauh dari penglihatan manusia dan makhluk berdarah panas lainnya.
"TERPILIH! Sang Ratu sudah terpilih!" seru Bulla, si Kepala Penasihat, yang langsung disambut gemuruh oleh Atlantican, rakyat Atlantica, di aula besar.
Mereka bersorak, menari, dan sebagian melakukan salto di dalam air, membuat lingkaran buih.
"TIDAK SETUJU!" pekik Mentri Obster sambil mengentakkan tongkat trisulanya, "bagaimana mungkin makhluk berdarah campuran seperti itu bisa memimpin negeri kita yang besar ini?" sambungnya.
"Samudra telah memilihnya. Kau menyaksikannya sendiri di pantulan cermin Mata Samudra tadi," jelas Bulla.
Wajah Mentri Obster mengeras dan semakin menunjukkan kebengisan di mukanya. Ia pun berlalu setelah menganggukkan kepala untuk memberi salam, "Bulla!"
Beberapa mentri penasihat yang sependapat dengannya ikut berpamitan. Ekor Mentri Obster yang kuat, mengibas keras sampai membentuk arus. Tiga Atlantican yang tengah bersalto terhuyung dibuatnya.
"Kita tak bisa tinggal diam. Apa jadinya Atlantica di bawah seorang ratu berkaki?" ujar salah seorang pengikut Mentri Obster yang berenang di belakangnya.
"DIAM!" teriak sang Mentri. Ia memutar tubuhnya, lalu mengayunkan trisulanya. Satu senti lagi, leher itu akan memiliki lubang dan pastinya akan menarik hiu pemburu untuk mendekat. "Tak perlu kau ingatkan lagi tentang 'kaki'. Aku muak melihat makhluk itu dalam Mata Samudra. Tidak akan kubiarkan makhluk darat itu dinobatkan." Mentri Obster meninggalkan para pengikutnya dan berenang lebih cepat menuju ruangannya.
Sesuai tradisi, seluruh kerajaan akan dihias untuk menyambut Sang Terpilih. Bukan hanya istana, tetapi seluruh penjuru negeri. Terumbu karang mempercantik dirinya dengan warna-warni yang indah. Sekumpulan ubur-ubur melatih tariannya. Lumba-lumba juga hiu penjaga ikut ambil bagian dalam penyambutan, bahkan para paus sudah menyiapkan nyanyian mereka. Kepala Mentri Penasihat memang belum mengumumkan kapan pastinya sang Ratu akan datang, tetapi seluruh Atlantica mulai bersolek untuknya.
Bulla sendiri yang akan menjemput calon ratu dari asalnya. "Anak yang menarik," gumamnya sambil terus berenang menuju permukaan.
...*...
[Jauh di luar Atlantica]
"Ke mana anak itu? Hari semakin gelap tapi belum tampak batang hidungnya," gerutu lelaki dengan kumis dan brewok tipis. Dia memandang cemas ke jalan setapak yang mengarah ke teluk. "Semakin lama, anak itu semakin sering ke teluk. Apa dia sudah tahu sesuatu tentang Atlan...."
"Papaaaa!"
Suara riang itu membuatnya tak melanjutkan kalimatnya. Rambut leam sebahu, bergoyang seirama dengan gerak tubuhnya. "Akuari," lirih Ivan.
"Papa!" seru gadis itu sembari memeluk tubuh yang mematung.
Pelukan itu menyadarkannya. "Nero," tuturnya pelan.
"Papa, melamun lagi? Memangnya yang Papa harapkan siapa?" Nero merajuk sambil menarik tangannya, lalu bersedekap, dan membelakangi Ivan.
"Sayang, jangan marah!" Ivan membalikkan tubuh putrinya, "sekilas tadi, Papa melihat sosok Mama dalam dirimu," sambungnya sambil menatap lekat mata hijau kecokelatan di hadapannya.
"Benarkah? Apa aku mirip Mama?"
"Sudahlah! Ayo cepat masuk. Lihat! Pakaianmu basah seperti ini. Cepat mandi, lalu kita makan malam. Papa membuatkanmu pasta keju."
Nero masuk ke kamarnya sambil bersenandung. Ia tampak bahagia, semua terpancar dari wajahnya yang ceria. Selesai berganti pakaian, remaja putri itu langsung menuju dapur. Hidungnya menangkap aroma sedap yang terus menggelitik perutnya yang bergejolak.
"Papa, ini lezat sekali. Cream cheese Fettuchini, favoritku," ujarnya dengan mulut penuh.
Gadis itu makan dengan lahapnya. Cairan berwarna putih memenuhi bibirnya, setelah ia memasukkan suapan besar pasta ke dalam mulut. Nero menjilati bibirnya, lalu kembali melahap fettuchini di piringnya.
“Sayang! Apa kau berenang di teluk lagi?”
Nero tersedak mendengar pertanyaan yang begitu tiba-tiba dan tanpa basa-basi. Ia menenggak segelas air putih, lalu mengatur napasnya, "Papa! Teman-temanku di sini banyak yang berenang di sana, dan aku rasa tidak ada yang menanyakan itu pada mereka?"
"Nero, kau tau pasti 'berenang' yang Papa maksud."
"Oh come on, Pa! Tidak semua anak, mm bukan, bahkan hanya sedikit manusia yang bisa berenang bebas dengan lumba-lumba. It's awesome! Seolah-olah, aku dan Dolp bisa saling mengerti. Aku juga tak tau mengapa saat berada di laut, hati dan pikiranku tenang. Kadang aku merasa, aku bisa hidup di dalam air," mata gadis itu menerawang menembus dinding, jauh hingga lautan yang dimaksud olehnya.
"STOP IT!" Seru Ivan. Ia bangkit dari kursinya, "I’ve done!"
Nero ikut merasa kesal. Setiap kali ia membicarakan laut, Papanya selalu terlihat gusar. Sejak beberapa bulan terakhir, Papanya semakin intens melarang. Gadis itu bukannya menurut, justru sebaliknya, ia semakin penasaran dengan sikap Papanya dan mulai menaruh curiga, seperti ada sesuatu yang disembunyikan darinya.
Sisa hari itu ditutup dengan saling diam. Nero kembali ke kamarnya. Hanya terdengar dentingan gantungan pintu yang terbuat dari logam dan kulit kerang, pemberian Napoleon.
"LEON!" Nero menendang selimut, lalu menyambar ponselnya di meja, begitu teringat sahabatnya.
“Leon, maaf. Tadi aku pulang begitu saja. Aku lupa bahwa hari ini aku memintamu menunggu di mercusuar. Jangan marah, ya! Oiya, besok aku akan kerumahmu,” tulis Nero dalam pesannya. Dia terpaksa mengirimkan pesan singkat, karena ponsel Leon tidak bisa dihubungi. "Semoga dia sudah pulang dan tak marah," batinnya.
...*...
Matahari menyusupkan sinarnya melalui celah jendela, memaksa pemilik kamar untuk bangun dari peraduan. Tak seperti biasanya, pagi ini begitu lengang.
“Papa ke mana, ya? Biasanya Papa akan mengetuk pintu berkali-kali untuk membangunkanku. Dia pergi atau masih marah?” Nero bergumam sambil menyeret tubuhnya ke kamar mandi.
Badan gadis itu terasa lebih segar setelah diguyur air dingin. Dia menyambar kaos oblong berpotongan longgar dan celana denim selutut. Nero memutar matanya, menyapu seluruh ruangan mencari Ivan. Gadis itu beralih ke dapur, dia hanya mendapati setangkup roti panggang dan segelas jus jeruk di meja dapur.
Nero menghabiskan sarapannya dengan cepat, lalu mencuci peralatan makannya. Dia melihat seseorang berdiri di halaman depan. Meski hanya melihat punggungnya saja, dia tahu itu siapa. Alih-alih menghampirinya, Nero memilih kembali ke kamar, menyalakan musik, dan membaca komik di atas ranjangnya.
Rumah mungil itu memang tampak sepi, hari ini terlihat lebih sunyi tanpa ada percakapan dari penghuninya. Pun saat santap siang, Ivan dan Nero sama-sama tak bersuara. Sungguh orangtua dan anak yang keras kepala.
Mereka berdua mengerjakan kegiatannya masing-masing tanpa bertegur sapa sepanjang hari. Hingga Nero mulai bersuara.
"Pa! Aku mau ke rumah Leon dan makan malam di sana," ujarnya dari balik pintu kayu bercat putih.
Rumah itu memang didominasi warna putih. Mulai dari dinding, plafon hingga sebagian besar furniturnya, kecuali lantai parket yang dibiarkan berwarna alami, cokelat. Perang dingin keduanya belum usai. Tapi jelas satu hal, sifat keras kepala gadis itu diperoleh dari siapa.
Ivan tak memberi tanggapan atas ucapan putrinya. Meski merasa kesal, Nero berusaha abai, lalu mengeluarkan sepedanya. Remaja putri itu tengah berada di atas sepeda dan siap untuk mengayuhnya, saat Ivan mendekat dan berdiri di ambang pintu.
"Usahakan pulang sebelum jam Delapan. Ada yang mau Papa tunjukkan padamu.
...**...
Butuh lima belas menit untuk sampai di rumah Leon. Nero tiba di sebuah rumah besar dengan halaman depan yang cukup luas. Pagar tempat itu dibiarkan tanda pintu. Nero yakin, halaman itu bisa dipakai untuk bermain bola.
Nero memarkirkan sepedanya di samping pilar paling pinggir, lalu menekan bel di dekat pintu. Terdengar alunan musik yang merdu sesaat setelah tombol ditekan. Tak menunggu lama, pintu pun terbuka.
"Hai, Nero! Apa kabar? Ayo masuk!" sapa seorang gadis muda, yang langsung menarik tangan Nero. Dia Marine, adik sepupu Leon. Usianya dan Nero hanya terpaut setahun. "Leon sudah menunggumu dari tadi. Dia ada di halaman belakang bersama Papa," ujar Marine tanpa henti dan terus menggandeng tangan Nero.
Tercium aroma yang sedap. Semakin mendekati area belakang rumah, aroma itu semakin kuat, lalu terlihat asap putih mengepul ke udara.
"Sore, Om!" sapa Nero, saat melihat seorang pria yang seumuran dengan Papanya menoleh.
"Sore, Sayang! Kemarilah! Pas sekali, kami baru saja membuat ikan bakar. Kau pasti sudah mencium aromanya, kan?" seru Jhon sembari membetulkan kaca matanya.
Nero memperhatikan sosok Leon yang masih diam, sama seperti Papanya di rumah. Leon sengaja memunggunginya dan terus mengipasi beberapa sosis di panggangan. Nero mendengar suara samar dari dalam rumah, "Sepertinya itu suara tante Lucy, biar aku yang ke dalam," ujar Nero menawarkan bantuan dan langsung masuk lagi ke dalam rumah.
Tak lama gadis berambut hitam itu keluar dengan membawa setumpuk piring. Marine menghampiri dan membantunya membawa sebagian, lalu menatanya di atas sebuah meja kayu besar di bawah pohon.
Biasanya Leon yang membantuku. Apa dia marah karena kemarin? ujar Nero dalam hati.
"Om tinggal dulu, ya. Marine, sini bantu Papa!" ucapnya sambil melambaikan tangan.
Dalam sekejap halaman belakang itu menjadi lengang. Hanya terdengar suara letupan-letupan kecil dari panggangan dan daun-daun yang bergesek karena hembusan angin.
Nero mendekati Leon dengan perlahan, "Leon! Aku minta maaf soal kemarin. Aku nggak bermaksud meninggalkanmu di sana." Nero membuka suara dengan wajah tertunduk.
Pemuda itu masih diam. Biasanya dia selalu ceria dan cerewet.
"Leon, kau masih marah?" ujarnya sambil terus mendekat.
Baru dua langkah ia berjalan, tiba-tiba Leon membalik badannya dan berteriak "AAAAAAA."
Nero kaget hingga tubuhnya terjerembab ke tanah. Pemuda berambut cokelat itu bukannya menolong, tetapi malah terpingkal sembari memegangi perutnya. Ia melempar topeng badut ke tubuh Nero yang masih terduduk di rumput.
"Aku pulang!" seru gadis itu jengkel.
"Satu sama,” sahut Leon. “Gitu saja marah, terus ngambek mau pulang."
Nero tak menggubris ucapan Leon, dia tetap melangkah menuju pintu.
Setengah berlari, Leon mengejarnya, "Oke. Oke. Maaf! Jangan pulang, ya! Aku udah capek-capek masak nih," ucapnya lesu.
Nero menghentikan langkahnya, ia berbalik, "Dua-satu," katanya, lalu terkekeh.
Leon mengacak rambut hitam Nero. Mereka tertawa dan kembali menuju pemanggang. Nero membantu Leon menyelesaikan masakannya. Setelah siap, Leon memanggil keluarga lainnya untuk bersantap. Mereka berlima menikmati makan malam di bawah hamparan cahaya bintang di halaman belakang.
Topik perbincangan malam itu tentang Leon yang menunggu Nero berjam-jam di mercusuar, sedangkan yang ditunggu tak kunjung datang. Marine menunjukkan raut wajah Leon yang ditekuk karena kesal sesampainya di rumah. Sontak semua terawa. Tapi yang paling lucu adalah bintik-bintik merah yang memenuhi wajah Leon, karena gigitan nyamuk.
Untung saja tante Lucy langsung mengoleskan gel pengurang gatal, jadi Leon tidak menggaruknya terus, atau akan menimbulkan bekas di kulitnya.
Nero semakin merasa menyesal telah melupakan janjinya, "Maaf ya. Aku terlalu asyik berenang dengan Dolp, jadi aku lupa padamu."
"Dolp? Siapa Dolp? Apa Rudolf anaknya tetangga kita yang rumahnya di ujung jalan?" potong Marine.
“Ng, itu. Bukan. Bukan dia,” sanggah Nero gugup.
"Rudolph. Dengan P dan H, bukan F. Namanya memang mirip tapi bukan anak itu. Dia saudara Nero yang baru datang dari jauh. Iya kan, Nero?" sela Leon.
"I..iya sodaraku," timpalnya.
“Saudara?” kali ini Om Jhon yang bertanya dengan serius.
“Ya, saudara dari Mama,” sahut Nero perlahan.
“Pantas aku tak mengenalnya. Tapi, mengapa tidak kau ajak sekalian ke sini?” tukas Om Jhon.
Nero mengarang cerita, bahwa Dolp, saudaranya itu hanya mampir sebentar dan tidak menginap. Jadi, dia tidak bisa mengajaknya berkunjung. Untung saja penjelasan Nero bisa diterima, dan tidak ada pertanyaan lebih lanjut tentang Dolp. Sisa percakapannya diisi oleh lelucon Om Jhon seperti biasanya, walau tak lagi lucu karena ia kerap kali mengulang joke yang sama.
Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Jam dinding sudah menunjukan pukul tujuh lewat empat puluh, ia pun berpamitan pada keluarga Om Jhon dan berterima kasih atas makan malamnya. Om Jhon, tante Lucy, dan Marine, mengantar Nero hingga halaman depan, Leon akan menemaninya pulang dengan bersepeda.
“Aku yang jarang bertemu dengan Om Jhon saja bingung setiap kali dia menceritakan lelucon. Saat kali pertama, aku bisa tertawa, bahkan untuk yang kedua. Setelah mendengarkannya lebih dari tiga kali, rasanya sulit untuk tertawa,” tutur Nero membuka obrolan.
Leon mengamini apa yang dikatakan Nero. “Seringnya aku kabur saat melihat tanda-tanda Om Jhon akan mencoba melucu,” timpalnya. “Anehnya, tante Lucy masih bisa terpingkal setiap kali Om Jhon bercerita. Padahal mungkin saja dia sudah mendengarnya ratusan kali.”
“Kau lihat bagaimana wajah Marine saat Om Jhon meledeknya begitu dekat dengan Rudolf?”
Leon menyeringai. “Mukanya seperti kepiting asap.”
Keduanya tertawa mengingat kejadian itu. “Tadi terima kasih, ya!” ucap Nero pelan. Leon melemparkan tatapan bingung. “Soal Dolp.” Leon menganggukkan kepala tanda mengerti. “Jika tersudut, mungkin aku akan menceritakan yang sebenarnya. Lalu mereka akan menganggapku gila karena berteman dengan lumba-lumba, atau yang terparah, mereka akan menyangka semua itu halusinasi.”
Nero melirik ke Leon yang masih tidak mengucapkan apa-apa. “Aku masih ingat janji itu. Aku akan mengenalkannya padamu. Secepatnya.”
Leon mengulum senyum mendengarnya. Mereka melanjutkan perjalanan dalam diam. Keduanya memusatkan perhatian pada jalanan kecil di depan mereka, yang disinari cahaya bulan.
“Mau masuk?” tawar Nero begitu sampai di depan pagar rumahnya.
Leon menggeleng. “Lain kali saja. Aku masih ada tugas yang harus diselesaikan. Sampaikan salamku untuk Om Ivan.” Leon langsung memutar sepedanya, setelah memastikan gadis yang diantarnya masuk rumah.
...*...
Setelah mandi dan berganti pakaian, Nero menghampiri Ivan yang sedang menonton tayangan TV. Meski masih kesal dengan kejadian kemarin, tapi dia juga tidak tahan terus perang dingin dengan Papanya.
"Nero, sini!” ujar Ivan sambil menepuk sofa di sebelahnya.
Nero menurut tanpa membantah.
“Papa ingin menunjukkan sesuatu." Ivan menyodorkan sebuah buku bersampul biru kehijauan yang tampak usang. "Ini buku harian Mama.”
Dengan cepat Nero menyambar buku itu. Dia membuka halamannya satu per satu, lalu gurat kecewa muncul di wajahnya. Dia melihat Ivan dengan tatapan penuh tanya. "Papa bercanda, ya? Buku ini
kosong!"
**
"Papa! Buku ini kosong!" seru Nero lagi sambil menunjukkan halaman-halaman tanpa tulisan.
Suaranya tertahan di tenggorokan. Dia ingin marah dan berteriak, tapi itu papanya. Dia kesal dan merasa dibohongi. Untuk hal lain dia tak peduli, tapi ini tentang mamanya. Orang yang belum pernah dikenalnya sejak kecil. Nero beranjak dari sofa dan menuju kamar dengan buku itu di tangannya. Ia membanting pintu dengan keras hingga berdebum.
Ivan mengetuk pintu berulang kali, tapi tidak ada jawaban. Dia menekan tuas dan mendorongnya, berharap Nero tidak mengunci pintu tersebut. Harapannya terkabul. Dia masuk dan melihat putrinya sedang menenggelamkan wajah dalam buku yang terbuka.
Ivan tahu Nero menangis. Tubuh dan kepalanya terlihat bergetar. Buliran bening itu jatuh setetes demi setetes, membentuk pulau dalam kertas yang usang, sedangkan sebagian lagi tumpah membasahi bantal.
"Honey, Look!" ucapnya lembut. Tangannya yang hangat mengusap dengan lembut kepala putrinya.
Nero menegakkan kepalanya. Pupil matanya membesar dan mulutnya terbuka. Aliran di pipinya berhenti seketika. Ia mengerjap berkali-kali untuk memastikan apa yang dilihatnya barusan. Halaman kosong itu tiba-tiba menampakan beberapa goresan, tepat memenuhi bagian kertas yang basah oleh air matanya. Namun rangkaian goresan yang tak dimengerti artinya itu, lenyap begitu saja seiring dengan mengeringnya halaman itu.
Nero menoleh ke arah Ivan. Mata hijau kecokelatan itu memancarkan tanya yang menuntut jawab secepatnya. "Pa, ini. ... Buku ini ... Kenapa? Bagaimana bisa?" ucapnya terbata-bata.
"Reaksi Papa mirip seperti kau waktu itu. Saat Papa merindukan Mama ketika melihat buku ini, tanpa terasa air mata mengalir begitu saja. Lalu tulisan demi tulisan itu muncul. Semakin deras air mata Papa, semakin banyak tulisan yang terlihat. Saat kenangan tentang Mama semakin kuat, lembaran itu memunculkan gambar yang mirip lukisan, tapi begitu hidup, seolah-olah Papa tersedot ke dalamnya."
"Apa buku itu bisa terbaca hanya dengan air mata?"
"Entahlah. Papa tidak mengerti cara kerjanya. Papa pernah membasahinya dengan air, namun tak ada reaksi apa pun."
"Boleh aku simpan buku ini?"
"Sure! Buku itu milikmu sekarang."
"Lalu, Papa?"
"Papa sudah memilikimu, Sayang. Wajahmu selalu mengingatkan Papa pada Mama, terutama mata itu."
Nero terenyuh mendengar ucapan Ivan. "Pa, maaf soal kemarin. Aku janji tidak akan berenang dengan Dolp lagi, jika hal itu akan membuatmu tenang dan merasa lebih baik," ujarnya sembari memeluk tubuh papanya.
Maafkan Papa. Papa hanya tak ingin kehilanganmu. Kehilangan seseorang yang sangat berarti itu sangat menyakitkan, Nero. Kau masih sangat kecil saat semua itu terjadi. Suatu hari nanti kau akan mengerti, batin Ivan.
Nero tak ingin berkata apa-apa lagi. Di kepalanya hanya ada satu hal, buku harian Mama. Ia terus memikirkan cara untuk mengetahui isinya. Apa ia harus terus menangis untuk membaca tulisan isinya ataukah ada cara lainnya?
Malam semakin larut, tapi Nero masih tak dapat memejamkan mata. Untung saja sekolah sedang libur panjang, jika tidak, ia akan kena hukuman karena terlambat datang ke sekolah. Sadar tak lagi bisa mengeluarkan air matanya, Nero memutuskan untuk untuk tidur. Ini sudah jauh melewati jam malamnya.
"Semoga aku bisa membaca seluruh buku ini, dan mendapatkan gambaran tentangmu, Ma!" gumamnya pelan sambil mendekap buku itu di dadanya.
...*...
Bulla mendelegasikan beberapa tugas kepada Mentri Penasihat lainnya. Dia akan bersiap untuk menjemput sang Terpilih, seperti yang sudah dilakukannya sejak puluhan, ah tidak, sejak ratusan tahun silam.
Di lain tempat, Mentri Obster dan sekutunya sedang membuat rencana untuk menggagalkan misi Bulla.
"Hei, Kau! Bawa pasukanmu untuk mencegah penyu tua itu sampai ke darat!" seru Mentri bersungut panjang.
"Ke-kenapa harus bawa pasukan, Tuan? A-apa kita akan perang?" tanyanya dengan kepala tertunduk dalam.
"BODOH! Jika seluruh keluargamu dan seluruh keturunannya bertempur melawan penyu itu, tentu kalian akan berakhir dalam perutnya."
Klirik semakin menunduk lebih dalam lagi, nyaris membungkuk. "Ja-jadi, pasukanku untuk apa, Tuan?"
"Ya ampun, Klirik! Pantas saja kau selalu ditempatkan pada kelas terbawah, otakmu benar-benar kosong. Persis ungkapan para manusia, 'otak udang'. Tugas kalian hanya untuk mencegah, memperlambat Peramal Tua itu sampai ke daratan. Meskipun di Atlantica dia sangat kuat dan berpengaruh, di perbatasan dia hanya seekor Penyu Belimbing berusia ratusan tahun."
Klirik mengangguk tanda mengerti. Dia segera berpamitan pada tuannya.
Di dalam ruangannya, Bulla menyiapkan beberapa benda sebagai perbekalan yang disimpan dalam tempurung besarnya. Sebelum berangkat, dia sekali lagi menatap Mata Samudra. Mata besarnya kini terasa hangat, tatkala tampak di pantulan itu sosok yang tak asing baginya.
Bulla terdiam. Dia seperti mendapatkan firasat. Penyu berusia dua setengah abad itu mengambil sesuatu dari peti besar. Sebuah benda bulat seukuran bola kasti berwarna biru kehijauan, terangkat dari dalamnya. Bulla memandang bola itu lekat-lekat sambil melapalkan mantra. Muncul sinar perak. Semula hanya titik-titik putih, lalu semakin lama titik-titik itu membesar dan cahayanya semakin menyilaukan, bahkan mengaburkan penglihatan. Seluruh ruangan menjadi putih seketika.
Bulla berhasil mendapatkan penglihatan atas firasatnya, lalu semuanya kembali seperti semula. Dia hanya menyunggingkan senyum tipis, "Aku ikuti permainan kalian," ucapnya sambil menyimpan kembali bola itu.
Bulla berenang menuju perbatasan wilayah Atlantica dan laut bebas. Dia bisa berenang berjam-jam tanpa menghirup udara di Atlantica, tetapi tidak di laut lepas. Perjanjian kuno dengan penguasa darat berabad-abad yang lalu membuatnya tak berdaya. Satu inchi saja melewati perbatasan, dia hanya seekor penyu belimbing raksasa biasa, yang butuh udara, makan, dan bahkan bisa jadi buruan manusia. Meskipun begitu, dia masih memiliki sedikit sihir yang tersisa, juga beberapa benda dalam tempurungnya.
"Baiklah, ini dia saatnya," ujarnya sambil terus berenang mantap dan bersiap melompat keluar. Tubuh besarnya sedikit terdorong dan berputar karena arus yang begitu besar. Jika saja, ia benar-benar penyu biasa, mungkin ia sudah tergulung dan kembali tersedot arus itu lagi.
Bulla merasakan pergerakannya mulai melambat, dadanya berdegup kencang, dan terasa panas. Ia mengayuh sirip besarnya yang seperti dayung dengan kuat, untuk mendorong tubuhnya ke permukaan. Katup hidungnya terbuka, ia menghirup banyak oksigen dan mengisi kantung udara dalam tubuhnya, lalu kembali menyelam dan berenang.
Sirip-sirip itu mulai mendayung perlahan dan semakin pelan. Tenaganya banyak terkuras dalam perjalanan ini. Ia semakin jauh meninggalkan Atlantica.
"Sedikit lagi. Tinggal sedikit lagi," ucapnya menyemangati diri.
Setelah berenang beberapa mil, dia muncul lagi ke permukaan untuk bernapas. Bulla mulai merasakan perutnya bergolak. Dia lapar. Dari kejauhan tampak kerumunan kecil. "Makanan kesukaanku!" serunya sambil mempercepat laju.
Benar dugaannya, itu adalah sekumpulan ubur-ubur kecil, cumi, juga kawanan udang. Bulla membuka mulutnya lebar-lebar, agar semakin banyak ubur-ubur dan cumi yang terperangkap. Tiga ekor ubur-ubur kecil langsung masuk ke dalam mulutnya. Ia mengunyah sambil terus berenang mengejar cumi-cumi di depannya.
Binatang bertentakel itu teramat lihai dalam menghindar. Berenang ke kiri, ke kanan, menyelam, naik lalu langsung menukik. Penyu itu dibuat pusing olehnya. Selama beberapa saat, Bulla sibuk mengejar cumi-cumi dan ubur-ubur untuk mengisi perutnya.
...*...
Setengah hari telah berlalu, penyu belimbing raksasa itu masih mengejar ubur-ubur yang jadi makanan favoritnya. Kejadian itu dilaporkan Klirik kepada tuannya.
"HAHAHAHA.” Mentri Obster tertawa lepas, hingga tubuhnya berguncang. “Bagus kerjamu kali ini, Klirik," pujinya. Mentri dengan sungut panjang itu tak henti-hentinya tertawa dan menepuk punggung makhluk bongkok itu.
"Te-terima kasih, Tuan."
"Sekarang si Penyu Tua itu akan lupa dengan tujuannya semula. Aku akan menyiapkan kejutan berikutnya untuk menyambutnya nanti, saat dia kembali dengan makhluk berdarah campuran itu."
Tawanya kembali pecah hingga menimbulkan buih. Dia berenang menjauhi Klirik yang masih terus membungkuk dengan kepala tertunduk.
...*...
Bulla merasa sudah cukup mengulur waktu untuk membuat para pengacau itu puas. "Inilah waktunya untuk menggunakan ramuan itu."
Sebuah botol kaca keluar dari tempurungnya. Dengan dua siripnya ia menangkap benda itu dan membuka tutup menggunakan mulutnya. Cairan berwarna ungu gelap mengalir keluar dan berbaur dengan air laut di hadapannya, lalu membentuk sebuah lingkaran. Bulla memasukkan kepalanya dalam lingkaran itu sambil melapalkan mantra.
**
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!