Butuh lima belas menit untuk sampai di rumah Leon. Nero tiba di sebuah rumah besar dengan halaman depan yang cukup luas. Pagar tempat itu dibiarkan tanda pintu. Nero yakin, halaman itu bisa dipakai untuk bermain bola.
Nero memarkirkan sepedanya di samping pilar paling pinggir, lalu menekan bel di dekat pintu. Terdengar alunan musik yang merdu sesaat setelah tombol ditekan. Tak menunggu lama, pintu pun terbuka.
"Hai, Nero! Apa kabar? Ayo masuk!" sapa seorang gadis muda, yang langsung menarik tangan Nero. Dia Marine, adik sepupu Leon. Usianya dan Nero hanya terpaut setahun. "Leon sudah menunggumu dari tadi. Dia ada di halaman belakang bersama Papa," ujar Marine tanpa henti dan terus menggandeng tangan Nero.
Tercium aroma yang sedap. Semakin mendekati area belakang rumah, aroma itu semakin kuat, lalu terlihat asap putih mengepul ke udara.
"Sore, Om!" sapa Nero, saat melihat seorang pria yang seumuran dengan Papanya menoleh.
"Sore, Sayang! Kemarilah! Pas sekali, kami baru saja membuat ikan bakar. Kau pasti sudah mencium aromanya, kan?" seru Jhon sembari membetulkan kaca matanya.
Nero memperhatikan sosok Leon yang masih diam, sama seperti Papanya di rumah. Leon sengaja memunggunginya dan terus mengipasi beberapa sosis di panggangan. Nero mendengar suara samar dari dalam rumah, "Sepertinya itu suara tante Lucy, biar aku yang ke dalam," ujar Nero menawarkan bantuan dan langsung masuk lagi ke dalam rumah.
Tak lama gadis berambut hitam itu keluar dengan membawa setumpuk piring. Marine menghampiri dan membantunya membawa sebagian, lalu menatanya di atas sebuah meja kayu besar di bawah pohon.
Biasanya Leon yang membantuku. Apa dia marah karena kemarin? ujar Nero dalam hati.
"Om tinggal dulu, ya. Marine, sini bantu Papa!" ucapnya sambil melambaikan tangan.
Dalam sekejap halaman belakang itu menjadi lengang. Hanya terdengar suara letupan-letupan kecil dari panggangan dan daun-daun yang bergesek karena hembusan angin.
Nero mendekati Leon dengan perlahan, "Leon! Aku minta maaf soal kemarin. Aku nggak bermaksud meninggalkanmu di sana." Nero membuka suara dengan wajah tertunduk.
Pemuda itu masih diam. Biasanya dia selalu ceria dan cerewet.
"Leon, kau masih marah?" ujarnya sambil terus mendekat.
Baru dua langkah ia berjalan, tiba-tiba Leon membalik badannya dan berteriak "AAAAAAA."
Nero kaget hingga tubuhnya terjerembab ke tanah. Pemuda berambut cokelat itu bukannya menolong, tetapi malah terpingkal sembari memegangi perutnya. Ia melempar topeng badut ke tubuh Nero yang masih terduduk di rumput.
"Aku pulang!" seru gadis itu jengkel.
"Satu sama,” sahut Leon. “Gitu saja marah, terus ngambek mau pulang."
Nero tak menggubris ucapan Leon, dia tetap melangkah menuju pintu.
Setengah berlari, Leon mengejarnya, "Oke. Oke. Maaf! Jangan pulang, ya! Aku udah capek-capek masak nih," ucapnya lesu.
Nero menghentikan langkahnya, ia berbalik, "Dua-satu," katanya, lalu terkekeh.
Leon mengacak rambut hitam Nero. Mereka tertawa dan kembali menuju pemanggang. Nero membantu Leon menyelesaikan masakannya. Setelah siap, Leon memanggil keluarga lainnya untuk bersantap. Mereka berlima menikmati makan malam di bawah hamparan cahaya bintang di halaman belakang.
Topik perbincangan malam itu tentang Leon yang menunggu Nero berjam-jam di mercusuar, sedangkan yang ditunggu tak kunjung datang. Marine menunjukkan raut wajah Leon yang ditekuk karena kesal sesampainya di rumah. Sontak semua terawa. Tapi yang paling lucu adalah bintik-bintik merah yang memenuhi wajah Leon, karena gigitan nyamuk.
Untung saja tante Lucy langsung mengoleskan gel pengurang gatal, jadi Leon tidak menggaruknya terus, atau akan menimbulkan bekas di kulitnya.
Nero semakin merasa menyesal telah melupakan janjinya, "Maaf ya. Aku terlalu asyik berenang dengan Dolp, jadi aku lupa padamu."
"Dolp? Siapa Dolp? Apa Rudolf anaknya tetangga kita yang rumahnya di ujung jalan?" potong Marine.
“Ng, itu. Bukan. Bukan dia,” sanggah Nero gugup.
"Rudolph. Dengan P dan H, bukan F. Namanya memang mirip tapi bukan anak itu. Dia saudara Nero yang baru datang dari jauh. Iya kan, Nero?" sela Leon.
"I..iya sodaraku," timpalnya.
“Saudara?” kali ini Om Jhon yang bertanya dengan serius.
“Ya, saudara dari Mama,” sahut Nero perlahan.
“Pantas aku tak mengenalnya. Tapi, mengapa tidak kau ajak sekalian ke sini?” tukas Om Jhon.
Nero mengarang cerita, bahwa Dolp, saudaranya itu hanya mampir sebentar dan tidak menginap. Jadi, dia tidak bisa mengajaknya berkunjung. Untung saja penjelasan Nero bisa diterima, dan tidak ada pertanyaan lebih lanjut tentang Dolp. Sisa percakapannya diisi oleh lelucon Om Jhon seperti biasanya, walau tak lagi lucu karena ia kerap kali mengulang joke yang sama.
Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Jam dinding sudah menunjukan pukul tujuh lewat empat puluh, ia pun berpamitan pada keluarga Om Jhon dan berterima kasih atas makan malamnya. Om Jhon, tante Lucy, dan Marine, mengantar Nero hingga halaman depan, Leon akan menemaninya pulang dengan bersepeda.
“Aku yang jarang bertemu dengan Om Jhon saja bingung setiap kali dia menceritakan lelucon. Saat kali pertama, aku bisa tertawa, bahkan untuk yang kedua. Setelah mendengarkannya lebih dari tiga kali, rasanya sulit untuk tertawa,” tutur Nero membuka obrolan.
Leon mengamini apa yang dikatakan Nero. “Seringnya aku kabur saat melihat tanda-tanda Om Jhon akan mencoba melucu,” timpalnya. “Anehnya, tante Lucy masih bisa terpingkal setiap kali Om Jhon bercerita. Padahal mungkin saja dia sudah mendengarnya ratusan kali.”
“Kau lihat bagaimana wajah Marine saat Om Jhon meledeknya begitu dekat dengan Rudolf?”
Leon menyeringai. “Mukanya seperti kepiting asap.”
Keduanya tertawa mengingat kejadian itu. “Tadi terima kasih, ya!” ucap Nero pelan. Leon melemparkan tatapan bingung. “Soal Dolp.” Leon menganggukkan kepala tanda mengerti. “Jika tersudut, mungkin aku akan menceritakan yang sebenarnya. Lalu mereka akan menganggapku gila karena berteman dengan lumba-lumba, atau yang terparah, mereka akan menyangka semua itu halusinasi.”
Nero melirik ke Leon yang masih tidak mengucapkan apa-apa. “Aku masih ingat janji itu. Aku akan mengenalkannya padamu. Secepatnya.”
Leon mengulum senyum mendengarnya. Mereka melanjutkan perjalanan dalam diam. Keduanya memusatkan perhatian pada jalanan kecil di depan mereka, yang disinari cahaya bulan.
“Mau masuk?” tawar Nero begitu sampai di depan pagar rumahnya.
Leon menggeleng. “Lain kali saja. Aku masih ada tugas yang harus diselesaikan. Sampaikan salamku untuk Om Ivan.” Leon langsung memutar sepedanya, setelah memastikan gadis yang diantarnya masuk rumah.
...*...
Setelah mandi dan berganti pakaian, Nero menghampiri Ivan yang sedang menonton tayangan TV. Meski masih kesal dengan kejadian kemarin, tapi dia juga tidak tahan terus perang dingin dengan Papanya.
"Nero, sini!” ujar Ivan sambil menepuk sofa di sebelahnya.
Nero menurut tanpa membantah.
“Papa ingin menunjukkan sesuatu." Ivan menyodorkan sebuah buku bersampul biru kehijauan yang tampak usang. "Ini buku harian Mama.”
Dengan cepat Nero menyambar buku itu. Dia membuka halamannya satu per satu, lalu gurat kecewa muncul di wajahnya. Dia melihat Ivan dengan tatapan penuh tanya. "Papa bercanda, ya? Buku ini
kosong!"
**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ
hai kak😊
asisten dadakan masih setia berkunjung kembali😉
mampir yuk
semangaaatt ya💪
2020-12-25
1
Caramelatte
semangat thorrr jangan kasi kendorrr
2020-12-18
1
Candy Tohru
kebayang betapa hangatnya persahabatan mereka. 😊
2020-12-17
1