"Papa! Buku ini kosong!" seru Nero lagi sambil menunjukkan halaman-halaman tanpa tulisan.
Suaranya tertahan di tenggorokan. Dia ingin marah dan berteriak, tapi itu papanya. Dia kesal dan merasa dibohongi. Untuk hal lain dia tak peduli, tapi ini tentang mamanya. Orang yang belum pernah dikenalnya sejak kecil. Nero beranjak dari sofa dan menuju kamar dengan buku itu di tangannya. Ia membanting pintu dengan keras hingga berdebum.
Ivan mengetuk pintu berulang kali, tapi tidak ada jawaban. Dia menekan tuas dan mendorongnya, berharap Nero tidak mengunci pintu tersebut. Harapannya terkabul. Dia masuk dan melihat putrinya sedang menenggelamkan wajah dalam buku yang terbuka.
Ivan tahu Nero menangis. Tubuh dan kepalanya terlihat bergetar. Buliran bening itu jatuh setetes demi setetes, membentuk pulau dalam kertas yang usang, sedangkan sebagian lagi tumpah membasahi bantal.
"Honey, Look!" ucapnya lembut. Tangannya yang hangat mengusap dengan lembut kepala putrinya.
Nero menegakkan kepalanya. Pupil matanya membesar dan mulutnya terbuka. Aliran di pipinya berhenti seketika. Ia mengerjap berkali-kali untuk memastikan apa yang dilihatnya barusan. Halaman kosong itu tiba-tiba menampakan beberapa goresan, tepat memenuhi bagian kertas yang basah oleh air matanya. Namun rangkaian goresan yang tak dimengerti artinya itu, lenyap begitu saja seiring dengan mengeringnya halaman itu.
Nero menoleh ke arah Ivan. Mata hijau kecokelatan itu memancarkan tanya yang menuntut jawab secepatnya. "Pa, ini. ... Buku ini ... Kenapa? Bagaimana bisa?" ucapnya terbata-bata.
"Reaksi Papa mirip seperti kau waktu itu. Saat Papa merindukan Mama ketika melihat buku ini, tanpa terasa air mata mengalir begitu saja. Lalu tulisan demi tulisan itu muncul. Semakin deras air mata Papa, semakin banyak tulisan yang terlihat. Saat kenangan tentang Mama semakin kuat, lembaran itu memunculkan gambar yang mirip lukisan, tapi begitu hidup, seolah-olah Papa tersedot ke dalamnya."
"Apa buku itu bisa terbaca hanya dengan air mata?"
"Entahlah. Papa tidak mengerti cara kerjanya. Papa pernah membasahinya dengan air, namun tak ada reaksi apa pun."
"Boleh aku simpan buku ini?"
"Sure! Buku itu milikmu sekarang."
"Lalu, Papa?"
"Papa sudah memilikimu, Sayang. Wajahmu selalu mengingatkan Papa pada Mama, terutama mata itu."
Nero terenyuh mendengar ucapan Ivan. "Pa, maaf soal kemarin. Aku janji tidak akan berenang dengan Dolp lagi, jika hal itu akan membuatmu tenang dan merasa lebih baik," ujarnya sembari memeluk tubuh papanya.
Maafkan Papa. Papa hanya tak ingin kehilanganmu. Kehilangan seseorang yang sangat berarti itu sangat menyakitkan, Nero. Kau masih sangat kecil saat semua itu terjadi. Suatu hari nanti kau akan mengerti, batin Ivan.
Nero tak ingin berkata apa-apa lagi. Di kepalanya hanya ada satu hal, buku harian Mama. Ia terus memikirkan cara untuk mengetahui isinya. Apa ia harus terus menangis untuk membaca tulisan isinya ataukah ada cara lainnya?
Malam semakin larut, tapi Nero masih tak dapat memejamkan mata. Untung saja sekolah sedang libur panjang, jika tidak, ia akan kena hukuman karena terlambat datang ke sekolah. Sadar tak lagi bisa mengeluarkan air matanya, Nero memutuskan untuk untuk tidur. Ini sudah jauh melewati jam malamnya.
"Semoga aku bisa membaca seluruh buku ini, dan mendapatkan gambaran tentangmu, Ma!" gumamnya pelan sambil mendekap buku itu di dadanya.
...*...
Bulla mendelegasikan beberapa tugas kepada Mentri Penasihat lainnya. Dia akan bersiap untuk menjemput sang Terpilih, seperti yang sudah dilakukannya sejak puluhan, ah tidak, sejak ratusan tahun silam.
Di lain tempat, Mentri Obster dan sekutunya sedang membuat rencana untuk menggagalkan misi Bulla.
"Hei, Kau! Bawa pasukanmu untuk mencegah penyu tua itu sampai ke darat!" seru Mentri bersungut panjang.
"Ke-kenapa harus bawa pasukan, Tuan? A-apa kita akan perang?" tanyanya dengan kepala tertunduk dalam.
"BODOH! Jika seluruh keluargamu dan seluruh keturunannya bertempur melawan penyu itu, tentu kalian akan berakhir dalam perutnya."
Klirik semakin menunduk lebih dalam lagi, nyaris membungkuk. "Ja-jadi, pasukanku untuk apa, Tuan?"
"Ya ampun, Klirik! Pantas saja kau selalu ditempatkan pada kelas terbawah, otakmu benar-benar kosong. Persis ungkapan para manusia, 'otak udang'. Tugas kalian hanya untuk mencegah, memperlambat Peramal Tua itu sampai ke daratan. Meskipun di Atlantica dia sangat kuat dan berpengaruh, di perbatasan dia hanya seekor Penyu Belimbing berusia ratusan tahun."
Klirik mengangguk tanda mengerti. Dia segera berpamitan pada tuannya.
Di dalam ruangannya, Bulla menyiapkan beberapa benda sebagai perbekalan yang disimpan dalam tempurung besarnya. Sebelum berangkat, dia sekali lagi menatap Mata Samudra. Mata besarnya kini terasa hangat, tatkala tampak di pantulan itu sosok yang tak asing baginya.
Bulla terdiam. Dia seperti mendapatkan firasat. Penyu berusia dua setengah abad itu mengambil sesuatu dari peti besar. Sebuah benda bulat seukuran bola kasti berwarna biru kehijauan, terangkat dari dalamnya. Bulla memandang bola itu lekat-lekat sambil melapalkan mantra. Muncul sinar perak. Semula hanya titik-titik putih, lalu semakin lama titik-titik itu membesar dan cahayanya semakin menyilaukan, bahkan mengaburkan penglihatan. Seluruh ruangan menjadi putih seketika.
Bulla berhasil mendapatkan penglihatan atas firasatnya, lalu semuanya kembali seperti semula. Dia hanya menyunggingkan senyum tipis, "Aku ikuti permainan kalian," ucapnya sambil menyimpan kembali bola itu.
Bulla berenang menuju perbatasan wilayah Atlantica dan laut bebas. Dia bisa berenang berjam-jam tanpa menghirup udara di Atlantica, tetapi tidak di laut lepas. Perjanjian kuno dengan penguasa darat berabad-abad yang lalu membuatnya tak berdaya. Satu inchi saja melewati perbatasan, dia hanya seekor penyu belimbing raksasa biasa, yang butuh udara, makan, dan bahkan bisa jadi buruan manusia. Meskipun begitu, dia masih memiliki sedikit sihir yang tersisa, juga beberapa benda dalam tempurungnya.
"Baiklah, ini dia saatnya," ujarnya sambil terus berenang mantap dan bersiap melompat keluar. Tubuh besarnya sedikit terdorong dan berputar karena arus yang begitu besar. Jika saja, ia benar-benar penyu biasa, mungkin ia sudah tergulung dan kembali tersedot arus itu lagi.
Bulla merasakan pergerakannya mulai melambat, dadanya berdegup kencang, dan terasa panas. Ia mengayuh sirip besarnya yang seperti dayung dengan kuat, untuk mendorong tubuhnya ke permukaan. Katup hidungnya terbuka, ia menghirup banyak oksigen dan mengisi kantung udara dalam tubuhnya, lalu kembali menyelam dan berenang.
Sirip-sirip itu mulai mendayung perlahan dan semakin pelan. Tenaganya banyak terkuras dalam perjalanan ini. Ia semakin jauh meninggalkan Atlantica.
"Sedikit lagi. Tinggal sedikit lagi," ucapnya menyemangati diri.
Setelah berenang beberapa mil, dia muncul lagi ke permukaan untuk bernapas. Bulla mulai merasakan perutnya bergolak. Dia lapar. Dari kejauhan tampak kerumunan kecil. "Makanan kesukaanku!" serunya sambil mempercepat laju.
Benar dugaannya, itu adalah sekumpulan ubur-ubur kecil, cumi, juga kawanan udang. Bulla membuka mulutnya lebar-lebar, agar semakin banyak ubur-ubur dan cumi yang terperangkap. Tiga ekor ubur-ubur kecil langsung masuk ke dalam mulutnya. Ia mengunyah sambil terus berenang mengejar cumi-cumi di depannya.
Binatang bertentakel itu teramat lihai dalam menghindar. Berenang ke kiri, ke kanan, menyelam, naik lalu langsung menukik. Penyu itu dibuat pusing olehnya. Selama beberapa saat, Bulla sibuk mengejar cumi-cumi dan ubur-ubur untuk mengisi perutnya.
...*...
Setengah hari telah berlalu, penyu belimbing raksasa itu masih mengejar ubur-ubur yang jadi makanan favoritnya. Kejadian itu dilaporkan Klirik kepada tuannya.
"HAHAHAHA.” Mentri Obster tertawa lepas, hingga tubuhnya berguncang. “Bagus kerjamu kali ini, Klirik," pujinya. Mentri dengan sungut panjang itu tak henti-hentinya tertawa dan menepuk punggung makhluk bongkok itu.
"Te-terima kasih, Tuan."
"Sekarang si Penyu Tua itu akan lupa dengan tujuannya semula. Aku akan menyiapkan kejutan berikutnya untuk menyambutnya nanti, saat dia kembali dengan makhluk berdarah campuran itu."
Tawanya kembali pecah hingga menimbulkan buih. Dia berenang menjauhi Klirik yang masih terus membungkuk dengan kepala tertunduk.
...*...
Bulla merasa sudah cukup mengulur waktu untuk membuat para pengacau itu puas. "Inilah waktunya untuk menggunakan ramuan itu."
Sebuah botol kaca keluar dari tempurungnya. Dengan dua siripnya ia menangkap benda itu dan membuka tutup menggunakan mulutnya. Cairan berwarna ungu gelap mengalir keluar dan berbaur dengan air laut di hadapannya, lalu membentuk sebuah lingkaran. Bulla memasukkan kepalanya dalam lingkaran itu sambil melapalkan mantra.
**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ
sehat dan like selalu💪😊
2020-12-25
1
Caramelatte
semangat thor!
Dapat salam dari "Belong to Esme"
2020-12-18
2
Candy Tohru
kirain Bulla itu makhluk berwujud manusia kayak Neptunus gitu, eh ternyata penyu belimbing berumur 250 tahun. auto keingetan film Nemo, yg nanyain umur penyu di arus panas 😊
2020-12-17
1