Chapter 5
Benar-benar kuat
Gantara berjongkok lalu menyeka mata pedanganya yang berlumuran darah menggunakan pakaian mayat para bandit, merasa pedangnya sudah cukup bersih, ia segera memasukan kembali pancasona kedalam sarungnya.
Gantara merasa membunuh para bandit itu adalah tindakan yang paling tepat karena kalau mereka dibiarkan lolos maka akan lebih banyak orang yang dirugikan oleh perbuatan para bandit.
Pada dasarnya kalau saja para bandit mengenali siapa orang yang baru saja mereka hadang, mereka tidak akan berani mencoba merampok lelaki itu (Gantara), bahkan mungkin walau hanya mendengar nama Panglima Gantara Wisesa disebutkan sudah membuat mereka gentar dan nyali mereka menciut tanpa sisa. Jangankan merampok Gantara, mungkin hanya berpapasan dengannya saja mereka tidak akan mau, mereka hanya bandit-bandit kecil yang tidak memiliki ilmu silat atau ilmu kanuragan yang tinggi.
Andai saja mereka mengenali lelaki itu adalah panglima besar Gantara Wisesa, mungkin nyawa mereka tidak akan melayang hari ini.
Gantara berjalan menghampiri Ruanindya yang masih menatapnya tanpa berkedip, jelas sang Putri masih dalam masa terpesona dan keterkejutannya.
"Rua, kau baik-baik saja?" Karena melihat Ruanindya yang hanya diam menatapnya, Gantara mulai khawatir terjadi sesuatu pada sang Putri.
Mendengar suara Gantara membuat Ruanindya terkesiap dan mendapatkan kesadarannya kembali, "Hah? Apa?" Tanyanya dengan wajah yang bodoh di balik topengnya.
"Apa kau baik-baik saja?" Dengan terpaksa Gantara mengulangi pertanyaannya kembali, Ruanindya mengangguk sebagai jawaban, namun Gantara bisa melihat lutut Ruanindya gemetar.
Dengan itu Gantara menaikan Ruanindya keatas Beliung, sedangkan ia sendiri memegang tali kekang Beliung dan berjalan menuntun kuda itu, setidaknya beban yang dibawa Beliung jauh lebih ringan kalau hanya Ruanindya yang menungganginya.
Sejak tadi Ruanindya terus menatap Gantara dari atas kuda, setelah mengamatinya Ruanindya baru benar-benar sadar bahwa Gantara memang sangat lah tampan, alis yang tegas dan tebal seperti dua bilah pedang, mata yang tajam seperti elang, hidung yang mancung, bibir tebal yang seksi, rahang yang tegas melelaki dan kulitnya yang berwarna cokelat madu membuatnya semakin terlihat mempesona. Itu hanya fitur di wajah, beralih pada tubuh sang panglima juga banyak memiliki nilai plus, tubuh yang tinggi dan tegap dengan otot-otot yang pas dan terbentuk sempurna, bahu yang kekar dan lebar, dada yang bidang, kaki yang kokoh dan panjang, Ruanindya juga bisa menebak dengan pasti kalau di perut Gantara juga tercetak otot-otot perutnya dengan sempurna (sixpack).
Dan sekarang baginya kekuatan Gantara bukan hanya sekedar desas-desus lagi, ia telah melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa lelaki itu benar-benar kuat, menghabisi lima belas orang hanya dalam sekejap mata, dengan mudah seperti membalikan telapak tangan.
Dengan semua itu tidak bisa tidak membuat sang Putri sangat iri dan kemudian mengagumi sosok panglima kerajaannya.
"Ada sesuatu di wajahku?" tanya Gantara tanpa menoleh.
Merasa tertangkap basah tengah menatap Gantara, Ruanindya hanya bisa tergagap, "Ti-tidak, tidak ada apapun hahaha.."
*****
Menjelang sore, Gantara dan Ruanindya melewati pasar kecil di desa yang mereka masuki, ketika hampir melewati pasar itu tiba-tiba terdengar keributan, lalu sesosok bocah laki-laki berlari kemudian terjatuh di hadapan Gantara dan Ruanindya, nyaris saja Beliung menginjaknya kalau saja Gantara tidak dengan cekatan menghentikan langkah Beliung.
Setelahnya seorang lelaki terlihat mengejar anak kecil itu dengan sebilah rotan di tangannya, anak kecil itu sudah babak belur dengan banyak luka di tubuh kecilnya bahkan wajahnya sudah dihiasi darah, "Dasar pencuri kecil!" teriak lelaki itu penuh amarah.
Ruanindya yang melihat lelaki itu mulai mengangkat rotan yang ia pegang dan akan mengayunkannya ke arah anak itu bermaksud untuk memukulnya lagi, Sang Putri segera memeluk anak yang masih terduduk di tanah, menjadikan dirinya sendiri sebagai tameng supaya pukulan rotan si lelaki tidak sampai mengenai anak kecil yang malang itu, Ruanindya memejamkan matanya erat-erat bersiap menerima rasa sakit di punggungnya. Namun setelah sedikit menunggu rasa sakit sabetan rotan tidak kunjung mendarat di punggungnya, Ruanindya membuka matanya dan mendongak keatas untuk melihat sebenarnya apa yang tengah terjadi.
Melihat pemandangan di hadapannya Ruanindya tidak bisa untuk tidak tersenyum, tepat satu jengkal dari punggungnya, rotan itu telah ditangkap dan digenggam kuat oleh Gantara dengan mudah sampai rotan itu remuk.
"Lepaskan! Kalian tidak berhak ikut campur!" teriak lelaki itu semakin marah.
"Kisanak, kalau boleh aku tahu, kenapa Kisanak memukuli anak kecil tak berdaya ini?" Gantara menatap lelaki yang memukuli anak kecil itu dengan tatapan tajam dan suara yang dingin.
Ruanindya tertegun, suara dan ekspresi Gantara terlihat berbahaya, padahal tadi ketika menghadapi para bandit ekspresinya datar seperti biasanya seolah tak terjadi apapun, namun sekarang seolah ketenangan pendekar itu telah terusik.
Mendapat tatapan dan suara yang seolah menusuk, dan menyadari kalau di hadapannya adalah pendekar berilmu tinggi lelaki itu mulai merasa takut dengan sosok Gantara, "A-anak itu mencuri sebuah apel daganganku," jawab lelaki itu dengan suara marah yang terdengar dipaksakan, suaranya jelas-jelas sudah bergetar karena rasa takut.
"Hanya mencuri sebuah apel kau sampai memukulinya seperti ini?!" Jerit Ruanindya, amarahnya meledak seketika mengetahui alasan pemukulan anak kecil yang kini ada dalam perlindungan pelukannya, mungkin anak kecil ini hanya berumur sekitar enam tahunan dan ia sudah mendapatkan perlakuan sebegitu buruk dan kejam bahkan orang-orang di sekitar tidak ada yang mau menolong anak kecil malang ini. Hati Ruanindya terasa pedih, bagaimanapun anak kecil ini adalah rakyatnya yang harus ia lindungi. Ruanindya menggendong anak kecil yang bahkan tidak menangis setelah dipukuli sedemikian rupa, tangan kecil penuh lukanya yang bergetar masih dengan kuat memeluk apel yang ia curi.
Gantara melemparkan tiga keping koin emas pada pria itu, "Ambil ini dan cepat pergi sebelum aku membunuhmu," desisnya.
Sebenarnya tiga koin emas adalah harga yang sangat amat mahal hanya untuk sebuah apel kualitas rendah yang dicuri bocah kecil itu, dengan tiga koin emas bahkan bisa membeli sekeranjang penuh apel seperti itu. Merasa mendapat ganti atas kerugiannya dengan berkali-kali lipat, pedagang itu segera mengambil tiga koin emas yang diberikan Gantara dan bergegas pergi dari sana, lagipula ia merasa takut dengan ancaman Gantara, ia tahu ancaman pendekar itu bukan hanya sekedar gertakan belaka.
Melihat lelaki itu sudah pergi, Ruanindya menatap anak kecil dalam gendongannya lalu membelai kepala anak itu dengan lembut, "Dimana rumahmu?"
Anak kecil itu merasa bahwa dua orang pendekar yang menolongnya adalah orang yang baik, maka ia menunjukan arah rumahnya kepada Ruanindya dan Gantara.
Ruanindya mendudukan anak itu di atas Beliung, dan anak kecil itu terlihat senang karena ini kali pertamanya ia merasakan menunggangi kuda apalagi kuda yang begitu bagus dan gagah seperti Beliung.
Sepanjang perjalanan ke rumah anak kecil itu, Ruanindya mengajukan beberapa pertanyaan seperti siapa namanya dan kenapa ia mencuri.
Anak laki-laki kecil itu bilang bahwa namanya adalah Gesang dan alasan ia mencuri adalah karena ia lapar, apel itu akan ia bagi dua dengan neneknya di rumah.
Gesang hanya tinggal berdua dengan neneknya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan, Gesang adalah yatim piatu, kedua orang tuanya sudah meninggal sejak ia masih bayi karena dibunuh dan neneknya adalah keluarga satu-satunya yang ia miliki dan merawatnya dengan penuh kasih sayang.
Mendengar itu hati Ruanindya semakin pedih, penderitaannya karena tidak bisa belajar ilmu beladiri dan ilmu kanuragan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan penderitaan bocah sekecil Gesang.
Ketika tanpa sengaja Ruanindya menoleh kearah Gantara, sekilas ia bisa melihat kilatan kesedihan yang sangat amat mendalam dimata pendekar itu, awalnya ia kira ia hanya salah melihat namun kemudian ia sangat yakin dengan apa yang ia lihat, namun Ruanindya tahu bahwa saat ini bukan waktu yang tepat menanyakan hal itu pada Gantara.
Setelah berjalan beberapa lama akhirnya mereka bertiga tiba disebuah gubuk kecil yang terlihat sudah reot dan rapuh di pinggiran desa, "Itu rumahku," tunjuk Gesang dengan senang, senyuman menghiasi wajahnya yang penuh luka.
Melihat wajah ceria anak laki-laki itu membuat Ruanindya juga ikut tersenyum lalu menurukan Gesang dari atas Beliung, bocah laki-laki kecil itu segera berlari kearah rumahnya lalu membuka pintu kayu usang itu lebar-lebar, "Ayo kemari pendekar, silahkan masuk," ajaknya dengan ramah dan bersemangat.
Ruanindya mengangguk, wajahnya masih dihiasi senyuman segera melangkah memasuki rumah Gesang. Sedangkan Gantara terlebih dahulu mengikat tali kekang Beliung pada pohon di dekat rumah lalu setelahnya baru menyusul Ruanindya memasuki rumah kecil Gesang.
Sesampai di dalam rumah Gantara bisa melihat seorang nenek tua memeluk Gesang sambil menangis.
"Sudah nenek bilang, jangan mencuri lagi, Nenek tidak mau cucu Nenek dipukuli seperti ini. Maafkan Nenek seandainya Nenek tidak sakit-sakitan," suara tua nenek itu bergetar dan sesekali terisak mendapati keadaan cucunya yang babak belur. Kemudian nenek itu menatap Ruanindya dan Gantara bergantian, "Pendekar terima kasih atas pertolongan kalian, tapi maaf Nenek tua ini tak punya apapun untuk membalas kebaikan hati para pendekar," ucap nenek Gesang penuh dengan penyesalan, wajah tuanya semakin terlihat sedih.
Ruanindya segera mengibas-ngibaskan tangannya dengan cepat, "tidak Nenek tidak, kami tidak mengharapkan imbalan apapun, sungguh."
Setelah beberapa kecanggungan teratasi kini mereka mulai mengobrol dengan santai, dari situ nenek itu tahu kalau Gantara dan Ruanindya tengah mengembara dan menawarkan mereka untuk menginap di gubuk milik Gesang dan neneknya malam ini sebelum mereka melanjutkan pejalanan diesok hari, dan dengan senang hati keduanya --Gantara dan Ruanindya-- menyetujuinya.
Sebelum makan malam Ruanindya meminta sedikit air panas untuk membasahi sapu tangan sutra miliknya lalu saputangan itu ia gunakan untuk membersihkan luka-luka Gesang kemudian membaluri luka-luka dengan obat yang ia bawa dalam buntalan kain perbekalannya, setelah selesai mengobati Gesang mereka akhirnya makan malam diatas tikar anyaman pandan sederhana yang usang, Ruanindya mengeluarkan semua makanan yang mereka punya dalam pembekalan seperti kue-kue sederhana dari warung yang sebelumnya mereka singgahi serta beberapa buah-buahan. Selesai makan malam Ruanindya memberikan lima belas keping koin emas dalam kantung kepada nenek Gesang untuk biaya hidupnya dengan Gesang, dalam hati Ruanindya sudah menanamkan niat, ketika masa pelariannya selesai dan ia bisa kembali ke istananya, ia akan menjemput Gesang dan neneknya untuk ikut hidup di sisinya sebagai abdi dalam istana, setidaknya kehidupan mereka akan terjamin dan jadi lebih baik.
Hanya takdir yang tahu, kelak ketika Ruanindya mengingat janjinya kemudian menepatinya maka anak kecil itu nantinya dimasa depan akan menjadi salah satu panglimanya yang sangat kuat.
Gantara yang melihat semua yang dilakukan Ruanindya hanya diam dan tak mengatakan apapun, ia berpikir 'Putri manja ini tidak seburuk dugaanku, ia memiliki hati yang baik,' senyum samar menghiasi bibir Gantara dan tak satupun orang di sana menyadarinya.
Awalnya nenek Gesang memaksa Gantara dan Ruanindya tidur di atas dipan yang hanya satu-satunya mereka miliki, namun dengan tegas Ruanindya dan Gantara menolak, mereka lebih memilih tidur di atas tikar dan membiarkan nenek tua dan Gesang yang tidur di atas dipan.
Sebelum tidur nenek tua itu sempat bertanya apa hubungan Gantara dan Ruanindya, lalu Gantara menjawab bahwa Ruanindya adalah adik sepupunya.
Naluri orang tua yang nenek Gesang miliki tanpa sengaja segera memberikan nasihat, ia menatap Ruanindya, "Pendekar, ia (Gantara) adalah kakak sepupumu bagaimanapun ia lebih tua darimu, adalah tidak sopan memanggilnya hanya dengan namanya saja," nenek tua itu menasihati Ruanindya seperti itu karena mendengar beberapa kali Ruanindya hanya memanggil Gantara dengan namanya, setelah mengucapkan nasihatnya, nenek yang tersadar akan ucapannya segera meminta maaf berkali-kali pada Ruanindya karena merasa telah lancang memberikan nasihat pada orang yang baru mengenalnya.
Ruanindya hanya tersenyum maklum, "Tidak apa-apa, nasihat nenek benar adanya hahaha..." tawanya dengan hambar lalu menatap Gantara dan dengan ragu mulai membuka mulutnya dan berkata dengan kaku dan tergagap, "ka-kang."[1]
[1. Kakang sama artinya dengan kakanda/kakak, panggilan untuk saudara laki-laki yang lebih tua.]
Ekspresi bodoh dan kaku Ruanindya serta panggilan kakang yang meluncur dari mulutnya dengan nada aneh sebenarnya membuat Gantara ingin tertawa terbahak-bahak namun sekuat tenaga Gantara tahan, dan ia hanya memalingkan wajahnya.
'Kau pasti sedang menertawaiku!' Jerit Ruanindya dalam hati sambil memandangi Gantara dengan sengit.
Bersambung...
Mind to like, tip, follow & comment?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Nurwana
😅😅😅😃😃😃
2021-04-20
0
Suhartono
Tamat
2020-01-29
1
Martimbul Siregar
ko ga lanjut lge thor
2020-01-25
0