Chapter 3
Sang Putri yang manja
"Ma-mau apa kau?" Ruanindya semakin ketakutan dan merasa terintimidasi dengan tatapan mata elang milik Gantara.
Ketika Gantara mulai mengulurkan tangan kearahnya, Ruanindya segera memejamkan matanya, kedua tangan gemetarnya memeluk dan meremas erat pakaian sutra di dadanya --pakaian sutra yang sebelumnya ia pakai dan kini sudah ia lepas diganti dengan pakaian sederhana--.
Tubuhnya terasa lemas karena rasa takut dan bahkan dia sudah tidak bisa bergerak untuk melangkah mundur barang sedikit pun, bahkan Putri Raja itu seperti lupa caranya bernafas.
Ruanindya berpikir, kalau Gantara berniat buruk padanya, bagaimana dirinya yang seorang gadis bertubuh kecil, tidak memiliki ilmu silat atau ilmu kanuragan bisa melawan Gantara yang memiliki tubuh tinggi dan kekar, seorang pendekar sekaligus panglima besar Kertalodra? Riwayatnya dipastikan hanya akan sampai di sini.
Tangan Gantara sampai diatas kepala Ruanindya kemudian menarik lepas mahkota emas yang dipakai sang Putri. Seketika itu gelungan rambut Ruanindya terlepas, rambut hitam halusnya tergerai indah mengalir melewati bahu hingga ke pinggangnya, "Ini juga sangat mencolok," mendengar suara Gantara dan merasa tidak terjadi apa-apa, Ruanindya segera membuka matanya dan menghela nafas lega lalu mendapati mahkota yang ia pakai kini berada di tangan Gantara.
Seperti meremas daun kering, seperti itu pula lah dengan mudahnya Gantara meremas mahkota emas indah milik Ruanindya menjadi gumpalan bola lalu melemparnya kearah gua yang lebih dalam.
Melihat itu mata Ruanindya terbelalak, "Apa kau gila?! Itu mahkota kerajaan yang diberikan oleh Ayahanda Prabu. Kau! Pasti akan mendapat hukuman!" Ruanindya dengan marah menunjuk-nunjuk wajah Gantara.
"Gusti prabu pasti akan mengerti dengan tindakanku," Gantara mengambil secarik kain seperti pita dari dalam bajunya dan kembali mendekat kearah Ruanindya hingga kini benar-benar berdiri didepan sang Putri, tangannya kembali terulur untuk mengikat sebagian rambut Ruanindya dengan sederhana seperti caranya mengikat rambutnya sendiri. Sedangkan Ruanindya hanya diam terpaku menatap dada bidang gantara yang berada didepan wajahnya, menghirup aroma kayu yang maskulin menguar dari tubuh sang pendekar tampan.
Kini penampilan Ruanindya sudah persis seperti penampilan pendekar laki-laki pada umumnya, namun hanya wajah ayunya saja yang tidak bisa menyembunyikan identitasnya sebagai seorang gadis, di sini lah kelak guna topeng putih dalam buntalan kain yang diberikan Raja Arya Tirta Kusuma Winarang, untuk menyembunyikan wajah ayu sang putri.
Setelah selesai dengan rambut Ruanindya, Gantara segera merebut baju sutera yang Ruanindya pegang lalu dengan acuh tak acuh melemparnya kedalam api.
"KAU!!!" jerit Ruanindya marah dengan suara nyaringnya yang menggema di seisi gua melihat baju sutera kesayangannya hangus dilalap api dan habis menjadi abu, setelahnya dengan mata nanar menatap Gantara, "Dengan wewenang sebagai Putri Raja Kertalodra, kuperintahkan kau untuk membunuh dirimu sendiri disini sekarang juga!"
Gantara dengan tenang duduk bersila, meletakan pedangnya di pangkuannya dan berkata dengan santai, "Maaf tapi itu perintah yang tidak dapat hamba laksanakan. Oh ya, lebih baik Putri tidak berteriak, atau itu akan semakin memancing para pembunuh menemukan kita."
"Argh!!! Kau benar-benar menjengkelkan!" Ruanindya menghentakan kakinya ketanah dengan kesal seperti anak kecil yang tidak mendapatkan mainan yang ia inginkan. Sang Putri Kertalodra lalu menghembuskan nafasnya dengan putus asa, ia merasa tidak mungkin melawan orang yang seperti batu di hadapannya ini, berdebat pun akan percuma lagipula ia sendiri merasa sangat lelah.
Ruanindya yang masih merasa kesal akhirnya memutuskan untuk duduk di atas kain yang sudah Gantara siapkan sebelumnya untuk digunakan sebagai alas beristirahat, tangannya terlipat di depan dadanya yang kini sudah terlihat rata seperti seorang lelaki.
Melihat sang Putri sudah duduk, Gantara segera mengambil apel yang berada dalam buntalan kain yang ia bawa lalu menaruh apel itu di hadapan Ruanindya, "Makan lah Putri."
Ruanindya menatap apel merah di hadapannya, karena ia masih merasa kesal pada Gantara, ia mengangkat dagu lalu dengan angkuh berkata, "Aku tidak la--" namun belum sampai perkataanya selesai, sebuah suara menginterupsi perkataan sang Putri.
Kruyuk..
Gantara menatap darimana sumber suara itu berasal, perut Ruanindya. Alis tebalnya terangkat sebelah,
"Sepertinya perut Putri tidak dapat berbohong."
Ruanindya berdehem, wajah putihnya memerah karena malu lalu tanpa berkata apapun mengambil apel di hadapannya dan memakannya, setelah menelan suapan pertamanya ia segera berucap, "Aku belum memaafkanmu."
"Baiklah," Gantara seperti biasa menjawab Ruanindya acuh tak acuh, mengeluarkan pedang dari sarungnya lalu mengelap mata pedangnya sampai mengkilap.
Pedang itu pedang yang selalu menemaninya di medan perang dan selalu menebas musuh-musuhnya tanpa ampun.
Pedang yang terlihat sangat tajam itu dibuat secara khusus oleh empu Indrayana lalu dihadiahkan pada Gantara, jadi pedang itu adalah salah satu barang berharga miliknya.
Pedang sakti itu diberi nama Pancasona.
Melirik Gantara sebagai teman seperjalananya dan telah menjaganya sejauh ini, mau tak mau Ruanindya merasa sedikit perduli, "Kau tidak makan?"
"Tidak."
"Kenapa?"
"Aku tidak lapar, dan sekalipun lapar aku bisa menahannya," memang benar apa yang dikatakan Gantara, ia seorang prajurit tentu saja menahan rasa lapar barang satu atau dua hari adalah hal yang sangat biasa, apalagi di medan perang, Gantara bahkan pernah tidak makan selama lima hari berturut-turut.
"Kenapa harus menahan lapar? Apelnya masih ada," Ruanindya melongok kearah buntalan dan masih melihat sebuah apel tersisa di sana.
Akhirnya Gantara mengalihkan pandangannya dari pedang kepada Ruanindya, "Lebih baik apel itu untuk Putri makan sampai kenyang, hamba bisa mencari makanan lain setelah kita keluar dari gua ini."
"Yasudah," Ruanindya menggendikan bahunya lalu melanjutkan acara memakan apelnya.
Gantara kembali memasukan pedangnya pada sarungnya setelah selesai menggosoknya, "Putri, tanpa mengurangi rasa hormatku pada Putri dan Gusti Prabu Arya Tirta Kusuma Winarang maupun Permainsuri Dewi Ayu Galuh Ningtyas izinkan hamba mulai sekarang dan selama dalam pelarian, hamba akan memanggil Putri hanya dengan nama Rua, dan akan mengakui Putri sebagai adik sepupu jauhku, lalu menyesuaikan tata bicaraku seperti pada seorang adik sepupu demi keselamatan Putri. Jadi hamba mohon Putri maklum."
Ruanindya melongo menatap Gantara, baru kali ini ia mendengar Gantara bicara agak panjang. Setelah sadar dari ketertegunannya Ruanindya pun mengangguk sebagai jawaban, "Baiklah, aku memaklumi dan mengizinkan."
"Terima kasih. Lebih baik sekarang kau tidur."
Ruanindya baru saja mengizinkan Gantara tapi tetap saja ia sedikit merasa kaget dengan nada bicara Gantara yang tidak lagi formal padanya, Ruanindya sedikit kagum dengan cepatnya penyesuaian diri Gantara masuk dalam perannya sebagai kakak sepupunya.
Tanpa Ruanindya ketahui, sebenarnya Gantara sangat menikmati itu, ia tidak perlu lagi bicara formal dengan tata krama tinggi pada Putri yang ia anggap sangat manja.
Ruanindya perlahan merebahkan tubuhnya, ia langsung merasa tidak nyaman karena tanah tempat berbaringnya itu terasa keras jauh berbeda dengan ranjangnya yang empuk dan lembut, "Ini keras, tidak nyaman," keluhnya.
"Jangan kau bandingkan dengan ranjangmu di istana," ucap Gantara seolah bisa membaca isi pikiran Ruanindya.
Ruanindya berdecih lalu tatapannya tanpa sengaja menangkap sosok kuda milik Gantara, "Kenapa kau menamai kudamu dengan nama Beliung?"
"Karena ingin."
Ruanindya memutar matanya malas, ia merasa Gantara benar-benar seperti batu atau gunung es. Ia mengingat-ingat beberapa pujian dayang-dayang yang kadang ia dengar tentang Gantara yang mengatakan kalau lelaki itu tidak hanya kuat dan tangguh namun juga ramah dan baik, 'Cih apanya yang ramah dan baik,' cemooh Ruanindya dalam hati. "Maksudku alasanmu memberi nama itu pada kudamu."
"Karena aku berharap kelak ketika kudaku dewasa maka dia akan sekuat dan secepat angin ****** beliung, dan itu memang terjadi sesuai dengan harapan."
Akhirnya Ruanindya mendapat jawaban yang lebih tepat, ia tersenyum puas, "Berharap kelak ketika dewasa? Kudamu sekarang bukannya kuda dewasa? Itu berarti kau merawat kudamu dari masih kecil?" Ruanindya menatap Gantara penuh dengan keingintahuan dan hanya mendapatkan anggukan sebagai jawaban namun itu sudah cukup membuatnya takjub, "Woah... kenapa kau mau repot-repot begitu?"
"Untuk ikatan yang kuat," Gantara menambahkan kayu pada api unggun yang mulai meredup.
"Ikatan yang kuat?" Ruanindya mengedipkan mata bulatnya tak mengerti.
Gantara kembali mengangguk, "Ikatan kuat antara tuan dan kudanya sehingga menjadi teman."
"Contohnya?"
"Hanya dengan aku yang memanggil namanya atau bersiul, maka Beliung akan menghampiriku."
"Benarkah?" Sekali lagi Ruanindya merasa takjub, ia baru mendengar ada hal yang seperti itu. Ia pikir kuda adalah binatang bodoh yang hanya bisa berlari dengan cepat.
Gantara mengangguk lalu bersiul pelan --mengingat jaraknya dengan Beliung sangat dekat--, dan tanpa diduga-duga kuda jantan itu segera berjalan menghampiri tuannya, menundukan kepalanya di depan Gantara seolah meminta Gantara untuk membelai kepalanya dan dengan senang hati Gantara melakukan itu, "Anak pintar," pujinya pada Beliung.
"Woah.." Ruanindya tercengang melihat adegan di hadapannya.
"Tidurlah, besok kita akan pergi dari sini pagi buta."
"Aku tidak bisa tidur, bagaimana mungkin di tempat seperti ini aku bisa tidur. Tidak bisakah kita mencari penginapan saja?" Ruanindya mulai merengek.
"Rua," panggil Gantara sambil meletakan pedangnya lalu mendekat kearah Ruanindya.
"Apa?" Baru saja Ruanindya mengalihkan padangannya dari Beliung ke arah Gantara, ia sudah merasakan lengan kokoh itu di letakan sang pendekar di belakang punggungnya, dan satu telapak tangan lainnya dengan lembut mengusap wajahnya lalu seketika itu kesadaran Ruanindya hilang, jatuh tertidur dengan nyenyak.
Ketika tubuh Ruanindya terkulai, Gantara segera memeluknya supaya tubuh sang putri tidak menghempas ke tanah. Baru saja Gantara memberikan sirep[1] ringan pada Ruanindya agar Putri manja itu bisa tertidur nyenyak.
Dengan perlahan Gantara membaringkan tubuh Ruanindya, manjadikan buntalan kain bekal mereka sebagai bantal lalu menyelimutinya dengan kain yang lain.
Pendekar gagah perkasa itu menatap wajah tidur Ruanindya yang tenang, "Mulai sekarang hidupmu tidak akan seenak di istana," Gantara merasakan hatinya sedikit iba pada sang Putri.
[1. Sirep adalah ilmu untuk membuat orang tertidur.]
Gantara kembali duduk bersila dengan tegak, menutup matanya untuk beristirahat namun tidak benar-benar tertidur, ia masih tetap waspada dengan keadaan sekitarnya sekalipun ia sudah membuat pelindung di mulut gua dengan tenaga dalamnya, ditambah membuat ilusi sehingga dari luar mulut gua tidak terlihat, seolah tidak ada gua disana.
Bersambung...
Mind to like, tip, follow & coment? ^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Cahaya Warna
baru nemu novel yg spt ini, lain dr yg lain, jd ingat "satria madangkara" he he he
2022-08-26
1
Nurwana
wow.... keren abis
2021-04-20
0
Manimbul Lubis
mantul
2020-07-18
1