Air Mata Ratna

“Pak Nizar!,” sentakku kaget mudur beberapa langkah kebelakang.  Pak Nizar tersenyum menatap balik gadis bermata biru dihadapanya.

“Kamu kenapah belum pulang? “ tanya Pak Nizar memajukan tubuhnya. Menatapku begitu lembut namun, membuatku semakin tidak nyaman.

“Heheh, iya pak, tadi … keasikan di perpustakaan,” tukasku  mengalihkan pandangan. Pak Nizar segera menarik tubuhnya dan berdiri tegak didepan ku.  Ia mengangguk mengerti.

“Yaudah,  mau bareng bapak ga pulangnya?” tawar Pak Nizar

“Eeh, gak usah pak soalnya …,” ucap ku terpotong karna motor besar tiba tiba terparkir didepan kami. Laki laki itu

berhenti dan melepas helmny.  Lalu melirik kearah kami dengan senyuman lebar. Aku membelalkan  mata  tak percaya dengan sosok didepanku.

“Rendi!!!” ucapku terkejut.

Bukanya dia sudah pulang.Gumam ku dalam hati menatap tak percaya pemuda diatas motor itu. pak Nizar tersnyum menyapa senyuman Rendi barusan.

“Ratna, aku cariin kamu dari tadi, kamu kemana aja?  Katanya mau pulang bareng?” cerocos Rendi turun dari motor dan menghampiri ku.

Eeeh, sejak kapan aku ngajak pulang bareng ma dia. Iiih, apaan si ni anak. Grutuku dalam hati.

 

“Rendi ….” Belum sempat aku bicara,Rendi sudah menarik tangan ku lebih dulu dan menyuruhku naik kemotornya. Aku pun naik dengan kebingungan, meninggalkan Pak Nizar yang masih berdiri disana. Aku tersenyum dan melambai kearah laki laki bermata hitam itu .

“aku pamit ya pak, assalamualaikum ...,” sahut ku saat motor Rendi sudah mulai melaju.

“Rendi! Kok Kamu Ada di sekolah si? Bukannya  kamu udah pulang ?” teriakku diatara suara angin dan bising jalan raya. Meninggikan suara agar terdengar oleh Rendi di depan. Rendi tersenyum dari balik helmnya.

“Emang gak boleh ya?” Tanya Rendi membuatku semakin bingung. Dahiku seketika berkerut mendengar pertanyaan dari Rendi.

“Bukan gitu, aku kan cuman nanya!?” ucapku lantang. Rendi diam beberapa saat membuat suasana seketika canggung.

“Heheheh, aku cuman lewat aja tadi, soalnya ada yang ketinggalan, eeh tiba tiba liat kamu berdiri sama Pak Nizar  jadi, aku ajak  kamu, toh rumah kita kan searah,”  tutur Rendi lantang. Suara angin mendesau kencang dan bising jalan juga terdengar sangat memekikan telinga. Namun, suara Rendi masih dapat dipahami oleh ku. Aku menganggukan kepala tanda mengerti maksud perkataan Rendi.

 “Oh, git …,” ucapku  terpotong  kaget mendengar sirine mobil ambulan yang  melesat cepat ditengah keramaian jalan.  Semua mobil terbelah begitu saja saat sirine terdengar dari jarak 10m, membuat jalanan kosong bagian tengah. Aku menatap dua ambulan yang berjalan beriringan itu. Seketika rasa khawatir menyerbu ulu hati ku kembali. Aku spontan memengang dada ku dan meremasnya kuat.

Ya Allah, ada apa ini? Kenpah perasaan ku sangat gelisah?Gumamku dalam hati.  Rendi merasakan sesuatu yang  tidak beres dengan gadis dibelakangnya, segera ia mengarahkan spion motor agar terpantul wajah gadis itu. Dahi Rendi seketika mengkerut saat melihat wajah gadis pemilik mata biru itu pucat pasi.

“Kamu tidak apa apa,  Ratna??” Tanya rrendi khawatir.

“Iya, aku baik baik saja ko,”  tukas ku kembali  menatap langit. Beursaha menikmati suasana jalan.

Rendi menghembuskan nafas kasar lalu, kembali fokus pada jalan raya.

**

Ratusan orang mengerumuni rumah putih disana. Beberapa reporter dan juga polisi turut hadir dalam kerumunan itu. Aku menatap bingung. Rendi menurunkan kecepatnya menatap Tanya pemandangan didepannya.

“Rendi mereka sedang apa? kenpah ada polisi? Kok ada reporter juga? Ini kan rumah ku?” cerocosku masih belum mengerti situasinya. Rendi hanya diam menghentikan motornya tepat di depan kerumanan masa disana. Aku turun dan bertanya kewarga yang berada disitu.

“Bu, ini ada apa ya? Kok rame banget? kenapa ada polisi ma reporter juga?” Tanya ku beruntun. Perasaan ku

semakin tak karuan. Rasa takut, gelisah, sedih seketika menyeruak keseluruh nadi ku.  ibu itu menanggis lantas

memelukku erat. Rendi berdiri disamping ku menatap kami Tanpa eksperesi.

“Kanapa bu? Ada apa sabenarnya?” Tanya ku tak sabaran. Melepas pelukanya menatap manik mata wanita paruh baya didepan ku.  Ibu itu menyeka air matanya menatapku penuh kasihan.

“Ada pembuhan dirumah kamu, dan seluruh keluarga kamu meninggal disan…!” jelas Ibu itu terpotong karna aku

segera lari meninggalkannya.  Membelah kerumunan diikuti Rendi dari belakang.

Mata ku seketika berair melihat plastic  kuning polisi meliringkari rumahku. aku berusaha masuk namun tak diizin kan oleh polisi. Rendi spontan memelukku sangat erat.

“Pak! Aku mohon izin kan aku  masuk! Aku ingin melihat kedua orang tua ku,  sekarang, mereka pasti baik baik saja kan!”  teriak ku  ditengah isak tangis. Berusaha berontak dan melepaskan pelukan Rendi yang sangat kuat.

“Sabar, Rat, “ teriak Rendi berusaha menenangkan ku.

“Apaan si kamu Rend, orang tua ku gak mungkin mati!”  teriak ku  tak terrima dengan ucapan Rendi. Rendi

kembali mengeratkan pelukanya.  Air mataku tak henti mengelir. Orang orang turut menangis menatapku  penuh  kasian.

“Apaan si kalian! Jangan menatapku seprti itu! orang tua ku tidak akan mati! aku percaya itu!” teriak ku kembali kencang kearah penonton disana. Mereka hanya diam melihat ku.

Tiba tiba polisi dan beberapa staf mendis keluar dari dalam rumah menenggotong  pelastik kuning besar, yang biasa dipakai untuk menganggut mayat.  Kaki ku seketika lemas. Mata ku sudah tak bisa menahan tangis.  Rendi melepaskan pelukannya. Aku terduduk tak percaya melihat 5 plastik jenzah diangut beriringan dari dalam rumah. aku hanya bisa menutup mulut dan menangis sejadi jadinya.

Rendi jongkok didepan ku, ia kembali memeluk ku. Kali ini pelukannya jauh lembut lembut dari sebelumnya.

“Aku janji akan selalu ada untuk mu, Ratna!”  bisik Rendi ditelinga ku. Aku kembali menangis kencang. Menangis begitu parau. Hingga mampu menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Orang-orang menagis ikut merasakan kepiluan gadis didepan mereka. Rendi terus menepuk punggung ku dan mengelus pucuk kepalaku.

“Maaa ... paaa ....”suara ku parau berdiri perlahan mendekati mobil jenzah itu. Menatap tak pecaya dengan plastic kuning disana. Rasanya baru tadi pagi mereka tersenyum lembut dan berbincang hangat di meja makan. Namun seketika semua menjadi kenangan yang sangat memilukan. Rendi berdiri melihat ku dari belakang.

“Anda keluarga dari mereka?” tanya salah seorang staf medis disana. Aku hanya diam dan trus berjalan mendekati plastik kuning disana. Rendi segera mewakili suaraku.

“Iya pak, dia adalah anak dari keluarga korban,” tutur rendi menjelaskan. Staf medis itu mengangguk dan membiarkan ku mendekati jenzah itu.

Perlahan aku membuka seleting plastic itu, memasatikan kebenaran dari kematian orang tua ku.

Tubuh ku seketika membeku. Hatiku terasa tertusuk. Air mata ku seperti hujan. Kesedihan sudah tak bisa dibendung. Aku penangis penuh isak. Menangis sejadi jadinya memeluk jenazah disana. Berkali - kali ku memanggil nama mereka berharap mereka tengah tertidur lantas bangun kembali menyapa ku.

“MAAAA! PAAAA! ! Kalian pasti tidur kan! Benar kan! Kalian gak akan tinggalkan aku sendiri kan,” teriak ku parau. Semua orang hanya menunduk diam mendengar suara pilu gadis disana. Rendi berjalan menghampiri ku dan berdiri dibelakang ku.

“DE ..., kamu juga lagi tidur kan?? Kaka kangen ih …, ayo bangun fa …! Main bareng lagi ma kaka! Bangun de! Bangun de!! Kaka mohon bangu …hiks hiks hiks,” teriak ku mengoyang tubuh gadis kecil yang masih lengkap dengan seragam sekolah. berharap ia bangun dan memelukku kembali. Namun tubuhnya sangat dingin, wajahnya sudah mulai membiru.  Aku menaggis tersedu-sedu berusaha menyangkal kenyataan yang ada saat ini.  Rendi memgang pundak ku perlahan. Mengisyaratkan ku untuk tenang.

Aku berdiri menatap pak polisi.

“Pak …! Siapa yang malakukan ini??? si siapa yang menembak mereka? si siapa yang berani berbuat keji seperti

ini! dasar biad … dap …,”tuturku ditengah tangis pilu. Tubuhku seketika terhuyung jatuh kebelakang. Tubuhku lemas dan kesadaranku seketika hilang. Rendi dengan cepat menopang tubuhku dan membopongnya menjauhi masa disana. Menidurkan gadis malang itu di sebuah pohon di depan rumahnya.

Wajah gadis itu masih basah oleh air mata. Rendi mengeluarkan tisu dan mengusap bersih air yang turun dari mata

itu. mengusap pucuk kepala lantas mencium lebut pelipis wanita didepannya.

“Menikah lah dengan ku,  Ratna!!”  tutur Rendi menatap sendu gadis malang didepannya.

“Maa … pah ... fi …,” lirih Ratna tanpa sadar mengigau. Rendi kembali menatap iba gadis pemalu itu. Rendi segera

mengeluarkan benda pipih disaku celananya. Memainkanya dan segera menelpon pelayan rumah untuk menjemputnya dengan mobil.

Tak berselang lama. Mobil hitam terparkir cepat didepan Rendi. Gadis manis yang ada dipangkuanya masih terus

mengigau menyebut satu persatu nama keluarganya. Rendi terus mengelus kepala gadis itu. menatapnya penuh simpati.

Pelahan Rendi merebahkan tubuh gadis itu diatas kasur.  Melepasakan tas dan sepatunya. Segera ia menyelimuti tubuh gadis itu dengan selimut. Menepuk perlahan  lalu pergi meninggalakn gadis itu.

“Ketika kamu sadar nanti, aku harap kamu mau menerima ku sebagai suami mu, Ratna!”

.

.

.

.

Hallo pembaca yang budiman, saya harap kalian tinggalkan like dan coment untuk mendukung ceria Ratna, Rega dan Rendi. (aku menemukanmu wahai imamku)

jangan lupa, tinggalkan jejak ya kaka-kakaku setelah membaca...

love love deh, muaaah

 

Terpopuler

Comments

Om Rudi

Om Rudi

Om Rudi baru jejak

maaf baru balas

2021-01-01

0

marr

marr

wihiii semangat yuk yuk 😍

2020-12-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!