Di Batas Cakrawala
Sebuah mobil hitam meluncur di padatnya jalan raya lalu lintas kota Jakarta. Tampak seorang pemuda berambut hitam tengah mengemudi. Wajah pemuda itu datar, dingin. Ia tak terlihat senang dengan situasinya saat ini.
Di sampingnya ada gadis berwajah manis dengan rambut dipotong gaya bob pendek berlayer tinggi. Gadis itu tersenyum sesekali mencuri pandang ke arah laki-laki di sampingnya. Pemuda itu seperti tak peduli.
Ting! Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Gadis itu segera membukanya.
Hei my sweet girl Maisa, sudah sampai Jakarta atau belum? Tetap hati-hati di jalan. Baik-baik ya di sana. I miss you.
Maisa tersenyum, ibu jarinya mengetik pesan balasan.
Ini sudah sampai di Jakarta, tapi belum sampai rumah. Miss you to.
Maisa membuka kaca jendela, melongok keluar. Gedung tinggi menjulang di sisi kiri kanan jalan tol dihiasi kelap kelip lampu. Papan baliho besar di sepanjang jalan menampilkan iklan promosi.
Sudah lima belas tahun berlalu, dulu masih belum banyak gedung berdiri. Pemandangan masih asri dan hijau. Banyak perdu dan pepohonan tumbuh. Kini pemandangan hijau itu jarang dilihat. Hanya satu atau dua tempat yang masih terlihat hijau. Semuanya tergantikan dengan gedung-gedung tinggi. Di pinggir sungai berderet rumah-rumah kumuh. Pemandangan yang sangat kontras dirasakan. Meskipun begitu, ini adalah kampung halamannya yang memberikan sejuta kerinduan.
Jakarta, aku kembali!
Maisa kembali mengalihkan pandangannya ke arah pemuda itu, menatapnya lekat-lekat menyusuri setiap lekuk wajahnya. Jari tangannya mengetuk-ngetuk dasbor mobil.
Laki-laki itu merasa jengah. "Apa?"
"Sekarang Jakarta banyak berubah, ya! Tidak seperti dulu. Aku kangen loh sama suasana rumah. Kira-kira apa banyak yang berubah ya? Pohon mangga di muka rumah apa masih ada? Sekarang kan lagi musimnya. Mangga muda enak dibuat pencokan. Aku jadi ngiler, nih."
Maisa masih saja nyerocos. Kio menghentikan mobilnya mendadak di pinggir jalan tol. Tubuh Maisa terdorong ke muka. Kepalanya nyaris membentur dasbor mobil. Untung saja ia dapat menahannya. Kalau tidak pasti akan ada benjolan kecil di dahinya. Kio menatapnya dingin. Rasa penat menyetir mobil seharian di tambah adiknya super berisik, membuat emosinya meledak.
“Bisa diam tidak! Berisik tau! Aku capek menyetir mobil dari Jakarta ke Yogyakarta dan sekarang balik ke Jakarta lagi. Kalau kau masih berisik, turun saja sana,” bentak Kio kesal.
“Siapa yang suruh tidak istirahat dulu,” guman Maisa sedikit cemberut.
Kio menoleh ke arah Maisa. Maisa berpura-pura memperhatikan pemandangan di luar. Sesekali ia melirik ke arah laki-laki itu. Kio masih menatapnya tajam.
Maisa memanyunkan bibirnya. Kio mengemudikan mobilnya lagi. Ia memperhatikan Kio yang tengah menyetir, tersenyum sendiri. Kakaknya ini memang tampan, tapi sikap judesnya malah menambah pesonanya. Maisa jadi ingin menjahilinya.
“Kak Kio jadi tampan ya sekarang. Tinggi, putih dan atletis seperti aktor di Avenger deh. Hm... Siapa namanya? Chris Hemsworth. Tapi lebih tampan Chris, deh! Kakak tidak kalah saing sama Chris, kok. Tapi aku tetap mengidolakan Chris,” ujar Maisa seraya tersenyum jahil.
Kio semakin kesal mendengarnya dan menghentikan mobilnya secara mendadak untuk kedua kalinya.
“Turun sekarang!” kata Kio kesal.
Maisa menggelengkan kepala dan memasang muka polos. Kio menghela napas, sepertinya ia perlu memberi pelajaran pada adiknya itu. Kio menginjak pedal gas menjalankan mobil dengan kecepatan tinggi mendahului mobil di depannya. Bunyi decit ban mobil melewati tikungan tajam.
Wajah Maisa seketika menjadi pucat. Ia mencengkeram lengan Kio, tangannya gemetar. Keringat dingin membasahi bajunya. Perutnya mual seperti diaduk-aduk, kepalanya terasa pening.
Kio tersenyum menikmati permainannya. Ia menambah kecepatan, mobil melaju kencang melintasi jalan bebas hambatan. Maisa mengencangkan cengkeramannya. Kio meringis, lengannya terasa sakit. Ia menghentikan mobil di pinggir jalan tol. Maisa segera keluar dari mobil, berjongkok di pinggir jalan.
Sekelebat ingatan tentang kecelakaan lima belas tahun yang lalu kembali terbayang. Genangan darah mengalir di jalan. Suara teriakan orang-orang menggema. Tangannya gemetar menutup telinga, matanya terpejam.
Kio turut keluar, menyandarkan punggungnya di mobil memperhatikan Maisa. Ia tidak berniat menanyakan apapun padanya, hanya membiarkannya sendiri.
Maisa berusaha mengatur napas. Ia kembali masuk ke mobil tanpa memperdulikan Kio. Maisa kini diam, tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Sepanjang jalan ia hanya memperhatikan pemandangan di sekitarnya. Ada sedikit kesedihan tersirat di wajahnya.
Sebuah rumah modern bertingkat dua, dikelilingi taman yang asri. Pak Chandra duduk di depan meja kerja. Tangannya memegang foto perempuan yang tak lain istrinya. Membelai foto itu dengan penuh perasaan. Kenangan masa lalu yang indah terbayang di benaknya, berlari bersama dengan tawa menghiasi wajah, bergandengan tangan dan berpelukan.
Ingatan berganti dengan sosok yang amat dikenalnya terbaring dingin di ranjang rumah sakit. Peristiwa yang tidak diinginkan terjadi, merenggut sosok yang disayangi. Ia masih belum merelakan kepergian istrinya. Ia masih tidak ingin bertemu anak itu. Anak yang merenggut orang yang dicintainya.
“Sudah lima belas tahun berlalu. Tapi perasaanku masih berat melepas kepergianmu, Arini. Selama itu juga aku tidak bertemu dengan anak itu. Apa aku sanggup menghadapinya?”
Suara deru mobil memasuki pekarangan rumah. Pak Mamat seorang tukang kebun membukakan pintu pagar. Pak Chandra meletakkan kembali foto itu ke meja, bergegas melangkahkan kakinya menyongsong ke ruang tamu.
Kio sudah berdiri di muka pintu dengan wajah lelah. Setelah mengucapkan salam, Kio masuk ke dalam dengan langkah gontai dan tubuh lunglai, menghempaskan dirinya ke sofa. Memejamkan matanya menikmati kenyamanan busa empuk di punggungnya.
“Mana anak itu?” tanya pak Chandra dengan enggan.
Kio tak menjawab, menggerakkan dagunya, hanya memandang ke pintu. Pak Chandra menoleh, Maisa berdiri di pintu depan. Wajah pak Chandra menjadi dingin ketika melihat Maisa. Wajah yang amat sangat dikenalnya. Anak itu sungguh mirip dengan istrinya. Lukanya terasa kembali menganga.
Maisa masih merasakan ayahnya masih belum bisa menerimanya. Tatapannya yang dingin menusuk, sikap tak peduli akan keberadaannya sudah cukup menjadi jawaban. Ia mengerti kenapa ayahnya seperti itu. Ini memang salahnya, ia menyesali itu. Gadis itu menunduk ragu untuk masuk. Ia merasa canggung di rumahnya sendiri. Hampir lima belas tahun tidak menginjakkan kakinya di sana.
“Masuklah!” kata pak Chandra setelah sekian lama terdiam membisu.
Maisa tersenyum tertahan, melangkahkan kakinya ke dalam rumah masa kecilnya. Perasaan haru melingkupi hatinya.
"Maisa pulang, Pa." Suaranya terdengar lirih.
Laki-laki itu langsung melesat pergi meninggalkan keduanya. Kio masih bersandar di sofa melangkahkan kakinya masuk ke kamar, meninggalkan Maisa yang masih berdiri di sana. Tubuhnya terasa penat membuatnya malas melakukan apapun. Bayangan Maisa gemetar ketakutan melintas di matanya. Kio menutupi matanya dengan lengan kanannya.
"Hais! Jangan pikirkan apapun," gumannya pelan.
Seorang perempuan setengah baya datang menghampiri Maisa. Bi Tari merupakan asisten rumah tangga di sini sejak Maisa masih kecil. Bi Tari terlihat senang nona kecil yang diurusnya dulu sudah tumbuh dewasa.
"Wah, Non. Makin cantik saja. Ayo Bibi temani ke kamar."
Maisa mengikuti Bi Tari ke lantai dua, memasuki kamar kosong. Kamar tidurnya dulu saat masih kecil. Dekorasi ruangan masih seperti dulu, tidak ada yang berubah. Foto keluarga dan foto masa kecilnya bertengger manis di dinding kamarnya. Maisa tersenyum haru, ia merindukan kamar ini. Banyak kenangan yang tertinggal di sini.
"Non, istirahat aja dulu ya. Biar pak Mamat yang membawa kopernya ke atas. Bibi buatkan es lemon dulu.”
Maisa mengangguk. “Terima kasih ya, Bi.”
Gadis itu merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Ada semburat senyum tersirat di wajahnya. Ia memandang langit-langit kamarnya lalu menoleh ke samping memandangi sebuah foto.
Maisa meraih bingkai foto di meja belajarnya. Sebuah foto keluarga di mana Maisa, Kio, ayah dan ibunya tersenyum bahagia. Ia menyentuh foto itu, pelan. Air mata menggenang di pelupuk mata tanpa disadari. Dadanya terasa sesak. Maisa memeluk foto itu dan mulai menangis pelan.
Kio bersandar di samping pintu kamar Maisa yang sedikit terbuka. Niat ingin langsung tidur diurungkan. Ia hanya ingin tahu apa yang dilakukan gadis itu di kamarnya. Tangannya dimasukkan ke saku celananya. Ia mendengar adiknya menangis tertahan. Dadanya terasa nyeri. Kio menghela napas panjang, pergi dari kamar itu, mengabaikan semua perasaan yang mengganjal hatinya.
Sementara itu pak Chandra menghadap meja kerjanya. Wajahnya terlihat merenung. Paras Maisa tersenyum masih melekat di pikirannya. Tangannya memukul meja cukup keras menimbulkan bunyi jedug. Hatinya kesal, marah dan juga sedih.
Kenapa anak itu mirip dengan Arini?
Maisa tertidur pulas memeluk foto keluarga. Sisa air mata mengalir di sudut matanya. Detik jarum jam berbunyi mewarnai sunyinya waktu. Ia tenggelam dalam mimpinya. Samar samar terlihat seorang perempuan tergeletak di jalan. Genangan darah yang melebar. Bau besi berkarat dan bensin menjadi satu menerpa penciuman.
Maisa mencoba menghampirinya, seseorang memanggil namanya dan menyentuh pundaknya. Maisa terjaga dari tidurnya. Matanya mengerjap, melihat Bi Tari menggoyangkan bahunya, membangunkannya.
"Non Maisa bangun, yuk. Makan dulu."
"Oh iya, Bi. Nanti aku menyusul ke bawah." Suaranya terdengar parau. Ekor matanya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul delapan malam. Gadis itu menyibakkan rambut pendeknya. Setelah mencuci muka, ia bergegas ke bawah. Di sana sudah ada Pak Chandra dan Kio.
Maisa menyendok nasi dan mengunyahnya perlahan. Ekor matanya mencuri pandang ke arah ayahnya dan Kio yang duduk berseberangan di meja makan. Ini pertama kalinya setelah sekian lama terpisah. Ada sedikit kegembiraan di hatinya namun ada kesedihan.
Ia memperhatikan ayahnya dan juga Kio. Wajah keduanya tampak sedingin es. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulut mereka. Hanya suara denting sendok beradu dengan piring mengisi kesunyian.
Maisa merasa itu sudah cukup untuknya saat ini, berkumpul dengan keluarganya. Senang mengingat ayahnya mau mengabulkan keinginannya kembali ke Jakarta. Meski beberapa kali harus mengalami penolakan. Untung kakek dan neneknya di Yogjakarta berhasil melunakkan hati ayahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Maya●●●
halo kak. aku mmpir nih. mampir juga di karyaku😊
2022-11-18
0
auliasiamatir
aku hadir di sini.
2022-09-04
0
Senajudifa
salken dr kutukan cinta thor mampirlah jika berkenan
2022-06-06
0