Sebuah mobil hitam meluncur di padatnya jalan raya lalu lintas kota Jakarta. Tampak seorang pemuda berambut hitam tengah mengemudi. Wajah pemuda itu datar, dingin. Ia tak terlihat senang dengan situasinya saat ini.
Di sampingnya ada gadis berwajah manis dengan rambut dipotong gaya bob pendek berlayer tinggi. Gadis itu tersenyum sesekali mencuri pandang ke arah laki-laki di sampingnya. Pemuda itu seperti tak peduli.
Ting! Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Gadis itu segera membukanya.
Hei my sweet girl Maisa, sudah sampai Jakarta atau belum? Tetap hati-hati di jalan. Baik-baik ya di sana. I miss you.
Maisa tersenyum, ibu jarinya mengetik pesan balasan.
Ini sudah sampai di Jakarta, tapi belum sampai rumah. Miss you to.
Maisa membuka kaca jendela, melongok keluar. Gedung tinggi menjulang di sisi kiri kanan jalan tol dihiasi kelap kelip lampu. Papan baliho besar di sepanjang jalan menampilkan iklan promosi.
Sudah lima belas tahun berlalu, dulu masih belum banyak gedung berdiri. Pemandangan masih asri dan hijau. Banyak perdu dan pepohonan tumbuh. Kini pemandangan hijau itu jarang dilihat. Hanya satu atau dua tempat yang masih terlihat hijau. Semuanya tergantikan dengan gedung-gedung tinggi. Di pinggir sungai berderet rumah-rumah kumuh. Pemandangan yang sangat kontras dirasakan. Meskipun begitu, ini adalah kampung halamannya yang memberikan sejuta kerinduan.
Jakarta, aku kembali!
Maisa kembali mengalihkan pandangannya ke arah pemuda itu, menatapnya lekat-lekat menyusuri setiap lekuk wajahnya. Jari tangannya mengetuk-ngetuk dasbor mobil.
Laki-laki itu merasa jengah. "Apa?"
"Sekarang Jakarta banyak berubah, ya! Tidak seperti dulu. Aku kangen loh sama suasana rumah. Kira-kira apa banyak yang berubah ya? Pohon mangga di muka rumah apa masih ada? Sekarang kan lagi musimnya. Mangga muda enak dibuat pencokan. Aku jadi ngiler, nih."
Maisa masih saja nyerocos. Kio menghentikan mobilnya mendadak di pinggir jalan tol. Tubuh Maisa terdorong ke muka. Kepalanya nyaris membentur dasbor mobil. Untung saja ia dapat menahannya. Kalau tidak pasti akan ada benjolan kecil di dahinya. Kio menatapnya dingin. Rasa penat menyetir mobil seharian di tambah adiknya super berisik, membuat emosinya meledak.
“Bisa diam tidak! Berisik tau! Aku capek menyetir mobil dari Jakarta ke Yogyakarta dan sekarang balik ke Jakarta lagi. Kalau kau masih berisik, turun saja sana,” bentak Kio kesal.
“Siapa yang suruh tidak istirahat dulu,” guman Maisa sedikit cemberut.
Kio menoleh ke arah Maisa. Maisa berpura-pura memperhatikan pemandangan di luar. Sesekali ia melirik ke arah laki-laki itu. Kio masih menatapnya tajam.
Maisa memanyunkan bibirnya. Kio mengemudikan mobilnya lagi. Ia memperhatikan Kio yang tengah menyetir, tersenyum sendiri. Kakaknya ini memang tampan, tapi sikap judesnya malah menambah pesonanya. Maisa jadi ingin menjahilinya.
“Kak Kio jadi tampan ya sekarang. Tinggi, putih dan atletis seperti aktor di Avenger deh. Hm... Siapa namanya? Chris Hemsworth. Tapi lebih tampan Chris, deh! Kakak tidak kalah saing sama Chris, kok. Tapi aku tetap mengidolakan Chris,” ujar Maisa seraya tersenyum jahil.
Kio semakin kesal mendengarnya dan menghentikan mobilnya secara mendadak untuk kedua kalinya.
“Turun sekarang!” kata Kio kesal.
Maisa menggelengkan kepala dan memasang muka polos. Kio menghela napas, sepertinya ia perlu memberi pelajaran pada adiknya itu. Kio menginjak pedal gas menjalankan mobil dengan kecepatan tinggi mendahului mobil di depannya. Bunyi decit ban mobil melewati tikungan tajam.
Wajah Maisa seketika menjadi pucat. Ia mencengkeram lengan Kio, tangannya gemetar. Keringat dingin membasahi bajunya. Perutnya mual seperti diaduk-aduk, kepalanya terasa pening.
Kio tersenyum menikmati permainannya. Ia menambah kecepatan, mobil melaju kencang melintasi jalan bebas hambatan. Maisa mengencangkan cengkeramannya. Kio meringis, lengannya terasa sakit. Ia menghentikan mobil di pinggir jalan tol. Maisa segera keluar dari mobil, berjongkok di pinggir jalan.
Sekelebat ingatan tentang kecelakaan lima belas tahun yang lalu kembali terbayang. Genangan darah mengalir di jalan. Suara teriakan orang-orang menggema. Tangannya gemetar menutup telinga, matanya terpejam.
Kio turut keluar, menyandarkan punggungnya di mobil memperhatikan Maisa. Ia tidak berniat menanyakan apapun padanya, hanya membiarkannya sendiri.
Maisa berusaha mengatur napas. Ia kembali masuk ke mobil tanpa memperdulikan Kio. Maisa kini diam, tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Sepanjang jalan ia hanya memperhatikan pemandangan di sekitarnya. Ada sedikit kesedihan tersirat di wajahnya.
Sebuah rumah modern bertingkat dua, dikelilingi taman yang asri. Pak Chandra duduk di depan meja kerja. Tangannya memegang foto perempuan yang tak lain istrinya. Membelai foto itu dengan penuh perasaan. Kenangan masa lalu yang indah terbayang di benaknya, berlari bersama dengan tawa menghiasi wajah, bergandengan tangan dan berpelukan.
Ingatan berganti dengan sosok yang amat dikenalnya terbaring dingin di ranjang rumah sakit. Peristiwa yang tidak diinginkan terjadi, merenggut sosok yang disayangi. Ia masih belum merelakan kepergian istrinya. Ia masih tidak ingin bertemu anak itu. Anak yang merenggut orang yang dicintainya.
“Sudah lima belas tahun berlalu. Tapi perasaanku masih berat melepas kepergianmu, Arini. Selama itu juga aku tidak bertemu dengan anak itu. Apa aku sanggup menghadapinya?”
Suara deru mobil memasuki pekarangan rumah. Pak Mamat seorang tukang kebun membukakan pintu pagar. Pak Chandra meletakkan kembali foto itu ke meja, bergegas melangkahkan kakinya menyongsong ke ruang tamu.
Kio sudah berdiri di muka pintu dengan wajah lelah. Setelah mengucapkan salam, Kio masuk ke dalam dengan langkah gontai dan tubuh lunglai, menghempaskan dirinya ke sofa. Memejamkan matanya menikmati kenyamanan busa empuk di punggungnya.
“Mana anak itu?” tanya pak Chandra dengan enggan.
Kio tak menjawab, menggerakkan dagunya, hanya memandang ke pintu. Pak Chandra menoleh, Maisa berdiri di pintu depan. Wajah pak Chandra menjadi dingin ketika melihat Maisa. Wajah yang amat sangat dikenalnya. Anak itu sungguh mirip dengan istrinya. Lukanya terasa kembali menganga.
Maisa masih merasakan ayahnya masih belum bisa menerimanya. Tatapannya yang dingin menusuk, sikap tak peduli akan keberadaannya sudah cukup menjadi jawaban. Ia mengerti kenapa ayahnya seperti itu. Ini memang salahnya, ia menyesali itu. Gadis itu menunduk ragu untuk masuk. Ia merasa canggung di rumahnya sendiri. Hampir lima belas tahun tidak menginjakkan kakinya di sana.
“Masuklah!” kata pak Chandra setelah sekian lama terdiam membisu.
Maisa tersenyum tertahan, melangkahkan kakinya ke dalam rumah masa kecilnya. Perasaan haru melingkupi hatinya.
"Maisa pulang, Pa." Suaranya terdengar lirih.
Laki-laki itu langsung melesat pergi meninggalkan keduanya. Kio masih bersandar di sofa melangkahkan kakinya masuk ke kamar, meninggalkan Maisa yang masih berdiri di sana. Tubuhnya terasa penat membuatnya malas melakukan apapun. Bayangan Maisa gemetar ketakutan melintas di matanya. Kio menutupi matanya dengan lengan kanannya.
"Hais! Jangan pikirkan apapun," gumannya pelan.
Seorang perempuan setengah baya datang menghampiri Maisa. Bi Tari merupakan asisten rumah tangga di sini sejak Maisa masih kecil. Bi Tari terlihat senang nona kecil yang diurusnya dulu sudah tumbuh dewasa.
"Wah, Non. Makin cantik saja. Ayo Bibi temani ke kamar."
Maisa mengikuti Bi Tari ke lantai dua, memasuki kamar kosong. Kamar tidurnya dulu saat masih kecil. Dekorasi ruangan masih seperti dulu, tidak ada yang berubah. Foto keluarga dan foto masa kecilnya bertengger manis di dinding kamarnya. Maisa tersenyum haru, ia merindukan kamar ini. Banyak kenangan yang tertinggal di sini.
"Non, istirahat aja dulu ya. Biar pak Mamat yang membawa kopernya ke atas. Bibi buatkan es lemon dulu.”
Maisa mengangguk. “Terima kasih ya, Bi.”
Gadis itu merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Ada semburat senyum tersirat di wajahnya. Ia memandang langit-langit kamarnya lalu menoleh ke samping memandangi sebuah foto.
Maisa meraih bingkai foto di meja belajarnya. Sebuah foto keluarga di mana Maisa, Kio, ayah dan ibunya tersenyum bahagia. Ia menyentuh foto itu, pelan. Air mata menggenang di pelupuk mata tanpa disadari. Dadanya terasa sesak. Maisa memeluk foto itu dan mulai menangis pelan.
Kio bersandar di samping pintu kamar Maisa yang sedikit terbuka. Niat ingin langsung tidur diurungkan. Ia hanya ingin tahu apa yang dilakukan gadis itu di kamarnya. Tangannya dimasukkan ke saku celananya. Ia mendengar adiknya menangis tertahan. Dadanya terasa nyeri. Kio menghela napas panjang, pergi dari kamar itu, mengabaikan semua perasaan yang mengganjal hatinya.
Sementara itu pak Chandra menghadap meja kerjanya. Wajahnya terlihat merenung. Paras Maisa tersenyum masih melekat di pikirannya. Tangannya memukul meja cukup keras menimbulkan bunyi jedug. Hatinya kesal, marah dan juga sedih.
Kenapa anak itu mirip dengan Arini?
Maisa tertidur pulas memeluk foto keluarga. Sisa air mata mengalir di sudut matanya. Detik jarum jam berbunyi mewarnai sunyinya waktu. Ia tenggelam dalam mimpinya. Samar samar terlihat seorang perempuan tergeletak di jalan. Genangan darah yang melebar. Bau besi berkarat dan bensin menjadi satu menerpa penciuman.
Maisa mencoba menghampirinya, seseorang memanggil namanya dan menyentuh pundaknya. Maisa terjaga dari tidurnya. Matanya mengerjap, melihat Bi Tari menggoyangkan bahunya, membangunkannya.
"Non Maisa bangun, yuk. Makan dulu."
"Oh iya, Bi. Nanti aku menyusul ke bawah." Suaranya terdengar parau. Ekor matanya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul delapan malam. Gadis itu menyibakkan rambut pendeknya. Setelah mencuci muka, ia bergegas ke bawah. Di sana sudah ada Pak Chandra dan Kio.
Maisa menyendok nasi dan mengunyahnya perlahan. Ekor matanya mencuri pandang ke arah ayahnya dan Kio yang duduk berseberangan di meja makan. Ini pertama kalinya setelah sekian lama terpisah. Ada sedikit kegembiraan di hatinya namun ada kesedihan.
Ia memperhatikan ayahnya dan juga Kio. Wajah keduanya tampak sedingin es. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulut mereka. Hanya suara denting sendok beradu dengan piring mengisi kesunyian.
Maisa merasa itu sudah cukup untuknya saat ini, berkumpul dengan keluarganya. Senang mengingat ayahnya mau mengabulkan keinginannya kembali ke Jakarta. Meski beberapa kali harus mengalami penolakan. Untung kakek dan neneknya di Yogjakarta berhasil melunakkan hati ayahnya.
“Hari ini kamu mulai kuliah di sini. Aku harap kamu tidak membuat masalah atau kamu mau kembali ke rumah nenek. Apa kamu mengerti?”
"Baik, Pa."
Maisa mendengar penjelasan ayahnya. Kepalanya menunduk seraya menggigit bibir bawahnya. Alisnya mengkerut, meremas tangannya menahan perasaan. Maisa berharap ayahnya mau sedikit ramah, menerimanya kembali. Bercanda dan tertawa seperti dulu.
Kio melewati ruang keluarga dengan pakaian rapi, mengenakan jeans biru dan kaos berkerah lengan pendek serta tas ransel menggantung di bahu kirinya. Ia menatap Maisa sejenak, namun tak menyapanya.
Maisa berangkat dengan wajah lesu. Harusnya ini awal yang menggembirakan, mengingat dia satu universitas dengan Kio.
“Pa, aku berangkat dulu ya!”
Pak Chandra mendongak ke arah putranya dan tersenyum. “Oh iya. Hati-hati di jalan, ya. Jangan ngebut.”
Kio melambaikan tangannya sebagai isyarat tidak perlu khawatir. Maisa memandangi siluet Kio yang menghilang di balik pintu. Senyum hangat yang ditujukan pada Kio lenyap tak berbekas. Wajah pak Chandra berubah dingin. Maisa bergegas berpamitan dengan ayahnya, mempercepat langkahnya menghampiri Kio yang bersiap pergi dengan motornya.
"Boleh aku ikut, Kak?" ujarnya sambil tersenyum manis.
Kio menggerakkan matanya bosan. Ia mengibaskan tangannya menyuruh minggir. Maisa meminggirkan tubuhnya. Motorsport itu melaju meninggalkan Maisa sendirian. Ia sedikit kesal dengan kakaknya itu. Wajahnya terlihat cemberut.
Harusnya ini awal yang menggembirakan, mengingat satu universitas dengan Kio. Padahal ia ingin dekat dengan kakaknya. Kio sepertinya selalu menjaga jarak darinya. Dengan langkah gontai, Maisa mencari angkot ke arah tempat kuliahnya.
Maisa memasuki halaman kampus yang luas dan asri. Banyak mahasiswa berseliweran di mana-mana. Ada yang bersantai di bawah pohon, atau sekedar duduk-duduk di bangku taman atau mengobrol sambil berdiri. Kesan pertamanya, kampus ini cukup menyenangkan. Ia mencari ruang kuliahnya sambil melihat pamflet yang diambilnya dari ruang informasi.
Langkahnya terhenti, sebuah botol kosong tergeletak di depannya. Ia menengok ke kiri ke kanan mencari tempat sampah. Beruntung ada satu tidak jauh dari tempatnya berdiri. Tangannya yang ramping mengambil botol itu. Matanya memicing ke arah bak sampah. Ia terkekeh, lalu menendang botolnya. Botol itu melayang ke arah bak sampah. Malang menimpa, botol itu justru menimpuk kepala seseorang yang lewat.
“Aduh! Siapa sih kurang kerjaan menendang botol segala,” seru seseorang dengan kesal.
“Hei, benjol tidak tuh?” gurau temannya tertawa. Rambut cepaknya terlihat menyala di cat coklat itu malah senang melihatnya kesakitan.
Pemuda itu menggerutu seraya mengusap-usap kepalanya yang nyut-nyutan. Tangan sebelah kirinya memasukkan botol ke bak sampah.
Mulut Maisa membentuk huruf O. Ia segera menghampiri orang tersebut. Maisa melotot kaget, orang itu ternyata Kio. Wajah Maisa langsung berubah kecut. Tak disangka malah membuat keributan di hari pertama kuliah. Sungguh sial hari ini.
“Maaf, Kak. Aku tidak sengaja,” kata Maisa seraya menggaruk rambutnya yang dipotong pendek. Sebelah tangannya membentuk isyarat permintaan maaf. Wajahnya menawan tawa melihat raut wajah Kio.
Ekspresi tidak bersalah yang ditunjukkan membuat Kio sebal. Matanya melotot ke arah adiknya yang tengah menahan senyumnya. Rasanya ingin menimpuk balik kepalanya menggunakan botol barusan.
“Sehari saja tidak bikin orang kesal kenapa sih?” bentak Kio kesal.
“Siapa, nih?” tanya Erik, temannya yang barusan membanyol.
Kio tak menjawab pertanyaan temannya itu. Ingin segera mengajaknya pergi dari situ. Ia tak suka jika melihat temannya respek terhadap Maisa. Meski ia sendiri mengakui jika adiknya itu memang menarik perhatian. Wajahnya manis, tak bosan untuk dipandang.
“Untuk apa kau masih disini? Pergi sana!” ujar Kio pada Maisa lagi dengan nada mengusir.
"Iya... Iya. Dasar bawel!"
"Apa?"
Kio terlihat lebih kesal dari sebelumnya. Maisa segera pergi dengan wajah masam. Bibirnya tak hentinya mencibir Kio. Nadanya terlihat kesal.
Erik melihat Maisa menjauh dengan kening berkerut. Tak seperti biasanya sobatnya satu ini galak sama perempuan. Dan sepertinya mereka berdua saling kenal. Ia menegur meminta alasan bersikap seperti itu, Kio malah mengangkat bahu tak peduli. Sepertinya ia benar-benar kesal pada gadis itu.
Tak lama berselang, seorang pemuda datang tergesa-gesa menghampiri keduanya yang bersantai di bangku taman. Gaya rambutnya bowl cut, mengenakan jaket dan celana jeans. Napasnya terengah-engah, seperti habis lari maraton sepuluh kilo. Rahangnya yang kokoh, peluh membasahi pelipisnya menambah kesan seksi.
“Sorry, telat. Sepertinya nanti aku tidak lama di kampus. Bakal ada pemotretan lagi sampai malam,” ujarnya sambil mengatur napasnya. Tangannya beradu tinju dengan kedua temannya.
Kio diam saja, tak menyahut. Temannya yang baru saja datang bernama Ken memandangnya heran. Biasanya anak itu langsung koar-koar kalau sudah kumpul bareng. Ia beralih menatap Erik. Erik merangkul bahunya, menggerakkan dagunya ke arah Kio.
“Dari tadi anak ini ogah-ogahan terus. Habis kesambet setan, tadi ada cewek yang mengganggunya. Mungkin naksir kali pada pandangan pertama,” kata Erik tersenyum simpul, senang menggoda temannya yang pundung.
“What’s? Apa?” Kio melotot menjitak kepala Erik.
Ken tertawa kecil melihat tingkah polah kekanak-kanakan keduanya. "Memang ada yang naksir dia"
"Sialan kalian!"
Siapa gerangan gadis yang membuat Kio jadi uring-uringan. Ken menjadi sedikit tertarik mendengarnya. Tanpa ba bi bu lagi, Erik langsung menceritakan kejadian yang barusan sesekali tertawa mengejek. Kio mengumpat kesal, temannya satu ini memang bermulut besar.
Bisik-bisik suara perempuan yang lewat mengagumi tiga pahatan Tuhan mengusik indra pendengaran mereka. Ketiganya merupakan idola kampus sekaligus model majalah fashion dan juga selebgram dengan follower jutaan. Banyak mahasiswi ingin mendekati ketiganya, namun sepertinya belum ada yang membuat mereka hati bergeming.
Dari lantai dua, Maisa melihat apa yang terjadi. Ia menggeleng-gelengkan kepala melihat kerumunan anak-anak perempuan yang berusaha mendekati idola mereka. Kio dan ketiga temannya beranjak pergi, terganggu dengan kerumunan itu.
Ia bingung apa yang membuat mereka sampai terpesona seperti itu. Oke. Tampan, memang. Maisa mengakuinya. Sikap yang dingin, fashion OOTD selalu kece dan sedikit angkuh malah menambah pesona di mata para penggemar. Tidak sengaja matanya bertemu pandang dengan Ken, keduanya bertatapan cukup lama.
“Keren kan mereka?" kata seorang gadis berdiri di sampingnya membuatnya terkejut.
Maisa menoleh ke arahnya. Gadis itu memandang mereka dengan tatapan kagum. Sepertinya dia juga penggemar berat mereka. Gadis itu mengalihkan pandangannya ke Maisa. Ia mengulurkan tangannya mengajak berkenalan.
“Mia. Mia Anggraini. Aku suka sama Kio, soalnya dia ganteng banget,” Mia langsung mengatakannya to the point.
Maisa menerima uluran tangannya. Mendengar gadis itu penggemar Kio, bibirnya menampilkan senyum tertahan. Agak lucu Kio memiliki penggemar menurutnya. Tapi mengingat tampang kakaknya di atas rata-rata, tidak memungkiri jika ia populer dikalangan kaum hawa.
“Oh... Fans Kio, ya! Aku Maisa.”
Mia memperhatikan Maisa dari ujung kaki hingga kepala. Ia merasa gadis yang di depannya terasa asing. Sepertinya usia mereka tidak terpaut jauh. Setidaknya Mia hampir mengenali mahasiswa yang kuliah di jurusan ini.
“Aku baru pindah kesini dari Universitas Y di Jogja,” kata Maisa menambahkan sambil nyengir menyadari gadis yang di depannya ingin bertanya tentang dirinya lagi.
"Wah, jauh lho. Kok bisa pindah kesini?"
"Ya karena di kampusku dulu kadang suka berantem. Maybe."
“Ck...ck...ck... Hebat juga ya, Sa!”
“Masa berantem dibilang hebat?”
“Ya, bagus dong. Berarti laki-laki brengsek tidak ada yang berani dekati kamu."
Keduanya tertawa merasa topik pembicaraan sedikit lucu. Mia tipe teman yang langsung akrab dengan siapa pun. Gadis itu berbicara tanpa basa-basi, tipe perempuan yang langsung bicara tepat sasaran.
Ia bercerita mengenai betapa menawan dan mempesonanya Kio. Menjabarkannya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Sikap Kio yang kalem mampu melelehkan hatinya. Maisa menutupi mulutnya dengan punggung tangannya menahan tawa. Kio yang dia tahu tidak pernah bersikap seperti itu.
"Diantara mereka bertiga ada yang kamu suka, tidak?"
"Hm.... Tak ada. Aku sudah punya beberapa pangeran yang siap melindungiku, kok," Maisa berkelakar. Yang dia katakan tidak sepenuhnya salah. Mereka selalu menanti Maisa kembali ke sana setelah urusannya di Jakarta selesai.
Maisa kembali memandang ke bawah. Kali kedua matanya bertemu pandang dengan Ken. Mia menyadari tatapan Ken ditujukan pada gadis di sebelahnya. Ia menyenggol bahunya.
"Sepertinya Ken dari tadi memperhatikan kamu, deh."
Maisa tertawa kecil, mengibaskan tangan kanannya. "Perasaanmu saja kali. Mana mungkin dia memperhatikanku."
Glek! Laki-laki itu ternyata masih memandangnya. Maisa membalikkan badannya ke arah koridor kampus.
Maisa duduk di depan meja belajar. Ia menulis sesuatu di sebuah diary kecil. Angin malam sepoi-sepoi berhembus sejuk masuk lewat jendela kamarnya yang terbuka mengusik tirai jendela. Maisa menutup diarinya lalu pergi ke balkon untuk menikmati sejuknya malam. Anak-anak rambutnya berderai diterpa angin.
Ada suara ketukan pintu. Maisa menoleh ke arah sumber suara. Kio berdiri di depan pintu dengan tangan bersilang di dada, wajahnya tidak menampakkan ekspresi apapun. Maisa menutup pintu balkon dan menghampirinya.
“Dipanggil Papa ke bawah!”
Kio mengucapkan dengan nada ogah-ogahan. Ia tak mau berlama-lama dan segera pergi ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Maisa, membanting pintunya cukup keras. Maisa berjengit kaget. Gadis itu menggelengkan kepalanya menanggapi sikap kakaknya. Ia memilih bergegas menemui ayahnya yang tengah bersantai di ruang keluarga. Menempatkan diri duduk di kursi sebelah ayahnya.
“Bagaimana kuliahmu hari ini? Papa harap kamu tidak membuat ulah," kata pak Chandra dengan nada dingin.
Maisa mencoba tersenyum manis. “Tenang saja, Pa. Maisa tidak membuat ulah lagi, kok."
“Papa hanya ingin kamu membuktikan janjimu saja!” Pak Chandra langsung memotongnya sebelum Maisa melanjutkan pembicaraan.
“Baiklah, Pa. Maisa akan berusaha,”
Keduanya terdiam. Suara televisi menggema. Pak Chandra melirik putrinya yang masih tersenyum manis memandanginya menyiratkan jelas ada maksud tersembunyi. Pak Chandra berdehem pelan mengambil buku di meja dan membacanya.
Maisa beringsut perlahan mendekati ayahnya. Mengintip buku yang di baca. Ayahnya masih menyibukkan diri dengan buku.
"Pa..."
"Hmm..."
"Bukunya seru, ya?"
Tak ada jawaban. Maisa memberanikan diri memegang lengan ayahnya. Pak Chandra beringsut menjauh. Tangan Maisa memegang angin.
"Pergi sana ke kamarmu," kata pak Chandra tanpa melihat wajah Maisa.
"Baik." Maisa menjawab dengan lunglai. Wajahnya sedikit cemberut. Kali ini masih tidak berhasil mendekati ayahnya.
Oke, kita coba lain kali.
Maisa bergegas pergi ke kamarnya. Ternyata Kio sudah menantinya di depan kamar. Maisa menghentikan langkahnya. Ia heran melihat kakaknya itu. Biasanya Kio hanya akan ke kamarnya jika ada hal yang penting saja. Selebihnya tidak pernah. Ia akan bertemu kakaknya di meja makan. Itu pun jarang menegur. Ayahnya juga begitu. Maisa menanyakan tujuannya dengan nada selembut mungkin. Kio menatapnya dengan tatapan sedingin gunung es.
“Aku cuma mau memberi tahu satu hal. Kalau nanti ketemu salah satu temanku, sebaiknya segera menjauh. Aku tidak mau kamu berteman dengan mereka.”
"Oh... Oke! Apa lagi?"
Seperti dugaan. Kio hanya akan mendekati dan juga memperingatinya jika ada masalah yang berkaitan tentang dirinya. Namun Maisa hanya tersenyum, mengangguk mengerti. Ia tidak ingin berdebat panjang lebar dengan Kio.
Gadis itu nyengir lebar, mendekatinya. Kio langsung waspada. Adiknya berniat memeluknya, namun berhasil menghindarinya. Terdengar suara adiknya yang terkekeh pelan. Kio mendorongnya menjauh.
"Sehat kan?" Kio memutar jadi telunjuk menunjuk kepalanya.
Maisa memanyunkan bibirnya. "Sehat dong."
Kio langsung kembali ke kamarnya seraya menggosok kedua lengannya. Kedua bahunya naik turun, agak merinding.
Senyum di wajah Maisa memudar. Dia kembali ke kamarnya dengan wajah kusut. Menutup pintu dengan pelan, menyandarkan punggungnya membelakangi pintu. Tangannya mengacak-acak rambutnya. Maisa tidak tau senyum palsu yang selalu diperlihatkan akan bertahan sampai kapan. Air matanya tiba-tiba mengalir.
Bunyi pesan masuk menyadarkan kembali alam sadarnya. Tangannya bergegas meraih ponsel di meja. Sebelah tangannya mengusap air mata. Chat group dari temannya sekampusnya dulu menanyakan kabarnya. Maisa tersenyum membalas chat mereka. Keseruan yang membuatnya rindu akan teman-temannya.
Jain: Hai sweetheart sedang apa di sana? Aku merindukanmu.
Kiki: Mulai lagi keluar kata-kata gombal. Dasar buaya.
Jain: Sorry, Beb. Jangan merajuk begitu. I Love you. Maksudnya kita semua kangen sama Maisa.
Evan: Sa, kacangin saja dua makhluk itu. Mesra-mesraan mulu.
Maisa: @evan hehehe, @jain aku juga kangen kalian semua.
Beberapa bulan sebelumnya.
Hentakan bola basket mengisi lapangan basket indoor di Kampus Y. Anak-anak tengah latihan basket. Maisa tengah sibuk mencatat hasil latih tanding sesekali memberikan masukan.
"Ka Jain, cepat balik ke posisi. Lanjut offence!" serunya pada pemuda berambut dicat warna teal yang baru saja melakukan passing pada rekannya.
Seseorang memeluknya dari belakang cukup keras hingga membuatnya maju beberapa langkah ke depan. Dia tau siapa pelakunya. Seorang gadis berambut hitam sebahu tersenyum lebar.
"C'mon, Ki. Suka sekali membuat orang kaget."
Maisa berdecak kesal, tangannya berkacak pinggang. Kiki, gadis di depannya hanya tertawa lebar. Tangannya jahil mencubit pinggang Maisa. Maisa menjauh beberapa langkah. Gadis itu terus menyerangnya. Mau tak mau Maisa ikutan tertawa.
Latih tanding basket berakhir beberapa menit kemudian. Jain bersama satu temannya menghampiri kedua gadis yang tengah bercengkerama. Ia mengambil alih botol minum di tangan Kiki dan menenggaknya hingga tandas.
Wajah Kiki bersemu merah. Maisa tersenyum simpul melihat kedekatan keduanya. Evan berdiri di hadapannya menyodorkan tangannya. Maisa menaikkan sebelah alisnya, melihat tangan dan wajah Evan.
Evan mendengus gregetan. Ia menyambar air mineral di sebelah Maisa. Maisa hanya tertawa kecil menanggapi kekesalan Evan.
"Gaes, ada yang perlu ku bicarakan nanti sama kalian," kata Maisa menyela.
Ketiga temannya menoleh ke arahnya. Beberapa hari terakhir, Maisa tampak memikirkan sesuatu, namun masih berat untuk mengutarakannya. Dia tak ingin membuat sahabatnya bersedih. Namun kali ini dia tidak bisa menundanya lebih lama.
Jain, Kiki dan Evan terkejut mendengar keputusan Maisa. Semuanya terasa mendadak.
“Kamu mau berhenti jadi manajer basket? Kenapa?” tanya Evan setelah membisu beberapa saat.
“Aku mau pindah ke Jakarta," ujar Maisa singkat.
Dari mereka bertiga, Jain lah yang paling sedih. Ia sudah menganggap Maisa seperti adiknya sendiri. Mereka sudah bersama sejak kecil berbagi suka duka. Jain lah yang paling memahami Maisa. Maisa gadis yang kuat sekaligus rapuh.
"Harus mendadak sekali ya? Kita sudah lama bersama. Atau kamu sudah tidak sayang kita lagi, Sa?" ujarnya pelan.
“Aku sayang sama kalian. Sayang sekali. Kalian sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri. Aku senang bisa pulang ke Jakarta tapi aku juga bersedih berpisah dengan kalian." Mata Maisa mulai berkaca-kaca.
Jain mengerti alasan sebenarnya Maisa pindah, meski gadis itu tidak mengatakannya. Jain menarik tangan Maisa dan memeluknya.
“Oke! Kami pasti merindukanmu. Sering-seringlah main ke Jogja.”
Maisa mengangguk dan tersenyum. Jain melepaskan pelukannya. Evan dan Kiki bergantian memeluk Maisa.
“Sering-sering main, ya!” kata mereka berdua.
Maisa hanya bisa mengangguk. Ia menangis terharu. Jain mengusap air mata yang menetes di pipi Maisa.
“Jangan menangis dong. Masa di sana nanti juga menangis. Banyak tantangan yang harus dihadapi, loh! Dan kamu tidak boleh menangis.”
Maisa tersenyum, menggengam erat tangan ketiga temannya. Bagi Maisa ketiganya seperti malaikat pelindungnya. “Terima kasih semuanya!”
Jemari Maisa sibuk membalas chat grup dari ketiga karibnya. Raut wajahnya yang sendu kembali cerah.
Maaf Jain, teman-teman. Maaf, aku tidak bisa menepati janji untuk tidak menangis.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!