Maisa duduk di depan meja belajar. Ia menulis sesuatu di sebuah diary kecil. Angin malam sepoi-sepoi berhembus sejuk masuk lewat jendela kamarnya yang terbuka mengusik tirai jendela. Maisa menutup diarinya lalu pergi ke balkon untuk menikmati sejuknya malam. Anak-anak rambutnya berderai diterpa angin.
Ada suara ketukan pintu. Maisa menoleh ke arah sumber suara. Kio berdiri di depan pintu dengan tangan bersilang di dada, wajahnya tidak menampakkan ekspresi apapun. Maisa menutup pintu balkon dan menghampirinya.
“Dipanggil Papa ke bawah!”
Kio mengucapkan dengan nada ogah-ogahan. Ia tak mau berlama-lama dan segera pergi ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Maisa, membanting pintunya cukup keras. Maisa berjengit kaget. Gadis itu menggelengkan kepalanya menanggapi sikap kakaknya. Ia memilih bergegas menemui ayahnya yang tengah bersantai di ruang keluarga. Menempatkan diri duduk di kursi sebelah ayahnya.
“Bagaimana kuliahmu hari ini? Papa harap kamu tidak membuat ulah," kata pak Chandra dengan nada dingin.
Maisa mencoba tersenyum manis. “Tenang saja, Pa. Maisa tidak membuat ulah lagi, kok."
“Papa hanya ingin kamu membuktikan janjimu saja!” Pak Chandra langsung memotongnya sebelum Maisa melanjutkan pembicaraan.
“Baiklah, Pa. Maisa akan berusaha,”
Keduanya terdiam. Suara televisi menggema. Pak Chandra melirik putrinya yang masih tersenyum manis memandanginya menyiratkan jelas ada maksud tersembunyi. Pak Chandra berdehem pelan mengambil buku di meja dan membacanya.
Maisa beringsut perlahan mendekati ayahnya. Mengintip buku yang di baca. Ayahnya masih menyibukkan diri dengan buku.
"Pa..."
"Hmm..."
"Bukunya seru, ya?"
Tak ada jawaban. Maisa memberanikan diri memegang lengan ayahnya. Pak Chandra beringsut menjauh. Tangan Maisa memegang angin.
"Pergi sana ke kamarmu," kata pak Chandra tanpa melihat wajah Maisa.
"Baik." Maisa menjawab dengan lunglai. Wajahnya sedikit cemberut. Kali ini masih tidak berhasil mendekati ayahnya.
Oke, kita coba lain kali.
Maisa bergegas pergi ke kamarnya. Ternyata Kio sudah menantinya di depan kamar. Maisa menghentikan langkahnya. Ia heran melihat kakaknya itu. Biasanya Kio hanya akan ke kamarnya jika ada hal yang penting saja. Selebihnya tidak pernah. Ia akan bertemu kakaknya di meja makan. Itu pun jarang menegur. Ayahnya juga begitu. Maisa menanyakan tujuannya dengan nada selembut mungkin. Kio menatapnya dengan tatapan sedingin gunung es.
“Aku cuma mau memberi tahu satu hal. Kalau nanti ketemu salah satu temanku, sebaiknya segera menjauh. Aku tidak mau kamu berteman dengan mereka.”
"Oh... Oke! Apa lagi?"
Seperti dugaan. Kio hanya akan mendekati dan juga memperingatinya jika ada masalah yang berkaitan tentang dirinya. Namun Maisa hanya tersenyum, mengangguk mengerti. Ia tidak ingin berdebat panjang lebar dengan Kio.
Gadis itu nyengir lebar, mendekatinya. Kio langsung waspada. Adiknya berniat memeluknya, namun berhasil menghindarinya. Terdengar suara adiknya yang terkekeh pelan. Kio mendorongnya menjauh.
"Sehat kan?" Kio memutar jadi telunjuk menunjuk kepalanya.
Maisa memanyunkan bibirnya. "Sehat dong."
Kio langsung kembali ke kamarnya seraya menggosok kedua lengannya. Kedua bahunya naik turun, agak merinding.
Senyum di wajah Maisa memudar. Dia kembali ke kamarnya dengan wajah kusut. Menutup pintu dengan pelan, menyandarkan punggungnya membelakangi pintu. Tangannya mengacak-acak rambutnya. Maisa tidak tau senyum palsu yang selalu diperlihatkan akan bertahan sampai kapan. Air matanya tiba-tiba mengalir.
Bunyi pesan masuk menyadarkan kembali alam sadarnya. Tangannya bergegas meraih ponsel di meja. Sebelah tangannya mengusap air mata. Chat group dari temannya sekampusnya dulu menanyakan kabarnya. Maisa tersenyum membalas chat mereka. Keseruan yang membuatnya rindu akan teman-temannya.
Jain: Hai sweetheart sedang apa di sana? Aku merindukanmu.
Kiki: Mulai lagi keluar kata-kata gombal. Dasar buaya.
Jain: Sorry, Beb. Jangan merajuk begitu. I Love you. Maksudnya kita semua kangen sama Maisa.
Evan: Sa, kacangin saja dua makhluk itu. Mesra-mesraan mulu.
Maisa: @evan hehehe, @jain aku juga kangen kalian semua.
Beberapa bulan sebelumnya.
Hentakan bola basket mengisi lapangan basket indoor di Kampus Y. Anak-anak tengah latihan basket. Maisa tengah sibuk mencatat hasil latih tanding sesekali memberikan masukan.
"Ka Jain, cepat balik ke posisi. Lanjut offence!" serunya pada pemuda berambut dicat warna teal yang baru saja melakukan passing pada rekannya.
Seseorang memeluknya dari belakang cukup keras hingga membuatnya maju beberapa langkah ke depan. Dia tau siapa pelakunya. Seorang gadis berambut hitam sebahu tersenyum lebar.
"C'mon, Ki. Suka sekali membuat orang kaget."
Maisa berdecak kesal, tangannya berkacak pinggang. Kiki, gadis di depannya hanya tertawa lebar. Tangannya jahil mencubit pinggang Maisa. Maisa menjauh beberapa langkah. Gadis itu terus menyerangnya. Mau tak mau Maisa ikutan tertawa.
Latih tanding basket berakhir beberapa menit kemudian. Jain bersama satu temannya menghampiri kedua gadis yang tengah bercengkerama. Ia mengambil alih botol minum di tangan Kiki dan menenggaknya hingga tandas.
Wajah Kiki bersemu merah. Maisa tersenyum simpul melihat kedekatan keduanya. Evan berdiri di hadapannya menyodorkan tangannya. Maisa menaikkan sebelah alisnya, melihat tangan dan wajah Evan.
Evan mendengus gregetan. Ia menyambar air mineral di sebelah Maisa. Maisa hanya tertawa kecil menanggapi kekesalan Evan.
"Gaes, ada yang perlu ku bicarakan nanti sama kalian," kata Maisa menyela.
Ketiga temannya menoleh ke arahnya. Beberapa hari terakhir, Maisa tampak memikirkan sesuatu, namun masih berat untuk mengutarakannya. Dia tak ingin membuat sahabatnya bersedih. Namun kali ini dia tidak bisa menundanya lebih lama.
Jain, Kiki dan Evan terkejut mendengar keputusan Maisa. Semuanya terasa mendadak.
“Kamu mau berhenti jadi manajer basket? Kenapa?” tanya Evan setelah membisu beberapa saat.
“Aku mau pindah ke Jakarta," ujar Maisa singkat.
Dari mereka bertiga, Jain lah yang paling sedih. Ia sudah menganggap Maisa seperti adiknya sendiri. Mereka sudah bersama sejak kecil berbagi suka duka. Jain lah yang paling memahami Maisa. Maisa gadis yang kuat sekaligus rapuh.
"Harus mendadak sekali ya? Kita sudah lama bersama. Atau kamu sudah tidak sayang kita lagi, Sa?" ujarnya pelan.
“Aku sayang sama kalian. Sayang sekali. Kalian sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri. Aku senang bisa pulang ke Jakarta tapi aku juga bersedih berpisah dengan kalian." Mata Maisa mulai berkaca-kaca.
Jain mengerti alasan sebenarnya Maisa pindah, meski gadis itu tidak mengatakannya. Jain menarik tangan Maisa dan memeluknya.
“Oke! Kami pasti merindukanmu. Sering-seringlah main ke Jogja.”
Maisa mengangguk dan tersenyum. Jain melepaskan pelukannya. Evan dan Kiki bergantian memeluk Maisa.
“Sering-sering main, ya!” kata mereka berdua.
Maisa hanya bisa mengangguk. Ia menangis terharu. Jain mengusap air mata yang menetes di pipi Maisa.
“Jangan menangis dong. Masa di sana nanti juga menangis. Banyak tantangan yang harus dihadapi, loh! Dan kamu tidak boleh menangis.”
Maisa tersenyum, menggengam erat tangan ketiga temannya. Bagi Maisa ketiganya seperti malaikat pelindungnya. “Terima kasih semuanya!”
Jemari Maisa sibuk membalas chat grup dari ketiga karibnya. Raut wajahnya yang sendu kembali cerah.
Maaf Jain, teman-teman. Maaf, aku tidak bisa menepati janji untuk tidak menangis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Ranran Miura
ih, pengen jitak tu pala bapaknya
2022-06-16
0
Nona_Sulung
maisa di anak tirikan. ngilu hatikuu
2022-06-11
0
Eni pua
hai dah bawa bunga balik ya
2022-06-11
0