Alice Just A Mere Concubine
Tangannya yang besar dan hangat mengelus wajahku perlahan. Matanya yang hijau berkilau itu memandangku dalam. Angin bertiup menerbangkan rambut keemasannya. Parfum maskulinnya yang ikut terbawa angin membuat jantungku berdebar dengan sangat kencang. Ia menarik nafas dalam-dalam.
“Alice…”
“Alice…”
“Alice… apapun yang orang katakan tentangmu, aku tak akan peduli. Kau adalah Alice milikku.”
Bunga mawar di taman itu ikut bergoyang saat angin bertiup. Melambai, saling mengintip apa yang kami bicarakan. Taman yang luas ini bagaikan hanya milik kami berdua. Dikelilingi mawar merah merona, bagai pipiku yang terasa hangat ini. Tangannya terhenti di pipiku, ia menarik nafas berat kembali.
“Walau orang bilang kau adalah selir rendahan, dihatiku kau akan selalu menjadi ratuku.”
“Alice… Lebih dari itu, aku benar-benar ingin menjadikanmu ratuku…”
"Alice, apapun yang terjadi aku akan tetap menjadikanmu ratuku."
Pria berambut pirang yang juga raja negri ini memegang pipiku erat, menitihkan air mata, memasang wajah frustasi. Aku tak dapat berkata, detak jantungku yang sangat kencang sudah mewakilkan segalanya. Berdebar sangat kencang, memutar mundur semua kenangan saat pertama aku bertemu dengannya.
“Deg… Deg… Deg….”
Suara detak jantung yang terus berulang. Gelap, baik aku membuka mata ataupun menutup mata, tak ada cahaya yang terlihat. Aku hanya dapat mendengar suara lain selain jantungku yang terus berulang.
...-----°•°•°•°-----...
“klatak… klatak… klatak”
Terdengar juga suara derit kayu dan kuda yang berteriak. Namun, aku tak bisa berteriak, rasanya lemas dan kering sekali tenggorokan ini karna kain yang menyumbat mulutku. Tubuhku juga sulit digerakan, bahkan mulai mati rasa karna goncangan yang tak kunjung henti berjam-jam. Apakah ini rasanya keracunan makanan?
Diawali dengan pandangan mata yang memudar, diikuti cahaya yang berkerlap bagai kunang-kunang. Badan yang perlahan turun suhunya dan sakit yang mengikat. Diakhiri dengan suara-suara aneh yang terdengar namun senyap. Rasanya banyak orang disekelilingku yang berbicara. Aneh rasanya saat aku tak mengerti apa mereka yang mereka bicarakan.
“Uhukkk… ughh… uhukk.”
Aku terbatuk dengan suara yang sangat serak. Seseorang melepaskan kain pengingat itu dari mulutku. Memberiku air minum. Tubuhku terasa sakit dan berteriak. Aku juga mulai mendengar apa yang mereka bicarakan dengan cukup jelas. Cahaya yang menyilaukan memperlihatkan lekukan peti kayu dan rantai yang berkarat. Rantai itu terjuntai diantara kaki pucat tanpa alas kaki, melawati pakaian putih lusuh tak layak pakai, dan mengikat di leherku.
“Ini hadiah kecil dariku yang mulia.”
Suara pria berat disampingku menyadarkan diriku sepenuhnya. Aku berada di tengah aula yang megah dengan tiang-tiang kokoh yang menakutiku. Pria yang berdiri disampingku juga terlihat sangat kokoh dengan tubuh kekar dan tangan besar penuh bekas luka. Pria lain yang berada beberapa langkah di depanku duduk dengan pandangan tajam menatapku. Matanya indah berbinar seperti aksesoris di singgasana yang didudukinya.
“Keluar… KELUARRRR!!” Suara Teriakan bergema diruangan.
Pria itu bangkit dari singasananya dengan wajah sangat marah, ia menarik pedang bersarung kemasan dari pinggangnya. Tubuh kokoh disampingku membungkuk tanda memberi hormat, kemudian berjalan dengan langkah tegap keluar dari ruangan diikuti derap langkah kaki prajurit dengan baju zirah. Pintu kayu besar berderit saat ditutup dari luar ruangan. Desah nafas berat dari pria yang memegang pedang itu kini berada di depanku.
“Mati…” Bisik pria itu dengan pedang yang siap menebasku.
“Dengan senang hati…” Aku memandang mata indah yang berbinar itu.
“Aku sudah tidak memiliki… tujuan hidup.” Aku tersenyum, meneruskan kalimatku dengan percaya diri.
Tetesan darah mengalir dari pedang itu. Ruangan besar itu hening tanpa suara teriakan apapun. Darah dari pedang itu terus menetes. Langkah kaki lain terdengar mendekat dengan cepat dari sudut ruangan.
“Yang Mulia…!” Seru pria yang sedang berlari.
Pria berambut keemasan bermata hijau itu berhenti menyayat lenganku. Memandang mataku dengan penuh amarah. Sedangkan aku menatap balik matanya dengan percaya diri, atau mungkin dengan ketidak pedulian tentang hidup. Aku tersenyum ke arahnya.
“Kenapa? Kenapa kau masih tersenyum tanpa rasa takut?” Tanya pria yang menghunuskan pedang.
“Aku sudah tak memiliki tujuan hidup, tolong akhiri semua hal mengerikan ini.” Aku tetap tersenyum walau lenganku terus meneteskan darah.
“Apakah kau ingin tetap hidup jika kuberikan tujuan hidup?” Ia menarik mundur pedangnya.
“Tentu…” Jawabku sambil memandang matanya yang penuh amarah.
Pria itupun mengayunkan kembali pedangnya. Cerminan wajah pucat dengan bibir kecil kering tercermin dihadapanku. Ujung pedang itu bermotif elang keemasan, begitu pula warna rambutku yang keemasan namun tak tertata rapih diantara baju lusuh berwarna putih ini. Aku tertegun.
“Siapa yang tercemin di pedang itu?” Tanyaku heran dalam hati.
“Clang…”
“YANG MULIAA!!” Teriak pria yang masih berlari.
Suara nyaring dari pedangnya mematahkan rantai panjang yang menjuntai di leherku. Suara nyaring dari seorang pria yang berteriak juga menggema di ruang besar ini. Tak lama, pria dengan nafas menderu cepat segera melepaskan sisa rantai yang mengekang leherku. Aku menitihkan air mata. Tubuhku gemetar.
“Si… siapa… a… aku?” Suaraku bergetar.
“Sekarang namamu Alice, maaf bila aku menakutimu.” Pria pirang itu menjawab dengan hangat sambil memasukkan kembali pedangnya.
Rantai berkarat yang mengekang leherku terlepas. Aku gemetar saat melihat rantai itu jatuh kelantai. Apa yang sebenarnya terjadi, teriakku dalam hati. Mempertanyakan mengapa ada manusia yang dirantai lehernya seperti hewan ternak. Lebih mengerikannya lagi rantai tersebut tidak layak dan sudah berkarat. Aku mengangkat tanganku yang berguncang hebat, menyadari hal yang lebih mengerikan. Manusia yang dirantai itu adalah aku.
“YA! Kau sangat menakutinya Yang Mulia!” Protes pria yang masih kelelahan karna habis berlari.
“Lihat, wanita secantik ini gemetar ketakutan karna ulahmu. Sudah kubilang kan, kalau kau tidak ingin dihadiahi wanita cantik berikan saja kepadaku. Mengurusi jasat wanita cantik itu sangat memilukan hati kau tahu?” Pria itu menghapus air mataku dan terus mengoceh kesal.
Pria yang mengoceh kesal itu memiliki warna mata yang sama dengan pria yang menyayatku. Berwarna hijau berkilau, namun tatapan mereka berbeda, pria ini memiliki tatapan yang lebih hangat. Mereka juga memiliki warna rambut pirang yang sama, namun rambut pria ini lebih panjang, terjuntai rapih dan sangat elegan. Ia menarik nafas panjang dan terus mengajukan protes pada orang yang disebutnya Yang Mulia tersebut. Mengikatkan sapu tangan untuk menghentikan pendarahan di lenganku. Merapikan rambut berantakanku dengan tangannya. Membersihkan debu dan kotoran dari baju lusuh ini.
“Berikan dia pakaian yang membuatnya tampak lebih cantik, Darick.” Pria berpedang yang menyayatku itu tersenyum.
“Baik Yang Mulia...” Pria yang disebut Darick itu menghembuskan nafas panjang dan membantuku berdiri.
“Lalu umumkan kalau dia adalah selirku (concubine).” Pria berpedang itu kembali duduk disinggasananya dan memandangiku.
“Baik Yang Mulia… HAHHHH?! SELIR?!” Mata Darick terbelalak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
anichan21
yahoo~ jangan lupa tinggalkan like, coment dan rate bintangnya yaw~ rate novel ini drop banget masa (╥﹏╥)
2021-05-04
0
🌻Miss Kalem🌻
Aku datang untuk mendukung mu Thor..
salam hangat dari ADA APA DENGAN JODOHKU ❤️❤️. dan Janda Muda ..
Ku tunggu Feedback mu..
2021-04-06
1
RinteiHan
MC dimasukin kedalem kotak donggg
2021-04-02
1