NovelToon NovelToon

Alice Just A Mere Concubine

1. Concubine

Tangannya yang besar dan hangat mengelus wajahku perlahan. Matanya yang hijau berkilau itu memandangku dalam. Angin bertiup menerbangkan rambut keemasannya. Parfum maskulinnya yang ikut terbawa angin membuat jantungku berdebar dengan sangat kencang. Ia menarik nafas dalam-dalam.

“Alice…”

“Alice…”

“Alice… apapun yang orang katakan tentangmu, aku tak akan peduli. Kau adalah Alice milikku.”

Bunga mawar di taman itu ikut bergoyang saat angin bertiup. Melambai, saling mengintip apa yang kami bicarakan. Taman yang luas ini bagaikan hanya milik kami berdua. Dikelilingi mawar merah merona, bagai pipiku yang terasa hangat ini. Tangannya terhenti di pipiku, ia menarik nafas berat kembali.

“Walau orang bilang kau adalah selir rendahan, dihatiku kau akan selalu menjadi ratuku.”

“Alice… Lebih dari itu, aku benar-benar ingin menjadikanmu ratuku…”

"Alice, apapun yang terjadi aku akan tetap menjadikanmu ratuku."

Pria berambut pirang yang juga raja negri ini memegang pipiku erat, menitihkan air mata, memasang wajah frustasi. Aku tak dapat berkata, detak jantungku yang sangat kencang sudah mewakilkan segalanya. Berdebar sangat kencang, memutar mundur semua kenangan saat pertama aku bertemu dengannya.

“Deg… Deg… Deg….”

Suara detak jantung yang terus berulang. Gelap, baik aku membuka mata ataupun menutup mata, tak ada cahaya yang terlihat. Aku hanya dapat mendengar suara lain selain jantungku yang terus berulang.

...-----°•°•°•°-----...

“klatak… klatak… klatak”

Terdengar juga suara derit kayu dan kuda yang berteriak. Namun, aku tak bisa berteriak, rasanya lemas dan kering sekali tenggorokan ini karna kain yang menyumbat mulutku. Tubuhku juga sulit digerakan, bahkan mulai mati rasa karna goncangan yang tak kunjung henti berjam-jam. Apakah ini rasanya keracunan makanan?

Diawali dengan pandangan mata yang memudar, diikuti cahaya yang berkerlap bagai kunang-kunang. Badan yang perlahan turun suhunya dan sakit yang mengikat. Diakhiri dengan suara-suara aneh yang terdengar namun senyap. Rasanya banyak orang disekelilingku yang berbicara. Aneh rasanya saat aku tak mengerti apa mereka yang mereka bicarakan.

“Uhukkk… ughh… uhukk.”

Aku terbatuk dengan suara yang sangat serak. Seseorang melepaskan kain pengingat itu dari mulutku. Memberiku air minum. Tubuhku terasa sakit dan berteriak. Aku juga mulai mendengar apa yang mereka bicarakan dengan cukup jelas. Cahaya yang menyilaukan memperlihatkan lekukan peti kayu dan rantai yang berkarat. Rantai itu terjuntai diantara kaki pucat tanpa alas kaki, melawati pakaian putih lusuh tak layak pakai, dan mengikat di leherku.

“Ini hadiah kecil dariku yang mulia.”

Suara pria berat disampingku menyadarkan diriku sepenuhnya. Aku berada di tengah aula yang megah dengan tiang-tiang kokoh yang menakutiku. Pria yang berdiri disampingku juga terlihat sangat kokoh dengan tubuh kekar dan tangan besar penuh bekas luka. Pria lain yang berada beberapa langkah di depanku duduk dengan pandangan tajam menatapku. Matanya indah berbinar seperti aksesoris di singgasana yang didudukinya.

“Keluar… KELUARRRR!!” Suara Teriakan bergema diruangan.

Pria itu bangkit dari singasananya dengan wajah sangat marah, ia menarik pedang bersarung kemasan dari pinggangnya. Tubuh kokoh disampingku membungkuk tanda memberi hormat, kemudian berjalan dengan langkah tegap keluar dari ruangan diikuti derap langkah kaki prajurit dengan baju zirah. Pintu kayu besar berderit saat ditutup dari luar ruangan. Desah nafas berat dari pria yang memegang pedang itu kini berada di depanku.

“Mati…” Bisik pria itu dengan pedang yang siap menebasku.

“Dengan senang hati…” Aku memandang mata indah yang berbinar itu.

 “Aku sudah tidak memiliki… tujuan hidup.” Aku tersenyum, meneruskan kalimatku dengan percaya diri.

Tetesan darah mengalir dari pedang itu. Ruangan besar itu hening tanpa suara teriakan apapun. Darah dari pedang itu terus menetes. Langkah kaki lain terdengar mendekat dengan cepat dari sudut ruangan.

“Yang Mulia…!” Seru pria yang sedang berlari.

Pria berambut keemasan bermata hijau itu berhenti menyayat lenganku. Memandang mataku dengan penuh amarah. Sedangkan aku menatap balik matanya dengan percaya diri, atau mungkin dengan ketidak pedulian tentang hidup. Aku tersenyum ke arahnya.

“Kenapa? Kenapa kau masih tersenyum tanpa rasa takut?” Tanya pria yang menghunuskan pedang.

“Aku sudah tak memiliki tujuan hidup, tolong akhiri semua hal mengerikan ini.” Aku tetap tersenyum walau lenganku terus meneteskan darah.

“Apakah kau ingin tetap hidup jika kuberikan tujuan hidup?” Ia menarik mundur pedangnya.

“Tentu…” Jawabku sambil memandang matanya yang penuh amarah.

Pria itupun mengayunkan kembali pedangnya. Cerminan wajah pucat dengan bibir kecil kering tercermin dihadapanku. Ujung pedang itu bermotif elang keemasan, begitu pula warna rambutku yang keemasan namun tak tertata rapih diantara baju lusuh berwarna putih ini. Aku tertegun.

“Siapa yang tercemin di pedang itu?” Tanyaku heran dalam hati.

“Clang…”

“YANG MULIAA!!” Teriak pria yang masih berlari.

Suara nyaring dari pedangnya mematahkan rantai panjang yang menjuntai di leherku. Suara nyaring dari seorang pria yang berteriak juga menggema di ruang besar ini. Tak lama, pria dengan nafas menderu cepat segera melepaskan sisa rantai yang mengekang leherku. Aku menitihkan air mata. Tubuhku gemetar.

“Si… siapa… a… aku?” Suaraku bergetar.

“Sekarang namamu Alice, maaf bila aku menakutimu.” Pria pirang itu menjawab dengan hangat sambil memasukkan kembali pedangnya.

Rantai berkarat yang mengekang leherku terlepas. Aku gemetar saat melihat rantai itu jatuh kelantai. Apa yang sebenarnya terjadi, teriakku dalam hati. Mempertanyakan mengapa ada manusia yang dirantai lehernya seperti hewan ternak. Lebih mengerikannya lagi rantai tersebut tidak layak dan sudah berkarat. Aku mengangkat tanganku yang berguncang hebat, menyadari hal yang lebih mengerikan. Manusia yang dirantai itu adalah aku.

“YA! Kau sangat menakutinya Yang Mulia!” Protes pria yang masih kelelahan karna habis berlari.

“Lihat, wanita secantik ini gemetar ketakutan karna ulahmu. Sudah kubilang kan, kalau kau tidak ingin dihadiahi wanita cantik berikan saja kepadaku. Mengurusi jasat wanita cantik itu sangat memilukan hati kau tahu?” Pria itu menghapus air mataku dan terus mengoceh kesal.

Pria yang mengoceh kesal itu memiliki warna mata yang sama dengan pria yang menyayatku. Berwarna hijau berkilau, namun tatapan mereka berbeda, pria ini memiliki tatapan yang lebih hangat. Mereka juga memiliki warna rambut pirang yang sama, namun rambut pria ini lebih panjang, terjuntai rapih dan sangat elegan. Ia menarik nafas panjang dan terus mengajukan protes pada orang yang disebutnya Yang Mulia tersebut. Mengikatkan sapu tangan untuk menghentikan pendarahan di lenganku. Merapikan rambut berantakanku dengan tangannya. Membersihkan debu dan kotoran dari baju lusuh ini.

“Berikan dia pakaian yang membuatnya tampak lebih cantik, Darick.” Pria berpedang yang menyayatku itu tersenyum.

“Baik Yang Mulia...” Pria yang disebut Darick itu menghembuskan nafas panjang dan membantuku berdiri.

“Lalu umumkan kalau dia adalah selirku (concubine).” Pria berpedang itu kembali duduk disinggasananya dan memandangiku.

“Baik Yang Mulia… HAHHHH?! SELIR?!” Mata Darick terbelalak.

2. Nona Alice? 

Gaun sutra putih yang lembut, perhiasan berkilau di leherku, pewarna bibir yang memukau, dan rambut keemasan bergelombang milik Alice yang sedang ditata oleh maid yang sangat cekatan.

“Aneh!” Guman Alice dalam hati.

“Ini semua sangat aneh, ya… tidak wajar.” Guman Darick.

Darick berjalan bolak balik di depan pintu memegangi dagunya yang tidak berjenggot. Ia berhenti sejenak untuk menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kemudian kembali berjalan tak tentu arah. Ia kebingungan, begitu pula para prajurit yang saling melirik terheran-heran meliat maid yang mencocokan gaun demi gaun dan depresi karna semuanya terlihat cocok pada wanita itu. Wanita itu juga terheran-heran karna ketidak cocokan rupa yang terlihat dicermin. Alice sangat yakin, rambutnya berwarna hitam dan lurus sepanjang bahu. Namun, apa yang dilihatnya dicermin adalah rambut pirang bergelombang sepanjang pinggul. Aneh, tak hanya warna rambut yang berubah, bola mata yang seharusnya berwarna coklat kehitaman kini berganti menjadi biru yang gemilau.

Darick memegangi pinggulnya, kemudian menggaruk punggungnya yang juga tak gatal. Raymond, pangeran yang sangat dikenalnya tidak mungkin mengangkat seorang selir. Alice memegangi wajahnya, kemudian mencubit pipinya, ia sangat yakin wajahnya berubah menjadi sangat cantik dan tubuhnya menjadi sangat seksi.

“Aneh!” Gumannya sekali lagi dalam hati.

Dua orang masih merasakaan keanehan dan kejanggalan tersebut tanpa sadar sudah berdiri dihadapan pintu kayu megah dan besar. Perasan mereka berputar, bergesekan, bagai engsel tua dari pintu saat mulai terbuka. Bunyinya berderit seperti gigi mereka yang saling bersinggungan ingin ikut serta mencari tahu kebenaran yang ada. Pintu besar itu sangatlah tinggi dan tampak berat ketika dibuka, namun bagi mereka pertanyaan dipikiran mereka lebih berat dari pintu itu.

“Yang Mulia, ini Darick bersama dengan Nona Alice.” Pintu besarpun sempurna terbuka menuju aula dengan tiang-tiang kokoh itu.

Dengan tegapnya pria yang disebut Darick ini berjalan di depanku, aku mengikutinya perlahan. Wajah prajurit yang membukakan pintu juga perlahan memandangiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Para Maid yang mendandaniku dan memberikanku makan yang sangat lezat juga mengelus pipinya sendiri dengan perlahan.

“Ahh... Akhirnya pangeran kita sudah tumbuh dewasa…”

“Betapa cantiknya wanita itu… tentu saja siapapun akan jatuh hati…”

“Enaknya wanita itu… kalian tau… setiap selir raja terdahulu selalu dikelilingi kemewahan tanpa harus bekerja keras”

“Bodynya itu loh… Pasti dia menggoda pangeran kita dengan keseksiannya itu…”

“Yang membuatku cemburu adalah kesetiaan Pangeran kita, dia tak pernah main wanita walau dari dulu sudah bergelar pangeran, tidak seperti Duke Darick”

“Ssst… Kalian lihat tidak reaksi Duke Darick yang menungguinya?”

“Tentu saja… dia sangat tegang menungguinya. Pasti sesuatu sudah terjadi diantara mereka”

“Dasar wanita penggoda, apa saja yang telah ia lakukan dengan rambut berantakan dan wajah pucat kelelahan itu”

Para maid terus bergosip, membicarakan selir baru sang pangeran. Alice terus bertanya-tanya kenapa dia bisa berada di dalam sebuah kastil. Darick terus berjalan menghadap sang pangeran. Pintu terus menurup, berderit meninggalkan mereka bertiga di dalam aula besar tersebut.

“Alice, Kau sekarang adalah selirku, tugasmu adalah melayaniku. Jadikanlah itu tujuan baru hidupmu, bagaimana?” Raymond tersenyum memandangi Alice.

“Tunggu, kau adalah calon raja di kerajaan ini bukan?” Tanya Alice dengan wajah pucat.

“A… Aku bukanlah Alice dan A… Aku bukanlah selirmu, A… Aku seharusnya tidak berada disini.” Suara Alice bergetar.

“Raymond, kau benar-benar menakutinya. Berikan saja wanita itu padaku kalau kau tak menginginkannya.” Darick berkata tegas.

Alice POV

Raymond, pria yang berlagak sebagai raja itu turun dari singgasananya dan berjalan ke arahku. Mata kemilaunya tetap tajam, seperti saat pertama aku melihatnya. Mata teguh penuh pendirian. Mata yang memandang jauh, ketempat yang tak pernah kutahu. Ia tersenyum, kemudian memegang rambuku. Menariknya perlahan ke wajahnya dan menciumnya.

“Ya kau yang dulu sudah tiada, sekarang kau adalah Alice selirku, kalau kau mau menerimanya aku akan memberikan apa saja yang kau mau.” Raymond menarik tanganku dengan lembut.

Ia menuntunku ke sebuah pintu dibelakang singgasananya, dibaliknya terdapat ruang kerja dengan rak buku besar yang dipenuhi beragam buku. Ia mengajakku duduk di sofa besar di ruangan tersebut. Darick duduk di sofa yang berhadapan dengan kami. Ia memberikan tanda kepada pelayan, seketika teh hangat dan cemilan sudah terhidang di meja oleh para m**aid berseragam rapih.

“Bagaimana? Kau akan hidup dengan harta yang bergelimang dan disajikan makanan enak tanpa harus bekerja keras?” tanyanya kembali kepadaku.

“Yang Mulia, aku tau wanita ini sangat cantik dan menggoda. Ta… tapi ayolah kau harus lebih… lebih… Ya! Aku sudah mengajarimu bukan? Raymond?” Darick masih tergagap kebingungan.

Cemilan lezat sudah tersedia dihadapanku, mulai dari yang tampak manis hingga yang asin. Mereka tersusun menawan pada wadah bertingkat tiga. Tiga buah cangkir teh dengan ornamen indah masih mengepulkan asapnya dari teh yang disajikan. Aromanya harum dan menenangkan hati.  Aku menarik nafas panjang. Memperhatikan ulang pakaian yang kukenakan, terkesan sangat elegan. Bahkan sepatu yang kukenakan sangat cantik dan juga nyaman.

“Apa saja tugasku apabila aku menjadi selirmu?” Tanyaku pada Raymond, menghiraukan pria berambut pirang panjang yang sedang kebingungan dihadapanku.

“Seperti selir pada umunya, bermanjalah kepadaku, buatlah semua orang tahu kau adalah wanita spesial milikku, aku akan memberikan apapun yang kau mau.” Raymond tersenyum.

“Raymond, ayolah.. bukan begitu caranya menarik hati wanita, dia tak akan mau.” Kesal Darick.

Raymond mengulurkan tangannya ke arahku, mengajakku bersalaman. Senyumnya sangat percaya diri, namun juga membuatku cukup canggung. Pria itu menawari hidup sangat nyaman pada wanita yang baru ditemuinya. Sedangkan aku masih tak tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku dan mengapa aku dapat berada disini. Aku juga masih mempertanyakan mengapa rupaku sangat berbeda. Akupun mengulurkan tangan kearah pria tersebut.

“Oke setuju.” Aku tersenyum.

“Lihatkan, dia… HAH?! Setuju?! No..Nona Alice?” Darick dibuat tercengang kembali. Matanya tak bisa lepas dari tangan kami yang saling berjabat untuk mengikat janji.

“Namun aku tak butuh apapun, kau sudah memberiku tujuan.” Lanjutku tersenyum.

Ekspresi wajah kami cukup sulit digambarkan. Aku mencoba tersenyum percaya diri walau dibenakku banyak sekali pertanyaan. Orang yang disebut Darick itu semakin kebingungan dengan apa yang terjadi dihadapannya. Pangeran, orang yang juga memintaku menjadi selirnya, merubah ekspresi percaya dirinya setelah mendengar ucapanku. Ia tercengang, terdiam, terkaget. Seketika ekspresinya berubah lagi.

“HAHAHA… Menarik!” Raymond tertawa lepas sembari memandangiku.

“Jadi… Apa kelebihanmu sehingga Duke menghadiahkanmu padaku?” Tanya Raymond.

“Bukankah kau sudah melihat kelebihanku Yang Mulia?” Aku tersenyum, mengibaskan rambutku perlahan.

Pria bernama Raymond yang juga Pangeran dari kerajaan ini berhenti tertawa. Mengurungkan senyumnya. Menarik nafas panjang. Memperhatikan diriku, dengan detail, ya memperhatikan lekuk tubuhku dengan detail.

“Cih, yang benar saja orang tua itu.” Raymond memandangiku dari kepala hingga kaki kembali.

“Yang… Mulia…?” Darick tenggelam diantara ribuan pertanyaan.

“Nona… Alice…?” Darick memandangku dan raymond bergantian.

3. Deadly Social Sins 

Bukan hanya Darick yang tenggelam diantara ribuan pertanyaan, aku juga tenggelam, bahkan diantara jutaan pertanyaan. Selagi tak ada orang yang menemui raja, aku bebas dari tugas. Ya, itulah perjanjian kami. Aku harus berpura-pura bermanja di hadapan semua orang dan membuat mereka percaya aku adalah wanita spesialnya. Pangeran itu  kembali ke meja kerjanya di tengah ruangan, berkutik dengan kertas dan dokumen yang disiapkan oleh Darick. Aku memilih menghabiskan waktuku dengan membaca buku yang ada di rak buku miliknya.

“Kenapa aku berada disini?” tanyaku dalam hati.

Namaku bukanlah Alice, ya itu memang nama yang baru diberikan padaku untuk menganggap diriku yang baru berbeda dengan yang lama. Tapi bukan itu saja, ini bukanlah tubuhku, dan aku tak seharusnya berada di zaman ini. Kastil ini bergaya abad pertengahan, tak ada listrik, dan seharusnya aku terbangun di restoran atau di rumah sakit.

Aku sedang melakukan pemeriksaan pada restoran yang diduga mencampurkan bahan berbahaya kedalam makanannnya. Aku sudah mengecek keamanan dan kesegaran bahan bakunya, lalu hal terakhir yang kulihat adalah senyuman wanita itu. Ia memberikanku makanan, lalu mataku buram dan kakiku lemas. Saat terbangun, kenapa ada orang yang menghunuskan pedang padaku?

Darick POV

“Yang Mulia, Kenapa kau menjadikan budak itu selir? Karna dia cantik? Karna Duke yang menghadiahkannya? Karna kau menyukainya? Atau kau ingin menggunakannya untuk rencana khusus?” Raymond dihujani pertanyaan oleh Darick.

Raymond tersenyum.

“Raymond, aku tahu kau bukanlah orang yang menyukai wanita, jadi tolong jelaskan!” Darick menegaskan.

“Kalau aku tidak mengambilnya, kau pasti akan menerimanya dengan senang hati bukan?” Raymond meletakkan pena bulunya di atas meja kayu penuh kertas.

“Tentu saja, Body-nya itu loh” Darick menggerakkan tangannya membentuk tubuh wanita di udara.

“Aku juga tak tahu alasan pastinya. Dia berani menatapku tanpa mata ketakutan walau aku sudah menghunuskan pedang. Rasanya aku seperti melihat cerminan diriku. Aku akui dia sangat cantik, dia sangat menggoda, tapi juga pribadi yang menarik. Dia berkata hanya membutuhkan tujuan hidup?” Raymond tertawa.

“Ya… dia menarik, dia juga mengerti pesan tersiratmu untuk menjadi selir kesayanganmu dihadapan orang lain.” Darick memperhatikanku yang tengah sibuk membaca buku.

“Selagi budak itu menuruti apa yang kubutuhkan dan tidak membahayakan, aku tak akan membunuhnya.” Raymond kembali dengan tumpukan kertasnya.

“Jangan bunuh dia, berikan saja dia padaku.” Darick tersenyum nakal kemudian memeriksa kembali dokumen yang telah ditandatangani sang pangeran.

"Dasar brengsek.” Ledek Raymond

“Brengsek ini sekertarismu, Yang Mulia” Darick tersenyum.

Alice POV

Aku tak bisa tersenyum, aku terus membalik kertas demi kertas dari buku yang berada di ruang kerja tersebut. Buku geografi dan buku sejarah tak ada yang tidak kusentuh. aku menyadari bahwa diriku benar-benar berada di tempat yang sangat berbeda. Aku meletakkan buku bacaanku dan bersandar di sofa, menghela nafas panjang. Nafas yang terasa sangat berat.

“Aku pernah mendengar teori yang menyatakan reinkarnasi itu ada, jadi aku benar-benar sudah meninggal ya? Konyol sekali dengan cara seperti itu.” Gumanku.

“Seharusnya kau bersyukur atas kematian konyolmu, kau bukan lagi seorang budak, melainkan selir yang dikelilingi kemewahan.” Darick menyodorkanku buku dengan sampul berwarna biru.

Seven Deadly Social Sins. Judulnya besar dengan tinta keemasan. Halaman awal buku itu terdapat tulisan berbingkai dengan nama Ganobi di bawahnya.

-   Politics without Principle

-   Wealth without Work

-   Commerce without Morality

-   Pleasure without Conscience

-   Education without Character

-   Science without Humanity

-   Worship without Sacrife

Aku terus membalik buku tersebut hingga halaman terakhir. Kemudian mengembalikannya kepada Darick.

“Sepertinya kau juga tidak menyukai buku sosial seperti ini ya?” Darick mengembalikan buku tersebut ke lemari kayu yang tinggi itu.

“Buku itu bagus, filosofi kehidupan yang dia dambakan sangat indah.” Alice tersenyum kemudian memejamkan matanya di sofa.

“Alice, saatnya bekerja.” Raymond menarik badanku hingga aku bersandar di bahunya.

“Pangeran Raymond,  Count Ferdinand hadir menemui anda.” Seru Prajurit di depan pintu.

“Masuk.” Seru Raymond.

Pintu Kayu bersar itu berderit. Bangsawan dengan rambut lurus panjang sebahu itu memasuki ruangan dan duduk di sofa yang berhadapan denganku. Tangan Raymond mulai mengelus kepalaku, lalu turun ke bahu, hingga akhirnya berhenti di pinggang. Pria bernama Ferdinand itu mengeluarkan dokumen dari tas kulitnya, namun matanya tak berhenti memandangiku. Mereka memulai berdiskusi mengenai bisnis baru yang akan dibuka Count Ferdinand. Ketika mereka sudah sangat serius bekerja, sudah saatnya aku juga serius dengan pekerjaanku.

“Hmmmn...” Aku mengendorkan salah satu tali dress-ku di bahu.

Raymond tertegun, Ia mengelus kepalaku dengan sangat lembut, menarik halus rambutku, mendekatkannya kewajahnya, kemudian menciumnya. Ia tersenyum dan menyenderkan kepalanya di atas kepalaku. Aku dapat mencium aroma parfumnya yang lembut namun sangat maskulin. Count Ferdinand juga menatapku dengan lembut, tapi terasa cukup dalam. Mereka kini membahas dengan detail lokasi bisnis tersebut.

“Haaaa…..” Aku menatap mata Raymond, menurunkan tali dari dress yang kugunakan hingga lekuk tubuhku cukup terlihat.

Lonceng jam berbunyi nyaring, namun mereka berdua masih terdiam, menatapku dalam. Count Ferdinand merapihkan dokumennya yang berada di atas meja saat mendengar bunyi lonceng jam. Raymond masih menatapku. Matanya yang hijau gemerlap itu sangat indah bagiku, mungkin memang matahari sudah cukup tinggi, rambutnya yang pirang juga tampak gemerlap.

“Yang Mulia, Untuk detailnya kita dapat membicarakannya lebih lanjut setelah pertemuan ini, sa… sa… saya permisi dahulu.” Rambut sebahunya bergoyang meninggalkan ruangan ini dengan terburu-buru.

Pintu kayu itu selalu berderit saat dibuka. Langkah kaki Count Ferdinand terdengar menjauh, namun pandangan sang pangeran padaku tidak menjauh. Rasanya aku juga mendengar deru detak jantung yang cukup cepat, apakah ini milik Raymond? Atau diriku? Suara langkah kaki lain terdengar mendekati kami.

“Pangeran Raymond, Arlo akan mengantar anda ke ruangan…” Mata  pria berbadan tegap itu terkejut melihatku.

“Yang Mulia, Izinkan aku menghabisi wanita jalang ini!” Sangat cepat, pedang dari pria berambut perak itu sudah berada di hadapanku.

“Jangan, perkenalkan ia Alice, dia adalah selirku. Bersikaplah baik padanya karna kalian akan banyak bersama.” Raymond tersenyum, kemudian membenarkan tali dari dress yang ku kendorkan.

“Alice, ini pekerjaanmu yang sesungguhnya.” Ia mengulurkan tangannya, mengajakku pergi.

“Dan jangan coba-coba membuka bajumu seperti tadi” “TAKK” Raymond menyentil keningku.

“Aaaa… Iyaa… Yang Mulia” Aku memegangi kening yang terasa linu.

Kami berjalan keluar dari ruang kerja itu, meninggalkan lemari buku dan buku-bukunya yang belum sempat kubaca. Meninggalkan pertanyaan di benak Arlo yang berusaha tetap tenang memegangi pedangnya selagi menuntun kami. Meninggalkan Darick yang berjalan kewalahan di belakang kami sambil membawa beberapa dokumen. Prajurit yang berjaga di antara koridor memandangi tangan sang pangeran yang bertengger di pinggulku. Patung-patung berseni tinggi disetiap lorong tetap diam, tak berani menanyakan siapa wanita disamping sang pangeran. Pintu kayu besar terbuka, dengan deritannya yang khas, memperlihatkan ruangan besar dengan meja besar di tengahnya.

Lukisan kerajaan berukuran besar kini ikut memandangi kami. Begitupula para bangsawan yang duduk di meja itu. Ada yang tersedak dengan minumannya, ada yang menjatuhkan dokumen yang dipegangnya. Pria di kursi terujung memegangi dagu tanpa janggut miliknya.  Pria yang duduk terdekat dengan pintu terbelalak. Darick pun duduk di bangku terdekat dengan Raymond, rambut pirang sepinggulnya jatuh dengan lembut di kursi merah yang tampak sangat empuk. Lalu aku, duduk dipangkuan sang pangeran.

“Hah, yang benar saja!?” Aku berguman dalam hati, dan tersenyum menatap semua orang di meja panas itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!