Alexa Kethzie
Namaku adalah Lala...
(.......)
*Namun…
Tidak pernah aku lihat air mata dukamu
Mengalir di pipimu
Begitu kuatnya dirimu
Ibu…
Aku sayang padamu
Tuhanku…
Aku bermohon padaMu
Sejahterakanlah dia
Selamanya*
Di atas mimbar aku membaca puisi karya Chairil Anwar dengan penuh penghayatan. Pandangan mataku lurus menatap audiens dengan jumlah ratusan orang hingga leher ku terasa tercekat karena gugup.
Aku mencoba tetap jelas intonasinya dan menyesuaikan mimik serta bahasa tubuhku sesempurna mungkin, dan dengan mudahnya piala segera berpindah tangan kearah ku. Aku merasa sangat bahagia...
Namun pandangan ku tiba-tiba terpaku pada sosok yang berkaitan dengan puisi itu, Ibuku. Tidak jauh dari situ ada juga ayahku. Mereka sedang tersenyum lebar karena keberhasilan ku.
"Selamat anakku tersayang!" Teriak mereka di hadapan khalayak ramai.
Aku hanya bisa tersenyum sambil menahan malu.
...****************...
...Di rumah...
Tok tok...
"Aku pulaangg..." Ucapku malas sambil membuka kenop pintu, setelah membuka pintu aku langsung menuju ruang tamu tanpa melepaskan sepatuku.
"HUWEEKKKK!!"
Terlihat jelas di mata mereka aku mengejek. Pura-pura muntah di depan kedua orang yang kini menghampiri ku, sepertinya mereka mau merencanakan hal buruk.
"Lala... selamat anakku, kamu menang lomba, tadi itu keren dan bagus banget yakan sayang?" Kata ibu sembari menghadap ke arah ayahku, dan ia pun mengangguk.
"Heleh, basi tau gak.. omongan kayak gitu udah buat aku muak tiap hari! Malah so so'an manis di depan anak, pasti ada maksud lainnya kan!" Bentakku pada orang yang biasanya ku panggil orang tua itu.
Ibu hanya terdiam, ia mulai meneteskan air mata buayanya yang membuatku muak.
"Stop Lala! Jangan membentak ibumu seperti itu! Kamu ini diajak ngomong baik-baik malah songong! Setiap hari bisanya gitu aja!" jawab ayah membela ibu.
"Lohh aku gak ngomong ke ibu aja! Ke ayah juga!"Jelasku dengan nada tinggi.
Karena mudah tersulut emosi, ayahku mengambil piala kaca yang barusaja ku taruh diatas meja, lalu iapun membantingnya dengan keras.
Tidak butuh waktu lama, semuanya kini telah berubah menjadi pecahan-pecahan kaca yang berserakan di lantai. Kami semua kaget termasuk ayahku yang melakukannya.
Keadaan menjadi hening seketika, hanya isakkan tangis ibuku yang terdengar olehku. Aku hanya diam terpaku menatap pecahan kaca itu. Itu adalah benda yang aku dapat dari hasil jeripayahku sendiri dan dia dengan begitu mudahnya menghancurkan benda itu dihadapanku.
Ku gigit bibir bawahku keras sambil mengepalkan tanganku, menahan semua kebencian terhadap mereka yang kian hari semakin membesar dan puncaknya pada saat ini. Saat ini aku merasa amat membenci mereka.
"Aku benci kalian!" Teriakku pada mereka.
Karena amarah telah merenggut akal sehatku, akupun mengambil bongkahan itu lalu melemparkannya ke arah ibuku. Namun lenganku sengaja ku geser agar tidak mengenainya. Melihat itu, emosi ayahku langsung tersulut kembali.
"Dasar anak durhaka kamu! Cepat keluar dari sini!" usir ayahku. Namun ibu segera mencegahnya.
"Jangan! itu anakmu sendiri," sanggahnya.
"Okeeyyy aku pergi dan gak akan pernah balik lagi kesini!."
Aku segera bangkit dan melangkah pergi keluar rumah tanpa membawa apapun. Dengan keras daun pintu itu kututup sehingga timbullah suara yang nyaring.
"Lala sayang, maafin ayah sama ibu... ayah tadi cuma terbawa emosi..."
Hanya suara itulah yang terakhir kali kudengar sebelum pergi.
Aku berlari ke rumah sahabat ku sekaligus teman sekampus ku dulu yang bernama Alice, dan berharap dia mau menampungku.
Mungkin dia adalah teman dekat ku yang bagiku sangat gila, tetapi dia juga adalah seorang teman sangat dapat diandalkan olehku di saat-saat seperti ini.
Setelah sampai ke tempatnya, aku langsung masuk saja tanpa mengetuk pintu karena pintunya terbuka. Biasanya aku juga melakukan hal itu, jadi mereka sebagai penghuni rumah ini sudah paham pada sikapku.
Bagiku hal yang seperti inilah yang disebut keluarga. Mereka saling bercanda satu sama lainnya dan akur tanpa ada pertengkaran.
"Ehh Lala, kamu kenapa?." Tanya Alice padaku.
Aku langsung memeluknya sambil menangis kesal. Lalu menceritakan tentang kejadian itu. Tetapi ia malah berkata akulah yang salah, tentu saja itu sangat menyinggung perasaanku. Namun meskipun dalam keadaan kesal, aku tetap mendengarkan petuahnya dan menghormati saran darinya.
"...Jadi seperti apapun hubungan yang tercipta diantara kalian, baik itu harmonis ataupun tidak, hal seperti itu terjadi karena kamu, kamu gak mau nerima kalau ibumu itu adalah ibumu, kamu menuduhnya yang tidak-tidak hanya karena kamu menganggap dia mengambil ayahmu darimu dan terus beranggapan negatif padanya, jika terjadi kesalahpahaman lagi, hal yang harus dilakukan pertama adalah mengoreksi diri kita sendiri dahulu... "
Ia berbicara seakan-akan menyudutkanku, tapi aku hanya terdiam karena hal itu memang benar, aku memang selalu beranggapan seperti itu.
Selama ini akulah yang terus-terusan mencari masalah terlebih dahulu. Tetapi aku tidak pernah menyadarinya hingga terus menerus berlangsung seperti itu setiap harinya. Seharusnya akulah yang pantas untuk membenci diriku sendiri, bukan mereka.
"Maaciw ebeeb Aliceee," ucapku pada Alice. Dia terkekeh sambil memandangku jijik.
"Hari ini aku nginep yaah,"
"Hmmm selalu boleh dong untuk princess Auroraku."
Aku tersenyum senang, lalu mulai menenggelamkan pikiranku ke dunia oranye yang terdapat pada kotak persegi panjang dan mulai membaca sebuah cerita online.
Aku lebih menyukai genre Slice of live yang ceritanya datar dan alurnya tidak mudah untuk dipahami. Tetapi kini tatapan mata ku terpaku pada sebuah novel yang kubaca ketika aku masih SMA...Saat itu hobiku adalah membaca komik dan novel isekai.
"Ahhh jadi rindu masa muda," gumamku.
"Emang sekarang kamu udah tua?" tanya Alice tiba-tiba.
"Enggak lah, masih cantik gini kok," jawabku spontan.
"Yeee lu tuh kepedean tingkat kakap, pacar aja gak punya, pastinya karena gak ada cowok yang tertarik sama wajah yang katanya cantik itu,"
"Siapa bilang, tadi aja aku lewat kesini banyak cowok yang natap aku sepanjang jalan... Hohoho tentu aja terpesona dengan kecantikan ku yang membahana,"
"Ngelantur teruss... mereka liatin kamu karena kamu pakai kostum yang aneh, "
"Apaan sih, baju ini tuh abis kupakai pas waktu lomba tau...." Jelasku sambil memanyunkan bibirku sebal.
Kemudian aku kembali melanjutkan kesibukanku menjelajah dunia dibalik layar sambil membaca novel romantis.
...*Keesokan Harinya*...
Hari ini aku ingin pulang ke rumah, aku ingin meminta maaf atas kelakuan ku semalam. Ini adalah kali pertamanya aku akan mencoba meminta maaf pada mereka.
Mungkin bagi sebagian orang meminta maaf adalah hal yang mudah namun tidak dengan ku yang perlu perjuangan besar untuk mengumpulkan niat dan keberanian melawan gengsi yang ada di benakku.
Aku berjalan di trotoar jalan raya dengan pelan, Cuacanya begitu terik dan panas... sesekali aku menyeka dahi ku yang penuh peluh. Tanganku pun berkeringat dingin.
Hufff huffffttt...
Entah kenapa aku merasakan jantungku berdegup dengan tak karuan. Entah sebab apa jua aku jadi merasa sangat takut.
Kulihat seseorang pria seusiaku yang tengah sibuk dengan androidnya berjalan dari sini ke arah sebrang jalan tanpa menggunakan zebra cross dan tentunya terdapat mobil berlalu lalang disana.
Seorang wanita paruh baya mencoba memanggilnya dan memperingatinya tetapi ia tidak mendengar karena telinganya itu tertutup dengan earphone.
Tubuhku mulai bergerak dengan sendirinya. Rasa kemanusiaan ku mulai bangkit saat sebuah minibus datang kearah orang itu.
Ini memang sangat beresiko, tapi jika doronganku kuat aku bisa menyelamatkan diri ku dan juga dia. Batinku.
"Awaas!!" Teriakku sambil mendorong sekuat tenaga ku kearah pinggir jalan.
Namun naasnya aku hanyalah seorang wanita, tenagaku hanya cukup untuk mendorongnya ke tepi tetapi tidak untuk diriku.
DRRRRIITTTTT...!!
Aku merasa sepertinya tubuhku terlempar beberapa meter dari sana. Derasnya aliran darah keluar begitu saja dari anggota tubuh ku yang terasa sakit. Suara decit mobil yang berhenti terpaksa masih terdengar jelas di telingaku.
Setidaknya aku bisa menyelamatkan seseorang di akhir hidupku.
Seandainya aku di tanya, apakah penyesalan terbesar dalam hidupku?, tentu saja jawabannya adalah penyesalan karena kata maafku belum tersampaikan kepada mereka yang seharusnya dari dulu aku sayangi.
...****************...
Aku mengerjap pelan untuk mengumpulkan nyawaku dengan perlahan.
ehhh aku selamat? pikirku.
Aku segera bangun dan duduk di ranjang tempat tidur ku saat ini. Yang dapat ku lihat hanyalah tangan yang mungil dan masih halus melekat di tubuhku.
Kamar ini sama sekali tidak terlihat seperti sebuah rumah sakit ataupun kamarku yang biasa, kondisinya begitu gelap dan sunyi.
Bahkan luka-luka di tubuhku juga tidak ada, padahal aku barusaja mengalami kecelakaan. Satu hal pertanyaan yang terus ada di benakku saat ini.
Ini di mana? Kenapa ada seorang gadis tertidur sambil bersandar pada kasur? Dia menunggu ku?
Gadis itu segera terbangun dari tidurnya karena gerakan ku yang sedikit mengusiknya.
"Ternyata kau tidak jadi mati ya?" Tanyanya dengan wajah datar.
Pertanyaan macam apa itu?!
Dia sukses membuatku tertegun karena tatapan matanya yang tajam dan berwarna merah kelam. Jangan bilang dia...
LA... LAVENDER KETHZIE??!!!
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Maya●●●
mampir kak
2023-08-25
0
〈⎳ Say My Name Claudia 1288
Aku suka puisinya
2023-07-19
0
Cowok Rese
life atau live
2023-07-13
0