ZORA'S SCANDAL - Skandal Seorang Istri
Zora tahu itu bukan anak dari suami sahnya, Aditya, tetapi dia tetap harus mengabari suaminya itu, kabar baik harus langsung dikabari.
***
Penantian yang cukup lama, kini, doa mereka sudah dijawab Sang Khalik, pendengar setia doa-doa yang menggebu sejak pernikahan 10 tahun yang lalu.
Aditya sangat gembira saat mendengar kabar dari seberang pulau bahwa Zora, istrinya, positif hamil. Tidak akan ada lagi tudingan tidak berdasar dari para tetangga, terutama dari kedua orang tuanya sendiri, mertua Zora, yang dengan tidak punya hati menyinggung perasaan Zora bahwa istrinya itu tidak akan pernah bunting karena dia mandul. 10 tahun lamanya, Zora disakiti dan tidak dianggap sebagai menantu oleh orang tua Aditya.
“Benar mas, saya sudah cek berkali-kali, tetap positif, saya sedang otewe rumah sakit, memastikan lagi mas, doakan ya mas. Akhirnya kita akan segera punya anak mas.” Suara di ujung sana antara berteriak gembira dan menangis terisak, Aditya tidak pusing untuk menebak-nebak lagi sangkin senangnya.
“Bilang Jono jangan kencang-kencang nyetirnya ya, nanti kabari lagi ya, saya doakan dari sini agar yang kita harapkan benar-benar kejadian.” Antara percaya dan was-was, Aditya berpesan kepada istrinya.
“Baik mas, nanti akan segera saya kabari. Mas jangan lupa makan siang, sudah waktunya makan siang kan sekarang.” Zora tidak lupa mengingatkan suaminya agar tetap menjaga kesehatan dengan tidak terlambat makan.
“Siap, dilaksanakan. Ok, ya sayang, saya makan siang dulu, sebentar lagi ada rapat dengan klien lagi, hati-hati di jalan ya sayang.” Tutup Aditya. Setelah mendapat jawaban yang sepantasnya, dipencetnya gambar telepon berwarna merah di ponsel pintarnya.
20 menit berlalu, di tengah-tengah rapat dengan klien-nya, Aditya menerima pesan di aplikasi WhatsApp-nya. "Positif mas, ternyata sudah sebulan." Pesan dari Zora membuat Aditya tidak konsentrasi, dia senyum-senyum membayangkan seorang bayi digendongannya. Untung saja rapatnya sudah hampir selesai. Segera setelah selesai rapat, Aditya langsung menyuruh sekretarisnya memesan tiket pesawat menuju Jakarta.
Tia, sekretaris Aditya tanpa banyak tanya langsung memesan tiket Singapura-Jakarta. Gelagat Aditya yang sedang gembira itu akhirnya membuat Tia berani menanyakan, apakah dia ikut ke Jakarta atau hanya bosnya saja. Sebelum dipencetnya tombol pesan di aplikasi pemesanan tiket online di ponselnya, Tia memberanikan diri menanyakan apa yang ada di kepalanya yang sedari tadi ingin ditanyakannya.
“Maaf Pak, apakah saya harus ikut dengan bapak ke Jakarta?” Dengan suara agak ragu diberanikannya bertanya. Iya, walau bosnya itu terkenal sangat baik, kepandaian dan kebijaksanaan bosnya itu membuatnya semakin segan dari hari ke hari, harusnya kan semakin tidak canggung ya, kalau punya bosa sebaik Aditya, rekan-rekan Aditya selalu mengolok Tia di sela-sela kesempatan yang ada.
“Tidak usah Tia, saya saja, saya sebentar kok, paling juga dua hari. Kamu harus menunggu di sini karena beberapa kolega kita akan berkunjung besok.” Aditya mengingatkan kalau ada partner bisnisnya yang akan mampir di kantornya sebelum terbang ke USA. Maklumlah, Singapura bukan negara yang terlalu besar, dari Changi (Bandara Singapura) hanya 5 menit ke kantor mereka sedangkan transitnya kadang-kadang berjam-jam.
“Oh iya Pak, maaf saya lupa.” Ditepuknya dahinya sendiri sambil bersungut-sungut dalam hati sendiri, ‘Tia kamu tuh sekretaris, kenapa jadi bosmu yang lebih ingat jadwal?’. Dipencetnya kata pesan di ponselnya.
“Sebentar lagi saya forward boarding pass-nya ke WA bapak, permisi Pak.” Diakhirinya percakapan mereka sambil mundur secara teratur menuju pintu keluar, dia sangat malu di hadapan bos-ya itu. Tia sekilas melihat Aditya menaikkan jempolnya sambil berbicara lewat ponselnya, tandanya dia memang sedang tidak mau diganggu. Dari senyumannya itu, Tia bisa menebak kalau bosnya sedang bicara dengan Zora, fix tidak bisa diganggu.
Aditya sampai di Bandara Soetta (Soekarno Hatta), rindunya bertambah setelah mendapat kabar gembira dari istrinya, Zora. Polusi Jakarta yang selalu dia komplain tidak lagi dirasakannya kali ini, padahal Jakarta sedang mendapat predikat paling berpolusi di dunia, Beijing lewat. Udara Singapura yang lumayan bersih dibandingkan dengan Jakarta kali ini harusnya membuat siapapun yang baru masuk Jakarta akan sedikit kewalahan bernapas, buat Aditya, tidak menjadi masalah, rindunya bisa membunuh semua itu.
“Apa kabar keluarga Jon?” Aditya akhirnya membuka percakapan dengan Jono setelah terbangun dari bayang-bayang istrinya di rumah tepat saat mobil mereka sudah memasuki Provinsi DKI Jakarta.
“Baik Pak. Bapak apa kabar?” Balas Jono dengan sopan.
“Baik Jon, sejauh ini semua urusan lancarlah.” Aditya membalas pertanyaan Jono, tapi pikiran Aditya bukan ke Singapura, tapi ke wajah istrinya.
“Syukur ya Pak, semuanya lancar.” Jono mulai basa-basi, dia tidak tahu lagi mau ngomong apa, karena dia juga tahu, roh bos-nya itu sudah sampai duluan di rumah, badannya saja yang masih di mobil.
“Good evening, sayang!” Aditya langsung memeluk Zora yang menyambutnya di teras rumah.
“Good evening, mas!” Bisik Zora dipelukan Aditya sambil menghirup udara sebanyak-banyaknya karena sudah memendam rindu terhadap suaminya itu, ia mencium aroma parfum suaminya yang khas masuk bersamaan dengan udara yang dihirupnya sangat dalam.
“Terima kasih atas kabar gembira ini, sayang.” Aditya harus berterima kasih kepada Zora yang akan melahirkan anaknya, anak mereka. Tangannya sambil mengelus-elus perut istrinya.
“Masuk dulu yuk, mas.” Zora mengajak Aditya masuk ke rumah. Jono yang tidak perlu mengangkat apapun langsung memarkir mobil di garasi.
Sambil memasuki rumah Aditya menggandeng tangan Zora lekat-lekat seolah-olah tidak mau berpisah lagi.
Sesampainya di kamar, Zora menyuruh Aditya mandi dulu untuk siap-siap makan malam. Sebelum masuk ke kamar mandi, Aditya mengecup bibir Zora. “Saya mandi dulu ya, sayang.” Bisik Aditya menggoda Zora.
Zora sudah memasak makanan kesukaan Aditya, tempe goreng. Zora beruntung memiliki suami yang tidak banyak maunya, makanan kesukaan saja tempe goreng, siapa yang tidak bisa menggoreng tempe? Hehehe.
“Apakah kita kabari saja ibu dan bapak, mas?” Zora memulai percakapan yang dibuat setengah serius, kentara dari suara parau dari mulutnya, ia ragu apakah akan mengurangi mood suaminya atau tidak.
“Boleh, lagian, sudah lama kita tidak memberi kabar kepada ibu dan bapak.” Jawab Aditya enteng, berusaha mengembalikan suasana ceria di meja makan mereka.
"Baik, mas, saya akan telepon ibu besok pagi." Zora belum siap berbicara dengan ibu mertuanya, sudah bertahun-tahun dia tidak dianggap di tengah keluarga Aditya, bahkan kakak-kakak Aditya pun, berlaku sama.
Sebenarnya Zora masih sakit hati dan merasa inferior. Latar belakang keluarganya yang tidak sekaya keluarga suaminya membuat dia tidak percaya diri kalau sedang berkumpul dengan kakak-kakaknya di awal-awal pernikahannya. Tidak cukup di sana, anak yang ditunggu-tunggu tak kunjung dapat, membuatnya semakin tidak percaya diri.
Tiba-tiba wajah bapak dan ibunya terlintas di benaknya, dan tidak sadar air matanya mengalir hangat di kedua pipinya. Diusapnya pelan agar tidak dilihat suaminya yang lagi lahap makan tempe gorengnya.
Penting: Visual ada di Episode 73 Pembuktian ⚠️
Jangan lupa tinggalkan jejak sebelum lanjut...😉 Jangan lupa vote, like, dan komentarnya. Bang Otom love you all! 💛💛💛
Baca Juga: Cinta Tak Bertuan by Otom (Lihat pada profil)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
ariasa sinta
368
2022-02-02
0
Qiana
Bintang datang untuk Zora
⭐⭐⭐⭐⭐
2021-12-02
0
Dania
Lanjut, nambah dukungan buat Zora
⭐⭐⭐⭐⭐
2021-11-30
0