Sambil mencomot tempe gorengnya, Aditya melihat lekat-lekat raut wajah istrinya. "Kenapa dia jadi tiba-tiba diam ya?" batinnya dalam hati. Tanpa bertanya sebenarnya dia sudah tahu apa yang sudah terjadi, dia sudah menebak apa yang sedang dirasakan istrinya.
“Kenapa, sayang? Sepertinya ada sesuatu yang ingin kau sampaikan. Eh, gimana? Sudah jadi nelpon ibu tadi?” Aditya ingin memastikan apa yang ada di benaknya.
“Sudah, mas.” Zora menjawab pendek saja, ada nada ketus di sana walau dia sudah berusaha menekan emosinya. Tapi, lagi-lagi dia belum berhasil menyembunyikan perasaannya. Aditya semakin mantap dengan apa yang ada di benaknya.
Seolah-olah sudah tahu dia mendekati Zora, memegang tangan kiri istrinya, setelah itu tangannya berpindah ke bahu Zora dan mengusap-usap bahu istrinya itu. Dia ingin meringankan sedikit beban yang sedang ditanggung istrinya itu. “Sudahlah, jangan diambil pusing omongan ibu, tadi malam kamu sudah janji untuk tidak masukkan ke dalam hati kalau ibu nuduh macam-macam kan?”
“Iya, mas, gak apa-apa kok. Saya hanya mual saja sedikit.” Zora berusaha menutupi apa yang sudah terjadi, walau dia juga tahu, suaminya sudah bisa menebak apa yang telah terjadi.
“Ya sudah, kamu istirahat aja dulu. Kalau ada apa-apa cerita ya, sayang.” Aditya tidak mau memperpanjang, dia tidak mau istrinya mengingat-ingat apa yang telah terjadi sewaktu dia masih terlelap dalam mimpinya. “Nanti malam kita makan di luar saja ya, tidak usah masak. Kita ke restoran kesukaanmu.” Sambung Aditya, menawarkan hal yang bisa menyenangkan istrinya.
“Saya gak apa-apa kok, mas.” Zora berusaha menolak tawaran suaminya.
“Tidak apa-apa, kapan lagi kita berkencan berdua, eh bertiga, dengan anak kita.” Sambil mengelus perut Zora, Aditya berusaha mengembalikan suasana gembira, dan memang seharusnya mereka gembira, sebentar lagi mereka memiliki anak.
“Baik, mas.” Zora berusaha tersenyum, dia tidak mau berdebat hal-hal yang remeh temeh dengan suaminya. Namun jauh di lubuk hatinya yang terdalam, sebenarnya dia ingin mengungkapkan semua yang ada di dalam hatinya. Tidak lama setelah senyuman itu, bibirnya mulai bergetar, matanya terasa hangat, sebelum Aditya melihat air matanya jatuh, buru-buru dia memeluk suaminya. “Terima kasih, mas, sudah menjadi punggung di saat aku butuh sandaran.” Sambil berkata demikian, air mata Zora tumpah tak terbendung lagi.
Tanpa berkata sepatah katapun, Aditya mengusap-usap punggung istrinya. Dia tahu Zora sedang menangis, dia pura-pura tidak tahu saja. Dia tidak mau tangis Zora semakin menjadi-jadi, tidak terasa, air matanya juga ikut-ikutan jatuh. Mereka sangat lama berpelukan. Tanpa mengucap satu katapun, keduanya saling mencurahkan emosi dengan berpelukan, semakin lama semakin erat. Keduanya tahu, kalau mereka sedang sama-sama menangis.
“Jadi berangkat sekarang, Pak?” Tiba-tiba Jono masuk, akhirnya Zora dan Aditya melepaskan pelukan mereka. Sambil mengusap mata sembab pasangan masing-masing, mereka tersenyum satu sama lain, sedang Jono hanya berdiri mematung, menunggu jawaban tuannya. Ada sedikit rasa cemburu muncul di dalam hatinya, melihat kuatnya ikatan cinta Zora dan Aditya.
“Oh, jadi Jon, tunggu sebentar ya, saya mandi dulu.” Aditya hampir lupa dia sudah menyuruh Jono mengantarnya ke suatu tempat melalui WA semalam.
“Mau ke mana, mas?” Zora bertanya.
“Saya mau ketemu teman, sudah janji kemarin. Saya mandi dulu ya, takut dia menunggu terlalu lama.” Jawab Aditya sekenanya. Zora sudah maklum, dia sadar suaminya itu selalu sibuk.
“Oh, baiklah, ya sudah, mandi gih!” Zora menyuruh Aditya segera mandi, seolah dia juga tidak mau temannya itu akan menunggu suaminya terlalu lama.
“Ok, saya mandi dulu ya, sayang.” Aditya berjalan menuju kamar mereka, ada kamar mandi di sana. “Sebentar ya, Jon” dengan kalimat itu, seolah-olah dia mau menyuruh Jono menunggu di mobil saja. Jono tahu maksud tuannya itu, dia segera meninggalkan ruang makan, sebelum berbalik kanan matanya dan mata Zora saling beradu, dan segera buru-buru dia keluar menuju mobil, agar setelah Aditya selesai mandi, mobil sudah sempat dingin. Dihidupkannya AC mobil dan menunggu tuannya.
Zora membereskan meja makan mereka dan mencuci piring yang kotor. Ada getir di hatinya, tapi dia berusaha membunuh apa yang ada di pikirannya itu dan segera beranjak ke kamar dan mempersiapkan pakaian untuk dipakai Aditya.
Jono membawa Aditya menuju ke sebuah restoran elit di Jakarta Pusat. Sepanjang perjalanan dia mereka tidak saling berbicara. Jono seperti biasa tidak banyak bicara, dia hanya berbicara ketika ingin bertanya tujuan dan ketika tuannya itu memang ingin diajak bicara. Aditya merasakan ada sesuatu yang aneh dari gesture Jono. Jono sepertinya semakin pendiam, seperti ada yang dipendamnya.
“Jon, kenapa?” Raut wajahmu seperti ingin mengatakan sesuatu. Keluaga di Kampung baik-baik saja kan? Atau kau sedang bertengkar dengan pacarmu ya?” Aditya berusaha menebak-benak apa yang sedang terjadi dengan Jono.
“Ah, tidak, Pak. Hehehe...!” Jono menjawab sambil melihat Aditya dari kaca yang ada di depannya.
“Oh, atau kau perlu sesuatu? Atau mau minta gaji dinaikkan?” Aditya menebak-nebak lagi.
“Tidak, Pak. Gaji saya jauh lebih dari cukup kok, Pak. Saya tidak kenapa-kenapa kok, Pak.” Jono meyakinkan Tuannya.
“Oh, ya sudah, kalau tidak ada apa-apa. Kalau ada apa-apa tinggal omong ya, kalau segan ke saya, ke Ibu juga gak apa-apa.” Aditya akhirnya lega kalau tidak ada apa-apa yang terjadi terhadap Jono. Dia memaklumi, mungkin saja memang dia sedang bertengkar dengan pacarnya, cuman dia malu untuk curhat ke tuannya. "Ya kali supir curhat ke majikannya, dasar saya aja yang terlalu sensitif melihat perubahan sekecil apapun di sekeliling." Bisiknya dalam hati. Aditya terkekeh, tapi di dalam hati saja, takut menyinggung perasaan Jono yang sedang gundah gulana. Pikirannya masih membayangkan Jono yang sedang bertengkar dengan pacarnya.
Aditya memasuki restoran mewah di daerah Menteng dan Jono menunggu di parkiran. Jono mengeluarkan ponselnya dan membaca pesan entah dari siapa. Wajahnya memang sedikit murung, seperti memang sedang membaca pesan dari pacarnya, mereka sedang perang di dalam chat, sepertinya.
Aditya disambut sun pipi kiri kanan dari teman sekelasnya di SMA dulu. Amelia, anak tunggal dari keluarga pemilik salah satu restoran terbesar di Indonesia, termasuk tempat mereka bertemu ini. Mereka duduk berdua di dalam ruang VVIP. Mereka mengobrol sangat asyik, sesekali tawa mereka lepas begitu bersahaja, tidak dibuat-buat. Mereka memang sempat dijodoh-jodohkan di sekolah dulu oleh teman-teman sekelas.
Amelia baru tiba di Jakarta, dia dari Prancis, baru menyelesaikan studinya di Le Cordon Bleu, sekolah kuliner tertua di dunia dan salah satunya ada di Prancis.
“Gimana pengalaman kamu di Prancis?” Aditya bertanya ke Amelia.
“Asyik sih, tapi gak ada kamu, jadi kurang seru!” jawab Amelia dan disusul gelak tawa keduanya “Hahahaha”. Dari dulu Amelia memang begitu, ceplas ceplos, tidak ada remnya.
“Di sana, kan, banyak cowok-cowok gantengnya, masa sih tidak ada satupun yang berhasil kamu taklukkan?” Aditya berusaha tidak baper walau sedikit tersanjung dengan ucapan Amelia.
“Banyak sih, malah mereka yang kejar-kejar saya, tapi nggak ada yang bisa buat nyaman seperti kamu Dit.” Amelia semakin menjadi-jadi, seolah-olah masa bodoh dengan status Aditya, lelaki pujaannya itu yang sudah menjadi suami orang.
“Hahaha, kamu bisa aja, hahaha!” Aditya berusaha tertawa lepas tapi tidak bisa, dia semakin khawatir kalau Amelia semakin berani. Jauh di lubuk hatinya, dia juga ingin memiliki Amelia tapi, dia sadar dia juga sudah memiliki istri, dan kali ini, mereka akan segera punya anak, buah cinta mereka.
“Tapi benar loh, saya masih mengharapkan cintamu, saya mungkin tidak akan menikah kalau bukan denganmu. Hahaha.” Amelia berbicara sekenanya, tanpa memikirkan penilaian Aditya terhadapnya, dia tidak peduli dengan apa yang dipikirkan Aditya, tujuannya hanya satu, hanya ingin tahu bahwa dia masih menunggu jawaban ‘iya’ dari Aditya. Amelia memang terkenal dengan wataknya yang keras kepala, apa yang ingin dimilikinya harus didapatkannya dengan cara apapun.
“Hahaha!” Aditya ikut-ikutan tertawa tapi terdengar garing, terkesan dipaksakan, dia kenal betul dengan Amelia. Jantungnya berdegup kencang, Amelia tiba-tiba sudah ada di hadapannya, melingkarkan kedua tangannya di leher Aditya. Tiba-tiba bibir Amelia nyosor ke bibir Aditya, Aditya tidak bisa mengelak, terlalu cepat gerakan Amelia.
“Am, Amelia…” Aditya berusaha menjauhkan kepalanya dari Amelia, namun Amelia tidak gampang menyerah.
Jangan lupa tinggalkan jejak sebelum lanjut...😉
Baca Juga: Cinta Tak Bertuan by Otom (Lihat pada profil)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
Qiana
Like Zora 👍👍👍👍👍
2021-12-02
0
Dania
Jempol buat Zora 👍👍👍👍👍
2021-11-30
0
Becky D'lafonte
waduh jgn2 zora hamil anak jono
2021-10-19
1