Zora tahu itu bukan anak dari suami sahnya, Aditya, tetapi dia tetap harus mengabari suaminya itu, kabar baik harus langsung dikabari.
***
Penantian yang cukup lama, kini, doa mereka sudah dijawab Sang Khalik, pendengar setia doa-doa yang menggebu sejak pernikahan 10 tahun yang lalu.
Aditya sangat gembira saat mendengar kabar dari seberang pulau bahwa Zora, istrinya, positif hamil. Tidak akan ada lagi tudingan tidak berdasar dari para tetangga, terutama dari kedua orang tuanya sendiri, mertua Zora, yang dengan tidak punya hati menyinggung perasaan Zora bahwa istrinya itu tidak akan pernah bunting karena dia mandul. 10 tahun lamanya, Zora disakiti dan tidak dianggap sebagai menantu oleh orang tua Aditya.
“Benar mas, saya sudah cek berkali-kali, tetap positif, saya sedang otewe rumah sakit, memastikan lagi mas, doakan ya mas. Akhirnya kita akan segera punya anak mas.” Suara di ujung sana antara berteriak gembira dan menangis terisak, Aditya tidak pusing untuk menebak-nebak lagi sangkin senangnya.
“Bilang Jono jangan kencang-kencang nyetirnya ya, nanti kabari lagi ya, saya doakan dari sini agar yang kita harapkan benar-benar kejadian.” Antara percaya dan was-was, Aditya berpesan kepada istrinya.
“Baik mas, nanti akan segera saya kabari. Mas jangan lupa makan siang, sudah waktunya makan siang kan sekarang.” Zora tidak lupa mengingatkan suaminya agar tetap menjaga kesehatan dengan tidak terlambat makan.
“Siap, dilaksanakan. Ok, ya sayang, saya makan siang dulu, sebentar lagi ada rapat dengan klien lagi, hati-hati di jalan ya sayang.” Tutup Aditya. Setelah mendapat jawaban yang sepantasnya, dipencetnya gambar telepon berwarna merah di ponsel pintarnya.
20 menit berlalu, di tengah-tengah rapat dengan klien-nya, Aditya menerima pesan di aplikasi WhatsApp-nya. "Positif mas, ternyata sudah sebulan." Pesan dari Zora membuat Aditya tidak konsentrasi, dia senyum-senyum membayangkan seorang bayi digendongannya. Untung saja rapatnya sudah hampir selesai. Segera setelah selesai rapat, Aditya langsung menyuruh sekretarisnya memesan tiket pesawat menuju Jakarta.
Tia, sekretaris Aditya tanpa banyak tanya langsung memesan tiket Singapura-Jakarta. Gelagat Aditya yang sedang gembira itu akhirnya membuat Tia berani menanyakan, apakah dia ikut ke Jakarta atau hanya bosnya saja. Sebelum dipencetnya tombol pesan di aplikasi pemesanan tiket online di ponselnya, Tia memberanikan diri menanyakan apa yang ada di kepalanya yang sedari tadi ingin ditanyakannya.
“Maaf Pak, apakah saya harus ikut dengan bapak ke Jakarta?” Dengan suara agak ragu diberanikannya bertanya. Iya, walau bosnya itu terkenal sangat baik, kepandaian dan kebijaksanaan bosnya itu membuatnya semakin segan dari hari ke hari, harusnya kan semakin tidak canggung ya, kalau punya bosa sebaik Aditya, rekan-rekan Aditya selalu mengolok Tia di sela-sela kesempatan yang ada.
“Tidak usah Tia, saya saja, saya sebentar kok, paling juga dua hari. Kamu harus menunggu di sini karena beberapa kolega kita akan berkunjung besok.” Aditya mengingatkan kalau ada partner bisnisnya yang akan mampir di kantornya sebelum terbang ke USA. Maklumlah, Singapura bukan negara yang terlalu besar, dari Changi (Bandara Singapura) hanya 5 menit ke kantor mereka sedangkan transitnya kadang-kadang berjam-jam.
“Oh iya Pak, maaf saya lupa.” Ditepuknya dahinya sendiri sambil bersungut-sungut dalam hati sendiri, ‘Tia kamu tuh sekretaris, kenapa jadi bosmu yang lebih ingat jadwal?’. Dipencetnya kata pesan di ponselnya.
“Sebentar lagi saya forward boarding pass-nya ke WA bapak, permisi Pak.” Diakhirinya percakapan mereka sambil mundur secara teratur menuju pintu keluar, dia sangat malu di hadapan bos-ya itu. Tia sekilas melihat Aditya menaikkan jempolnya sambil berbicara lewat ponselnya, tandanya dia memang sedang tidak mau diganggu. Dari senyumannya itu, Tia bisa menebak kalau bosnya sedang bicara dengan Zora, fix tidak bisa diganggu.
Aditya sampai di Bandara Soetta (Soekarno Hatta), rindunya bertambah setelah mendapat kabar gembira dari istrinya, Zora. Polusi Jakarta yang selalu dia komplain tidak lagi dirasakannya kali ini, padahal Jakarta sedang mendapat predikat paling berpolusi di dunia, Beijing lewat. Udara Singapura yang lumayan bersih dibandingkan dengan Jakarta kali ini harusnya membuat siapapun yang baru masuk Jakarta akan sedikit kewalahan bernapas, buat Aditya, tidak menjadi masalah, rindunya bisa membunuh semua itu.
“Apa kabar keluarga Jon?” Aditya akhirnya membuka percakapan dengan Jono setelah terbangun dari bayang-bayang istrinya di rumah tepat saat mobil mereka sudah memasuki Provinsi DKI Jakarta.
“Baik Pak. Bapak apa kabar?” Balas Jono dengan sopan.
“Baik Jon, sejauh ini semua urusan lancarlah.” Aditya membalas pertanyaan Jono, tapi pikiran Aditya bukan ke Singapura, tapi ke wajah istrinya.
“Syukur ya Pak, semuanya lancar.” Jono mulai basa-basi, dia tidak tahu lagi mau ngomong apa, karena dia juga tahu, roh bos-nya itu sudah sampai duluan di rumah, badannya saja yang masih di mobil.
“Good evening, sayang!” Aditya langsung memeluk Zora yang menyambutnya di teras rumah.
“Good evening, mas!” Bisik Zora dipelukan Aditya sambil menghirup udara sebanyak-banyaknya karena sudah memendam rindu terhadap suaminya itu, ia mencium aroma parfum suaminya yang khas masuk bersamaan dengan udara yang dihirupnya sangat dalam.
“Terima kasih atas kabar gembira ini, sayang.” Aditya harus berterima kasih kepada Zora yang akan melahirkan anaknya, anak mereka. Tangannya sambil mengelus-elus perut istrinya.
“Masuk dulu yuk, mas.” Zora mengajak Aditya masuk ke rumah. Jono yang tidak perlu mengangkat apapun langsung memarkir mobil di garasi.
Sambil memasuki rumah Aditya menggandeng tangan Zora lekat-lekat seolah-olah tidak mau berpisah lagi.
Sesampainya di kamar, Zora menyuruh Aditya mandi dulu untuk siap-siap makan malam. Sebelum masuk ke kamar mandi, Aditya mengecup bibir Zora. “Saya mandi dulu ya, sayang.” Bisik Aditya menggoda Zora.
Zora sudah memasak makanan kesukaan Aditya, tempe goreng. Zora beruntung memiliki suami yang tidak banyak maunya, makanan kesukaan saja tempe goreng, siapa yang tidak bisa menggoreng tempe? Hehehe.
“Apakah kita kabari saja ibu dan bapak, mas?” Zora memulai percakapan yang dibuat setengah serius, kentara dari suara parau dari mulutnya, ia ragu apakah akan mengurangi mood suaminya atau tidak.
“Boleh, lagian, sudah lama kita tidak memberi kabar kepada ibu dan bapak.” Jawab Aditya enteng, berusaha mengembalikan suasana ceria di meja makan mereka.
"Baik, mas, saya akan telepon ibu besok pagi." Zora belum siap berbicara dengan ibu mertuanya, sudah bertahun-tahun dia tidak dianggap di tengah keluarga Aditya, bahkan kakak-kakak Aditya pun, berlaku sama.
Sebenarnya Zora masih sakit hati dan merasa inferior. Latar belakang keluarganya yang tidak sekaya keluarga suaminya membuat dia tidak percaya diri kalau sedang berkumpul dengan kakak-kakaknya di awal-awal pernikahannya. Tidak cukup di sana, anak yang ditunggu-tunggu tak kunjung dapat, membuatnya semakin tidak percaya diri.
Tiba-tiba wajah bapak dan ibunya terlintas di benaknya, dan tidak sadar air matanya mengalir hangat di kedua pipinya. Diusapnya pelan agar tidak dilihat suaminya yang lagi lahap makan tempe gorengnya.
Penting: Visual ada di Episode 73 Pembuktian ⚠️
Jangan lupa tinggalkan jejak sebelum lanjut...😉 Jangan lupa vote, like, dan komentarnya. Bang Otom love you all! 💛💛💛
Baca Juga: Cinta Tak Bertuan by Otom (Lihat pada profil)
Malam itu, Aditya mencurahkan seluruh kerinduannya terhadap Zora. Entah mengapa, cintanya semakin besar terhadap Zora karena akhirnya mereka akan memiliki buah cinta mereka berdua. Zora juga demikian, dipeluknya Aditya sepanjang malam itu, seolah tidak mau lepas dari suaminya. Dia sangat merindukan bau badan suaminya yang khas.
“Sayang…!” Aditya membuka percakapan. “Besok, kalau jadi menelepon ibu, dan kalau ada ucapan yang kurang mengenakan, jangan diambil pusing ya, jangan masukin ke dalam hati.” Aditya berusaha memberikan penguatan kepada istrinya. Dia sadar betul kalau ibunya tidak terlalu suka dengan kehadiran Zora di dalam keluarganya dan kalau sudah tidak suka, perkataannya pasti membuat lawan bicaranya tersinggung.
“Baik, mas, pasti. Sepuluh tahun kita menikah, saya sudah cukup makan asam-garam, saya sudah terbiasa.” Diyakinkannya Aditya agar tidak terlalu khawatir, namun dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia masih memendam sakit hati. “Saya yakin, ibu akan berubah sikap terhadap kita, kita kan akan segera punya anak?” Dinaikkannya suaranya agar terdengar lebih ceria dan optimis.
“Baiklah, saya beruntung punya istri yang sangat sabar dan pengertian, terima kasih sayang, sudah memaklumi semua perbuatan keluarga saya.” Aditya sangat bersungguh-sungguh mengucapkannya walau sedikit masih ada ragu. Dia masih heran, seperti biasanya, karena masih ada perempuan setabah istrinya. Kalau dia bayangkan dia jadi Zora, mungkin dia akan mencari laki-laki lain. Zora cantik, secantik lembayung senja, ketika matahari mulai terbenam dengan indah tanpa ada kabut yang berarti di sore hari ketika burung-burung mulai kembali ke sarangnya masing-masing. Tidak hanya cantik, Zora juga sangat pintar, dia yakin dengan semua yang ada pada Zora tidak susah baginya untuk mencari laki-laki yang lebih baik darinya. Sambil membayang-bayangkan semua itu, didaratkannya kecupannya di ubun-ubun istrinya, tercium harum rambut istrinya, wanginya masih sama sejak mereka pertama kali bertemu.
Pagi-pagi sekali, seperti biasanya, Zora sudah terbangun. Setelah berbelanja di pasar, dia memasak, seperti yang sudah kalian tebak, dia tidak lupa menggoreng tempe yang baru saja dibelinya di pasar. Tidak seperti orang kebanyakan, yang tempenya dikasih tepung dahulu, Aditya lebih suka tempe polos, dipotong memanjang saja, hanya diasini sedikit, makanya Zora tidak akan menaburi tempenya dengan tepung. Aditya berpendapat, saat Zora menanyakan perihal tempe polos itu, bahwa tempe kalau sudah dikasih tepung akan menghilangkan rasa otentik dari si tempe, ada-ada saja, tapi memang begitulah, masalah rasa, selalu relatif, kita tidak bisa memaksakan rasa yang kita rasakan pada orang lain, cukup dimaklumi saja.
Sebelum membangunkan suaminya yang masih terlelap, setelah semua pekerjaannya sudah selesai pagi itu, Zora meraih ponselnya dan mencari nama ibu mertuanya. Sudah pukul 7 pagi, dia tahu ibu mertuanya juga pasti sudah bangun. Sebenarnya mereka memiliki banyak persamaan, Zora dan ibu mertuanya. Salah satunya itu, sama-sama bangun pagi-pagi sekali dan menyiapkan sarapan pagi buat keluarga.
“Tumben pagi-pagi sudah menelpon, masih ingat dengan saya?” Bukannya menjawab ‘halo’ mertunya di seberang langsung tancap gas. Hampir saja Zora memencet gambar telepon merah di ponselnya, dan tiba-tiba dia mengingat pesan suaminya tadi malam, diurungkannya niatnya dan menjawab pertanyaan ketus mertuanya dengan lembut, lembut yang dibuat-buat. Bagaimanapun, Zora juga manusia yang punya batas, entah sejak kapan, kelembutannya memudar, pelan tapi pasti, tapi, memang berbakat jadi aktris, dia bisa memainkan peran sedemikian rupa.
“Selamat pagi ibu, maaf tidak pernah memberi kabar.” Zora mulai ber-acting laiknya seorang aktris protagonis yang selalu mengalah walau selalu ditindas, seperti yang di FTV televisi lokal. “Apa kabar ibu dan bapak di sana?” Zora melanjutkan permintaan maafnya dengan menanyakan kabar orang yang di seberang tentunya dengan penuh ketenangan.
“Kami baik, silakan sampaikan saja apa yang perlu disampaikan! Saya tidak punya banyak waktu.” Pura-pura sibuk, ibu mertua Zora masih saja dengan ketus menjawab pertanyaannya tanpa mengindahkan permintaan maaf Zora di awal. Memang, dia sadar, tidak ada yang perlu dimaafkan, Zora juga berlaku demikian karena ulahnya. Dia sadar betul dengan itu. Dia buat begitu agar semua menantu-menantunya tunduk padanya.
“Saya mohon doa dari ibu agar janin yang ada di dalam kandungan saya baik-baik saja.” Balas Zora, masih dengan nada yang hati-hati dan tenang, sangat terstruktur. Zora berusaha menerka-nerka wajah mertuanya di seberang karena mendengar kabar itu.
“Oh, hamil? Kamu yakin itu anak Aditya?” Dingin, tidak punya hati sama sekali, penuh dengan kesinisan, tanpa memikirkan perasaan lawan bicaranya, ibu mertuanya berusaha teguh pada prinsipnya, bahwa Zora tidak akan bisa hamil, Zora perempuan mandul. Berkali-kali dia berusaha untuk membujuk Aditya, anaknya, untuk menceraikan Zora.
Demi mendengar itu, Zora tidak punya kata-kata lagi untuk diucapkan. Dia sangat muak dengan semua perlakuan ibu mertuanya itu, dia selalu salah di matanya, entah dengan apa dia bisa mengambil hati keluarga Aditya. Tak terasa, bibirnya bergetar, dan air hangat mengalir pelan di kedua pipinya.
“Kenapa diam, tidak bisa jawab ya? Kalau sudah tidak ada lagi yang mau dibicarakan, saya matikan nih?!” setengah berteriak, ibu mertuanya mengancam untuk mengakhiri pembicaraan. Dia tahu Zora di seberang sana pasti sudah menangis, dan memang itulah yang diinginkannya. Setelah menunggu beberapa detik, dia pencet tombol merah di ponselnya. Sementara Zora masih terpaku, hal ini sudah dibayangkannya sebelum menelepon ibu mertuanya itu. Dia masih terheran-heran, ada ibu semacam itu di dunia ini. Dia masih heran, mengapa Aditya bisa lahir dari rahim ibu yang sepertinya tidak punya hati sama sekali, sedangkan anaknya sendiri, Aditya begitu baiknya, sangat peka perasaannya. Dan tidak kalah herannya, bapak mertuanya bisa hidup berdampingan dengan perempuan semacam itu.
Zora menghapus air matanya, dia bergegas ke kamar untuk membangunkan suaminya. Dia tidak mau berlama-lama larut dalam kesedihan, tidak mau menangis karena hal-hal semacam itu, dikuatkannya hatinya.
Sebelum membangunkan Aditya, Zora menyeka mukanya dengan air dingin, agar suaminya itu tidak tahu kalau dia baru saja menangis. Setelah menarik napas panjang, dia membangunkan suaminya. Dipandangnya sekilas wajah tampan suaminya, wajah itu sangat mirip dengan ibu mertuanya. Aditya meniru wajah ibunya, kalau bapaknya mertuanya, tidak begitu rupawan, pastilah wajah itu turun dari ibu mertuanya yang baru saja membuatnya menangis. Dia kasihan kepada suaminya, harus punya ibu seperti ibu mertuanya.
“Mas, bangun mas, sarapan dulu yuk, nanti disambung lagi tidurnya.” Zora membangunkan suaminya dengan sangat lembut, tangan Zora memegang tangan Aditya sedangkan mulutnya sangat dekat ke telinga suaminya itu. Aditya bisa merasakan nafas hangat istrinya namun Aditya pura-pura tidak mendengar.
“Mas…!” Kalimat Zora belum lengkap, Aditya langsung menyergapnya, memeluknya dengan hangat. Zora tersentak namun akhirnya menikmati pelukan hangat suaminya. Tangan Aditya melingkar di leher Zora, dan tangan Zora di lingkar pinggang Aditya. Mereka sangat menikmati momen itu. Hati Zora bergetar, sedangkan jantung Aditya berdegup sangat kencang. Seperti pasangan yang baru dimabuk asmara, keduanya sama-sama tidak mau melepaskan pelukan. Tiba-tiba mereka hanyut dalam suasana syahdu.
Jangan lupa tinggalkan jejak sebelum lanjut...😉
Baca Juga: Cinta Tak Bertuan by Otom (Lihat pada profil)
Sambil mencomot tempe gorengnya, Aditya melihat lekat-lekat raut wajah istrinya. "Kenapa dia jadi tiba-tiba diam ya?" batinnya dalam hati. Tanpa bertanya sebenarnya dia sudah tahu apa yang sudah terjadi, dia sudah menebak apa yang sedang dirasakan istrinya.
“Kenapa, sayang? Sepertinya ada sesuatu yang ingin kau sampaikan. Eh, gimana? Sudah jadi nelpon ibu tadi?” Aditya ingin memastikan apa yang ada di benaknya.
“Sudah, mas.” Zora menjawab pendek saja, ada nada ketus di sana walau dia sudah berusaha menekan emosinya. Tapi, lagi-lagi dia belum berhasil menyembunyikan perasaannya. Aditya semakin mantap dengan apa yang ada di benaknya.
Seolah-olah sudah tahu dia mendekati Zora, memegang tangan kiri istrinya, setelah itu tangannya berpindah ke bahu Zora dan mengusap-usap bahu istrinya itu. Dia ingin meringankan sedikit beban yang sedang ditanggung istrinya itu. “Sudahlah, jangan diambil pusing omongan ibu, tadi malam kamu sudah janji untuk tidak masukkan ke dalam hati kalau ibu nuduh macam-macam kan?”
“Iya, mas, gak apa-apa kok. Saya hanya mual saja sedikit.” Zora berusaha menutupi apa yang sudah terjadi, walau dia juga tahu, suaminya sudah bisa menebak apa yang telah terjadi.
“Ya sudah, kamu istirahat aja dulu. Kalau ada apa-apa cerita ya, sayang.” Aditya tidak mau memperpanjang, dia tidak mau istrinya mengingat-ingat apa yang telah terjadi sewaktu dia masih terlelap dalam mimpinya. “Nanti malam kita makan di luar saja ya, tidak usah masak. Kita ke restoran kesukaanmu.” Sambung Aditya, menawarkan hal yang bisa menyenangkan istrinya.
“Saya gak apa-apa kok, mas.” Zora berusaha menolak tawaran suaminya.
“Tidak apa-apa, kapan lagi kita berkencan berdua, eh bertiga, dengan anak kita.” Sambil mengelus perut Zora, Aditya berusaha mengembalikan suasana gembira, dan memang seharusnya mereka gembira, sebentar lagi mereka memiliki anak.
“Baik, mas.” Zora berusaha tersenyum, dia tidak mau berdebat hal-hal yang remeh temeh dengan suaminya. Namun jauh di lubuk hatinya yang terdalam, sebenarnya dia ingin mengungkapkan semua yang ada di dalam hatinya. Tidak lama setelah senyuman itu, bibirnya mulai bergetar, matanya terasa hangat, sebelum Aditya melihat air matanya jatuh, buru-buru dia memeluk suaminya. “Terima kasih, mas, sudah menjadi punggung di saat aku butuh sandaran.” Sambil berkata demikian, air mata Zora tumpah tak terbendung lagi.
Tanpa berkata sepatah katapun, Aditya mengusap-usap punggung istrinya. Dia tahu Zora sedang menangis, dia pura-pura tidak tahu saja. Dia tidak mau tangis Zora semakin menjadi-jadi, tidak terasa, air matanya juga ikut-ikutan jatuh. Mereka sangat lama berpelukan. Tanpa mengucap satu katapun, keduanya saling mencurahkan emosi dengan berpelukan, semakin lama semakin erat. Keduanya tahu, kalau mereka sedang sama-sama menangis.
“Jadi berangkat sekarang, Pak?” Tiba-tiba Jono masuk, akhirnya Zora dan Aditya melepaskan pelukan mereka. Sambil mengusap mata sembab pasangan masing-masing, mereka tersenyum satu sama lain, sedang Jono hanya berdiri mematung, menunggu jawaban tuannya. Ada sedikit rasa cemburu muncul di dalam hatinya, melihat kuatnya ikatan cinta Zora dan Aditya.
“Oh, jadi Jon, tunggu sebentar ya, saya mandi dulu.” Aditya hampir lupa dia sudah menyuruh Jono mengantarnya ke suatu tempat melalui WA semalam.
“Mau ke mana, mas?” Zora bertanya.
“Saya mau ketemu teman, sudah janji kemarin. Saya mandi dulu ya, takut dia menunggu terlalu lama.” Jawab Aditya sekenanya. Zora sudah maklum, dia sadar suaminya itu selalu sibuk.
“Oh, baiklah, ya sudah, mandi gih!” Zora menyuruh Aditya segera mandi, seolah dia juga tidak mau temannya itu akan menunggu suaminya terlalu lama.
“Ok, saya mandi dulu ya, sayang.” Aditya berjalan menuju kamar mereka, ada kamar mandi di sana. “Sebentar ya, Jon” dengan kalimat itu, seolah-olah dia mau menyuruh Jono menunggu di mobil saja. Jono tahu maksud tuannya itu, dia segera meninggalkan ruang makan, sebelum berbalik kanan matanya dan mata Zora saling beradu, dan segera buru-buru dia keluar menuju mobil, agar setelah Aditya selesai mandi, mobil sudah sempat dingin. Dihidupkannya AC mobil dan menunggu tuannya.
Zora membereskan meja makan mereka dan mencuci piring yang kotor. Ada getir di hatinya, tapi dia berusaha membunuh apa yang ada di pikirannya itu dan segera beranjak ke kamar dan mempersiapkan pakaian untuk dipakai Aditya.
Jono membawa Aditya menuju ke sebuah restoran elit di Jakarta Pusat. Sepanjang perjalanan dia mereka tidak saling berbicara. Jono seperti biasa tidak banyak bicara, dia hanya berbicara ketika ingin bertanya tujuan dan ketika tuannya itu memang ingin diajak bicara. Aditya merasakan ada sesuatu yang aneh dari gesture Jono. Jono sepertinya semakin pendiam, seperti ada yang dipendamnya.
“Jon, kenapa?” Raut wajahmu seperti ingin mengatakan sesuatu. Keluaga di Kampung baik-baik saja kan? Atau kau sedang bertengkar dengan pacarmu ya?” Aditya berusaha menebak-benak apa yang sedang terjadi dengan Jono.
“Ah, tidak, Pak. Hehehe...!” Jono menjawab sambil melihat Aditya dari kaca yang ada di depannya.
“Oh, atau kau perlu sesuatu? Atau mau minta gaji dinaikkan?” Aditya menebak-nebak lagi.
“Tidak, Pak. Gaji saya jauh lebih dari cukup kok, Pak. Saya tidak kenapa-kenapa kok, Pak.” Jono meyakinkan Tuannya.
“Oh, ya sudah, kalau tidak ada apa-apa. Kalau ada apa-apa tinggal omong ya, kalau segan ke saya, ke Ibu juga gak apa-apa.” Aditya akhirnya lega kalau tidak ada apa-apa yang terjadi terhadap Jono. Dia memaklumi, mungkin saja memang dia sedang bertengkar dengan pacarnya, cuman dia malu untuk curhat ke tuannya. "Ya kali supir curhat ke majikannya, dasar saya aja yang terlalu sensitif melihat perubahan sekecil apapun di sekeliling." Bisiknya dalam hati. Aditya terkekeh, tapi di dalam hati saja, takut menyinggung perasaan Jono yang sedang gundah gulana. Pikirannya masih membayangkan Jono yang sedang bertengkar dengan pacarnya.
Aditya memasuki restoran mewah di daerah Menteng dan Jono menunggu di parkiran. Jono mengeluarkan ponselnya dan membaca pesan entah dari siapa. Wajahnya memang sedikit murung, seperti memang sedang membaca pesan dari pacarnya, mereka sedang perang di dalam chat, sepertinya.
Aditya disambut sun pipi kiri kanan dari teman sekelasnya di SMA dulu. Amelia, anak tunggal dari keluarga pemilik salah satu restoran terbesar di Indonesia, termasuk tempat mereka bertemu ini. Mereka duduk berdua di dalam ruang VVIP. Mereka mengobrol sangat asyik, sesekali tawa mereka lepas begitu bersahaja, tidak dibuat-buat. Mereka memang sempat dijodoh-jodohkan di sekolah dulu oleh teman-teman sekelas.
Amelia baru tiba di Jakarta, dia dari Prancis, baru menyelesaikan studinya di Le Cordon Bleu, sekolah kuliner tertua di dunia dan salah satunya ada di Prancis.
“Gimana pengalaman kamu di Prancis?” Aditya bertanya ke Amelia.
“Asyik sih, tapi gak ada kamu, jadi kurang seru!” jawab Amelia dan disusul gelak tawa keduanya “Hahahaha”. Dari dulu Amelia memang begitu, ceplas ceplos, tidak ada remnya.
“Di sana, kan, banyak cowok-cowok gantengnya, masa sih tidak ada satupun yang berhasil kamu taklukkan?” Aditya berusaha tidak baper walau sedikit tersanjung dengan ucapan Amelia.
“Banyak sih, malah mereka yang kejar-kejar saya, tapi nggak ada yang bisa buat nyaman seperti kamu Dit.” Amelia semakin menjadi-jadi, seolah-olah masa bodoh dengan status Aditya, lelaki pujaannya itu yang sudah menjadi suami orang.
“Hahaha, kamu bisa aja, hahaha!” Aditya berusaha tertawa lepas tapi tidak bisa, dia semakin khawatir kalau Amelia semakin berani. Jauh di lubuk hatinya, dia juga ingin memiliki Amelia tapi, dia sadar dia juga sudah memiliki istri, dan kali ini, mereka akan segera punya anak, buah cinta mereka.
“Tapi benar loh, saya masih mengharapkan cintamu, saya mungkin tidak akan menikah kalau bukan denganmu. Hahaha.” Amelia berbicara sekenanya, tanpa memikirkan penilaian Aditya terhadapnya, dia tidak peduli dengan apa yang dipikirkan Aditya, tujuannya hanya satu, hanya ingin tahu bahwa dia masih menunggu jawaban ‘iya’ dari Aditya. Amelia memang terkenal dengan wataknya yang keras kepala, apa yang ingin dimilikinya harus didapatkannya dengan cara apapun.
“Hahaha!” Aditya ikut-ikutan tertawa tapi terdengar garing, terkesan dipaksakan, dia kenal betul dengan Amelia. Jantungnya berdegup kencang, Amelia tiba-tiba sudah ada di hadapannya, melingkarkan kedua tangannya di leher Aditya. Tiba-tiba bibir Amelia nyosor ke bibir Aditya, Aditya tidak bisa mengelak, terlalu cepat gerakan Amelia.
“Am, Amelia…” Aditya berusaha menjauhkan kepalanya dari Amelia, namun Amelia tidak gampang menyerah.
Jangan lupa tinggalkan jejak sebelum lanjut...😉
Baca Juga: Cinta Tak Bertuan by Otom (Lihat pada profil)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!