Malam itu, Aditya mencurahkan seluruh kerinduannya terhadap Zora. Entah mengapa, cintanya semakin besar terhadap Zora karena akhirnya mereka akan memiliki buah cinta mereka berdua. Zora juga demikian, dipeluknya Aditya sepanjang malam itu, seolah tidak mau lepas dari suaminya. Dia sangat merindukan bau badan suaminya yang khas.
“Sayang…!” Aditya membuka percakapan. “Besok, kalau jadi menelepon ibu, dan kalau ada ucapan yang kurang mengenakan, jangan diambil pusing ya, jangan masukin ke dalam hati.” Aditya berusaha memberikan penguatan kepada istrinya. Dia sadar betul kalau ibunya tidak terlalu suka dengan kehadiran Zora di dalam keluarganya dan kalau sudah tidak suka, perkataannya pasti membuat lawan bicaranya tersinggung.
“Baik, mas, pasti. Sepuluh tahun kita menikah, saya sudah cukup makan asam-garam, saya sudah terbiasa.” Diyakinkannya Aditya agar tidak terlalu khawatir, namun dalam lubuk hatinya yang terdalam, dia masih memendam sakit hati. “Saya yakin, ibu akan berubah sikap terhadap kita, kita kan akan segera punya anak?” Dinaikkannya suaranya agar terdengar lebih ceria dan optimis.
“Baiklah, saya beruntung punya istri yang sangat sabar dan pengertian, terima kasih sayang, sudah memaklumi semua perbuatan keluarga saya.” Aditya sangat bersungguh-sungguh mengucapkannya walau sedikit masih ada ragu. Dia masih heran, seperti biasanya, karena masih ada perempuan setabah istrinya. Kalau dia bayangkan dia jadi Zora, mungkin dia akan mencari laki-laki lain. Zora cantik, secantik lembayung senja, ketika matahari mulai terbenam dengan indah tanpa ada kabut yang berarti di sore hari ketika burung-burung mulai kembali ke sarangnya masing-masing. Tidak hanya cantik, Zora juga sangat pintar, dia yakin dengan semua yang ada pada Zora tidak susah baginya untuk mencari laki-laki yang lebih baik darinya. Sambil membayang-bayangkan semua itu, didaratkannya kecupannya di ubun-ubun istrinya, tercium harum rambut istrinya, wanginya masih sama sejak mereka pertama kali bertemu.
Pagi-pagi sekali, seperti biasanya, Zora sudah terbangun. Setelah berbelanja di pasar, dia memasak, seperti yang sudah kalian tebak, dia tidak lupa menggoreng tempe yang baru saja dibelinya di pasar. Tidak seperti orang kebanyakan, yang tempenya dikasih tepung dahulu, Aditya lebih suka tempe polos, dipotong memanjang saja, hanya diasini sedikit, makanya Zora tidak akan menaburi tempenya dengan tepung. Aditya berpendapat, saat Zora menanyakan perihal tempe polos itu, bahwa tempe kalau sudah dikasih tepung akan menghilangkan rasa otentik dari si tempe, ada-ada saja, tapi memang begitulah, masalah rasa, selalu relatif, kita tidak bisa memaksakan rasa yang kita rasakan pada orang lain, cukup dimaklumi saja.
Sebelum membangunkan suaminya yang masih terlelap, setelah semua pekerjaannya sudah selesai pagi itu, Zora meraih ponselnya dan mencari nama ibu mertuanya. Sudah pukul 7 pagi, dia tahu ibu mertuanya juga pasti sudah bangun. Sebenarnya mereka memiliki banyak persamaan, Zora dan ibu mertuanya. Salah satunya itu, sama-sama bangun pagi-pagi sekali dan menyiapkan sarapan pagi buat keluarga.
“Tumben pagi-pagi sudah menelpon, masih ingat dengan saya?” Bukannya menjawab ‘halo’ mertunya di seberang langsung tancap gas. Hampir saja Zora memencet gambar telepon merah di ponselnya, dan tiba-tiba dia mengingat pesan suaminya tadi malam, diurungkannya niatnya dan menjawab pertanyaan ketus mertuanya dengan lembut, lembut yang dibuat-buat. Bagaimanapun, Zora juga manusia yang punya batas, entah sejak kapan, kelembutannya memudar, pelan tapi pasti, tapi, memang berbakat jadi aktris, dia bisa memainkan peran sedemikian rupa.
“Selamat pagi ibu, maaf tidak pernah memberi kabar.” Zora mulai ber-acting laiknya seorang aktris protagonis yang selalu mengalah walau selalu ditindas, seperti yang di FTV televisi lokal. “Apa kabar ibu dan bapak di sana?” Zora melanjutkan permintaan maafnya dengan menanyakan kabar orang yang di seberang tentunya dengan penuh ketenangan.
“Kami baik, silakan sampaikan saja apa yang perlu disampaikan! Saya tidak punya banyak waktu.” Pura-pura sibuk, ibu mertua Zora masih saja dengan ketus menjawab pertanyaannya tanpa mengindahkan permintaan maaf Zora di awal. Memang, dia sadar, tidak ada yang perlu dimaafkan, Zora juga berlaku demikian karena ulahnya. Dia sadar betul dengan itu. Dia buat begitu agar semua menantu-menantunya tunduk padanya.
“Saya mohon doa dari ibu agar janin yang ada di dalam kandungan saya baik-baik saja.” Balas Zora, masih dengan nada yang hati-hati dan tenang, sangat terstruktur. Zora berusaha menerka-nerka wajah mertuanya di seberang karena mendengar kabar itu.
“Oh, hamil? Kamu yakin itu anak Aditya?” Dingin, tidak punya hati sama sekali, penuh dengan kesinisan, tanpa memikirkan perasaan lawan bicaranya, ibu mertuanya berusaha teguh pada prinsipnya, bahwa Zora tidak akan bisa hamil, Zora perempuan mandul. Berkali-kali dia berusaha untuk membujuk Aditya, anaknya, untuk menceraikan Zora.
Demi mendengar itu, Zora tidak punya kata-kata lagi untuk diucapkan. Dia sangat muak dengan semua perlakuan ibu mertuanya itu, dia selalu salah di matanya, entah dengan apa dia bisa mengambil hati keluarga Aditya. Tak terasa, bibirnya bergetar, dan air hangat mengalir pelan di kedua pipinya.
“Kenapa diam, tidak bisa jawab ya? Kalau sudah tidak ada lagi yang mau dibicarakan, saya matikan nih?!” setengah berteriak, ibu mertuanya mengancam untuk mengakhiri pembicaraan. Dia tahu Zora di seberang sana pasti sudah menangis, dan memang itulah yang diinginkannya. Setelah menunggu beberapa detik, dia pencet tombol merah di ponselnya. Sementara Zora masih terpaku, hal ini sudah dibayangkannya sebelum menelepon ibu mertuanya itu. Dia masih terheran-heran, ada ibu semacam itu di dunia ini. Dia masih heran, mengapa Aditya bisa lahir dari rahim ibu yang sepertinya tidak punya hati sama sekali, sedangkan anaknya sendiri, Aditya begitu baiknya, sangat peka perasaannya. Dan tidak kalah herannya, bapak mertuanya bisa hidup berdampingan dengan perempuan semacam itu.
Zora menghapus air matanya, dia bergegas ke kamar untuk membangunkan suaminya. Dia tidak mau berlama-lama larut dalam kesedihan, tidak mau menangis karena hal-hal semacam itu, dikuatkannya hatinya.
Sebelum membangunkan Aditya, Zora menyeka mukanya dengan air dingin, agar suaminya itu tidak tahu kalau dia baru saja menangis. Setelah menarik napas panjang, dia membangunkan suaminya. Dipandangnya sekilas wajah tampan suaminya, wajah itu sangat mirip dengan ibu mertuanya. Aditya meniru wajah ibunya, kalau bapaknya mertuanya, tidak begitu rupawan, pastilah wajah itu turun dari ibu mertuanya yang baru saja membuatnya menangis. Dia kasihan kepada suaminya, harus punya ibu seperti ibu mertuanya.
“Mas, bangun mas, sarapan dulu yuk, nanti disambung lagi tidurnya.” Zora membangunkan suaminya dengan sangat lembut, tangan Zora memegang tangan Aditya sedangkan mulutnya sangat dekat ke telinga suaminya itu. Aditya bisa merasakan nafas hangat istrinya namun Aditya pura-pura tidak mendengar.
“Mas…!” Kalimat Zora belum lengkap, Aditya langsung menyergapnya, memeluknya dengan hangat. Zora tersentak namun akhirnya menikmati pelukan hangat suaminya. Tangan Aditya melingkar di leher Zora, dan tangan Zora di lingkar pinggang Aditya. Mereka sangat menikmati momen itu. Hati Zora bergetar, sedangkan jantung Aditya berdegup sangat kencang. Seperti pasangan yang baru dimabuk asmara, keduanya sama-sama tidak mau melepaskan pelukan. Tiba-tiba mereka hanyut dalam suasana syahdu.
Jangan lupa tinggalkan jejak sebelum lanjut...😉
Baca Juga: Cinta Tak Bertuan by Otom (Lihat pada profil)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
Qiana
menebar cinta untuk Zora ♥️♥️♥️♥️♥️
2021-12-02
0
Dania
Zora mendapat Love ♥️♥️♥️♥️♥️
2021-11-30
0
Miss haluu🌹
Author nya pasti juga suka tempe ya...??😅
Ngemeng² mulut mertuanya Zora perlu dijejelin sambel tempe, tuh, Thor!🤣
Biar tambah pedes 😝
2021-09-07
1