Ketika langit sudah memancarkan cahaya jingganya, para calon murid itu sudah berbaris rapi di depan gedung asrama mereka. Pemandangan gunung Topaz dari bawah benar-benar indah. Terutama ketika cahaya senja mengarah pada puncak gunung Topaz. Terlihat seperti berlian yang berkilau di puncak pegunungan tertinggi.
"Hei, apakah akan ada tes dimana kita bisa mendaki puncak Topaz?" tanya salah satu calon murid bernama Zerce pada gadis di sebelahnya. Gadis bernama Camoline itu mengangkat kedua bahunya. Antara tidak tahu dan tidak peduli dengan tes nantinya.
"Tes itu masih sangat lama. Kau tidak akan mungkin lupa bila kita baru saja disindir dengan telak oleh Tuan Barcus karena kekuatan kita yang sangat tidak berguna ini," ujar Camoline dengan nada malasnya. Ia dan beberapa calon murid yang lainnya merasakan hal yang sama. Mereka kesal dengan penuturan Barcus tadi yang kental dengan kalimat sindiran. Meski harus diakui bila ucapan guru itu sangat benar, namun mereka tidak menyukai cara Barcus menyampaikan hal itu.
"Itu wajar saja, Tuan Barcus mengatakan hal tadi. Karena memang, orang seperti kalian tidak ada gunanya. Hanya akan menjadi beban untuk kami yang levelnya di atas kalian," ujar Londer. Seorang calon murid yang memakai pakaian bangsawan. Camoline melirik ke arahnya sebelum kembali menatap ke depan dengan mendengus keras. Tidak menyangka akan bertemu dengan seorang yang sangat percaya diri.
"Kekuatan kalian, bahkan belum menyentuh tingkat Teksis. Wajar saja, Tuan Barcus menyebut kalian sangat beruntung hari ini," ujar Londer lagi. Camoline menghela napas panjang. Ia menoleh penuh ke arah anak bangsawan di sebelahnya dengan wajah kesal.
"Mau bertaruh denganku? Kekuatan yang kau miliki bukan kekuatan paling tinggi diantara murid baru sekarang." Londer mendengus keras ketika Camoline mengatakan hal itu. Zerce yang menjadi penonton hanya bisa bungkam. Karena yang dikatakan Londer sepenuhnya adalah benar.
"Kau berniat untuk bersembunyi di ketiak orang lain, hm?" Camoline menaikkan sebelah alisnya. Kedua tangannya terlipat. Namun sebelum ia berbicara, penjaga asrama terlebih dahulu menyela. Menyuruh mereka untuk segera masuk ke dalam ruangan masing-masing setelah mendapatkan kunci.
Camoline menatap kunci putih di tangannya beberapa saat. Jika tidak salah, warna kunci ini adalah untuk orang-orang yang memiliki level paling rendah. Camoline menghela napas panjang. Ia menolehkan sedikit kepalanya ke arah Londer yang tengah menatap remeh ke arahnya. Camoline mendengus keras. Ia merasa tahu dengan apa yang dipikirkan anak bangsawan itu.
"Tunggu saja hingga aku bisa melewati levelmu, tuan Chromos." Londer menaikkan sebelah alisnya sebelum kedua mata itu terbuka dengan lebar. Ia masih menatap punggung gadis berambut hitam legam itu dengan penuh tanda tanya. Seingat dirinya, ia belum mengatakan nama lengkapnya pada gadis itu. Namun..., Londer menghela napas panjang. Ia mulai berjalan menuju kamar asramanya dengan mengabaikan kejadian barusan yang sebenarnya sangatlah aneh.
Di lain sisi, Camoline masih berada tidak jauh dari tempat tadi. Ia berada di balik tembok. Ia menghela nafas panjang setelah kedua telinganya memastikan tidak ada Londer di tempatnya tadi. Ia sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Sangat fatal bila pria itu masih memikirkan hal tadi. Tangan kanannya terangkat, menutup mulutnya.
Bahkan, sebenarnya ia terkejut ketika menyebut nama klan itu. Ia tidak menyangka, akan menemukan salah satu dari mereka secepat ini. Camoline menghela napas panjang. Ia menatap ke arah lorong asramanya yang saat ini sudah sepi. Tentu saja karena ada satu peraturan menyebalkan yang mengharuskan mereka bersiap untuk makan malam nanti.
Camoline menegakkan tubuhnya. Ia merapikan rambut hitamnya itu. Ia tidak boleh terlihat mencurigakan. Meski saat ini ia ingin sangat mengutuk benda yang katanya sangat suci namun malah menekan habis kekuatan miliknya.
'Jika ini berlangsung lama, aku tidak yakin apakah klan hitam akan berdiam diri lebih lama. Terlebih, Chromos memiliki keturunan saat ini,' batinnya.
Langkah Camoline semakin cepat, hingga akhirnya ia berhenti tepat di depan kamarnya. Menghela nafas panjang, Camoline membuka pintu kamarnya tanpa memastikan terlebih dahulu apakah pintu itu dikunci ataupun tidak. Ini semua adalah salah satu kelebihan yang ia miliki. Kelebihan yang sebenarnya hanya bisa diperoleh beberapa orang tertentu namun menjadi hal menyebalkan untuk dirinya saat ini.
"Ah, kau kah orang terkahir yang akan satu kamar dengan kami?"
Camoline menatap tiga orang gadis di ruangan itu. Ia memasang wajah canggung. Mereka semua berada di level 19. Ia masuk perlahan ke kamar itu masih dengan senyuman canggungnya.
"Benar. Aku terlambat masuk, ya?" Salah satu dari mereka menggeleng. Ia mendekat ke arah Camoline dengan senyuman bersahabatnya.
"Tidak juga. Kau mau mandi dahulu atau beristirahat?"
"Aku akan berbaring beberapa saat untuk meredakan kakiku yang pegal," ujar Camoline. Gadis bernama Lily itu mengangguk mengerti. Ia menarik Camoline ke arah salah satu ranjang tingkat di ruangan itu. Menunjuk ranjang yang ada di atas dengan tangannya.
"Ini tempatmu. Tidak apa, bukan?" tanya Lily. Camoline hanya mengangguk. Ia segera naik ke atas ranjangnya itu dan berbaring. Namun sebelum itu, ia menoleh ke arah tiga gadis yang masih memperhatikan dirinya. Akan terasa aneh bila lagi-lagi hanya dirinya yang tahu nama mereka saat ini.
"Namaku Camoline. Semoga kita bisa menjadi teman sekamar yang baik."
"Ya, tentu saja. Namaku Lily, ngomong-ngomong," ujar Lily dengan senyuman di wajahnya.
"Namaku Violetta," ujar gadis berambut biru dengan kacamata yang bertengger di hidungnya.
"Namaku Rashi. Senang menjadi teman sekamarmu," ujar gadis berambut pirang. Rambut panjangnya diikat menjadi dua. Seperti anak kecil yang manja.
Camoline hanya mengangguk dan menampilkan senyuman yang tidak lagi canggung. Meskipun ia sudah mengetahui nama mereka secara lengkap tanpa diberitahu. Ingatkan dirinya untuk terus bersikap normal selama beberapa minggu ke depan. Itu yang harus ia lakukan saat ini, selama belum ada rencana pasti yang akan ia lakukan.
Bereinkarnasi menjadi seorang gadis yang berada di level 20 bukanlah impian dirinya. Seharusnya, ia memiliki level paling rendah 50. Namun, ia teringat pada siapa lawannya ketika tersadar dari takdirnya. Kelompok hitam yang saat ini bersembunyi entah di mana. Karena menurut perhitungannya, ini sudah 500 tahun semenjak dirinya mati saat itu. Sudah bersyukur, karena tidak ada satupun ingatan yang hilang saat ia kembali bereinkarnasi meski 5 abad telah dilalui.
Camoline menghadapkan tubuhnya ke arah tembok. Matanya terpejam, namun kedua telinganya masih waspada. Kematiannya 500 tahun lalu membuatnya belajar jika dirinya harus lebih waspada. Klan dirinya sudah punah. Ya, anggap saja seperti itu. Dan kini, ia bisa dikatakan bekerja seorang diri untuk menyingkirkan orang-orang yang ingin merebut batu Opal dari dalam tubuhnya. Ya, batu suci yang anehnya masih diketahui banyak orang meski sudah 5 abad menghilang. Sudah pasti, karena ada orang yang masih sangat menginginkannya.
Dan itu, tentulah klan hitam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments