Istirahat tiba, aku merasa bosan dengan sikap cewek aneh ini. Maka aku memutuskan untuk pergi ke kantin sendirian meninggalkannya. Tentu saja aku tidak mengajaknya. Selain tampangnya yang seram, sedari tadi ia hanya diam membisu. Apa mungkin dia beneran bisu? Kenapa orang seperti itu bisa masuk ke kelas unggulan? Ah, masa bodo. Untuk apa aku memikirkan hal seperti itu.
Sesampainya di kantin, kulihat banyak kelompok-kelompok yang dibuat anak-anak SMA ini. Ada sebuah meja yang terbesar diantara meja lainnya- meja yang letaknya paling dekat dengan lapangan bola. Di situ terlihat beberapa anak yang dari penampilannya merupakan anak-anak paling popular di sekolah--menurutku. Dan kupastikan bahwa mereka merupakan anak-anak kelas XII, dilihat dari postur tubuh mereka yang tinggi-tinggi- yang artinya cowok-cowok ganteng dan cewek-cewek cantik yang semuanya tajir berat. Meja kedua terbesar di penuhi oleh anak-anak popular kelas XII di sekolah ini. Sedangkan meja yang letaknya paling dekat dengan warung kantin, di sana ada seseorang yang kukenali sebagai murid di kelasku. Dan ia menoleh ke arahku.
“Livia!” panggil cewek rambut panjang lurus yang di cat kemerahan, wajah yang di rias dengan rapi, sangat berlawanan dengan wajahku yang sederhana. Anggota badan lainnya dipenuhi berbagai aksesoris: tangannya dipenuhi berbagai gelang, lehernya dililit kalung tali berwarna ungu yang dihiasi liontin sebelah hati dan dihiasi huruf ‘I’.
Ia menghampiriku. "Ayo sini gabung, yuk. sama teman-teman gue!” ajaknya. Aku melihat ke arah meja yang di tujunya. Di sana ada dua orang anak laki-laki.
Aku pun ikut bergabung meskipun awalnya ragu, karena aku masih belum bisa beradaptasi dengan mereka.
"kenalin, guys. Ini Livia. Murid baru di kelas gue." Ia memperkenalkanku pada teman-temannya.
“Gue Fadhil” ucap cowok yang bertubuh kurus sambil mengulurkan tangannya. Aku pun membalas uluran tangannya disertai senyuman.
Di sisi kirinya ada seorang cowok lagi yang bertubuh gemuk (atau lebih tepat lagi, berbadan tinggi besar walaupun posisinya sedang duduk, tapi tetap tak menutupi postur tubuhnya), berwajah santai dan penuh welas asih. Jika dibandingkan dengan Fadhil. Mereka sangat mencolok.
“Genta.” Ia memperkenalkan diri.
“Oh iya. Nama gue Indira, Indira Gemini,” kata cewek yang tadi mengajakku untuk gabung.
Aku hanya tersenyum. Tak perlu bagiku untuk memperkenalkan diri lagi. Karena tadi sudah diwakilkan oleh Indira.
Begitu duduk, aku langsung memesan makanan. Perutku sudah lapar sekali.
“Via, gue pengen tahu tentang sekolah lama lo, dong. Apa sekolahnya sama kayak di sini?” Tanya Indira setelah aku meletakkan pantatku di sampingnya.
“Ya, menurut gue, sih, sama aja. Tapi bedanya kalau di sekolah gue yang dulu, nggak ada 'tuh pembagian kelas-kelas dari yang terunggul sampai yang nggak bisa diharapkan. Di sana di perlakukan sama. Makan di kantin juga nggak berkelompok kayak gini. Meja aja harus sesuai sama tingkat kepopulerannya.”
“Wah … enak juga, ya, sekolah lo. Nggak kayak di sini. Semua hanya mau berteman dengan kelompoknya masing-masing. Anak dari kelas popular dengan anak kelas popular lagi.”
“Kan kalian juga dari kelas popular--maksudku kelas unggulan, kenapa nggak ikut gabung bareng mereka?”
“Kalian?” Fadhil terkekeh. "Maksud lo Indira doang kali.”
Aku bingung. "Loh, jadi kalian ...."
Genta menjawab kebingunganku. "Gue sama Fadhil dari kelas C-1."
"Tapi kok kalian bisa berteman--sori maksud gue ...."
"Iya gue ngarti. Pasti yang dipikiran lo, nggak mungkin 'kan anak nakal seperti kami bisa temenan sama anak dari kelas populer."
Aku merasa bersalah, bukan begitu maksudku.
"Gue 'kan bukan mereka yang mau temenan sama anak-anak kelas popular lagi. Gue, sih, orangnya sama siapa aja oke. Yang penting asyik. Buat apa punya teman, tapi sombong," kata Indira. Kemudian memandang Fadhil dan Genta. "Lagipula, berteman dengan Fadhil dan Genta bukanlah hal yang buruk."
Mereka tertawa. Aku ikut tersenyum. Benar apa yang diucapkan Indira.
"Jadi, elo masih minat jadi teman kita nggak?"
Aku mengangguk. "Tentu saja." Kemudian aku tersenyum pada mereka.
Mereka ikut tersenyum. Lalu memakan kembali makanan mereka.
"Oh, ya. Mereka itu kakak kelas?" tunjukku ke arah meja yang paling besar.
"Yeah. Mereka cuma mau berteman sama orang-orang seperti mereka, cowok-cowok ganteng. Dan cewek-cewek cantik, tajir pula," gerutu Fadhil.
Kuperhatikan beberapa diantara mereka ada seseorang yang aku kenal. Wajah yang tak asing bagiku. Baru aku ingat, itu tampang si cowok bete yang tadi pagi sudah menabrakku.
"Selain itu, mereka juga senior yang sangat di kagumi di sekolah. Terutama si bule Leo," sambung Genta.
Pasti yang di maksud Genta adalah si cowok bete, karena dari yang lainnya hanya dia yang berwajah bule. Aku heran, apa yang harus dikagumi dari cowok yang bertampang bete dan sombong begitu. Oke, kuakui dia memang sempurna. Tetap saja itu tak menutupi sifat jeleknya. Aku mengalihkan pandangan ke arah cowok yang duduk disampingnya. Seketika bibirku menyunggingkan senyuman setelah tahu bahwa cowok itu si cowok kalem. Jantungku hampir berhenti berdetak ketika menyadari dirinya juga melihatku. Dan membalas senyumanku--bukannya aku kege'eran. Tapi sungguh, ia memandang ke arahku.
Tanpa disadari, Indira memperhatikanku. "Elo senyum-senyum kenapa, sih?" sambil melihat ke arah mana mataku memandang. "Oh, lo lagi ngeliatin Denis, toh."
Spontan aku menoleh pada Indira, "Denis?"
"Yeah, Denis Aries," jelas Indira.
"Denis Aries." ucapku ulang. Nama yang indah.
Genta mengangguk. "Dan yang duduk di sampingnya itu namanya Leomardo. Orang yang paling keren sekaligus paling sombong dan menyebalkan tentunya. Mereka itu ternyata sahabatan. Padahal sifat mereka berdua sangat berbanding terbalik. Gue nggak habis pikir, mengapa si Denis mau sahabatan sama cowok kayak si Leo."
Yeap, betul banget apa yang diucapkan Genta. Baru beberapa menit bertemu dengannya, aku sudah tahu sifatnya. Menurutku masih lebih keren juga Denis. Seperti ucapan Genta, aku juga heran, mengapa cowok yang kepribadiannya berbanding terbalik itu bisa sangat akrab--bahkan bersahabat.
Aku meneguk segelas minuman yang masih dingin. Dan kurasakan sensasi dingin yang menyegarkan, aku langsung menyantap bakso yang baru tiba di hadapanku ini. Rasanya enak, aku sungguh menikmatinya. Tiba-tiba semua itu lenyap ketika mataku tertuju pada meja yang berada di sudut kantin. Di sanalah Tara sedang duduk sendiri sembari terus melihat ke arahku. Sebenarnya anak itu normal nggak, sih?
"Lo kenapa, Via?" Indira mengejutkanku.
"Ah, nggak ... anu ... gue penasaran sama anak itu. Sebenarnya dia normal nggak, sih?"
"Oh si Tara? Kalau dia, sih, orangnya emang aneh, suka menyendiri. Yah ... lo tahu-lah penampilan dia itu serem banget. Makanya nggak ada yang berani deketin dia." Sesekali Indira meniup-niup mie yang masih mengepul uapnya.
Aku mendengarkannya dengan seksama. Entah mengapa aku sedikit tertarik dengan fakta tentang si Tara itu. Aku menunggu Indira untuk bercerita lagi.
"Dan gosipnya dia itu pembawa sial. Karena setiap kali kepalanya sakit, pasti akan ada suatu hal buruk terjadi," lanjutnya seraya mengipas-ngipas mulutnya yang kepanasan.
Aku menelengkan kepala, masa iya ada orang seperti itu? Mana mungkin ada orang pembawa sial. istilah itu 'kan sudah kuno banget. Belum tentu sial juga mau dibawa-bawa sama dia--oke, mungkin lelucon ini nggak lucu.
"Masa, sih? Aku nggak percaya 'tuh dengan gosip murahan seperti itu. Itu 'kan cuma angin. Lagi pula emang elo sendiri pernah liat kalau Tara ngelakuin suatu hal yang dapat mendatangkan sial?"
Indira meletakkan kembali sendok berisi mie yang hendak di makannya tadi, kemudian berpikir sejenak.
"Hmm ... belum pernah, sih. Tapi gue kata teman-teman SMP-nya."
"Ya ampun. Gara-gara gosip murahan seperti itu jadi banyak yang nggak mau jadi teman dia." Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan pelan.
"Lah, lo sendiri yang teman sebangkunya kenapa nggak temenan sama dia? Kenapa nggak ke kantin barengan sama dia?"
Aku nyengir. "Soalnya dia serem, sih."
"Nah itu juga alasan lain yang membuatnya nggak punya teman."
Benar juga, sih. Dia emang serem banget.
Waktu istirahat telah usai. Aku dan Indira pamit pada Fadhil dan Genta untuk pergi ke kelas kami.
Huh, lagi-lagi Tara sudah tiba-tiba ada di depan mataku. Padahal tadi dia masih berada di kantin. Memang benar-benar anak aneh.
Dengan santai aku melangkahkan kaki ke arahnya. Tentu saja untuk duduk di kursiku yang berada di sampingnya. Kuperhatikan mata Tara yang terus mengikutiku.
Kualihkan tatapanku dan duduk di sebelahnya. Kami hanya saling diam. Sebenarnya aku ingin mengajaknya bicara. Tapi tidak tahu harus bicara apa. Untung saja Indira mengajakku ngobrol. Jadi aku tak perlu jadi orang bisu seperti ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Trii Ernaa Wijayanti
nama pemainnya pke Zodiak semua ya Thor😂😂, Virgo, Aries, Leo.
Dennis Aries nih Zodiak akuh🤣🤣🤣
2022-11-10
0
Putri Minwa
mantap thor
2022-11-02
0
Sari Istiqomah
Assalamualaikum semangat berkarya thor
aku sudah like ya, mampir yuk keceritaku
Dia Untukku. Terimah Kasih.
2020-10-01
1