Ulong Belati
Sunggal Serbanyaman, Sumatera Utara 1895
Kala itu lewat tengah malam, keadaan cukup gelap. Cahaya bulan sabit hampir tidak dapat menerangi keberadaan beberapa sosok tubuh berpakaian serba hitam yang bersembunyi di antara belukar setinggi pinggang orang dewasa.
Sosok-sosok itu diam membisu seperti menunggu atau mengamati sesuatu.
Pada jarak sekitar 100 meter dihadapan sosok-sosok tersebut bersembunyi, terlihat lusinan bangunan sederhana terbuat dari tepas dan nipah, berbaris teratur berjarak sekitar tiga meter satu sama lain.
Bangunan-bangunan itu diterangi beberapa obor disekitarnya. Angin meniup berkali-kali api obor yang kuning terang sehingga pancaran cahayanya melenggak-lenggokkan bayangan benda-benda yang diterpanya.
Tak lama, sosok lain terlihat berlari-lari kecil datang dari arah belakang bangunan di bagian selatan, sosok tersebut menyusuri bagian-bagian yang gelap menuju beberapa sosok yang bersembunyi di semak-semak.
"Srek srek" terdengar semak tersibak lalu beberapa ranting patah terinjak menimbulkan suara berderak.
"Cuma ada dua orang berjaga di depan gubuk yang paling utara, keduanya pribumi" ujar orang yang baru datang dengan setengah berbisik. Kemudian Putra nama pria yang baru datang tadi menjelaskan detil pengamatannya kepada enam orang lain yang sedang menunggu. Setelah itu mereka mengatur siasat dengan saling berbisik.
"Bagus, cuaca juga mendukung, tidak ada tanda-tanda bakalan hujan, mari bergerak" ujar seorang lelaki bertubuh kekar berusia 24 tahunan, pria ini bernama Ulong Jagat atau lebih dikenal dengan nama Ulong belati, karena keahliannya menggunakan belati.
Namanya cukup terkenal di wilayah ini karena kecerdikan siasatnya dalam menyerang dan memporak porandakan pos-pos tentara dan perkebunan Belanda di sekitar Sei Semayang.
Sehingga hadiah 50 gulden ditawarkan pihak maskapai perkebunan Belanda untuk kepalanya.
Setelah Ulong mengisyaratkan untuk bergerak ke tujuh orang tersebut pun segera bergerak cepat hampir tanpa suara lalu berpencar dalam kegelapan.
⚜️⚜️⚜️
Di bangunan paling Utara, dalam temaram cahaya obor yang agak jauh, dua orang sedang berdiri bersandar ke dinding bangunan.
"Kenapa pipi kau itu kok merah-merah kayak kena sengat tawon?" sambil melinting daun tembakau Parman bertanya pada temannya Paijo. Setelah daun tembakau di gulung-gulung parman meletakkan di bibir dan menyalakannya.
"Tapi gara-gara berludah tadi" keluh paijo sambil mengelus pipinya.
"Kok bisa pula berludah jadi kayak gitu, apa kau meludah kena demit?" gurau Parman, lalu dengan khidmat menghisap rokok yang baru dilintingnya. Dia monyongkan sedikit bibir lalu keluarkan asap sehingga asap bergulung-gulung keluar dari mulut membentuk huruf O.
Paijo meringis lalu menjawab " jadi tadi pagi aku sedang duduk diatas dipan membersihkan gulungan daun tembakau yang berpasir, ku tepuk-tepuk agar pasir turun dari gulungan daun. Eh tiba-tiba angin bertiup, pasir nya terbang ke wajah, sebagian masuk ke mulut dan sebagian malah masuk ke mataku".
"Terus kau ludahkan pasir di mulutmu dan kena demit?" tanya parman masih sambil memperhatikan rokok ditangannya.
"Nah itu masalahnya, kan mataku juga kemasukan debu sehingga nggak bisa melihat, jadi kuludahkan lah ke samping pasir dimulutku, Fuih fuih fuih.. begitu bisa ku buka mata ternyata ludahku jatuh tepat di sepatu tuan kebon yang kebetulan lewat. Mandor beserta dua serdadu kompeni yang bersama dia langsung menamparku, untungnya pengawal Meneer Jan (si tuan kebon) cuma mandor dan dua serdadu itu, gak terbayang seandainya ada satu kompi serdadu waktu itu " jawab Paijo.
" Ngapain pula tuan kebon mengawasi pekerja sampai bawa tentara satu kompi" Parman terkekeh menampilkan giginya yang tidak rata
Paijo meneruskan "Bahkan hampir saja dipukul pakai popor senapan karena mereka menyangka aku benci lalu sengaja meludahi sepatu tuan kebon".
"Aku minta maaf berkali-kali dan kubilang tidak sengaja karena mataku kemasukan pasir sehingga tidak tahu ada yang berdiri di sampingku, akhirnya aku pun cuma dihukum suruh ronda malam ini. Tapi nggak apa lah disuruh ronda, yang penting aku masih sehat dan bisa bernafas, daripada aku modar digebuki" ujar Paijo meneruskan.
Parman hanya melirik, tanpa berani berkata apa-apa, kepingin menertawakan kesialan Paijo tapi takut dosa.
Paijo dan Parman adalah orang-orang yang dibawa maskapai perkebunan dari pulau Jawa, buruh yang tidak digaji, hanya diberi tempat tinggal dan makan. Mereka dipaksa bekerja di perkebunan secara serabutan atas suruhan tuan kebon dan centeng-centeng pribuminya yang bengis.
Untuk melarikan diri adalah mustahil mengingat begitu jauhnya jarak untuk kembali ke kampung halaman. Apa lagi mereka buta arah, semenjak kecil tinggal di desa tidak pernah kemana-mana. Belum lagi bila melarikan diri lalu tertangkap, maka akan berakhir dengan siksaan mengerikan.
Ada ribuan mungkin puluhan ribu yang seperti mereka, dan mereka masih termasuk lebih beruntung dari kebanyakan yang lain karena dipekerjakan di perkebunan. Pada bidang pekerjaan lain banyak yang mati karena kerja yang lebih berat tanpa sandang dan pangan yang cukup, contohnya seperti para pekerja untuk membangun jalan, jembatan, rel kereta api, dll.
"Kok bau gosong terbakar?" tanya paijo pada parman sambil mengendus-ngendus, "Enak sekali baunya, apa tuan kebon sedang bikin acara memanggang?" tanyanya lagi. Parman memperhatikan tingkah paijo lalu mengipas-ngipas dengan tangan agar buyar asap dari rokok tembakaunya dan mulai ikut-ikutan mengendus. Sebentar kemudian Parman tertegun menatap ke depan "Ini bau asap terbakar ****" ujarnya lalu menepuk jidat Paijo.
Di hadapan mereka pada deretan belakang bangsal pengeringan tembakau terlihat cahaya kuning terang, awalnya sedikit tapi kemudian cahaya itu membesar.
"Gawat, kebakaran jo" ujar parman panik. Tanpa ada yang memberi aba-aba mereka berlari ke arah kebakaran dengan maksud memadamkan, tapi ternyata kebakaran tidak hanya sampai disitu. Pondok-pondok penyimpanan dan penjemuran tembakau di kanan kiri juga terbakar pada saat hampir bersamaan. Api itu begitu cepat membesar menjulang tinggi.
Sementara itu di kejauhan di arah rumah mandor kebon terdengar suara kentongan di pukul berkali-kali, sepertinya orang-orang yang berjaga disana sudah melihat kebakaran ini.
Parman menatap sekeliling, api yang melahap hampir seluruh bangunan pada deretan terluar dengan cepat menjalar ke deretan dalam. "Mati kita jo" ujar Parman dengan suara bergetar, dia bisa bayangkan hukuman yang bakal mereka terima akibat kejadian ini. Meneer Jan si tuan kebon sebagai perwakilan maskapai perkebunan pasti tidak akan mentolerir kerugian yang dialami perusahaan, dan akan menyalahkan mereka berdua yang bukan siapa-siapa atas apa yang terjadi.
Paijo segera mengerti maksud ucapan Parman, sehingga dalam terang dan panas kebakaran dia justru berkeringat dingin, matanya turut berkaca-kaca saking takutnya.
Mereka berdiri terpaku dengan tubuh bergetar tanpa tahu harus berbuat apa-apa. Tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan sebuah tendangan mengenai bahu Paijo, tubuh kerempeng paijo terlempar jatuh ke tanah berdebu, Parman
bergegas hendak menolong tapi sebuah golok ditempelkan ke lehernya. Parman menahan nafas karena terasa dingin dan tajamnya tepian golok yang menempel.
"Aa..Aampun.. tuan, tolong jangan sakiti kami" ujar Parman memohon. Dia melihat ada 3 orang bersenjata golok dan memegang obor mengepung mereka. Dan dia juga segera menduga bahwa orang-orang inilah penyebab kebakaran disini.
Pada saat hampir bersamaan dari berbagai arah berbeda di antara bangunan yang terbakar empat orang lagi berlari menuju mereka.
Para penyerang menggunakan sarung untuk menutupi wajah seperti ninja. Salah satu orang yang baru tiba mendekat dan memperhatikan Parman dan Paijo dengan seksama. "Kalian siapa?" tanyanya.
Terbata-bata Parman menjawab "Ka..kami cuma kuli kerja rodi, kebetulan disuruh menjaga bangsal, kami gak bi.. bisa menolak untuk berjaga" , Paijo mengangguk membenarkan. Pria itu yang adalah Ulong memperhatikan kedua orang di hadapannya, penampilan mereka yang lusuh, tubuh kurus cuma mengenakan kaus dari kain yang kasar, wajahnya
juga terlihat lugu berbeda dengan tampilan centeng yang beringas dan kejamnya melebihi kompeni.
Dia menarik lengan temannya yang mengarahkan golok ke leher Parman. "Sudah tinggalkan saja mereka, mereka juga sama menderitanya seperti kita" ujar Ulong.
Pada saat itu di kejauhan pada jarak sekitar tiga ratus meter mereka melihat rombongan orang membawa obor sedang menuju ke arah mereka. Sepertinya kelompok itu adalah orang-orangnya tuan kebon dan pasukan kompeni, karena tempat itu memang tidak jauh dari rumah tuan kebon.
Ke tujuh sosok itu segera berbalik dan bergegas akan pergi. "Tu.. tunggu tuan" ujar Parman, orang-orang berpakaian hitam itu berhenti dan menoleh. Parman memberanikan diri, sudah kasep disini pun kami juga bakal mati pikirnya, lalu dengan suara bergetar dia berkata "to..tolong lah bawa kami bersama kalian", Paijo yang sedang membersihkan pakaian yang berdebu menatap heran ke arah Parman.
"Kalau kami tetap tinggal disini, kemungkinan kami akan disiksa dan dibunuh orang-orangnya tuan kebon, karena lalai dalam tugas kami berjaga" ujar Parman.
Ke tujuh orang berpakaian hitam menoleh satu sama lain, " atau paling tidak bawalah kami keluar dari sini" kali ini Paijo yang berbicara setelah mengumpulkan keberanian sedari tadi. Ulong mengangguk ke teman-temannya, "Ayo" ujar salah
seorang yang bersamanya.
Parman dan Paijo pun mengikuti ke tujuh
orang itu berlari ke arah hutan sambil sesekali menoleh ke belakang dengan takut-takut.
Dalam gelap tanpa penerangan mereka berlari hingga sekitar satu kilometer melewati belukar lebat diselingi pepohonan besar dan kecil disana sini. Jumlah goresan tak terhitung di tubuh Parman dan Paijo karena ranting dan tanaman berduri. Apalagi keduanya hanya mengenakan singlet dan celana panjang tanpa alas kaki. Mempermudah onak dan duri untuk menorehkan luka.
Begitupun mereka tak surut dan terus berlari, tubuh mereka cukup kuat karena hidup yang berat, sedangkan rasa sakit karena goresan belumlah sebanding dengan siksaan lahir maupun batin yang pernah mereka rasakan .
Akhirnya mereka tiba di tepian rawa yang panjang membentang hingga berkilo-kilo meter. Beberapa puluh meter di seberang rawa adalah hutan, tidak kelihatan pada malam gelap seperti ini. Di beberapa tempat seperti disini rawa ini hanya beberapa puluh meter lebarnya, tapi di tempat lain ada yang mencapai satu kilometer, sehingga tidak memungkinkan untuk dilintasi.
Mulai terasa becek disana sini, walau masih ada rumput dan belukar bertebaran hingga di tengah rawa. Suara katak sesekali mulai terdengar menimpali suara jangkrik yang terus menerus berbunyi. Parman dan Paijo bingung dan takut menatap rawa-rawa gelap dihadapan mereka, cahaya bulan sabit yang memantul di atas rawa yang berair tidak cukup jadi penerangan bagi yang ingin melintas.
Beberapa bagian rawa mungkin cukup dalam dan tidak terlalu berlumpur sehingga bisa direnangi, begitupun itu harus dilakukan mereka yang benar-benar ahli dan hafal daerah ini pikir Parman. Atau mungkin orang-orang ini begitu sakti hingga berlari ke arah sini pikirnya lagi. Parman dan Paijo menunggu dengan harap-harap cemas apa tindakan orang-orang yang mereka ikuti ini.
Ulong dan teman-temannya sudah membuka sarung yang menutupi wajah, sarung itu mereka kalungkan di leher. Yang mengejutkan ternyata dua diantara mereka adalah wanita dengan wajah menarik, yang satu berkulit kuning langsat, sedang satunya berkulit sawo matang, keduanya berusia sekitar duapuluhan. Berbeda dengan para lelaki, mereka menggunakan kerudung penutup rambut dibalik sarung yang tadi dipakai menutupi wajah.
Sebersit senyum muncul di wajah tampan Ulong melihat ekspresi Parman dan Paijo, tanpa berkata apa-apa dia mengambil seutas tali yang tergeletak di tanah dan menariknya.
Begitu di tarik tali tersebut yang berada didalam rawa menegang dan terangkat hingga sebatas pinggang. Tali tersebut telah di belitkan oleh Ulong dan teman-temannya ke tonggak-tonggak panjang di beberapa tempat di rawa, sehingga cukup mengikuti alur tali tersebut mereka bisa melintasi rawa tanpa perlu bantuan penerangan apapun persis seperti keadaan malam ini yang gelap. Tali ini terbuat dari bahan jerami, panjangnya sekitar tiga puluh meter dan berhenti di bagian yang aman dimana disana ada tali lain yang kurang lebih sama panjang, ada dua utas tali lagi selain tali yang ini untuk diikuti sebelum mencapai hutan.
Sedangkan untuk pijakan melintasi rawa, Ulong dan teman-temannya menggunakan beberapa batang pohon pisang yang disusun berdampingan lalu ditusuk dengan kayu dan diikat. Ada tiga rakit di tepi rawa yang mereka naiki saat menuju kesini, ketiganya diikat di pinggir rawa dan di samarkan dengan menaruh rerumputan di atasnya.
Parman akhirnya mengerti kenapa orang-orang ini bisa datang dan menyerang perkebunan tanpa diketahui, ternyata mereka melintasi rawa-rawa untuk mencapai perkebunan tempatnya tinggal. Benar-benar siasat yang cerdik.
Satu minggu lamanya Ulong dan teman-temannya mengatur siasat ini, termasuk mempelajari lokasi serangan, rute pelarian, juga memeriksa rawa ini. Berkali-kali mereka melintasi rawa menggunakan rakit batang pisang dan kayu panjang sebagai alat untuk mengarahkan gerakan rakit. Lalu dari atas rakit mencari tempat yang tidak terlalu dalam untuk memasang tonggak tempat membelitkan tali. Karena kalau tali tidak di belitkan ke tonggak-tonggak sebagai penahan kemungkinan dalam perjalanan rakit akan terbawa aliran air di rawa dan sulit di kendalikan arahnya.
Di tepi rawa Ulong memerintahkan orang-orangnya berlari kesana kemari untuk mengaburkan jejak. Merasa diri anggota kru Parman dan Paijo pun ikut-ikutan melakukan hal yang sama.
"Hei jangan kesitu, nanti kau terbenam" ujar salah seorang wanita pengikut ulong, namun terlambat, Paijo terlalu bersemangat menginjak kesana kemari hingga akhirnya terperosok "brussh.." Paijo terjeblos ke bagian rawa yang dalam. Lagi-lagi Parman cuma bisa menghela nafas, mau tertawa tapi mereka masih jauh dari keselamatan untuk bisa sekadar tertawa.
Bersama yang lain dia segera membantu menarik paijo yang sudah terbenam ke dalam lumpur hingga ke leher. "Oalah Jo..Jo " ujar Parman. Para wanita yang melihat kejadian itu tertawa cekikikan.
Tidak sulit menarik paijo yang kerempeng apalagi dibantu orang-orangnya Ulong yang terlatih dan bertenaga kuat. Tapi seandainya tidak ada orang lain maka ceritanya pasti berbeda, karena pada banyak lokasi lumpur rawa-rawa disini tidak terukur dalamnya.
Pernah di tahun kedua Parman dan Paijo disini, ada pekerja wanita yang baru tiba nekad lari ke rawa ini karena menghindari beberapa centeng yang ingin memperkosanya.
Wanita yang baru tiba itu tidak tahu keadaan disini sehingga berlari ke arah rawa. Walau para centeng dan serdadu kompeni yang lain sempat mengejar tapi mereka terlambat, karena begitu mereka tiba di rawa wanita itu telah terbenam. Hanya sedikit bagian kepala dan rambut panjang wanita tersebut terlihat diatas lumpur sebelum perlahan-lahan hilang tenggelam.
Selain kisah tersebut, tempat ini menurut para penduduk lokal juga sudah sangat angker semenjak dahulu kala. Mereka bercerita ada legenda ular raksasa yang menjaga rawa-rawa ini (walaupun tidak ada yang tahu pasti dibagian mana ular raksasa ini menjaga di rawa-rawa seluas ini).
Ada juga kisah tentang kerajaan makhluk halus disini dengan penghuninya berupa manusia tapi berkaki seperti kuda dengan telapak kaki mengarah ke belakang. Selain itu berbagai hantu juga sering terlihat menampakkan diri di rawa ini bahkan di siang hari. Belum lagi banyaknya binatang berbisa dan banyak lagi cerita-cerita seram lainnya yang
membuat warga sekitar selalu menghindari rawa-rawa ini.
"Lumpurnya bau" ujar Paijo mendengus setelah keluar dari lumpur lalu segera membersihkan tubuh seadanya dengan air disitu.
Setelah insiden kecil itu mereka segera berpencar seperti yang sudah mereka sepakati di awal.
Ulong memerintahkan dua temannya Siti dan Laksmi untuk melintasi rawa menuju hutan membawa Parman dan Paijo dengan bantuan tali dan dua rakit batang pisang.
Setelah kedua rakit yang membawa Parman dan Paijo berangkat Ulong dan dua orang temannya berbelok ke kanan, sisanya yang dua orang lagi yaitu Putra dan Alam berbelok ke kiri untuk membakar kebun tembakau atau apapun aset kompeni yang mereka temui.
Ulong dan dua temannya berlari ke kanan sekitar beberapa ratus meter menerabas semak belukar hingga tiba di sekelompok pohon randu hutan yang tingginya belasan meter, lalu berbelok lagi arah kiri, tujuannya adalah kediaman tuan kebon. Sekitar dua puluh menit berlari dari tempat mereka berpencar tadi maka mereka tiba di rumah tuan kebon.
Tepat seperti perkiraannya, hanya ada dua tentara kompeni yang berjaga di teras saat mereka tiba di sana. Halaman rumah cukup terang, kedua serdadu berdiri di teras sambil mengobrol.
Sudah pasti mereka tidak menduga bakal di serang disini. Ulong dan teman-teman mengendap berjalan mendekat dan berhenti di kumpulan pagar tanaman bonsai, lalu Ulong bergerak ke arah belakang rumah di kegelapan menghindari cahaya.
Begitu mendekati kandang kuda dia melompati pagar tanaman yang tingginya hanya sepinggang.
Para serdadu tidak melihat karena posisi mereka membelakangi Ulong. Ulong berjalan perlahan lalu, dicabutnya sebuah belati dari pinggang dan melemparkan belati tersebut ke arah tengkuk serdadu terjauh, pisau langsung menancap dan si serdadu langsung roboh.
Temannya yang kaget langsung mengarahkan senapan ke ulong, tapi jarak ulong sudah terlalu dekat, dengan mudah dia bergerak maju sambil miringkan tubuh menghindari laras senjata.
Letusan senjata terdengar begitu keras ditembakkan karena larasnya tepat berada di depan dada ulong yg menghindar menyamping, telinga Ulong berdenging sesaat.
Ulong memutar tubuh dengan cepat kearah belakang untuk mempersempit jarak dan dia tiba di belakang si serdadu. Sebuah belati dia tarik lagi dari pinggang dan tancapkan ke leher si serdadu.
Mendengar keributan beberapa orang keluar dari dalam rumah, dua wanita dan satu pria pribumi yang semuanya berusia paruh baya. Para wanita menjerit-jerit ketakutan melihat darah dan mayat serdadu di teras. Kedua teman Ulong, Ahmad dan Lukman keluar dari kegelapan, mereka mengambil bedil milik serdadu yang jatuh lalu arahkan ke orang-orang itu dan menyuruh mereka diam.
Seorang wanita belanda yang kemungkinan adalah istri Meneer Jan terlihat lari menuruni tangga dengan membawa anak perempuan kecil, sepertinya putrinya, Ahmad langsung mengejar dan menahan mereka.
Ulong dan kawan-kawan membawa ke enam orang tersebut ke halaman, mengikat mereka semua kecuali si puteri belanda yang masih berusia sekitar 5 tahun, mereka biarkan gadis kecil itu mendekap ibunya dalam ketakutan.
Setelah itu kedua teman Ulong masuk kedalam rumah untuk mengambil apapun yang bisa mereka bawa. Sedangkan Ulong sendiri berdiri mengawasi orang-orang yang mereka ikat di halaman.
Dari halaman itu nyala api kebakaran yang mereka ciptakan tadi masih jelas terlihat menyala-nyala belum berhasil dipadamkan. Cahaya kuning terlihat memanjang keatas menjilati langit, asapnya putih karena yang terbakar adalah tembakau kering yang dikumpulkan di bangsal-bangsal.
"Hasil tanah dan keringat anak negeri kami, biarlah terbakar daripada hanya menguntungkan para penjajah" batin Ulong.
Perang telah berjalan 23 Tahun lamanya antara Kerajaan Sunggal Serbanyaman dengan Kompeni Belanda yang dibantu pasukan Sultan Deli.
Ayah Ulong dulunya adalah salah seorang
punggawa pasukan Datuk Muhammad Kecil Surbakti yaitu paman dari Datuk Badiuzzaman Surbakti raja Sunggal Serbanyaman saat ini, yaitu raja yang menyatukan perlawanan rakyat Melayu, Karo, Aceh, dan Gayo terhadap perampasan tanah yang dilakukan maskapai perkebunan Belanda di wilayah kerajaannya. Ayah Ulong tewas bersama banyak prajurit yang lain dalam sebuah pertempuran melawan Belanda pada tahun 1872, disaat dia masih berusia 1 tahun.
"Tidak sedikit korban yang jatuh di kedua belah pihak, darah dan air mata tergenang dimana-mana selama 23 tahun berkonflik, yang paling dirugikan adalah rakyat kami. Bagi maskapai perkebunan belanda mungkin ini hanya sekedar pertarungan bisnis, dan bagi tentara mereka ini hanyalah pekerjaan. Setiap tentara yang tewas akan digantikan yang lain yang butuh pekerjaan.
Tapi bagi kami ini adalah eksistensi dan harga diri kami sebagai pemilik tanah ini.
Seandainya saja medan perang ini bukan di negeri kami mungkin tidak akan sepahit ini rasanya" ujar Ulong di dalam hati.
Tak lama Ahmad dan Lukman keluar dari rumah dengan membawa berbagai barang. "Sudah long" ujar Lukman yang mengangkat sebuah kotak cukup besar. Sedangkan Ahmad membawa bungkusan kain. Mereka meletakkan bawaan dihalaman. "Bakar apapun yang tidak bisa dibawa" perintah ulong kepada kedua temannya, lalu dia berpaling ke para tawanan yang ketakutan
"Sampaikan pada Tuan Kebon kalian, Ulong Belati dan kawan-kawannya menuntut hak atas tanah leluhur kami yang dirampas perusahaan kalian, selama hak kami tidak diberikan maka selama itu pula kami akan berperang. Lebih baik mati berputih tulang daripada hidup berputih mata, lebih baik mati berperang daripada hidup dijajah".
⚜️⚜️⚜️
Rumah, kandang kuda, gudang semua sudah di lalap si jago merah, terangnya menyaingi kebakaran di bangsal-bangsal tembakau yang belum padam, malam yang gelap menjadi terang benderang. Para tawanan yang diikat dihalaman hanya bisa melihat Ulong dan kedua temannya berlalu dihadapan mereka dengan membawa lima ekor kuda yang mereka temukan di kandang. Dua kuda yang tidak ditunggangi di gunakan untuk membawa berbagai barang rampasan dan beberapa pucuk senjata.
"Hiyaaa..hiya.." mereka memacu kuda ke arah timur meninggalkan kepulan debu dibelakangnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Kipas Angin
lanjutkan..
2021-01-03
2
Dedi Marzuki
luar biasa
2021-01-01
1
khasna aldiyara
mantap aku suka cerita dari nusantara
2020-12-31
1