Siluman Serigala

Malam ini bulan bersinar cukup terang walau belum purnama. Langit bersih tanpa awan, memamerkan jutaan bintang.

Beberapa anggota laskar bergerak menuju arah Hamparan Perak (nama tempat) dengan menghindari jalanan umum.

Mereka baru saja melakukan pengrusakan di jalur rel Kereta Api dari Medan - Aceh di sekitar lalang (juga nama tempat).

Jumlah kelompok itu sebelas orang.

Mereka berhasil membongkar beberapa potong besi, bagian dari rel perlintasan kereta api setelah sekitar tiga jam lamanya berusaha.

Mereka menyembunyikan sebagian besi rel di semak-semak cukup jauh dari lintasan kereta api tersebut, agar pihak kompeni tidak dapat menemukannya.

Sedangkan satu potong dengan ukuran sekitar satu meter mereka bawa dengan memikulnya bergantian.

Setelah berjalan sekitar dua kilometer ke tenggara, pimpinan laskar mengajak anggotanya untuk beristirahat.

"Kita istirahat sebentar, sepertinya tidak ada tanda-tanda orang-orangnya kompeni mengikuti".

"Mudah-mudahan mereka juga tidak menyadari kalau ada bagian rel perlintasan yang kita ambil" ujar Awang, pimpinan kelompok yang bertubuh kecil.

"Biar kereta api mereka terbalik bila melintas disana" sambungnya lalu terkekeh.

Mereka berhenti di tempat yang dikelilingi ilalang cukup tinggi.

"Sebenarnya kita bisa lebih cepat bergerak kalau batangan rel ini tidak kita bawa", ujar salah seorang anggotanya.

"Kupikir kita bisa mempergunakannya di pandai besi, ini baja yang sangat kuat, bisa dijadikan parang atau pisau" ujar Awang.

"Aku cuma bilang kita bisa bergerak lebih cepat kalau tidak membawa potongan rel ini, bukan berarti aku tak setuju kita membawanya", jawab anggota Awang sambil terkekeh.

"Ya baja sebesar ini di pandai besi bisa dijadikan banyak peralatan berguna", ujar anggota yang lain.

Para laskar memang lebih suka menggunakan senjata tradisional, golok, pedang, tombak ataupun busur. Lebih berguna dan tidak menimbulkan suara berisik dalam perang gerilya seperti ini.

"Sekitar tiga kilo lagi kita antar potongan baja ini kerumah Ncik Dolah, kalian masih sanggup kan?", tanya Awang sambil menggigit-gigit rumput yang barusan di petiknya.

Anggotanya hanya tertawa pelan mendengar ucapan Awang yang berkesan merendahkan. Mereka cukup lama mengenal pemimpin mereka ini yang memang suka bergurau.

"Kita tak perlu terburu-buru, dan kita bisa bergantian memikulnya" sambung Awang.

Setelah beristirahat sebentar mereka meneruskan perjalanan.

Sejam kemudian mereka tiba di rumah Ncik Dolah si pandai besi. Rumah itu sangat jauh dari pemukiman lain, terpencil.

Itu dikarenakan Ncik Dolah tidak mau suara bising pekerjaannya mengganggu para tetangga.

Dan yang terpenting, dengan begitu dia aman bekerja untuk laskar.

Mereka memasuki halaman rumah. di sekeliling rumah masih banyak pohon-pohon besar dan ilalang. Halaman rumah di pagari dengan tanaman ubi kayu.

Rumah itu memiliki ruangan tempat bekerja, di bagian samping. Ruangan itu cukup besar, nampak api masih menyala di tungku, terang hingga ke halaman, tapi tidak ada suara ketukan palu atau apapun terdengar.

Karena mereka cukup akrab, Awang datang dan langsung masuk saja ke dalam ruangan bengkel.

"Astaga", ujarnya begitu melihat ke dalam ruangan. Di dalam ruangan yang acak-acakan, Ncik Dolah di temukan dalam keadaan tak bernyawa, tergeletak di lantai.

Wajahnya hancur seperti digigit binatang buas. Tubuhnya penuh luka, tercabik-cabik.

Tangan kiri, kaki, hilang sebagian.

Darah dimana-mana.

Di dinding ruangan juga ada terlihat bekas darah berbentuk cakaran, seperti bekas cakaran hewan buas.

Mereka yang lain ikut-ikutan masuk untuk melihat dan kaget.

Sepertinya Ncik Dolah sempat melakukan perlawanan karena di tangannya memegang parang. Walau tidak ada tanda-tanda parang tersebut sempat mengenai sesuatu.

"Menyebar, cari siapa tahu ada korban lain yang selamat, Ncik Dolah tinggal bersama istri dan seorang cucu perempuannya. Dan berhati-hatilah siapa tahu makhluk yang menyerang masih ada di sekitar sini", ujar Awang.

Orang-orang Awang segera menyebar, tidak sulit untuk menggeledah rumah yang tidak terlalu besar ini.

Mereka menemukan istri Ncik Dolah tergeletak tak bernyawa di samping sumur di belakang rumah, ada banyak luka juga di temukan di tubuh wanita paruh baya ini, luka paling besar pada tengkuknya, kemungkinan dirinya di terkam dari belakang. Beberapa bagian tubuh juga hilang.

Seorang anggota Awang segera berlari dan melaporkan. "Cuma istrinya yang kami temukan, sudah meninggal juga".

Awang berjalan keluar menuju halaman dan melihat beberapa orangnya yang sedang mencari-cari.

"Apa ada yang menemukan sesuatu?" tanya Awang. Mereka menggeleng.

"Hamid, apa ada sesuatu?" tanya Awang.

Awang bertanya seperti itu karena dilihatnya Hamid berdiri tertegun seperti sedang menatap sesuatu.

Hamid tidak menjawab, dia melihat ke arah kumpulan pohon pisang di samping rumah, bagian itu gelap tidak terkena cahaya.

Semua yang ada di halaman menoleh ke arah Hamid, Awang mencium gelagat tidak baik dan menarik golok dari pinggang, bersiap.

Hamid mundur perlahan diikuti sosok mengerikan yang melangkah maju, makhluk itu berjarak hanya beberapa langkah saja dihadapannya.

Sosok itu berbentuk serigala berwarna hitam, dengan mata berwarna kuning.

Yang mengerikan adalah serigala ini sebesar lembu.

Serigala itu mendekati Hamid sambil menggeram memamerkan gigi-giginya yang runcing.

"Hamid, jangan bergerak mendadak, mundur saja perlahan-lahan" ujar Awang, sambil berbicara seperti itu dia memberi isyarat kepada temannya yang memegang tombak untuk menyerahkan tombak padanya.

Tombak sudah di pegang, Awang lemparkan sekuat tenaga tombak itu ke serigala yang berjarak sekitar lima meter dihadapannya.

"Kena", ujar beberapa orang anggota Awang yang menyaksikan.

Sepertinya tombak yang dilemparkan Awang tepat mengenai kepala makhluk itu.

"Kretk..krtk.. bunyi ranting patah di samping Awang. Dari balik pagar tanaman ubi satu sosok lain bergerak cepat dan sebuah cakaran mengenai bahu kirinya. Terkena serangan mendadak Awang terlempar dan langsung berguling.

Semua yang ada di halaman kaget, dan segera menghunus senjata.

Mereka menatap penyerang Awang, yang tak kalah mengerikan dari serigala raksasa itu.

Makhluk ini juga mirip serigala, bentuk muka dan tubuhnya. Tapi makhluk ini berdiri diatas dua kakinya setinggi manusia dewasa berdiri.

"Sial, makhluk apa ini?" batin Awang sambil memegangi bahu kirinya yang berdarah.

Seluruh laskar saat itu sudah berkumpul di halaman.

Seorang anggota laskar muncul dengan membawa seorang anak perempuan berusia sekitar enam tahun yang di temukannya bersembunyi di kandang ayam.

Gadis kecil itu langsung menjerit-jerit melihat makhluk-makhluk tersebut, dia mengenali makhluk yang membunuh kakek neneknya.

Jeritan gadis kecil itu di sambut lolongan serigala lain, mereka menoleh ke arah lolongan asalnya dari atap rumah.

Terlihat satu ekor serigala lagi juga berwarna hitam, mirip dengan yang barusan melukai Awang.

"Hahahaha, cuma seperti itu kemampuan para jawara negeri ini?" ujar sebuah suara.

Dari tempat gelap asal munculnya serigala raksasa, keluar sesosok pria tua mengenakan mantel kulit harimau berwarna putih.

"Siapa kau, bukannya memperkenalkan diri malah langsung menyerang", ujar Awang.

"Oh iya maafkan ketidak sopananku, namaku Ki Bayu Ireng, orang yang akan mengakhiri hidup kalian yang menyedihkan" ujar si orang tua dengan pongah.

"Dasar biadab, kenapa kau menyerang kami dan juga membunuhi orang-orang tak bersalah?" ujar Awang.

"Tak bersalah katamu? Maksudmu orang yang mati di dalam sana?" jawab si orang tua sambil mencampakkan dua pucuk bedil yang disandangnya.

Bedil itu jatuh di hadapan Awang.

"Bukankah orang yang mati itu bagian dari laskar kalian?" sambungnya.

Awang menggertakkan gigi, menahan perih luka dan geram, itu adalah senjata yang di titipkannya pada Ncik Dolah.

" Dasar pengkhianat, menilik usiamu harusnya kau sudah bertobat bukan malah menjual dirimu pada penjajah dan memerangi bangsa sendiri", ujar anak buah Awang yang sedang memegangi bocah perempuan tadi.

Bocah itu sudah berhenti menjerit, dia berdiri dengan ketakutan memeluk pinggang orang yang bersamanya.

"Bangsa sendiri katamu? Sudah jelas aku tidak berasal dari kerajaan kalian, bahkan aku berasal dari pulau yang berbeda dengan kalian" jawab si orang tua dingin.

"Aah..aah.." terdengar Hamid menjerit, serigala raksasa yang begitu dekat dengannya tak sanggup lagi menahan selera. Begitu dilihatnya Hamid lengah dia maju menerkam menggigit lehernya.

Refleks Hamid menusukkan goloknya membabi buta ke serigala itu, berkali-kali golok itu mengenai tubuh serigala, tapi tidak terlihat ada darah ataupun bekas luka.

Para laskar kaget, mereka juga baru menyadari tombak yang di lemparkan Awang tadi ternyata tidak mengenai sasaran dan saat itu menancap di tanah.

Kejadian itu begitu cepat, mereka yang hadir tak sempat berbuat apa-apa, tubuh Hamid terkulai setelah memberikan perlawanan sebisanya.

Serigala yang dari atas atap menerkam seorang anggota Awang yang lain, menjatuhkannya dan mencabik-cabik punggungnya.

Beberapa laskar yang lain segera bergerak menyerang serigala jadi-jadian yang melompat dari atap untuk membantu temannya. Berkali-kali tebasan dan tikaman senjata mengenai serigala-serigala tersebut namun tak satupun menimbulkan luka.

Justru mereka yang menyerang yang terpelanting dan terluka kena cakar tajam serigala jadi-jadian tersebut.

Ki banyu Ireng tertawa dengan bangganya melihat itu.

"Kalau begini, akan sia-sia melawan, para laskar akan terbunuh sia-sia", pikir Awang.

"Mundur..mundur.." teriak Awang.

Anggota Awang bergerak mundur dengan ragu, serigala satunya yang tadi menyerang Awang kini bergerak hendak menerkam ke orang yang bersama gadis kecil.

Pria itu terperangah dan tak bisa melakukan apa-apa.

Tapi tiba-tiba makhluk itu berhenti, ada potongan rel kereta api yang mereka bawa tadi menghalangi langkahnya, makhluk itu mundur.

"Lari, selamatkan bocah itu, kalian juga lari, selamatkan diri kalian", ujar Awang.

Anggotanya yang bersama si bocah tergagap, tidak mampu berkata apa-apa, di gendongnya bocah tersebut lalu meninggalkan lokasi.

Laskar yang lain walau awalnya terlihat enggan tapi segera menyusul temannya yang membawa bocah perempuan tersebut.

Tinggal Awang beserta tiga orang yang lain, mereka mencoba melawan.

"Kenapa kalian tidak pergi? Jangan sia-siakan nyawa kalian disini" ujar Awang sambil merintih menahan sakit luka di bahu kiri.

"Perjuangan ini bukan milikmu, kau saja yang pergi, laskar masih membutuhkanmu", ujar Pakcik Leman anggota Awang yang agak tua, berumur lima puluhan.

"Tidak ada dari kalian yang akan pergi, kalian semua akan mati disini" ujar si Ki Bayu.

"Setelah itu kami akan mengejar dan membantai mereka yang melarikan diri".

Dia menyerang dengan sebuah keris yang di cabutnya dari pinggangnya. Yang ditujunya adalah Leman, tapi Leman berhasil menepiskan serangan keris orang tua tersebut dengan tangan kiri, lalu membalas dengan tangan kanan dia tusukkan golok ke leher penyerang.

Ki Bayu Ireng mengelak dengan melompat mundur, "bagus, seranganmu lumayan" ujarnya terkekeh.

Serigala jadi-jadian yang tadi mundur karena tidak berani melangkahi rel kini menyerang Leman, cakarnya yang panjang menjangkau menghantam. Leman menangkisnya dengan tangan kiri.

Awang dan anggota laskar yang lain menahan napas karena Leman menangkis serangan itu dengan tangan.

"Tring.." terdengar nyaring benturan cakar itu ke tangan Leman.

Awang dan lain-lain kaget, dia tidak menyangka Pakcik Leman memiliki kemampuan seperti itu.

"Sudah, pergi kalian, di sini pun kalian cuma memberatkan ku saja", ujar Leman marah.

Kedua orang laskar yang tersisa menarik Awang mundur.

"Sudah kukatakan tidak ada yang meninggalkan tempat ini" ujar Ki Bayu geram.

Dia menggebrak maju tikamkan keris di tangan ke dada Awang.

Melihat gerakan itu Awang menendang dengan kaki kanan ke dada Ki Bayu, jangkauan tendangan Awang lebih jauh dari tangan Ki Bayu yang memegang keris. Kakinya duluan sampai, Ki Bayu terpental mundur.

Dari samping, Mat Kecik anggota Awang menebaskan golok tepat ke leher Ki Bayu. Golok tersebut menancap di leher Ki Bayu.

"Berhasil" pikir Awang. Walau serigala-serigala ini tidak bisa di bunuh, tapi kalau pemiliknya mati akan lebih mudah urusannya, batinnya.

Ki Bayu bergerak mundur. Awang dan teman-temannya kaget.

Ajaib, tidak ada bekas luka apapun disana, padahal jelas tadi mereka sama-sama melihat golok itu telak mengenai batang lehernya.

Episodes
1 Apapun milik mereka, hancurkan!!
2 Ular Legenda
3 Benih kasih di tengah rimba
4 Musuh itu datang dari kegelapan
5 Siluman Serigala
6 Dendam Awang
7 Terkepung
8 Pelarian
9 Makhluk-makhluk terkutuk
10 Di ujung Tanduk
11 Ilmu Bayangan, Seorang Utusan, dan Tiga Elang Laut
12 Awan Mendung di hati Ulong
13 Siasat Api dan Penyelamatan
14 Perebutan Jembatan
15 Pos Pertahanan Musuh
16 Tanpa Kegaduhan
17 Dimanakah Sahabatku
18 Perburuan di mulai
19 Nilam
20 Menerobos Kepungan Musuh
21 Siasat Licik Suma
22 Nilam Tersayang
23 Pantai di Selat Malaka
24 Desa Misterius di Pinggir Pantai
25 Teror Ki Bayu
26 Menjebak Serigala Tua
27 Induk Kejahatan
28 Perjuangan dan Konspirasi
29 Mat Kabur
30 Kembang Api Menjelang Fajar
31 Pemburu di Buru
32 Hadirnya Musuh Lain
33 Akhir Perjalanan Serigala Tua
34 Menghilangnya Heidrich
35 Pasukan Mayat Ni Gaok
36 Pertemuan Ulong dan Heidrich
37 Penguasa Hutan Rawa
38 Hari Biasa di Tengah Laut
39 Menjadi Penonton
40 Pembalasan Heidrich
41 Balasan Kejahatan
42 Pulau-pulau tak Bernama
43 Pembantaian di Batas Kota
44 Berpacu Dengan Waktu
45 Pertempuran di Tepi Pantai
46 Siapapun yang Tidak Datang Bersama Kita, Tenggelamkan!!
47 Melawan Pasukan Mayat
48 Pejuang Tangguh
49 Pertempuran Jarak Dekat
50 Menghadapi Sang Legenda
51 Terdampar di Tengah Laut
52 Kerajaan Sunggal Serbanyaman, dan Raja yang Diasingkan
53 Penutup
Episodes

Updated 53 Episodes

1
Apapun milik mereka, hancurkan!!
2
Ular Legenda
3
Benih kasih di tengah rimba
4
Musuh itu datang dari kegelapan
5
Siluman Serigala
6
Dendam Awang
7
Terkepung
8
Pelarian
9
Makhluk-makhluk terkutuk
10
Di ujung Tanduk
11
Ilmu Bayangan, Seorang Utusan, dan Tiga Elang Laut
12
Awan Mendung di hati Ulong
13
Siasat Api dan Penyelamatan
14
Perebutan Jembatan
15
Pos Pertahanan Musuh
16
Tanpa Kegaduhan
17
Dimanakah Sahabatku
18
Perburuan di mulai
19
Nilam
20
Menerobos Kepungan Musuh
21
Siasat Licik Suma
22
Nilam Tersayang
23
Pantai di Selat Malaka
24
Desa Misterius di Pinggir Pantai
25
Teror Ki Bayu
26
Menjebak Serigala Tua
27
Induk Kejahatan
28
Perjuangan dan Konspirasi
29
Mat Kabur
30
Kembang Api Menjelang Fajar
31
Pemburu di Buru
32
Hadirnya Musuh Lain
33
Akhir Perjalanan Serigala Tua
34
Menghilangnya Heidrich
35
Pasukan Mayat Ni Gaok
36
Pertemuan Ulong dan Heidrich
37
Penguasa Hutan Rawa
38
Hari Biasa di Tengah Laut
39
Menjadi Penonton
40
Pembalasan Heidrich
41
Balasan Kejahatan
42
Pulau-pulau tak Bernama
43
Pembantaian di Batas Kota
44
Berpacu Dengan Waktu
45
Pertempuran di Tepi Pantai
46
Siapapun yang Tidak Datang Bersama Kita, Tenggelamkan!!
47
Melawan Pasukan Mayat
48
Pejuang Tangguh
49
Pertempuran Jarak Dekat
50
Menghadapi Sang Legenda
51
Terdampar di Tengah Laut
52
Kerajaan Sunggal Serbanyaman, dan Raja yang Diasingkan
53
Penutup

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!