Musuh itu datang dari kegelapan

"Abang itu lucu".

"Banyak khilafnya, manusiawi sekali.

Dia juga sopan, baik, tingkahnya sering seperti orang kikuk" ujar Siti ke Laksmi. Bibirnya tersenyum dan matanya berbinar-binar saat bercerita.

Saat itu Siti dan Laksmi sedang mencuci kain di tepi sungai.

Yang dimaksud Siti adalah Paijo.

Barusan mereka melihat Paijo tercebur sewaktu sedang mengambil bubu berisi ikan di sungai.

Ikannya memang dapat, ada beberapa ekor, ukurannya pun besar-besar. Lalu ikan di dalam bubu berontak begitu kerasnya, Paijo hilang keseimbangan, terpeleset dan basah kuyup.

Paijo nyengir malu begitu tahu Siti dan Laksmi sedang mencuci di dekat situ dan melihat dirinya terjatuh, basah kuyup. Siti cekikikan sedangkan Laksmi cuma tersenyum melihat kejadian itu.

Laksmi memandang dengan tatapan menyelidik ke Siti yang sedang semangat bercerita.

Siti menatap Laksmi, dia tahu arti pandangan sahabatnya itu.

"Jangan berfikir yang aneh-aneh ya" ujarnya sambil mengepalkan tinju.

Laksmi tertawa geli melihat ekspresi Siti.

Hening sejenak, mereka kembali dengan kesibukan masing-masing, mengucek-ngucek kain lalu membasuhnya.

Tapi di dalam hati Laksmi bisa menduga sahabatnya itu memiliki ketertarikan pada Paijo.

Laksmi menatap sekeliling, mungkin sudah pukul delapan pagi. Udara tak lagi sedingin tadi.

Gemericik air di sekitar mereka terdengar begitu menenangkan, seolah tangan-tangan perang tidak sampai kesini, begitu damai. Dia menarik nafas dalam-dalam, seolah ingin menghirup kedamaian itu dan memasukkannya ke sanubari.

Beberapa wanita lain baru tiba, mereka mengangguk dan tersenyum menegur Laksmi dan Siti.

Sebagian wanita itu hendak mencuci, dan sebagian hendak mandi dengan mengenakan kain sarung diikatkan ke atas dada sebagai penutup tubuh.

Mereka berjalan agak menjauh dari Laksmi dan Siti. Beberapa anak kecil yang datang bersama mereka langsung bermain air dengan riangnya.

Kedamaian dan kesederhanaan itu yang dia rasakan saat itu, sesederhana itulah kehidupan yang di harapkan Siti. Dan itu inti ucapan Siti barusan tentang Paijo. Laksmi melirik Siti, temannya yang berwajah manis itu dan tanpa sadar tersenyum sendiri.

"Apa senyum-senyum sendiri?" ujar Siti pura-pura marah.Ternyata dia menoleh ke arah Laksmi yang sedang senyum-senyum sendiri.

Laksmi kaget lalu berlagak tidak mendengar dan melanjutkan mencuci.

"Abang ini beda, lain dari semua laki-laki yang ku kenal, para kesatria dan pejuang, itu maksudku" ujar Siti.

Laksmi diam saja mendengarkan, dia takut nanti salah menjawab dan membuat sahabatnya sedari kecil ini marah. Orang jatuh cinta biasanya sering gampang tersinggung.

Siti menghela nafas, "para pria yang selama ini kukenal, seperti ayah, Putra, Kakek, Paman, sepupu-sepupu semuanya pejuang.

Setiap mereka pergi aku selalu berharap-harap cemas, bertanya-tanya apakah mereka akan kembali, dan apa mungkin kami bisa bertemu lagi" ujarnya sedih.

Laksmi mengangguk paham.

Dia mengenal dan bersahabat dengan Siti saat mereka berumur sembilan tahun pada pelatihan laskar wanita.

Saat itu Siti sudah yatim piatu, merawat adik satu-satunya, Putra.

Dia tahu seperti apa berat kehidupan sahabatnya itu.

Siti mengucek-ngucek kain.

Ingatannya melayang ke masa lalu.

Dimasa dimana ayahnya berjuang melawan kompeni, sama seperti keadaan mereka saat ini.

Sebagai seorang anak, setiap kali ayahnya akan pergi berperang, ingin rasanya dia menahan agar beliau tidak meninggalkan mereka. Dia ingin ada sedikit rasa lega, aman dari pikiran buruk akan kehilangan orang-orang terkasih.

Waktu itu dia hanya bisa menangis setiap ayah pergi dan berdoa agar tidak terjadi apa-apa kepada ayah.

Dan sebagai anak sulung, di saat ayah pergi biasanya dia yang menghibur Putra (adiknya), mencandainya, agar Putra juga lupa kalau ayah mereka saat itu sedang pergi bertaruh nyawa.

Hingga akhirnya yang mereka takutkan terjadi, suatu hari setelah pertempuran, dia, bersama Putra dan ibunya mencari-cari diantara para laskar yang kembali dari pertempuran dan melihat ayahnya di tandu dalam keadaan terluka parah.

Sebuah peluru menembus tepat di ulu hatinya. Lukanya memang kecil tapi betapapun keras usaha orang-orang untuk mengobati, darah tidak mau berhenti mengucur dari luka itu.

Dia tak bisa lupakan ekspresi wajah, dan suara ibunya yang histeris meminta tolong kepada siapapun disitu untuk menolong suaminya, panik karena tidak tahu harus berbuat apa. Saat itu Siti cuma bisa mendekap Putra yang menangis tak henti-henti.

Ayah meninggal di hari itu juga di pangkuan ibu.

Tak lama setelah ayah meninggal, ibu sakit keras dan kondisinya makin memburuk dikarenakan mereka sering terpaksa mengungsi kesana kemari mengikuti para gerilyawan.

Hingga akhirnya ibu juga meninggalkan mereka berdua pada tahun yang sama dengan meninggalnya ayah.

Dan semenjak saat itu mereka tidak mempunyai siapa-siapa lagi tempat untuk mengadu.

Kakek, Paman, sudah terlebih dahulu berpulang, juga karena berperang.

Mereka pun terpaksa menjalani masa kecil mengikuti para gerilyawan kemanapun mereka pergi.

Laksmi melirik Siti, sahabatnya itu terlihat merenung.

Jika saja maskapai perkebunan Belanda tidak berusaha merebut tanah-tanah mereka. Maka ayah-ayah mereka tidak perlu pergi berperang, batinnya.

Seperti ayah Siti, ayahnya juga seorang pengikut Teuku Nyak Makam.

Kabar terakhir beberapa bulan lalu dia dengar ayahnya dan pejuang yang lain masih bergerilya di daerah Lam Nga (Aceh), sedangkan ibunya berada di Tamiang bersama adik perempuannya.

Tidak satu hari pun dia lalui tanpa cemas memikirkan mereka.

Rasa was-was dan cemas kehilangan seseorang yang kita kenal mungkin lebih menakutkan dari rasa kehilangan itu sendiri pikirnya.

Laksmi mulai memasuk-masukkan pakaian yang sudah dicuci ke bakul.

"Terus apa hubungannya rasa cemas takut kehilangan itu dengan mas Paijo mu?" ujar Laksmi mencoba memecah keheningan, menggoda Siti.

Siti meninju bahu Laksmi

"Ih.. Mas Paijo siapa, ngobrol aja kami jarang. Maksudku Abang Paijo itu orang biasa-biasa bukan pejuang, wajahnya biasa-biasa, seleranya, cara dia menjalani hidup juga biasa, jadi orang-orang nggak perlu cemas memikirkan dia, bukan berarti harus ada apa-apa" rungut Siti.

Laksmi mengangkat bakul.

"Orang-orang? Orang-orang mana?, apa orang ini yang nggak perlu cemas?" tanya Laksmi sambil menahan tawa dan menunjuk Siti.

Siti, diam pura-pura tidak mendengar, wajahnya memerah, kenapalah aku tadi keceplosan, pikirnya.

Kesal diambilnya air dengan tangan lalu cipratkan ke wajah Laksmi.

Mereka pun berlarian di sungai sambil saling tertawa dan mencipratkan air.

⚜️⚜️⚜️

Malam ini sehabis sholat Maghrib, Ulong mengumpulkan para laskar.

Pertemuan diadakan di sebuah rumah besar yang memang disediakan sebagai tempat pertemuan dan tempat mengatur strategi.

Putra, Lukman, juga Alam yang mulai pulih dan yang lain telah hadir di Aula rumah besar.

Parman juga duduk bersama mereka yang hadir, sedangkan Paijo duduk di samping pintu bersiap untuk menyediakan apapun yang diperlukan.

Siti, Laksmi dan beberapa laskar wanita juga hadir.

Ada sekitar lima belas orang di ruangan itu. Sedangkan beberapa orang lagi menunggu di luar karena tidak tertampung di dalam aula.

"Kenapa lah abang ini duduk di hadapanku, sehingga setiap aku mau menyimak pembicaraan orang-orang jadi nggak sengaja menatapnya" batin Siti.

Kebetulan duduk dia dan Paijo berseberangan.

Awalnya dia tidak menyadari, tapi Laksmi yang duduk disebelahnya berkali-kali menggoda dengan menyikut bahunya.

Ulong membuka percakapan dengan mengucapkan salam yang disambut seluruh orang di ruangan.

"Ini wan Salman, dia utusan kerajaan sunggal, dan dia membawa berita tentang pergerakan pasukan kompeni" ujar Ulong memperkenalkan orang yang bersamanya.

Pria itu bertubuh pendek dan gempal, jidatnya lebar. Dia mengenakan jubah kuning, pakaian dalam berwarna putih dan celana hitam. Bersamanya duduk tiga orang berpakaian serba hitam bertubuh kekar, berusia sekitar empat puluhan.

Ketiga orang ini bukan lah orang biasa, mereka adalah para pendekar, ahli beladiri kerajaan yang dikirim untuk tugas-tugas yang sulit.

Ulong sudah cukup lama kenal dengan para utusan ini. Hadirnya orang-orang ini sebagai pendamping menandakan bahwa Wan Salman membawa urusan penting.

Tadi sehabis ashar mereka tiba dengan diantar seorang penduduk desa diluar hutan, penduduk desa itu merupakan pengikut Ulong.

Kuda-kuda para tamu ini di sembunyikan di desa tersebut, dan mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki kesini.

Wan Salman mengucap salam lalu mulai berbicara.

"Pertama saya mewakili raja Sunggal Datuk Badiuzzaman mengucapkan terima kasih kepada tuan dan puan sekalian yang telah bersusah payah turut berjuang".

Para hadirin membalas salamnya.

Wan Salman melanjutkan, "karena semakin maraknya penyerangan ke perkebunan-perkebunan dan tangsi-tangsi militer akhirnya Belanda mengirim bantuan serdadu dari pulau Jawa untuk mengamankan kebun-kebun tembakau di wilayah Deli Serdang dan Langkat.

Mata-mata kami mengirim pesan bahwa subuh tadi kapal-kapal telah berlabuh dan ribuan prajurit kompeni telah diturunkan di Belawan, mata-mata kita juga memastikan bahwa pasukan ini bersenjata lengkap dan membawa banyak meriam bersama mereka".

Ulong dan semua yang hadir kaget mendengar berita ini. Terdengar beberapa orang diluar mulai berbisik-bisik.

Wan Salman diam sejenak lalu setelah agak hening kembali berbicara, "jadi kami meminta para laskar agar dapat menyampaikan hal ini ke kelompok-kelompok gerilya yang lain, untuk lebih berhati-hati".

"Kami juga berharap para pimpinan kelompok agar dapat segera berkumpul untuk membahas cara menyikapi hal ini".

"Hal ini dilimpahkan kepada para pimpinan kelompok dikarenakan seperti sama-sama kita ketahui, saat ini Sri Raja Datuk Badiuzzaman masih dalam status tahanan kota dengan pengawasan yang sangat ketat, sehingga tidak akan mungkin baginya untuk mengatur pertemuan".

Wan Salman menyampaikan beberapa hal lain sebelum mulai membuka diskusi untuk membahas cara mereka menyikapi keadaan tersebut.

⚜️⚜️⚜️

Sementara itu di pelabuhan Belawan, seorang perwira Angkatan Laut Belanda dengan dikawal puluhan prajurit berjalan tergesa-gesa di dermaga.

"Ingat, tugas kita hanya mengantar dan menurunkan mereka, para penumpang kapal malam ini, tujuannya hanya sedikit menjauh dari dermaga untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan.

Jangan coba-coba masuk ke dalam geladak kapal apapun yang terjadi.

Dan apapun yang kalian lihat nanti adalah rahasia, paham?" ucap si perwira.

"Siap Pak", jawab para prajurit serentak.

Perwira ini merupakan nakhoda pengganti, karena nakhoda yang sebelumnya beristirahat setelah melakukan perjalanan begitu lama dan jauh dari Batavia ke tanah Deli.

Mereka berjalan melewati deretan puluhan kapal yang bersandar ke dermaga. Kapal-kapal ini subuh tadi tiba dan menurunkan seribu lima ratus orang serdadu bersenjata lengkap.

Gelombang air laut terdengar memecah dibawah mereka membentur dinding dermaga, gelombang demi gelombang itu mengayun kapal yang sandar menimbulkan suara berderit-derit.

Mereka berjalan menuju sebuah kapal yang berada paling ujung diselimuti kegelapan.

Mendadak hawa dingin menerpa mereka, semakin mendekat ke kapal di ujung itu hawanya semakin tidak nyaman, membuat mereka, para serdadu yang datang menjadi merinding.

Dari jauh terlihat sesosok tubuh berdiri di dek dekat anjungan kapal itu.

Setelah semakin dekat, dalam penerangan obor mereka melihat seorang pria, postur tubuhnya tinggi kurus tapi terlihat kokoh, dia mengenakan mantel dari kulit harimau berwarna putih.

Angin menerpa rambutnya yang panjang.

Pria tua itu mengenakan pengikat kepala berwarna hitam.

Pakaian di balik mantel kulit harimau juga berwarna hitam.

Tampak codet menghiasi wajahnya, berupa tiga luka memanjang dari alis kanan melewati hidung hingga ke pipi kiri, luka itu seperti cakaran harimau.

"Apakah kalian yang akan mengantarku?" tanyanya.

Si perwira menjawab, "Iya Ki, kami yang akan membawa anda ke tujuan.

"Kenapa lama sekali, peliharaan ku sudah kelaparan, apa perlu kalian yang kuberikan tuk jadi santapan mereka?".

Si perwira diam tak menjawab, dia segera memerintahkan sebagian pasukannya menaiki kapal. Lalu sebagian yang lain menaiki dua rakit untuk mendayung dan menarik dengan tali agar kapal tersebut menjauh dari dermaga.

Para prajurit di atas kapal bergerak kesana kemari menarik temali beberapa menyiapkan layar, beberapa orang mengangkat sauh, dan sebagian lainnya melepaskan ikatan tali ke dermaga.

Si perwira sudah berdiri di belakang kemudi. Dia menunggu rakit-rakit menarik buritan kapal.

Tiba-tiba terdengar lolongan mirip lolongan serigala. Mereka semua yang ada disitu kaget mendengarnya. Semua yang sedang melakukan pekerjaan berhenti karena mendengar suara itu.

Adalah aneh mendengar lolongan serigala di lautan.

Si perwira menatap orang tua bermantel kulit harimau itu tenang tak bereaksi apa-apa, masih seperti tadi berdiri di dekat anjungan.

Dia memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat terhenti.

Dan dia kembali memusatkan perhatian pada kemudi di tangan.

Kapal mulai bergerak mundur dengan perlahan.

Samar-samar dia mendengar ada pergerakan dari dalam kapal, lalu terdengar suara menggeram riuh rendah.

Episodes
1 Apapun milik mereka, hancurkan!!
2 Ular Legenda
3 Benih kasih di tengah rimba
4 Musuh itu datang dari kegelapan
5 Siluman Serigala
6 Dendam Awang
7 Terkepung
8 Pelarian
9 Makhluk-makhluk terkutuk
10 Di ujung Tanduk
11 Ilmu Bayangan, Seorang Utusan, dan Tiga Elang Laut
12 Awan Mendung di hati Ulong
13 Siasat Api dan Penyelamatan
14 Perebutan Jembatan
15 Pos Pertahanan Musuh
16 Tanpa Kegaduhan
17 Dimanakah Sahabatku
18 Perburuan di mulai
19 Nilam
20 Menerobos Kepungan Musuh
21 Siasat Licik Suma
22 Nilam Tersayang
23 Pantai di Selat Malaka
24 Desa Misterius di Pinggir Pantai
25 Teror Ki Bayu
26 Menjebak Serigala Tua
27 Induk Kejahatan
28 Perjuangan dan Konspirasi
29 Mat Kabur
30 Kembang Api Menjelang Fajar
31 Pemburu di Buru
32 Hadirnya Musuh Lain
33 Akhir Perjalanan Serigala Tua
34 Menghilangnya Heidrich
35 Pasukan Mayat Ni Gaok
36 Pertemuan Ulong dan Heidrich
37 Penguasa Hutan Rawa
38 Hari Biasa di Tengah Laut
39 Menjadi Penonton
40 Pembalasan Heidrich
41 Balasan Kejahatan
42 Pulau-pulau tak Bernama
43 Pembantaian di Batas Kota
44 Berpacu Dengan Waktu
45 Pertempuran di Tepi Pantai
46 Siapapun yang Tidak Datang Bersama Kita, Tenggelamkan!!
47 Melawan Pasukan Mayat
48 Pejuang Tangguh
49 Pertempuran Jarak Dekat
50 Menghadapi Sang Legenda
51 Terdampar di Tengah Laut
52 Kerajaan Sunggal Serbanyaman, dan Raja yang Diasingkan
53 Penutup
Episodes

Updated 53 Episodes

1
Apapun milik mereka, hancurkan!!
2
Ular Legenda
3
Benih kasih di tengah rimba
4
Musuh itu datang dari kegelapan
5
Siluman Serigala
6
Dendam Awang
7
Terkepung
8
Pelarian
9
Makhluk-makhluk terkutuk
10
Di ujung Tanduk
11
Ilmu Bayangan, Seorang Utusan, dan Tiga Elang Laut
12
Awan Mendung di hati Ulong
13
Siasat Api dan Penyelamatan
14
Perebutan Jembatan
15
Pos Pertahanan Musuh
16
Tanpa Kegaduhan
17
Dimanakah Sahabatku
18
Perburuan di mulai
19
Nilam
20
Menerobos Kepungan Musuh
21
Siasat Licik Suma
22
Nilam Tersayang
23
Pantai di Selat Malaka
24
Desa Misterius di Pinggir Pantai
25
Teror Ki Bayu
26
Menjebak Serigala Tua
27
Induk Kejahatan
28
Perjuangan dan Konspirasi
29
Mat Kabur
30
Kembang Api Menjelang Fajar
31
Pemburu di Buru
32
Hadirnya Musuh Lain
33
Akhir Perjalanan Serigala Tua
34
Menghilangnya Heidrich
35
Pasukan Mayat Ni Gaok
36
Pertemuan Ulong dan Heidrich
37
Penguasa Hutan Rawa
38
Hari Biasa di Tengah Laut
39
Menjadi Penonton
40
Pembalasan Heidrich
41
Balasan Kejahatan
42
Pulau-pulau tak Bernama
43
Pembantaian di Batas Kota
44
Berpacu Dengan Waktu
45
Pertempuran di Tepi Pantai
46
Siapapun yang Tidak Datang Bersama Kita, Tenggelamkan!!
47
Melawan Pasukan Mayat
48
Pejuang Tangguh
49
Pertempuran Jarak Dekat
50
Menghadapi Sang Legenda
51
Terdampar di Tengah Laut
52
Kerajaan Sunggal Serbanyaman, dan Raja yang Diasingkan
53
Penutup

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!