NovelToon NovelToon

Ulong Belati

Apapun milik mereka, hancurkan!!

Sunggal Serbanyaman, Sumatera Utara 1895

Kala itu lewat tengah malam, keadaan cukup gelap. Cahaya bulan sabit hampir tidak dapat menerangi keberadaan beberapa sosok tubuh berpakaian serba hitam yang bersembunyi di antara belukar setinggi pinggang orang dewasa.

Sosok-sosok itu diam membisu seperti menunggu atau mengamati sesuatu.

Pada jarak sekitar 100 meter dihadapan sosok-sosok tersebut bersembunyi, terlihat lusinan bangunan sederhana terbuat dari tepas dan nipah, berbaris teratur berjarak sekitar tiga meter satu sama lain.

Bangunan-bangunan itu diterangi beberapa obor disekitarnya. Angin meniup berkali-kali api obor yang kuning terang sehingga pancaran cahayanya melenggak-lenggokkan bayangan benda-benda yang diterpanya.

Tak lama, sosok lain terlihat berlari-lari kecil datang dari arah belakang bangunan di bagian selatan, sosok tersebut menyusuri bagian-bagian yang gelap menuju beberapa sosok yang bersembunyi di semak-semak.

"Srek srek" terdengar semak tersibak lalu beberapa ranting patah terinjak menimbulkan suara berderak.

"Cuma ada dua orang berjaga di depan gubuk yang paling utara, keduanya pribumi" ujar orang yang baru datang dengan setengah berbisik. Kemudian Putra nama pria yang baru datang tadi menjelaskan detil pengamatannya kepada enam orang lain yang sedang menunggu. Setelah itu mereka mengatur siasat dengan saling berbisik.

"Bagus, cuaca juga mendukung, tidak ada tanda-tanda bakalan hujan, mari bergerak" ujar seorang lelaki bertubuh kekar berusia 24 tahunan, pria ini bernama Ulong Jagat atau lebih dikenal dengan nama Ulong belati, karena keahliannya menggunakan belati.

Namanya cukup terkenal di wilayah ini karena kecerdikan siasatnya dalam menyerang dan memporak porandakan pos-pos tentara dan perkebunan Belanda di sekitar Sei Semayang.

Sehingga hadiah 50 gulden ditawarkan pihak maskapai perkebunan Belanda untuk kepalanya.

Setelah Ulong mengisyaratkan untuk bergerak ke tujuh orang tersebut pun segera bergerak cepat hampir tanpa suara lalu berpencar dalam kegelapan.

⚜️⚜️⚜️

Di bangunan paling Utara, dalam temaram cahaya obor yang agak jauh, dua orang sedang berdiri bersandar ke dinding bangunan.

"Kenapa pipi kau itu kok merah-merah kayak kena sengat tawon?" sambil melinting daun tembakau Parman bertanya pada temannya Paijo. Setelah daun tembakau di gulung-gulung parman meletakkan di bibir dan menyalakannya.

"Tapi gara-gara berludah tadi" keluh paijo sambil mengelus pipinya.

"Kok bisa pula berludah jadi kayak gitu, apa kau meludah kena demit?" gurau Parman, lalu dengan khidmat menghisap rokok yang baru dilintingnya. Dia monyongkan sedikit bibir lalu keluarkan asap sehingga asap bergulung-gulung keluar dari mulut membentuk huruf O.

Paijo meringis lalu menjawab " jadi tadi pagi aku sedang duduk diatas dipan membersihkan gulungan daun tembakau yang berpasir, ku tepuk-tepuk agar pasir turun dari gulungan daun. Eh tiba-tiba angin bertiup, pasir nya terbang ke wajah, sebagian masuk ke mulut dan sebagian malah masuk ke mataku".

"Terus kau ludahkan pasir di mulutmu dan kena demit?" tanya parman masih sambil memperhatikan rokok ditangannya.

"Nah itu masalahnya, kan mataku juga kemasukan debu sehingga nggak bisa melihat, jadi kuludahkan lah ke samping pasir dimulutku, Fuih fuih fuih.. begitu bisa ku buka mata ternyata ludahku jatuh tepat di sepatu tuan kebon yang kebetulan lewat. Mandor beserta dua serdadu kompeni yang bersama dia langsung menamparku, untungnya pengawal Meneer Jan (si tuan kebon) cuma mandor dan dua serdadu itu, gak terbayang seandainya ada satu kompi serdadu waktu itu " jawab Paijo.

" Ngapain pula tuan kebon mengawasi pekerja sampai bawa tentara satu kompi" Parman terkekeh menampilkan giginya yang tidak rata

Paijo meneruskan "Bahkan hampir saja dipukul pakai popor senapan karena mereka menyangka aku benci lalu sengaja meludahi sepatu tuan kebon".

"Aku minta maaf berkali-kali dan kubilang tidak sengaja karena mataku kemasukan pasir sehingga tidak tahu ada yang berdiri di sampingku, akhirnya aku pun cuma dihukum suruh ronda malam ini. Tapi nggak apa lah disuruh ronda, yang penting aku masih sehat dan bisa bernafas, daripada aku modar digebuki" ujar Paijo meneruskan.

Parman hanya melirik, tanpa berani berkata apa-apa, kepingin menertawakan kesialan Paijo tapi takut dosa.

Paijo dan Parman adalah orang-orang yang dibawa maskapai perkebunan dari pulau Jawa, buruh yang tidak digaji, hanya diberi tempat tinggal dan makan. Mereka dipaksa bekerja di perkebunan secara serabutan atas suruhan tuan kebon dan centeng-centeng pribuminya yang bengis.

Untuk melarikan diri adalah mustahil mengingat begitu jauhnya jarak untuk kembali ke kampung halaman. Apa lagi mereka buta arah, semenjak kecil tinggal di desa tidak pernah kemana-mana. Belum lagi bila melarikan diri lalu tertangkap, maka akan berakhir dengan siksaan mengerikan.

Ada ribuan mungkin puluhan ribu yang seperti mereka, dan mereka masih termasuk lebih beruntung dari kebanyakan yang lain karena dipekerjakan di perkebunan. Pada bidang pekerjaan lain banyak yang mati karena kerja yang lebih berat tanpa sandang dan pangan yang cukup, contohnya seperti para pekerja untuk membangun jalan, jembatan, rel kereta api, dll.

"Kok bau gosong terbakar?" tanya paijo pada parman sambil mengendus-ngendus, "Enak sekali baunya, apa tuan kebon sedang bikin acara memanggang?" tanyanya lagi. Parman memperhatikan tingkah paijo lalu mengipas-ngipas dengan tangan agar buyar asap dari rokok tembakaunya dan mulai ikut-ikutan mengendus. Sebentar kemudian Parman tertegun menatap ke depan "Ini bau asap terbakar ****" ujarnya lalu menepuk jidat Paijo.

Di hadapan mereka pada deretan belakang bangsal pengeringan tembakau terlihat cahaya kuning terang, awalnya sedikit tapi kemudian cahaya itu membesar.

"Gawat, kebakaran jo" ujar parman panik. Tanpa ada yang memberi aba-aba mereka berlari ke arah kebakaran dengan maksud memadamkan, tapi ternyata kebakaran tidak hanya sampai disitu. Pondok-pondok penyimpanan dan penjemuran tembakau di kanan kiri juga terbakar pada saat hampir bersamaan. Api itu begitu cepat membesar menjulang tinggi.

Sementara itu di kejauhan di arah rumah mandor kebon terdengar suara kentongan di pukul berkali-kali, sepertinya orang-orang yang berjaga disana sudah melihat kebakaran ini.

Parman menatap sekeliling, api yang melahap hampir seluruh bangunan pada deretan terluar dengan cepat menjalar ke deretan dalam. "Mati kita jo" ujar Parman dengan suara bergetar, dia bisa bayangkan hukuman yang bakal mereka terima akibat kejadian ini. Meneer Jan si tuan kebon sebagai perwakilan maskapai perkebunan pasti tidak akan mentolerir kerugian yang dialami perusahaan, dan akan menyalahkan mereka berdua yang bukan siapa-siapa atas apa yang terjadi.

Paijo segera mengerti maksud ucapan Parman, sehingga dalam terang dan panas kebakaran dia justru berkeringat dingin, matanya turut berkaca-kaca saking takutnya.

Mereka berdiri terpaku dengan tubuh bergetar tanpa tahu harus berbuat apa-apa. Tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan sebuah tendangan mengenai bahu Paijo, tubuh kerempeng paijo terlempar jatuh ke tanah berdebu, Parman

bergegas hendak menolong tapi sebuah golok ditempelkan ke lehernya. Parman menahan nafas karena terasa dingin dan tajamnya tepian golok yang menempel.

"Aa..Aampun.. tuan, tolong jangan sakiti kami" ujar Parman memohon. Dia melihat ada 3 orang bersenjata golok dan memegang obor mengepung mereka. Dan dia juga segera menduga bahwa orang-orang inilah penyebab kebakaran disini.

Pada saat hampir bersamaan dari berbagai arah berbeda di antara bangunan yang terbakar empat orang lagi berlari menuju mereka.

Para penyerang menggunakan sarung untuk menutupi wajah seperti ninja. Salah satu orang yang baru tiba mendekat dan memperhatikan Parman dan Paijo dengan seksama. "Kalian siapa?" tanyanya.

Terbata-bata Parman menjawab "Ka..kami cuma kuli kerja rodi, kebetulan disuruh menjaga bangsal, kami gak bi.. bisa menolak untuk berjaga" , Paijo mengangguk membenarkan. Pria itu yang adalah Ulong memperhatikan kedua orang di hadapannya, penampilan mereka yang lusuh, tubuh kurus cuma mengenakan kaus dari kain yang kasar, wajahnya

juga terlihat lugu berbeda dengan tampilan centeng yang beringas dan kejamnya melebihi kompeni.

Dia menarik lengan temannya yang mengarahkan golok ke leher Parman. "Sudah tinggalkan saja mereka, mereka juga sama menderitanya seperti kita" ujar Ulong.

Pada saat itu di kejauhan pada jarak sekitar tiga ratus meter mereka melihat rombongan orang membawa obor sedang menuju ke arah mereka. Sepertinya kelompok itu adalah orang-orangnya tuan kebon dan pasukan kompeni, karena tempat itu memang tidak jauh dari rumah tuan kebon.

Ke tujuh sosok itu segera berbalik dan bergegas akan pergi. "Tu.. tunggu tuan" ujar Parman, orang-orang berpakaian hitam itu berhenti dan menoleh. Parman memberanikan diri, sudah kasep disini pun kami juga bakal mati pikirnya, lalu dengan suara bergetar dia berkata "to..tolong lah bawa kami bersama kalian", Paijo yang sedang membersihkan pakaian yang berdebu menatap heran ke arah Parman.

"Kalau kami tetap tinggal disini, kemungkinan kami akan disiksa dan dibunuh orang-orangnya tuan kebon, karena lalai dalam tugas kami berjaga" ujar Parman.

Ke tujuh orang berpakaian hitam menoleh satu sama lain, " atau paling tidak bawalah kami keluar dari sini" kali ini Paijo yang berbicara setelah mengumpulkan keberanian sedari tadi. Ulong mengangguk ke teman-temannya, "Ayo" ujar salah

seorang yang bersamanya.

Parman dan Paijo pun mengikuti ke tujuh

orang itu berlari ke arah hutan sambil sesekali menoleh ke belakang dengan takut-takut.

Dalam gelap tanpa penerangan mereka berlari hingga sekitar satu kilometer melewati belukar lebat diselingi pepohonan besar dan kecil disana sini. Jumlah goresan tak terhitung di tubuh Parman dan Paijo karena ranting dan tanaman berduri. Apalagi keduanya hanya mengenakan singlet dan celana panjang tanpa alas kaki. Mempermudah onak dan duri untuk menorehkan luka.

Begitupun mereka tak surut dan terus berlari, tubuh mereka cukup kuat karena hidup yang berat, sedangkan rasa sakit karena goresan belumlah sebanding dengan siksaan lahir maupun batin yang pernah mereka rasakan .

Akhirnya mereka tiba di tepian rawa yang panjang membentang hingga berkilo-kilo meter. Beberapa puluh meter di seberang rawa adalah hutan, tidak kelihatan pada malam gelap seperti ini. Di beberapa tempat seperti disini rawa ini hanya beberapa puluh meter lebarnya, tapi di tempat lain ada yang mencapai satu kilometer, sehingga tidak memungkinkan untuk dilintasi.

Mulai terasa becek disana sini, walau masih ada rumput dan belukar bertebaran hingga di tengah rawa. Suara katak sesekali mulai terdengar menimpali suara jangkrik yang terus menerus berbunyi. Parman dan Paijo bingung dan takut menatap rawa-rawa gelap dihadapan mereka, cahaya bulan sabit yang memantul di atas rawa yang berair tidak cukup jadi penerangan bagi yang ingin melintas.

Beberapa bagian rawa mungkin cukup dalam dan tidak terlalu berlumpur sehingga bisa direnangi, begitupun itu harus dilakukan mereka yang benar-benar ahli dan hafal daerah ini pikir Parman. Atau mungkin orang-orang ini begitu sakti hingga berlari ke arah sini pikirnya lagi. Parman dan Paijo menunggu dengan harap-harap cemas apa tindakan orang-orang yang mereka ikuti ini.

Ulong dan teman-temannya sudah membuka sarung yang menutupi wajah, sarung itu mereka kalungkan di leher. Yang mengejutkan ternyata dua diantara mereka adalah wanita dengan wajah menarik, yang satu berkulit kuning langsat, sedang satunya berkulit sawo matang, keduanya berusia sekitar duapuluhan. Berbeda dengan para lelaki, mereka menggunakan kerudung penutup rambut dibalik sarung yang tadi dipakai menutupi wajah.

Sebersit senyum muncul di wajah tampan Ulong melihat ekspresi Parman dan Paijo, tanpa berkata apa-apa dia mengambil seutas tali yang tergeletak di tanah dan menariknya.

Begitu di tarik tali tersebut yang berada didalam rawa menegang dan terangkat hingga sebatas pinggang. Tali tersebut telah di belitkan oleh Ulong dan teman-temannya ke tonggak-tonggak panjang di beberapa tempat di rawa, sehingga cukup mengikuti alur tali tersebut mereka bisa melintasi rawa tanpa perlu bantuan penerangan apapun persis seperti keadaan malam ini yang gelap. Tali ini terbuat dari bahan jerami, panjangnya sekitar tiga puluh meter dan berhenti di bagian yang aman dimana disana ada tali lain yang kurang lebih sama panjang, ada dua utas tali lagi selain tali yang ini untuk diikuti sebelum mencapai hutan.

Sedangkan untuk pijakan melintasi rawa, Ulong dan teman-temannya menggunakan beberapa batang pohon pisang yang disusun berdampingan lalu ditusuk dengan kayu dan diikat. Ada tiga rakit di tepi rawa yang mereka naiki saat menuju kesini, ketiganya diikat di pinggir rawa dan di samarkan dengan menaruh rerumputan di atasnya.

Parman akhirnya mengerti kenapa orang-orang ini bisa datang dan menyerang perkebunan tanpa diketahui, ternyata mereka melintasi rawa-rawa untuk mencapai perkebunan tempatnya tinggal. Benar-benar siasat yang cerdik.

Satu minggu lamanya Ulong dan teman-temannya mengatur siasat ini, termasuk mempelajari lokasi serangan, rute pelarian, juga memeriksa rawa ini. Berkali-kali mereka melintasi rawa menggunakan rakit batang pisang dan kayu panjang sebagai alat untuk mengarahkan gerakan rakit. Lalu dari atas rakit mencari tempat yang tidak terlalu dalam untuk memasang tonggak tempat membelitkan tali. Karena kalau tali tidak di belitkan ke tonggak-tonggak sebagai penahan kemungkinan dalam perjalanan rakit akan terbawa aliran air di rawa dan sulit di kendalikan arahnya.

Di tepi rawa Ulong memerintahkan orang-orangnya berlari kesana kemari untuk mengaburkan jejak. Merasa diri anggota kru Parman dan Paijo pun ikut-ikutan melakukan hal yang sama.

"Hei jangan kesitu, nanti kau terbenam" ujar salah seorang wanita pengikut ulong, namun terlambat, Paijo terlalu bersemangat menginjak kesana kemari hingga akhirnya terperosok "brussh.." Paijo terjeblos ke bagian rawa yang dalam. Lagi-lagi Parman cuma bisa menghela nafas, mau tertawa tapi mereka masih jauh dari keselamatan untuk bisa sekadar tertawa.

Bersama yang lain dia segera membantu menarik paijo yang sudah terbenam ke dalam lumpur hingga ke leher. "Oalah Jo..Jo " ujar Parman. Para wanita yang melihat kejadian itu tertawa cekikikan.

Tidak sulit menarik paijo yang kerempeng apalagi dibantu orang-orangnya Ulong yang terlatih dan bertenaga kuat. Tapi seandainya tidak ada orang lain maka ceritanya pasti berbeda, karena pada banyak lokasi lumpur rawa-rawa disini tidak terukur dalamnya.

Pernah di tahun kedua Parman dan Paijo disini, ada pekerja wanita yang baru tiba nekad lari ke rawa ini karena menghindari beberapa centeng yang ingin memperkosanya.

Wanita yang baru tiba itu tidak tahu keadaan disini sehingga berlari ke arah rawa. Walau para centeng dan serdadu kompeni yang lain sempat mengejar tapi mereka terlambat, karena begitu mereka tiba di rawa wanita itu telah terbenam. Hanya sedikit bagian kepala dan rambut panjang wanita tersebut terlihat diatas lumpur sebelum perlahan-lahan hilang tenggelam.

Selain kisah tersebut, tempat ini menurut para penduduk lokal juga sudah sangat angker semenjak dahulu kala. Mereka bercerita ada legenda ular raksasa yang menjaga rawa-rawa ini (walaupun tidak ada yang tahu pasti dibagian mana ular raksasa ini menjaga di rawa-rawa seluas ini).

Ada juga kisah tentang kerajaan makhluk halus disini dengan penghuninya berupa manusia tapi berkaki seperti kuda dengan telapak kaki mengarah ke belakang. Selain itu berbagai hantu juga sering terlihat menampakkan diri di rawa ini bahkan di siang hari. Belum lagi banyaknya binatang berbisa dan banyak lagi cerita-cerita seram lainnya yang

membuat warga sekitar selalu menghindari rawa-rawa ini.

"Lumpurnya bau" ujar Paijo mendengus setelah keluar dari lumpur lalu segera membersihkan tubuh seadanya dengan air disitu.

Setelah insiden kecil itu mereka segera berpencar seperti yang sudah mereka sepakati di awal.

Ulong memerintahkan dua temannya Siti dan Laksmi untuk melintasi rawa menuju hutan membawa Parman dan Paijo dengan bantuan tali dan dua rakit batang pisang.

Setelah kedua rakit yang membawa Parman dan Paijo berangkat Ulong dan dua orang temannya berbelok ke kanan, sisanya yang dua orang lagi yaitu Putra dan Alam berbelok ke kiri untuk membakar kebun tembakau atau apapun aset kompeni yang mereka temui.

Ulong dan dua temannya berlari ke kanan sekitar beberapa ratus meter menerabas semak belukar hingga tiba di sekelompok pohon randu hutan yang tingginya belasan meter, lalu berbelok lagi arah kiri, tujuannya adalah kediaman tuan kebon. Sekitar dua puluh menit berlari dari tempat mereka berpencar tadi maka mereka tiba di rumah tuan kebon.

Tepat seperti perkiraannya, hanya ada dua tentara kompeni yang berjaga di teras saat mereka tiba di sana. Halaman rumah cukup terang, kedua serdadu berdiri di teras sambil mengobrol.

Sudah pasti mereka tidak menduga bakal di serang disini. Ulong dan teman-teman mengendap berjalan mendekat dan berhenti di kumpulan pagar tanaman bonsai, lalu Ulong bergerak ke arah belakang rumah di kegelapan menghindari cahaya.

Begitu mendekati kandang kuda dia melompati pagar tanaman yang tingginya hanya sepinggang.

Para serdadu tidak melihat karena posisi mereka membelakangi Ulong. Ulong berjalan perlahan lalu, dicabutnya sebuah belati dari pinggang dan melemparkan belati tersebut ke arah tengkuk serdadu terjauh, pisau langsung menancap dan si serdadu langsung roboh.

Temannya yang kaget langsung mengarahkan senapan ke ulong, tapi jarak ulong sudah terlalu dekat, dengan mudah dia bergerak maju sambil miringkan tubuh menghindari laras senjata.

Letusan senjata terdengar begitu keras ditembakkan karena larasnya tepat berada di depan dada ulong yg menghindar menyamping, telinga Ulong berdenging sesaat.

Ulong memutar tubuh dengan cepat kearah belakang untuk mempersempit jarak dan dia tiba di belakang si serdadu. Sebuah belati dia tarik lagi dari pinggang dan tancapkan ke leher si serdadu.

Mendengar keributan beberapa orang keluar dari dalam rumah, dua wanita dan satu pria pribumi yang semuanya berusia paruh baya. Para wanita menjerit-jerit ketakutan melihat darah dan mayat serdadu di teras. Kedua teman Ulong, Ahmad dan Lukman keluar dari kegelapan, mereka mengambil bedil milik serdadu yang jatuh lalu arahkan ke orang-orang itu dan menyuruh mereka diam.

Seorang wanita belanda yang kemungkinan adalah istri Meneer Jan terlihat lari menuruni tangga dengan membawa anak perempuan kecil, sepertinya putrinya, Ahmad langsung mengejar dan menahan mereka.

Ulong dan kawan-kawan membawa ke enam orang tersebut ke halaman, mengikat mereka semua kecuali si puteri belanda yang masih berusia sekitar 5 tahun, mereka biarkan gadis kecil itu mendekap ibunya dalam ketakutan.

Setelah itu kedua teman Ulong masuk kedalam rumah untuk mengambil apapun yang bisa mereka bawa. Sedangkan Ulong sendiri berdiri mengawasi orang-orang yang mereka ikat di halaman.

Dari halaman itu nyala api kebakaran yang mereka ciptakan tadi masih jelas terlihat menyala-nyala belum berhasil dipadamkan. Cahaya kuning terlihat memanjang keatas menjilati langit, asapnya putih karena yang terbakar adalah tembakau kering yang dikumpulkan di bangsal-bangsal.

"Hasil tanah dan keringat anak negeri kami, biarlah terbakar daripada hanya menguntungkan para penjajah" batin Ulong.

Perang telah berjalan 23 Tahun lamanya antara Kerajaan Sunggal Serbanyaman dengan Kompeni Belanda yang dibantu pasukan Sultan Deli.

Ayah Ulong dulunya adalah salah seorang

punggawa pasukan Datuk Muhammad Kecil Surbakti yaitu paman dari Datuk Badiuzzaman Surbakti raja Sunggal Serbanyaman saat ini, yaitu raja yang menyatukan perlawanan rakyat Melayu, Karo, Aceh, dan Gayo terhadap perampasan tanah yang dilakukan maskapai perkebunan Belanda di wilayah kerajaannya. Ayah Ulong tewas bersama banyak prajurit yang lain dalam sebuah pertempuran melawan Belanda pada tahun 1872, disaat dia masih berusia 1 tahun.

"Tidak sedikit korban yang jatuh di kedua belah pihak, darah dan air mata tergenang dimana-mana selama 23 tahun berkonflik, yang paling dirugikan adalah rakyat kami. Bagi maskapai perkebunan belanda mungkin ini hanya sekedar pertarungan bisnis, dan bagi tentara mereka ini hanyalah pekerjaan. Setiap tentara yang tewas akan digantikan yang lain yang butuh pekerjaan.

Tapi bagi kami ini adalah eksistensi dan harga diri kami sebagai pemilik tanah ini.

Seandainya saja medan perang ini bukan di negeri kami mungkin tidak akan sepahit ini rasanya" ujar Ulong di dalam hati.

Tak lama Ahmad dan Lukman keluar dari rumah dengan membawa berbagai barang. "Sudah long" ujar Lukman yang mengangkat sebuah kotak cukup besar. Sedangkan Ahmad membawa bungkusan kain. Mereka meletakkan bawaan dihalaman. "Bakar apapun yang tidak bisa dibawa" perintah ulong kepada kedua temannya, lalu dia berpaling ke para tawanan yang ketakutan

"Sampaikan pada Tuan Kebon kalian, Ulong Belati dan kawan-kawannya menuntut hak atas tanah leluhur kami yang dirampas perusahaan kalian, selama hak kami tidak diberikan maka selama itu pula kami akan berperang. Lebih baik mati berputih tulang daripada hidup berputih mata, lebih baik mati berperang daripada hidup dijajah".

⚜️⚜️⚜️

Rumah, kandang kuda, gudang semua sudah di lalap si jago merah, terangnya menyaingi kebakaran di bangsal-bangsal tembakau yang belum padam, malam yang gelap menjadi terang benderang. Para tawanan yang diikat dihalaman hanya bisa melihat Ulong dan kedua temannya berlalu dihadapan mereka dengan membawa lima ekor kuda yang mereka temukan di kandang. Dua kuda yang tidak ditunggangi di gunakan untuk membawa berbagai barang rampasan dan beberapa pucuk senjata.

"Hiyaaa..hiya.." mereka memacu kuda ke arah timur meninggalkan kepulan debu dibelakangnya.

Ular Legenda

Siti dan Laksmi mengendalikan masing-masing rakit batang pisang dengan Parman dan Paijo sebagai penumpang.

Mereka berjongkok agar rakit tidak oleng.

Tanpa hambatan kedua rakit yang mereka naiki telah melewati utas tali ke dua dan kini sedang melintasi rawa dengan berpegang tali ke tiga.

Banyak hal berkecamuk di pikiran Parman dan Paijo namun mereka menahan diri untuk tetap diam dan tidak berkata apa-apa. Tidak baik banyak bicara di tempat yang seram seperti itu begitu petuah orang-orang tua yang pernah mereka dengar.

Disana sini terdengar suara jangkrik dan katak menyenandungkan lagu alam, terdengar juga sesekali kecipak air dikarenakan pergerakan ikan, atau ular air yang bergerak mencari mangsa.

Air bercampur lumpur berkali-kali menyapu kaki mereka meninggalkan rasa gatal. Nyamuk bagaikan awan hitam berkerumun dan berdengung-dengung dengan bisingnya mengikuti mereka.

Sesekali kunang-kunang melintas memberi sedikit tambahan penerangan. Cahayanya terasa begitu menenangkan di tengah seramnya suasana rawa gelap yang seolah tak berujung.

Mereka sudah berjalan sekitar lima puluhan meter, dan sudah hampir mencapai hutan, tiba-tiba rakit yang berada didepan dihentikan oleh Siti yang mengendalikannya, Laksmi juga ikut menghentikan rakit di belakang. Dalam samar terlihat tangan Siti diangkat memberi aba-aba untuk berhenti.

Parman dan Paijo melongok untuk melihat ke depan, dan terlihat pemandangan menakjubkan sekaligus mengerikan.

Di arah depan terlihat sesosok ular raksasa. Panjang ular tersebut mungkin sekitar tiga puluh meter, melilit pohon mati yang menjulang tegak beberapa meter dihadapan mereka. Tubuh ular tersebut lebih besar dari satu pelukan orang dewasa, berwarna kekuningan dengan belang hitam di sepanjang tubuhnya. Kepala ular itu menatap tenang ke arah mereka, matanya kuning dan bersinar redup dalam gelap. Sebagian ekornya terjuntai turun dari batang pohon dan mengambang di rawa. Sisiknya yang besar-besar berkilat-kilat di terangi redupnya bulan sabit.

"Assalamu alaikum", bisik Siti dengan suara tenang, hebat sekali wanita ini pikir Paijo dan Parman, tidak bergetar suaranya mengucapkan salam, padahal Parman dan Paijo sudah ketakutan setengah mati dan berusaha menahan diri untuk tidak terjun ke dalam rawa melarikan diri.

Siti dan Laksmi adalah anggota laskar hasil didikan para Inong balee yang diperintahkan oleh tuanku Nyak Makam, untuk membantu perjuangan Datuk Baiduzzaman Surbakti junjungannya Ulong Belati (Inong Balee adalah Laskar yang terdiri dari para janda pejuang Aceh, yaitu pasukan perempuan bawahan Laksamana Malahayati. Malahayati atau Keumalahayati sendiri sangat terkenal karena ketangguhannya di laut dan pada suatu kesempatan berhasil mengalahkan armada laut Belanda sekaligus membunuh Cornelis de Houtman sang pemimpin armada dalam pertarungan satu lawan satu). Kelompok mereka (para laskar wanita ini) telah terlibat banyak pertempuran melawan Belanda selama puluhan tahun.

Selain mahir bertarung tangan kosong, kedua wanita ini yaitu Laksmi & Siti juga mahir menggunakan berbagai senjata termasuk tombak, panah, bahkan bedil.

Dengan berjalannya waktu mereka yang tadinya berfokus di laut diharuskan untuk juga bergerilya, hasilnya para perempuan ini sanggup bersembunyi di hutan hingga berbulan-bulan. Berbagai kejadian mengerikan juga sudah mereka alami selama berada di medan perang gerilya.

Ini yang membuat kedua pendekar perempuan ini begitu tenang membawa Parman dan Paijo melintasi rawa.

Ular itu hanya diam menatap, Siti masih menahan tangannya di udara mengisyaratkan agar mereka tenang. Beberapa saat mereka masih diam, menunggu. Rasanya bagai seratus tahun bagi Parman dan Paijo berada disitu. Kedua kaki Paijo sudah bergetar saking takutnya.

Lalu dari arah belakang sayup-sayup terdengar banyak suara, Parman dan Paijo menoleh ke belakang, terlihat banyak obor di seberang rawa tempat awal mereka melarikan diri tadi. Orang-orang meneer Jan sudah tiba disana dan menimbulkan suara berisik. Siti dan Laksmi tidak mau memalingkan wajah dari ular raksasa penjaga rawa ini.

Mereka percaya ada makhluk-makhluk Tuhan yang lain. Dan semuanya diciptakan dengan tugas masing-masing di dunia ini. Mungkin makhluk ini ada untuk menjaga keseimbangan alam, atau menjaga wilayah ini dari kerusakan, atau kekotoran yang dibuat manusia dan makhluk lainnya.

Itu sebabnya tadi Siti mengucapkan salam, untuk menunjukkan mereka datang dengan damai dan tidak akan melakukan apapun yang tidak baik di wilayah tersebut.

Dengan tenang ular raksasa itu meluncur turun dari pohon lalu seperti tidak perduli melintas di samping rakit yang mereka naiki. Begitu dekat jarak ular raksasa itu bergerak meluncur di samping rakit. Paijo terperangah begitu melihat kepala Ular melintas disampingnya. Dia memejamkan mata dan menahan diri agar tidak berteriak saking takutnya.

Sedangkan Parman masih beranikan diri untuk melihat ular legenda yang selama ini dia dengar kisahnya dari penduduk setempat. Benar-benar besar dan panjang sekali ular yang melintas itu, gerakannya walau tenang tetap membuat riakan di air yang menggoyang rakit.

Paijo baru berani membuka mata begitu terasa rakit bergerak maju. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Paijo menatap ke belakang tapi ular raksasa itu sudah tidak terlihat.

Setelah ular raksasa tadi lewat Siti dan Laksmi bergerak lebih cepat dari sebelumnya tanpa menoleh kebelakang.

Tak lama mereka tiba di tepi rawa, lalu bergerak dengan cekatan masuk kedalam hutan. Setelah berjalan sekitar seratus meter. Di tempat yang ada gundukan batu besar mereka berhenti sebentar, Siti dan Laksmi mengambil beberapa peralatan yang mereka tinggal disitu.

Siti dan Laksmi menyalakan dua obor, lalu memberikan dua pasang kasut untuk di pakai Parman dan Paijo. "Terima kasih neng" ujar Paijo membungkuk hormat, Siti tersenyum geli melihat tingkah Paijo yang begitu lugu.

"Ayo" ujar Siti mengajak Paijo dan Parman mengikuti mereka setelah dilihatnya mereka mengenakan kasut jerami.

Mereka pun melanjutkan perjalanan, kali ini mereka melanjutkan dengan berjalan, tidak berlari seperti sebelumnya.

⚜️⚜️⚜️

"Meneer, banyak sekali jejak disini, sepertinya mereka mengacak-acak tempat ini untuk mengaburkan jejak" lapor seorang centeng berkulit gelap berkumis tebal. "Apa ada kemungkinan mereka berenang melintasi rawa-rawa?" tanya Meneer Jan. Para centeng saling berpandangan satu sama lain berharap ada yang tahu. Akhirnya mereka sama-sama mengangkat bahu menyatakan tidak tahu.

Beberapa orang mengarahkan obor menerangi rawa, tapi tidak ada yang terlihat mencurigakan disana. Sebagian lainnya berjalan menyusuri rawa ke kanan dan ke kiri hingga beberapa puluh meter untuk mencari petunjuk apa pun yang bisa di temukan.

Orang-orang yang bersama meneer Jan tidak menemukan tali yang dipakai menyebrang, karena tadi Laksmi dan Siti setelah mencapai utas tali kedua segera menurunkan tali yang pertama ke dalam rawa agar pengejar tidak dapat melihat, begitu juga setelah mencapai tali ketiga mereka menurunkan tali kedua ke dalam rawa.

Cukup lama Meneer Jan dan orang-orangnya berdiri di pinggir rawa kebingungan, tak tahu harus mencari kemana. Lalu seorang centeng mengambil dahan kayu sepanjang dua meter. Diikatkannya obor pada kayu tersebut lalu diarahkannya ke rawa.

Api obor berkibar-kibar di gerakkan ke kanan dan ke kiri menerangi rawa hingga cukup jauh. Cahayanya berkilau-kilau dipantulkan air rawa. Berbagai serangga terlihat mendatangi cahaya obor dan terbakar.

Mereka memperhatikan detail rawa agar tidak ada petunjuk yang mungkin saja terlewat.

Tiba-tiba Air di rawa bergejolak, seperti ada ikan besar bergerak di dalamnya. Gejolak itu begitu besar sehingga mereka yang hadir disitu bisa melihatnya. "Lihat I Itu.. " ujar beberapa orang lalu "Dor.. dor.. dor.." spontan orang-orang disitu yang sebagian besar memegang bedil menembak.

Udara jadi penuh asap mesiu berwarna putih, "cukup, berhenti menembak" ujar meneer Jan, lalu menarik kerah baju salah seorang anak buahnya, " kenapa kau menembak di samping telingaku" ujarnya marah. Si serdadu yang dimarahi terdiam mengkeret.

Centeng yang memegang obor tadi mengibas-ngibaskan obor untuk mengusir asap mesiu di atas rawa. Seorang centeng yang lain mengambil dahan kayu yang lebih panjang dan besar, dengan dibantu temannya untuk memegang dahan yang besar itu, dia menyodok-nyodok tempat yg bergejolak tadi.

"Kecipak-kecipak" suara air, dan perlahan-lahan menyembul lah kepala ular raksasa yang tadi di lihat Paijo dan kawan-kawan. Awalnya cuma kepalanya yang muncul, tapi kemudian seluruh badannya muncul mengambang.

Semua yang ada di situ terdiam kaget, ular itu benar-benar ular terbesar yang pernah mereka lihat. Suasana mendadak hening, bahkan tidak terdengar suara jangkrik dan katak yang tadi ramai bersahutan.

Dan kejadian berikutnya bikin lebih merinding. Dalam penerangan cahaya obor, jelas terlihat mata ular tersebut berkedip dua kali. Satu hal yang tidak wajar melihat ular yang bisa mengedipkan mata.

"Siluman..Lari..!!!" para centeng pribumi langsung bertaburan lari kembali ke arah kebun, Meneer Jan menatap kebingungan melihat orang-orangnya berlarian.

Hanya dia yang masih bertahan disitu bersama para prajurit kompeni. Akhirnya Meneer Jan memutuskan bahwa tidak mungkin ada yang melintasi rawa tersebut, dia mengajak para serdadu untuk mundur perlahan-lahan. Sementara itu si Ular Raksasa diam di tempat tak bergeming, seperti menantang.

⚜️⚜️⚜️

Dalam perjalanan pulang tidak satupun centeng nya yang dia temui, membuat meneer Jan mengomel panjang.

"Meneer, Meneer, Gawat.." seorang pekerja berlari menghampiri rombongan meneer Jan yang tengah berbalik dari rawa, "Ada apa Yono?" bentaknya.

Orang yang dipanggil Yono membungkuk kecapekan lalu melanjutkan dengan tersengal-sengal "Maafkan saya, maafkan saya, rumah tuan.. rumah tuan..", belum selesai Yono bicara Meneer Jan langsung mengerti dan segera berlari diikuti orang-orangnya, "kurang ajar, apa mereka hantu bisa bergerak kesana kemari sesukanya" pikirnya.

Dan malam itu, lokasi perkebunan milik maskapai yang dikelola Meneer Jan hampir keseluruhannya luluh lantak. Api menyala terang benderang bagaikan ada pesta besar, cahaya kebakaran terlihat hingga di kejauhan, bukan cuma bangsal, dan rumah, ladang tembakau berhektar-hektar juga ikut terbakar.

Meneer Jan sampai habis suaranya berteriak dan memaki kesana kemari.

Begitu tiba di rumah dia tak sanggup lagi berdiri dan jatuh bersimpuh di halaman melihat rumahnya yang sudah tenggelam dalam kobaran api.

Anak dan istrinya yang sudah dibebaskan ikatannya begitu melihat dia berlari mendatangi, lalu memeluknya sambil menangis.

⚜️⚜️⚜️

Benih kasih di tengah rimba

Paijo terjaga karena mendengar ramai orang-orang berbicara diluar. Dalam keadaan masih berbaring dia menguap lebar, regangkan tubuh lalu kucek-kucek mata.

"Dimana aku" batinnya.

Ditatapnya sekeliling berusaha mengenali tempat dimana dia berada.

Tempatnya tidur barusan adalah tikar yang dibentangkan di lantai yang terbuat dari batangan kayu sebesar-besar lengan yang disusun cukup rapi.

Perlahan ingatannya pulih, dia ingat tadi malam mungkin sekitar pukul empat atau pukul lima mereka tiba disini, suatu tempat di hutan Bahorok, begitu yang dia dengar dari Laksmi.

Jendela ruangan belum dibuka, dia melihat cahaya matahari menyelinap masuk dari sela-sela dinding yang juga terbuat dari batangan kayu.

Di sisi lain pada ruangan yang sama dia melihat Parman masih tertidur dengan mulut menganga, dengkurannya terdengar riuh rendah. Sepintas suaranya mirip orang menggergaji.

Masih terasa ngantuk, tapi suara-suara di luar mengundang keingin tahuan. Paijo hendak bangkit, tapi tiba-tiba "adduuh biyung sikilku (kakiku)", mendadak kakinya kram.

Dia duduk kembali, dengan tangan dipegangnya bagian atas telapak kaki di tempat yang ada jari-jarinya, lalu tarik ke belakang, kram segera berhenti. Diurut-urutnya sebentar hingga otot-otot kaki yang tegang melemas. Lalu dia berjalan keluar tertatih-tatih.

"Bruk", dia lupa kalau bangunan ini adalah rumah panggung.

⚜️⚜️⚜️

Ulong dan dua temannya tiba pagi ini dengan menuntun kuda-kuda dan barang rampasan dari rumah Meneer Jan, mereka tiba agak lama karena harus menghindari patroli kompeni di jalan-jalan.

Selain itu pada beberapa tempat sebelum tiba di perkampungan ini medannya tidak bisa dilalui dengan menunggang kuda. Kuda-kuda harus dituntun sehingga memperlambat perjalanan.

Siti dan Laksmi menyambut dengan gembira melihat teman-temannya tiba. Beberapa pria datang membantu menurunkan bawaan dari kuda.

" Syukurlah kalian selamat" ujar Ulong." Mana Putra dan Alam?" tanyanya.

"Mereka belum kembali Long, mungkin sebentar lagi" jawab Siti.

Ulong menyerahkan tali kekang kuda kepada seorang pria lalu berjalan diikuti teman-temannya.

Ulong berjalan mendekat di sisi Laksmi, dari samping ditatapnya wajah rupawan pujaan hati itu lekat-lekat.

Laksmi tersipu malu lalu berkata "syukurlah Abang sudah pulang, Laksmi sampai belum makan apa-apa demi menunggu Abang".

Ulong tersenyum, "kalau demikian marilah kita makan bersama"

Kembali pada Paijo yang tertatih-tatih keluar dari rumah panggung.

"Bruk", Paijo terjatuh berguling dari rumah panggung tepat di hadapan Ulong.

"Ma..maaf" ujar paijo".

Ulong menahan tawa, "mana temanmu?" tanya Ulong berusaha menahan perasaan geli. Menurut perkiraan Ulong, Paijo mungkin sebaya atau lebih muda dari dia.

"Masih tidur tuan" jawab Paijo tanpa berani menatap wajah Ulong.

"Ooh ya sudahlah, ayo temani kami makan" ujar Ulong.

Ulong hendak berlalu tapi kemudian berhenti,

"Eh.. panggil saja aku Ulong, aku bukan tuan kebon" ujar Ulong sambil tersenyum.

Siti cekikikan melihat tingkah Paijo.

Ulong berjalan menuju dapur umum, teman-temannya dan Paijo mengikuti.

Beberapa wanita yang ada di dapur umum tersenyum padanya.

Dapur umum ini adalah bangunan beratap tapi tanpa dinding, di desain seperti itu untuk menjaga agar yang memasak tidak pingsan karena terlalu banyak terhirup asap yang berasal dari kayu bakar.

"Rama-rama dimakan kuda, kusangka kepah rupanya teritip. Enak sekali aroma masakan Mak bedah, boleh lah hamba mencoba secicip" ujar Ulong berpantun.

Mak bedah (Zubaedah) wanita paruh baya yang mengepalai dapur tersenyum lalu menepuk bahu Ulong.

"Mak sini sebentar" ajak Ulong kepada Mak Bedah agar sedikit menjauh.

Mak Bedah sudah dianggapnya ibunya sendiri, pengganti ibu kandungnya yang meninggal karena sakit sewaktu dia kecil.

"Ini ada oleh-oleh sedikit buat Emak, ujar Ulong.

Ulong mengeluarkan sepasang anting dari sakunya, di genggamkannya anting tersebut di tangan Mak Bedah.

Mak Bedah tersenyum haru, ditatapnya wajah Ulong yang tampan, tubuhnya yang tinggi dan kekar. Seandainya dulu anaknya masih hidup harusnya sudah sebaya Ulong, malangnya anak dan suaminya tewas karena mempertahankan tanah mereka dari kompeni yang berusaha merebutnya.

"Makasih ya long" ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

⚜️⚜️⚜️

Ulong dan teman-teman duduk di bebatuan yang rata di pinggir tebing sungai menikmati makanan yang dihidangkan oleh Mak Bedah dan timnya.

Waktu itu masih pagi, mungkin sekitar pukul sembilan bila dilihat dari jatuhnya bayangan.

Sarapan pagi itu adalah ubi kayu dipotong-potong sejengkal, dimakan dengan lauk ikan gabus yang di tangkap di sungai.

Sambil sarapan mereka bertukar cerita tentang apa yang di alami tadi malam.

Orang-orang yang berada disitu kaget mendengar cerita Siti dan kawan-kawan yang bertemu dengan Ular raksasa penunggu rawa.

Mereka tidak menyangka ada makhluk seperti itu di rawa-rawa yang dilintasi Ulong dan teman-temannya.

"Itu yang bikin aku khawatir akan keselamatan Putra dan Alam bila saja mereka bertemu ular tersebut, makhluk seperti itu sulit di tebak apa maunya" Ujar Siti dengan ekspresi risau.

Paijo hanya mendengarkan dengan seksama.

" Putra itu Adik kandung Siti" Ulong menjelaskan kepada Paijo.

"Ooh" Paijo mengangguk dengan ekspresi serius seperti biasanya kalo mendengarkan orang bicara, lalu dia acungkan jempol.

"Jadi Siti itu belum ada pasangannya" ujar salah seorang pria yang tidak Paijo kenal sambil tertawa.

Siti diam pura-pura tidak mendengar, dia masih risau memikirkan adiknya, Putra.

Di candai seperti itu Paijo yang lugu tidak merasa apa-apa, dia justru manggut-manggut dengan ekspresi serius.

"Mudah-mudahan mereka selamat tiba disini" ujar Paijo tulus.

Siti melirik ke arahnya dan tersenyum.

Selesai makan mereka duduk sebentar, beberapa orang terlihat lalu lalang dengan berbagai kesibukan.

Ulong menatap sekitar, betapa indah tempat ini. Dibawah tebing tempat mereka duduk saat itu sekitar tujuh meter jaraknya ada sungai berbatu-batu, airnya jernih walau arusnya terlihat cukup deras. Lalu pada sisi seberang terlihat hamparan batu-batu koral berbagai ukuran mengisi tepian sungai.

Di seberang sungai melintasi hamparan batu-batu koral terdapat hutan yang sangat luas menyelimuti bukit barisan dan menyambung hingga ke Aceh.

Telah bertahun-tahun tempat ini menjadi basis persembunyian dan peristirahatan Ulong dan teman-temannya karena letaknya yang begitu strategis. Dari sini mereka bisa menjangkau kebun-kebun Belanda di Binjai, Langkat, dan Deli Serdang.

Awalnya mereka cuma ada lima belas orang, tapi pengungsi satu persatu berdatangan kesini dan menetap demi mencari perlindungan, karena tempat ini sangat aman dan sangat terpencil dari peradaban.

Dan kini tempat ini lebih mirip perkampungan dengan jumlah penduduk sekitar dua ratusan.

Kompeni tidak akan pernah bisa mencapai tempat ini. Begitu berat Medan yang harus mereka lalui.

Kecuali mungkin apabila mereka melakukan operasi besar-besaran, itupun mereka hanya bisa mencapai tempat ini tanpa bisa menemukan para gerilyawan.

Karena hutan dimana-mana akan memudahkan mereka yang tinggal disini untuk melarikan diri.

Tiba-tiba ada suara ramai orang-orang di bagian selatan perkampungan, Ulong dan teman-teman berdiri dan bergegas mendatangi keributan.

"Putra" teriak Siti girang begitu melihat adiknya lalu menghampiri putra yang sedang berdiri, di elusnya kepala putra yang bertubuh lebih tinggi darinya. Putra nyengir malu diperlakukan seperti itu.

Bagaimanapun dia seorang prajurit, tapi dia tidak berani protes terhadap kakak kesayangannya itu. Satu-satunya keluarga yang dia miliki.

Usia mereka terpaut empat tahun, Putra sembilan belas sedangkan Siti berusia dua puluh tiga.

Disebelah Putra beberapa orang terlihat membantu memapah Alam, terlihat bahu dan kaki Alam berdarah.

Ulong memeriksa luka alam, lukanya cukup dalam tapi tidak mengenai pembuluh darah.

Dia menyuruh orang-orang yang memapah Alam untuk membawanya masuk ke salah satu gubuk.

Setelah itu dia meminta Mak Bedah untuk mencarikan beberapa tanaman (untuk mengobati luka), dan sawang (sarang laba-laba) untuk membalut agar bagian daging dan kulit yang terkoyak bisa menyatu kembali.

Putra ingin melaporkan hasil tugasnya namun Ulong menyarankannya untuk duduk dan sarapan agar pulih tenaganya.

Sambil makan Putra menjelaskan bahwa mereka berhasil menjalankan tugas untuk membakar perkebunan tembakau.

Hanya saja perkebunan itu begitu luas sehingga memakan waktu. Akhirnya mereka terpaksa berhadapan dengan beberapa centengnya meneer Jan yang telah tiba disana.

Lima orang centeng berhasil mereka tumbangkan tapi harus dibayar dengan luka di tangan dan kaki Alam karena beberapa centeng melemparkan tombak dan mengenainya.

Ulong mengangguk mendengar cerita mereka, dia salut dan bangga akan keberanian kedua orang temannya itu, juga prihatin.

"Tugas adalah tugas, seperti itu yang aku ajarkan kepada kalian, tapi kalian juga harus ingat keselamatan kalian adalah tanggung jawab kalian".

"Lain kali apabila keadaan terasa sulit, menghindar lah, perjuangan kita masih panjang dan kita tidak tahu kapan berakhirnya, kami masih memerlukan laki-laki pemberani dan tangguh seperti kalian" ujar Ulong.

Putra diam dan mengangguk, dia begitu menghormati Ulong yang dia anggap sebagai Abang sendiri.

Mereka terdiam sesaat, meresapi ucapan Ulong barusan.

"Apa kalian bertemu dengan ular raksasa di rawa?" tanya Parman yang saat itu sudah bergabung menikmati sarapan sekaligus makan siang.

"Tidak ada apa-apa disana", jawab putra, " Ular raksasa, seperti apa?" tanyanya bingung.

Siti bercerita tentang apa yang mereka alami saat melintasi rawa tadi malam.

Putra terlihat kaget mendengar cerita itu.

"Saat kami berlari ke arah rawa tidak ada apapun, bahkan satu orang pun pengikut Meneer Jan tak ada disana, padahal aku sudah was-was seandainya mereka menunggu disana karena kondisi Alam yang terluka".

"Lantas aku membawa Alam menaiki rakit seperti yang kita rencanakan, itu juga tanpa hambatan sama sekali" ujarnya.

"Bisa jadi orang-orang Meneer Jan melihat ular raksasa tersebut dan mengira kalian tidak mungkin melintasi rawa sehingga mereka pergi" tebak Ulong.

Ulong menatap jauh, memuji kebesaran Tuhan, bersyukur di dalam hati karena keberpihakan-Nya sejauh ini kepada mereka, kelompok orang-orang yang teraniaya.

⚜️⚜️⚜️

Seminggu berlalu, Parman dan Paijo merasa sangat betah tinggal disini. Maklum semenjak tiba di Pulau Sumatera baru kali ini mereka merasa jadi orang merdeka.

Bebas melakukan apa yang mereka rasa perlu untuk dilakukan. Bebas menentukan pilihan.

Apalagi mereka yang ada disini semua bernasib sama dengan mereka berdua. Menjauh dari peradaban, dari kampung halaman, dari keluarga, semua dikarenakan penjajah serakah yang ingin mengeruk keuntungan dari negeri ini.

Parman dan Paijo merasa senasib sepenanggungan dengan orang-orang disini, dan merasa mereka adalah keluarganya.

Mereka pun mulai ikut membantu kegiatan orang-orang disini, berkebun, mencari ikan, berburu dll.

Cuma yang Paijo heran beberapa kali berpapasan dengan Siti, entah kenapa Siti selalu menundukkan wajah malu-malu.

Paijo utarakan hal tersebut pada Parman dan jawabannya mengagetkan.

"Siti sepertinya suka padamu Jo"

Deg jantung Paijo serasa berhenti, "Dia terperangah", Siti yang begitu perkasa dan begitu tenang berhadapan dengan ular raksasa, suka padanya yang cuma perantau dan dijadikan kuli kerja rodi (bahasa halus dari budak).

"Yang ku maksud Siti itu lho, yang membawa kita kesini" ujar Paijo karena tidak yakin arah ucapan Parman.

Parman tak menjawab dan bergerak pergi, "diajak ngomong malah kabur" pikir Paijo.

Ternyata Parman pergi karena dia melihat Siti mendatangi mereka.

"Bang, bisa minta tolong?" tanya Siti, "Eh.. i. iya neng?" jawab Paijo sambil sedikit membungkuk.

Deg ntah kenapa jantung Paijo jadi deg-deg an, teringat dia ucapan Parman barusan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!