Siti dan Laksmi mengendalikan masing-masing rakit batang pisang dengan Parman dan Paijo sebagai penumpang.
Mereka berjongkok agar rakit tidak oleng.
Tanpa hambatan kedua rakit yang mereka naiki telah melewati utas tali ke dua dan kini sedang melintasi rawa dengan berpegang tali ke tiga.
Banyak hal berkecamuk di pikiran Parman dan Paijo namun mereka menahan diri untuk tetap diam dan tidak berkata apa-apa. Tidak baik banyak bicara di tempat yang seram seperti itu begitu petuah orang-orang tua yang pernah mereka dengar.
Disana sini terdengar suara jangkrik dan katak menyenandungkan lagu alam, terdengar juga sesekali kecipak air dikarenakan pergerakan ikan, atau ular air yang bergerak mencari mangsa.
Air bercampur lumpur berkali-kali menyapu kaki mereka meninggalkan rasa gatal. Nyamuk bagaikan awan hitam berkerumun dan berdengung-dengung dengan bisingnya mengikuti mereka.
Sesekali kunang-kunang melintas memberi sedikit tambahan penerangan. Cahayanya terasa begitu menenangkan di tengah seramnya suasana rawa gelap yang seolah tak berujung.
Mereka sudah berjalan sekitar lima puluhan meter, dan sudah hampir mencapai hutan, tiba-tiba rakit yang berada didepan dihentikan oleh Siti yang mengendalikannya, Laksmi juga ikut menghentikan rakit di belakang. Dalam samar terlihat tangan Siti diangkat memberi aba-aba untuk berhenti.
Parman dan Paijo melongok untuk melihat ke depan, dan terlihat pemandangan menakjubkan sekaligus mengerikan.
Di arah depan terlihat sesosok ular raksasa. Panjang ular tersebut mungkin sekitar tiga puluh meter, melilit pohon mati yang menjulang tegak beberapa meter dihadapan mereka. Tubuh ular tersebut lebih besar dari satu pelukan orang dewasa, berwarna kekuningan dengan belang hitam di sepanjang tubuhnya. Kepala ular itu menatap tenang ke arah mereka, matanya kuning dan bersinar redup dalam gelap. Sebagian ekornya terjuntai turun dari batang pohon dan mengambang di rawa. Sisiknya yang besar-besar berkilat-kilat di terangi redupnya bulan sabit.
"Assalamu alaikum", bisik Siti dengan suara tenang, hebat sekali wanita ini pikir Paijo dan Parman, tidak bergetar suaranya mengucapkan salam, padahal Parman dan Paijo sudah ketakutan setengah mati dan berusaha menahan diri untuk tidak terjun ke dalam rawa melarikan diri.
Siti dan Laksmi adalah anggota laskar hasil didikan para Inong balee yang diperintahkan oleh tuanku Nyak Makam, untuk membantu perjuangan Datuk Baiduzzaman Surbakti junjungannya Ulong Belati (Inong Balee adalah Laskar yang terdiri dari para janda pejuang Aceh, yaitu pasukan perempuan bawahan Laksamana Malahayati. Malahayati atau Keumalahayati sendiri sangat terkenal karena ketangguhannya di laut dan pada suatu kesempatan berhasil mengalahkan armada laut Belanda sekaligus membunuh Cornelis de Houtman sang pemimpin armada dalam pertarungan satu lawan satu). Kelompok mereka (para laskar wanita ini) telah terlibat banyak pertempuran melawan Belanda selama puluhan tahun.
Selain mahir bertarung tangan kosong, kedua wanita ini yaitu Laksmi & Siti juga mahir menggunakan berbagai senjata termasuk tombak, panah, bahkan bedil.
Dengan berjalannya waktu mereka yang tadinya berfokus di laut diharuskan untuk juga bergerilya, hasilnya para perempuan ini sanggup bersembunyi di hutan hingga berbulan-bulan. Berbagai kejadian mengerikan juga sudah mereka alami selama berada di medan perang gerilya.
Ini yang membuat kedua pendekar perempuan ini begitu tenang membawa Parman dan Paijo melintasi rawa.
Ular itu hanya diam menatap, Siti masih menahan tangannya di udara mengisyaratkan agar mereka tenang. Beberapa saat mereka masih diam, menunggu. Rasanya bagai seratus tahun bagi Parman dan Paijo berada disitu. Kedua kaki Paijo sudah bergetar saking takutnya.
Lalu dari arah belakang sayup-sayup terdengar banyak suara, Parman dan Paijo menoleh ke belakang, terlihat banyak obor di seberang rawa tempat awal mereka melarikan diri tadi. Orang-orang meneer Jan sudah tiba disana dan menimbulkan suara berisik. Siti dan Laksmi tidak mau memalingkan wajah dari ular raksasa penjaga rawa ini.
Mereka percaya ada makhluk-makhluk Tuhan yang lain. Dan semuanya diciptakan dengan tugas masing-masing di dunia ini. Mungkin makhluk ini ada untuk menjaga keseimbangan alam, atau menjaga wilayah ini dari kerusakan, atau kekotoran yang dibuat manusia dan makhluk lainnya.
Itu sebabnya tadi Siti mengucapkan salam, untuk menunjukkan mereka datang dengan damai dan tidak akan melakukan apapun yang tidak baik di wilayah tersebut.
Dengan tenang ular raksasa itu meluncur turun dari pohon lalu seperti tidak perduli melintas di samping rakit yang mereka naiki. Begitu dekat jarak ular raksasa itu bergerak meluncur di samping rakit. Paijo terperangah begitu melihat kepala Ular melintas disampingnya. Dia memejamkan mata dan menahan diri agar tidak berteriak saking takutnya.
Sedangkan Parman masih beranikan diri untuk melihat ular legenda yang selama ini dia dengar kisahnya dari penduduk setempat. Benar-benar besar dan panjang sekali ular yang melintas itu, gerakannya walau tenang tetap membuat riakan di air yang menggoyang rakit.
Paijo baru berani membuka mata begitu terasa rakit bergerak maju. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Paijo menatap ke belakang tapi ular raksasa itu sudah tidak terlihat.
Setelah ular raksasa tadi lewat Siti dan Laksmi bergerak lebih cepat dari sebelumnya tanpa menoleh kebelakang.
Tak lama mereka tiba di tepi rawa, lalu bergerak dengan cekatan masuk kedalam hutan. Setelah berjalan sekitar seratus meter. Di tempat yang ada gundukan batu besar mereka berhenti sebentar, Siti dan Laksmi mengambil beberapa peralatan yang mereka tinggal disitu.
Siti dan Laksmi menyalakan dua obor, lalu memberikan dua pasang kasut untuk di pakai Parman dan Paijo. "Terima kasih neng" ujar Paijo membungkuk hormat, Siti tersenyum geli melihat tingkah Paijo yang begitu lugu.
"Ayo" ujar Siti mengajak Paijo dan Parman mengikuti mereka setelah dilihatnya mereka mengenakan kasut jerami.
Mereka pun melanjutkan perjalanan, kali ini mereka melanjutkan dengan berjalan, tidak berlari seperti sebelumnya.
⚜️⚜️⚜️
"Meneer, banyak sekali jejak disini, sepertinya mereka mengacak-acak tempat ini untuk mengaburkan jejak" lapor seorang centeng berkulit gelap berkumis tebal. "Apa ada kemungkinan mereka berenang melintasi rawa-rawa?" tanya Meneer Jan. Para centeng saling berpandangan satu sama lain berharap ada yang tahu. Akhirnya mereka sama-sama mengangkat bahu menyatakan tidak tahu.
Beberapa orang mengarahkan obor menerangi rawa, tapi tidak ada yang terlihat mencurigakan disana. Sebagian lainnya berjalan menyusuri rawa ke kanan dan ke kiri hingga beberapa puluh meter untuk mencari petunjuk apa pun yang bisa di temukan.
Orang-orang yang bersama meneer Jan tidak menemukan tali yang dipakai menyebrang, karena tadi Laksmi dan Siti setelah mencapai utas tali kedua segera menurunkan tali yang pertama ke dalam rawa agar pengejar tidak dapat melihat, begitu juga setelah mencapai tali ketiga mereka menurunkan tali kedua ke dalam rawa.
Cukup lama Meneer Jan dan orang-orangnya berdiri di pinggir rawa kebingungan, tak tahu harus mencari kemana. Lalu seorang centeng mengambil dahan kayu sepanjang dua meter. Diikatkannya obor pada kayu tersebut lalu diarahkannya ke rawa.
Api obor berkibar-kibar di gerakkan ke kanan dan ke kiri menerangi rawa hingga cukup jauh. Cahayanya berkilau-kilau dipantulkan air rawa. Berbagai serangga terlihat mendatangi cahaya obor dan terbakar.
Mereka memperhatikan detail rawa agar tidak ada petunjuk yang mungkin saja terlewat.
Tiba-tiba Air di rawa bergejolak, seperti ada ikan besar bergerak di dalamnya. Gejolak itu begitu besar sehingga mereka yang hadir disitu bisa melihatnya. "Lihat I Itu.. " ujar beberapa orang lalu "Dor.. dor.. dor.." spontan orang-orang disitu yang sebagian besar memegang bedil menembak.
Udara jadi penuh asap mesiu berwarna putih, "cukup, berhenti menembak" ujar meneer Jan, lalu menarik kerah baju salah seorang anak buahnya, " kenapa kau menembak di samping telingaku" ujarnya marah. Si serdadu yang dimarahi terdiam mengkeret.
Centeng yang memegang obor tadi mengibas-ngibaskan obor untuk mengusir asap mesiu di atas rawa. Seorang centeng yang lain mengambil dahan kayu yang lebih panjang dan besar, dengan dibantu temannya untuk memegang dahan yang besar itu, dia menyodok-nyodok tempat yg bergejolak tadi.
"Kecipak-kecipak" suara air, dan perlahan-lahan menyembul lah kepala ular raksasa yang tadi di lihat Paijo dan kawan-kawan. Awalnya cuma kepalanya yang muncul, tapi kemudian seluruh badannya muncul mengambang.
Semua yang ada di situ terdiam kaget, ular itu benar-benar ular terbesar yang pernah mereka lihat. Suasana mendadak hening, bahkan tidak terdengar suara jangkrik dan katak yang tadi ramai bersahutan.
Dan kejadian berikutnya bikin lebih merinding. Dalam penerangan cahaya obor, jelas terlihat mata ular tersebut berkedip dua kali. Satu hal yang tidak wajar melihat ular yang bisa mengedipkan mata.
"Siluman..Lari..!!!" para centeng pribumi langsung bertaburan lari kembali ke arah kebun, Meneer Jan menatap kebingungan melihat orang-orangnya berlarian.
Hanya dia yang masih bertahan disitu bersama para prajurit kompeni. Akhirnya Meneer Jan memutuskan bahwa tidak mungkin ada yang melintasi rawa tersebut, dia mengajak para serdadu untuk mundur perlahan-lahan. Sementara itu si Ular Raksasa diam di tempat tak bergeming, seperti menantang.
⚜️⚜️⚜️
Dalam perjalanan pulang tidak satupun centeng nya yang dia temui, membuat meneer Jan mengomel panjang.
"Meneer, Meneer, Gawat.." seorang pekerja berlari menghampiri rombongan meneer Jan yang tengah berbalik dari rawa, "Ada apa Yono?" bentaknya.
Orang yang dipanggil Yono membungkuk kecapekan lalu melanjutkan dengan tersengal-sengal "Maafkan saya, maafkan saya, rumah tuan.. rumah tuan..", belum selesai Yono bicara Meneer Jan langsung mengerti dan segera berlari diikuti orang-orangnya, "kurang ajar, apa mereka hantu bisa bergerak kesana kemari sesukanya" pikirnya.
Dan malam itu, lokasi perkebunan milik maskapai yang dikelola Meneer Jan hampir keseluruhannya luluh lantak. Api menyala terang benderang bagaikan ada pesta besar, cahaya kebakaran terlihat hingga di kejauhan, bukan cuma bangsal, dan rumah, ladang tembakau berhektar-hektar juga ikut terbakar.
Meneer Jan sampai habis suaranya berteriak dan memaki kesana kemari.
Begitu tiba di rumah dia tak sanggup lagi berdiri dan jatuh bersimpuh di halaman melihat rumahnya yang sudah tenggelam dalam kobaran api.
Anak dan istrinya yang sudah dibebaskan ikatannya begitu melihat dia berlari mendatangi, lalu memeluknya sambil menangis.
⚜️⚜️⚜️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Kipas Angin
lanjutkan.. 😁
2021-01-03
1
Nikodemus Yudho Sulistyo
pnggambaran suasananya asik nih..👍🏼👍🏼
salam dari Pendekar Topeng Seribu.
2020-12-30
2