Paijo terjaga karena mendengar ramai orang-orang berbicara diluar. Dalam keadaan masih berbaring dia menguap lebar, regangkan tubuh lalu kucek-kucek mata.
"Dimana aku" batinnya.
Ditatapnya sekeliling berusaha mengenali tempat dimana dia berada.
Tempatnya tidur barusan adalah tikar yang dibentangkan di lantai yang terbuat dari batangan kayu sebesar-besar lengan yang disusun cukup rapi.
Perlahan ingatannya pulih, dia ingat tadi malam mungkin sekitar pukul empat atau pukul lima mereka tiba disini, suatu tempat di hutan Bahorok, begitu yang dia dengar dari Laksmi.
Jendela ruangan belum dibuka, dia melihat cahaya matahari menyelinap masuk dari sela-sela dinding yang juga terbuat dari batangan kayu.
Di sisi lain pada ruangan yang sama dia melihat Parman masih tertidur dengan mulut menganga, dengkurannya terdengar riuh rendah. Sepintas suaranya mirip orang menggergaji.
Masih terasa ngantuk, tapi suara-suara di luar mengundang keingin tahuan. Paijo hendak bangkit, tapi tiba-tiba "adduuh biyung sikilku (kakiku)", mendadak kakinya kram.
Dia duduk kembali, dengan tangan dipegangnya bagian atas telapak kaki di tempat yang ada jari-jarinya, lalu tarik ke belakang, kram segera berhenti. Diurut-urutnya sebentar hingga otot-otot kaki yang tegang melemas. Lalu dia berjalan keluar tertatih-tatih.
"Bruk", dia lupa kalau bangunan ini adalah rumah panggung.
⚜️⚜️⚜️
Ulong dan dua temannya tiba pagi ini dengan menuntun kuda-kuda dan barang rampasan dari rumah Meneer Jan, mereka tiba agak lama karena harus menghindari patroli kompeni di jalan-jalan.
Selain itu pada beberapa tempat sebelum tiba di perkampungan ini medannya tidak bisa dilalui dengan menunggang kuda. Kuda-kuda harus dituntun sehingga memperlambat perjalanan.
Siti dan Laksmi menyambut dengan gembira melihat teman-temannya tiba. Beberapa pria datang membantu menurunkan bawaan dari kuda.
" Syukurlah kalian selamat" ujar Ulong." Mana Putra dan Alam?" tanyanya.
"Mereka belum kembali Long, mungkin sebentar lagi" jawab Siti.
Ulong menyerahkan tali kekang kuda kepada seorang pria lalu berjalan diikuti teman-temannya.
Ulong berjalan mendekat di sisi Laksmi, dari samping ditatapnya wajah rupawan pujaan hati itu lekat-lekat.
Laksmi tersipu malu lalu berkata "syukurlah Abang sudah pulang, Laksmi sampai belum makan apa-apa demi menunggu Abang".
Ulong tersenyum, "kalau demikian marilah kita makan bersama"
Kembali pada Paijo yang tertatih-tatih keluar dari rumah panggung.
"Bruk", Paijo terjatuh berguling dari rumah panggung tepat di hadapan Ulong.
"Ma..maaf" ujar paijo".
Ulong menahan tawa, "mana temanmu?" tanya Ulong berusaha menahan perasaan geli. Menurut perkiraan Ulong, Paijo mungkin sebaya atau lebih muda dari dia.
"Masih tidur tuan" jawab Paijo tanpa berani menatap wajah Ulong.
"Ooh ya sudahlah, ayo temani kami makan" ujar Ulong.
Ulong hendak berlalu tapi kemudian berhenti,
"Eh.. panggil saja aku Ulong, aku bukan tuan kebon" ujar Ulong sambil tersenyum.
Siti cekikikan melihat tingkah Paijo.
Ulong berjalan menuju dapur umum, teman-temannya dan Paijo mengikuti.
Beberapa wanita yang ada di dapur umum tersenyum padanya.
Dapur umum ini adalah bangunan beratap tapi tanpa dinding, di desain seperti itu untuk menjaga agar yang memasak tidak pingsan karena terlalu banyak terhirup asap yang berasal dari kayu bakar.
"Rama-rama dimakan kuda, kusangka kepah rupanya teritip. Enak sekali aroma masakan Mak bedah, boleh lah hamba mencoba secicip" ujar Ulong berpantun.
Mak bedah (Zubaedah) wanita paruh baya yang mengepalai dapur tersenyum lalu menepuk bahu Ulong.
"Mak sini sebentar" ajak Ulong kepada Mak Bedah agar sedikit menjauh.
Mak Bedah sudah dianggapnya ibunya sendiri, pengganti ibu kandungnya yang meninggal karena sakit sewaktu dia kecil.
"Ini ada oleh-oleh sedikit buat Emak, ujar Ulong.
Ulong mengeluarkan sepasang anting dari sakunya, di genggamkannya anting tersebut di tangan Mak Bedah.
Mak Bedah tersenyum haru, ditatapnya wajah Ulong yang tampan, tubuhnya yang tinggi dan kekar. Seandainya dulu anaknya masih hidup harusnya sudah sebaya Ulong, malangnya anak dan suaminya tewas karena mempertahankan tanah mereka dari kompeni yang berusaha merebutnya.
"Makasih ya long" ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
⚜️⚜️⚜️
Ulong dan teman-teman duduk di bebatuan yang rata di pinggir tebing sungai menikmati makanan yang dihidangkan oleh Mak Bedah dan timnya.
Waktu itu masih pagi, mungkin sekitar pukul sembilan bila dilihat dari jatuhnya bayangan.
Sarapan pagi itu adalah ubi kayu dipotong-potong sejengkal, dimakan dengan lauk ikan gabus yang di tangkap di sungai.
Sambil sarapan mereka bertukar cerita tentang apa yang di alami tadi malam.
Orang-orang yang berada disitu kaget mendengar cerita Siti dan kawan-kawan yang bertemu dengan Ular raksasa penunggu rawa.
Mereka tidak menyangka ada makhluk seperti itu di rawa-rawa yang dilintasi Ulong dan teman-temannya.
"Itu yang bikin aku khawatir akan keselamatan Putra dan Alam bila saja mereka bertemu ular tersebut, makhluk seperti itu sulit di tebak apa maunya" Ujar Siti dengan ekspresi risau.
Paijo hanya mendengarkan dengan seksama.
" Putra itu Adik kandung Siti" Ulong menjelaskan kepada Paijo.
"Ooh" Paijo mengangguk dengan ekspresi serius seperti biasanya kalo mendengarkan orang bicara, lalu dia acungkan jempol.
"Jadi Siti itu belum ada pasangannya" ujar salah seorang pria yang tidak Paijo kenal sambil tertawa.
Siti diam pura-pura tidak mendengar, dia masih risau memikirkan adiknya, Putra.
Di candai seperti itu Paijo yang lugu tidak merasa apa-apa, dia justru manggut-manggut dengan ekspresi serius.
"Mudah-mudahan mereka selamat tiba disini" ujar Paijo tulus.
Siti melirik ke arahnya dan tersenyum.
Selesai makan mereka duduk sebentar, beberapa orang terlihat lalu lalang dengan berbagai kesibukan.
Ulong menatap sekitar, betapa indah tempat ini. Dibawah tebing tempat mereka duduk saat itu sekitar tujuh meter jaraknya ada sungai berbatu-batu, airnya jernih walau arusnya terlihat cukup deras. Lalu pada sisi seberang terlihat hamparan batu-batu koral berbagai ukuran mengisi tepian sungai.
Di seberang sungai melintasi hamparan batu-batu koral terdapat hutan yang sangat luas menyelimuti bukit barisan dan menyambung hingga ke Aceh.
Telah bertahun-tahun tempat ini menjadi basis persembunyian dan peristirahatan Ulong dan teman-temannya karena letaknya yang begitu strategis. Dari sini mereka bisa menjangkau kebun-kebun Belanda di Binjai, Langkat, dan Deli Serdang.
Awalnya mereka cuma ada lima belas orang, tapi pengungsi satu persatu berdatangan kesini dan menetap demi mencari perlindungan, karena tempat ini sangat aman dan sangat terpencil dari peradaban.
Dan kini tempat ini lebih mirip perkampungan dengan jumlah penduduk sekitar dua ratusan.
Kompeni tidak akan pernah bisa mencapai tempat ini. Begitu berat Medan yang harus mereka lalui.
Kecuali mungkin apabila mereka melakukan operasi besar-besaran, itupun mereka hanya bisa mencapai tempat ini tanpa bisa menemukan para gerilyawan.
Karena hutan dimana-mana akan memudahkan mereka yang tinggal disini untuk melarikan diri.
Tiba-tiba ada suara ramai orang-orang di bagian selatan perkampungan, Ulong dan teman-teman berdiri dan bergegas mendatangi keributan.
"Putra" teriak Siti girang begitu melihat adiknya lalu menghampiri putra yang sedang berdiri, di elusnya kepala putra yang bertubuh lebih tinggi darinya. Putra nyengir malu diperlakukan seperti itu.
Bagaimanapun dia seorang prajurit, tapi dia tidak berani protes terhadap kakak kesayangannya itu. Satu-satunya keluarga yang dia miliki.
Usia mereka terpaut empat tahun, Putra sembilan belas sedangkan Siti berusia dua puluh tiga.
Disebelah Putra beberapa orang terlihat membantu memapah Alam, terlihat bahu dan kaki Alam berdarah.
Ulong memeriksa luka alam, lukanya cukup dalam tapi tidak mengenai pembuluh darah.
Dia menyuruh orang-orang yang memapah Alam untuk membawanya masuk ke salah satu gubuk.
Setelah itu dia meminta Mak Bedah untuk mencarikan beberapa tanaman (untuk mengobati luka), dan sawang (sarang laba-laba) untuk membalut agar bagian daging dan kulit yang terkoyak bisa menyatu kembali.
Putra ingin melaporkan hasil tugasnya namun Ulong menyarankannya untuk duduk dan sarapan agar pulih tenaganya.
Sambil makan Putra menjelaskan bahwa mereka berhasil menjalankan tugas untuk membakar perkebunan tembakau.
Hanya saja perkebunan itu begitu luas sehingga memakan waktu. Akhirnya mereka terpaksa berhadapan dengan beberapa centengnya meneer Jan yang telah tiba disana.
Lima orang centeng berhasil mereka tumbangkan tapi harus dibayar dengan luka di tangan dan kaki Alam karena beberapa centeng melemparkan tombak dan mengenainya.
Ulong mengangguk mendengar cerita mereka, dia salut dan bangga akan keberanian kedua orang temannya itu, juga prihatin.
"Tugas adalah tugas, seperti itu yang aku ajarkan kepada kalian, tapi kalian juga harus ingat keselamatan kalian adalah tanggung jawab kalian".
"Lain kali apabila keadaan terasa sulit, menghindar lah, perjuangan kita masih panjang dan kita tidak tahu kapan berakhirnya, kami masih memerlukan laki-laki pemberani dan tangguh seperti kalian" ujar Ulong.
Putra diam dan mengangguk, dia begitu menghormati Ulong yang dia anggap sebagai Abang sendiri.
Mereka terdiam sesaat, meresapi ucapan Ulong barusan.
"Apa kalian bertemu dengan ular raksasa di rawa?" tanya Parman yang saat itu sudah bergabung menikmati sarapan sekaligus makan siang.
"Tidak ada apa-apa disana", jawab putra, " Ular raksasa, seperti apa?" tanyanya bingung.
Siti bercerita tentang apa yang mereka alami saat melintasi rawa tadi malam.
Putra terlihat kaget mendengar cerita itu.
"Saat kami berlari ke arah rawa tidak ada apapun, bahkan satu orang pun pengikut Meneer Jan tak ada disana, padahal aku sudah was-was seandainya mereka menunggu disana karena kondisi Alam yang terluka".
"Lantas aku membawa Alam menaiki rakit seperti yang kita rencanakan, itu juga tanpa hambatan sama sekali" ujarnya.
"Bisa jadi orang-orang Meneer Jan melihat ular raksasa tersebut dan mengira kalian tidak mungkin melintasi rawa sehingga mereka pergi" tebak Ulong.
Ulong menatap jauh, memuji kebesaran Tuhan, bersyukur di dalam hati karena keberpihakan-Nya sejauh ini kepada mereka, kelompok orang-orang yang teraniaya.
⚜️⚜️⚜️
Seminggu berlalu, Parman dan Paijo merasa sangat betah tinggal disini. Maklum semenjak tiba di Pulau Sumatera baru kali ini mereka merasa jadi orang merdeka.
Bebas melakukan apa yang mereka rasa perlu untuk dilakukan. Bebas menentukan pilihan.
Apalagi mereka yang ada disini semua bernasib sama dengan mereka berdua. Menjauh dari peradaban, dari kampung halaman, dari keluarga, semua dikarenakan penjajah serakah yang ingin mengeruk keuntungan dari negeri ini.
Parman dan Paijo merasa senasib sepenanggungan dengan orang-orang disini, dan merasa mereka adalah keluarganya.
Mereka pun mulai ikut membantu kegiatan orang-orang disini, berkebun, mencari ikan, berburu dll.
Cuma yang Paijo heran beberapa kali berpapasan dengan Siti, entah kenapa Siti selalu menundukkan wajah malu-malu.
Paijo utarakan hal tersebut pada Parman dan jawabannya mengagetkan.
"Siti sepertinya suka padamu Jo"
Deg jantung Paijo serasa berhenti, "Dia terperangah", Siti yang begitu perkasa dan begitu tenang berhadapan dengan ular raksasa, suka padanya yang cuma perantau dan dijadikan kuli kerja rodi (bahasa halus dari budak).
"Yang ku maksud Siti itu lho, yang membawa kita kesini" ujar Paijo karena tidak yakin arah ucapan Parman.
Parman tak menjawab dan bergerak pergi, "diajak ngomong malah kabur" pikir Paijo.
Ternyata Parman pergi karena dia melihat Siti mendatangi mereka.
"Bang, bisa minta tolong?" tanya Siti, "Eh.. i. iya neng?" jawab Paijo sambil sedikit membungkuk.
Deg ntah kenapa jantung Paijo jadi deg-deg an, teringat dia ucapan Parman barusan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Nikodemus Yudho Sulistyo
Hmm..cerita bgus kok rate nya gak tinggi ya? sya tambahin deh..👍🏼👍🏼.
semangat!! lanjut...
2021-01-04
1
Sid
ada lope bersemi di hutan tepian, so sweet 😍😍😍
2021-01-03
2
Kipas Angin
lanjutkan..
2021-01-03
3