Kata Hati

Kata Hati

Bagian 1

perjodohan.

Penerangan yang cukup harmonis di ruangan vip restoran ternama di kota gadis, Mahkota group memang memiliki standar tersendiri dalam berbisnis.

Hidangan ala asia berjejer di meja, bukan untuk tamu melainkan hidangan mewah untuk ceo muda Mahkota group.

Tirta menatap kedua orang tuanya, suasana ruang makan menjadi sangat hening, tidak ada gesekan pisau memotong steak serta suara renyah mengunyah salad.

Semua menunggu keputusan Tirta, anak semata wayang serta pewaris tunggal Mahkota group, topik yang sama sekali Tirta benci selama ia menjadi pria dewasa, perjodohan.

Entah yang keberapa kali orang tuanya menjodohkannya dengan anak dari pemegang saham atau anak dari rekan bisnis mereka, Tirta memang sudah memasuki masa pernikahan di umurnya yang ke 35.

"Apa ini kado ulang tahunku?"

Ayahnya mulai gundah, jawaban yang sama setiap kali membicarakan pernikahan.

"Kali ini dari mana? Pemegang saham? Salah satu rekan bisnis? dari keluarga apa?"

"Koki restoran kita," jawab ibunya cepat.

Tirta menghentikan irisan steaknya, mencibir jawaban ibunya, ia meletakkan garpunya.

"Apa wajahku seburuk itu? Hingga harus menikah dengan karyawan?" Ia menggeleng.

"Okey, temukan wanita yang kau nikahi dalam seminggu lalu datangi, Ayah, jika tidak, temui koki itu di restoran cabang A," ayahnya beranjak meninggalkan Tirta yang hanya geram dengan keputusan Orang tuanya.

Berkali-kali ia berdecak kesal, wine di gelasnya masih utuh, menurutnya tidak masuk akal menemukan calon istri dalam waktu satu minggu, teken kontrak saja butuh konfirmasi kurang lebih satu bulan.

Sekali lagi ia berdecak kesal.

"Kau tidak minum?" tanya temannya.

"Wine ini membuatku semakin buruk," jawabnya dengan nada malas.

Temannya tertawa kecil, "bukankah kau memang tidak pernah minum wine?" Temannya memesannya satu gelas cola dengan es.

"Gas, tahu koki di cabang A?" Ia menatap embun pada gelas cola tersebut.

Bagas menghentikan tegukkannya, "ow, dia sangat kompeten bahkan bisa menghandle dapur tanpa asisten koki," jelasnya.

"Ck, bukan itu ... apa dia cantik? seksi?" tanyanya dengan mengoyangkan gelas wine membuatnya teraduk.

Bagas hampir menyemburkan wine di mulutnya, ia tertawa kecil, "tidak, "ia menggelengkan kepalanya, "tapi, dia sangat menarik saat kau dekat dengannya."

Tirta menghela nafas pelan, "jadwalkan aku besok ke cabaang A."

"Apa rencana mu?"

"Hanya ingin tahu."

Bagas mengangguk seakan mengerti apa yang akan di lakukan Tirta, sebetulnya ia berharap Tirta tidak tertarik sama sekali dengan dia yang lugu juga sangat manis.

Sebetulnya ia menyimpan sesuatu untuk chef tersebut yang ia sendiri tidak berani mengungkapkannya, sejak satu tahun lalu ia selalu memperhatikan chef itu yang menjadi chef di cabang A, bukan karena dia gadis lugu, tapi ia memiliki daya tarik tersendiri.

Senyum yang membuat setiap orang melihatnya akan terbawa suasana bersama senyumnya itu, senyum dari bibir ranum yang tak henti-hentinya tersenyum saat mulai mengecap makanan.

Ia sangat menyukai senyum itu sampai tidak ada keneranian untuk mendekatinya barang sedikit, mungkin akan merusak suasana hatinya, pikirnya.

"Apa kau naksir dia?"

Pertanyaan tiba-tiba dari Tirta membuat Bagas hampir menyemburkan wine di mulutnya ke seorang bartender di depan, ia menutup mulut.

"Kau ini aneh, jelas dia bukan tipe ku."

"Bagus, jadi, aku bisa jatuh cinta kapanpun," gumamnya.

"Apa?" Bagas bertanya agar Tirta mengulangi perkataannya.

"Why? Aku tidak mengatakan apapun," Tirta tersenyum geli melihat ke kepoan temannya.

"Ku pikir kau berkata sesuatu tentang jatuh cinta."

Tirta tersenyum dan menggeleng, menyembunyikan ekspresi kaget, ia menenggak cola hingga habis tanpa mendengarkan Bagas yang mulai meracau sebab wine dari gelasnya telah naik ke ubun-ubun.

Tirta melempar handuk ke dalam ranjang baju kotor, ia melangkah menuju lap topnya, ada beberapa surel dari perusahaan rintisan yang mencari investor, beberapa surel di abaikannya, ia membuka surel dari Bagas pribadi, ia mengklik dan membaca dengan suara berbisik.

"Sekolah kejurusan masak, beasiswa, pengalaman berkerja di restaurant de lezrisa, Venesia sebagai chef utama."

Ia bersandar pada tumpukan bantal, ia membulatkan mulut takjub, Venesia bukan sembarang orang bisa sampai ke sana bahkan menjadi chef utama, kenapa dia kembali ke indonesia kalau karirnya bagus di sana.

************

Tirta memasuki dapur di ikuti oleh maneger restoran tersebut, semua tampak menyibukkan diri tanpa kecuali bagian dapur yang terus mengolah pesanan, di sisi pojok dapur terlihat sorang koki memplating pesanan, pandangannya langsung tertuju pada chef tersebut, ia sama sekali tak memerhatikan karyawan lainnya yang berkerja di dapur.

Semua tampak gugup saat tahu kalau bos mereka berdiri memerhatikan karyawannya bekerja, salah satu dari mereka tersadar bahwa bosnya hanya memerhatikan chef mereka dengan pengelihatan yang membuat tidak akan nyaman, tatapan seperti seorang stalker.

Beberapa dari mereka saling berbisik.

Chef itu membersihkan tangan sambil berteriak "Meja 18, siap."

"Ya, chef."

Ia masih memperhatikan chef tersebut.

Bagas mendekati chef tersebut, berbisik, seketika chef tersebut memberi hormat dan mendekati Tirta, ia tertunduk.

"Saya, chef Allura, pak," ia memperkenalkan diri dengan bergetar.

"Rainy allura?"

"Ya," ia mendongakkan kepalanya.

Tirta tersenyum.

Keduanya berjalan menyelusuri bagian belakang hotel cabang A, Tirta mengedarkan pandanganya, ditangannya memegang gelas coffe bersamaan dengan itu Allura hanya menatap langkah kakinya.

"Apa ada sesuatu di sepatu mu?"

Allura menoleh, ia berdehem kecil berjalan tegak.

"Kau pasti canggung dan tidak nyaman dengan ini, berjalan dengan anak bos yang juga pemegang cabang A, tapi ... lihat semua pengunjung melihat kemari dengan iri, jadi tidak ada alasan untuk menolakku," jelasnya dengan angkuh.

"Maaf?" Allura bertanya seakan meminta penjelasan dari maksud perkataan 'tidak ada alasan menolaknya'

"Mm, kawin kontrak, mungkin begitu lebih jelasnya," ia berkata dengan sangat enteng, Allura terpaku di tempat.

"Saya menolak," jawabnya.

Tirta berdecak dan berkacak pinggang, bagaimana bisa wanita kelas rendahan seperti dia menolaknya, ia meletakan gelas di meja pinggir kolam renang,"kau serius menolak ku? Bagaimana jika orang tuaku yang mengajukan tawaran pernikahan?, ini berbeda dari kawin kontrak biasanya, ini perjodohan, tanpa kontrak dan persyaratan," jelasnya.

Allura terpaku.

"Jadi, kau menerima ini tawaranku?"

Allura masih terpaku, ia menatap Tirta, "saya harus berpikir, Pak, mohon menunggu."

"Baik, satu hari tidak lebih," jawab Tirta, "sebentar, sebelumnya kau pernah bekerja di Vanesia bukan?"

Allura menggaruk pipinya yang tidak gatal, "ya, pak."

"Kenapa kau kembali ke indonesia?"

Allura menarik napas, "hanya ingin dekat dengan keluarga, lagi pula orang tua saya sudah mendekati masa lansia," jelasnya dengan mata terbelalak.

"Bukan karena biaya hidup yang lebih besar ?"

Allura mengangguk pelan.

"Oleh karena itu, menikah dengan ku ... kau akan mendapat kan segalanya," jawab Tirta dengan senyum angkuh di wajahnya.

Allura tidak menghiraukan Tirta yang masih mengoceh tentang keuntungan dari pernikahannya, ia berjalan menuju dapur melanjutkan perkerjaannya, ia menghela napas berat, kalau bukan karena peristiwa ayahnya kecelakaan saat proyek kontruksi berlangsung di gedung tempat kerjanya, mana mungkin ia meninggalkan kesempatan emas berada di Vanesia adalah cita-citanya.

Hingga saat ini, kaki Ayahnya masih belum sempurna untuk berjalan jadi butuh bantuan untuk melakukan aktifitas sehari-harinya.

Dengan gajinya sebagai chef utama di restoran kota gadis, beruntung cukup menghidupi dirinya dan ayahnya.

Dari balkon kamar hotel sepasang mata memerhatikan keduanya, Bagas tersenyum tahu kalau Allura tidak akan mudah menerima Tirta walaupun dengan imingan selangit, Allura mendambakan cinta dari pria yang akan di nikahinya.

Allura memasuki halaman rumahnya, tidak seperti biasanya lampu ruang tengah dirumahnya masih benderang, jam 22:00 ia yakin jam sama seperti hari-hari yang sudah, ayahnya tidak mungkin menunggunya pulang kerja, karena persendiannya akan sangat sakit kalau duduk di cuaca dingin, terlebih ini musim hujan.

"Oh, Allura, sudah pulang?" Tanya ayahnya yang duduk di shofa berhadapan dengan seseorang yang di kenalnya.

Tirta melempar senyum serta melambaikan tangan.

Allura terdiam sejenak, senyum Tirta membuat pikirannya berhenti sejenak, bahkan detak jantungnya berdegup kencang.

"Aku harus kedalam," katanya kikuk, ia berjalan cepat menuju dapur, menghembuskan napas pelan, ia meraba dadanya degupannya masih terasa, "apa-apaan senyumnya itu," batinnya, ia menengguk segelas air putih dingin," wah, cuaca sedingin ini tiba-tiba menjadi panas," ia bicara sendiri.

Allura mengantar Tirta menuju mobilnya diparkir jalan sebelum masuk gang rumahnya, memang rumah Allura di gang kecil tepat di belakang hotel dan restoran cabang A.

"Jadi, kau menerima tawaranku?"

"Apa pernikahan ini seperti di film atau novel, maksudku, aku hanya harus melahirkan keturunan?"

Mendengar pertanyaan Allura ia tertawa sangat keras hingga membungkuk, sudut matanya sedikit mengeluarkan air mata, "dasar tukang khayal," katanya seraya mengusap kepala Allura.

Allura tertegun, ia memegangi kepalanya.

"Tidak, tapi, kau peran utamanya," kata Tirta, ia meanarik tongkat persneling, sebelumnya melambaikan tangan ke arah Allura.

Allura juga melambaikan tangan setelah Tirta dengan mobilnya melaju, meninggalkan ia sendiri yang masih tersipu dengan senyum juga usapan pada kepalanya tadi.

Ia mengulum senyum, melangkah masuk kedalam rumah, pikirannya melayang membawanya ke masa interviewe untuk pertama kalinya di kantor pusat, opininya saat itu adalah Tirta seorang bos yang sombong, bisa di bilang se enaknya tanpa memikirkan perasaan orang lain, sebab saat itu ia melihat Tirta memarahi salah satu karyawan hotel yang salah terhadap tamu vip, Allura menggelengkan kepala dan membatin sangat keterlaluan.

Namun, di lain waktu, tanpa sengaja ia melihat Tirta membantu seorang nenek tua membawa belanjaannya begitu keluar dari swalayan, dengan senang hati Tirta membantunya menyebrang jalan dan memberinya tumpangan, seketika opini berubah menjadi Tirta bos yang sulit di terka.

Entah, mulai saat itu jantung Allura bedegup kencang setiap kali mengingat hal itu, mungkin terlihat biasa, tapi bagi Allura itu hal yang sangat menakjubkan, di bandingkan dengan keseharian Tirta yang berada di kantor, bahkan jika berpapasan wajah Allura akan berubah merah dan jantungnya berdegup kencang.

Ia menoleh kearah pintu yang di ketuk, ayahnya berdiri diambang pintu tersenyum kepadanya.

"Kau suka dengan pernikahan ini?"

"Entah, terlalu tiba-tiba," jawabnya dengan nada bingung, ia memeluk bantal.

"Kau bisa menolaknya kalau mau."

"Tidak, mungkin aku sudah memutuskan juga," jawabnya dengan tersenyum lebar.

Ayahnya memeluk erat, "kau bisa datang pada ayah, apapun yang terjadi nantinya.

Allura mengangguk.

**********

Allura turun dari Taxi tepat di depan pintu masuk Hotel Mahkota group, Hotel kelas bintang 5 sebagai pusat dari cabang hotel lainnya, tamu-tamu yang datang juga berbeda dari tamu vip cabang, ia masuk kedalam lobi dan berjalan menuju pintu lift, saat pintu terbuka beberapa karyawan hotel berada di sana dan mempersilahkan Allura untuk naik.

Hotel pusat memang berbeda, dari segi seragam serta furniture yang sangat elegant dan mewah, ia bersandar pada dinding hotel.

"Maaf, nona, kau akan naik ke lantai berapa?" Tanya seorang karyawan wanita.

"Ke ruangan ceo."

Karyawan itu mengangguk.

Diantara mereka mulai berbisik, "aku selalu gemetar saat mengantar kopi atau apapun ke ruangan, Pak Tirta," katanya seraya mempraktekan tangan yang gemetar.

"Ya, saat dia berkeliling aura sekitarnya berubah seperti saat ujian sekolah, mencekam ... juga horor."

"Tapi, aku suka, dia tampan," kata yang lainnya dengan wajah yang sangat terpesona.

"Ya, tapi, aku lebih suka, Pak Bagas," sahut lainnya.

"Beruntung semua staf bertemu mereka setiap hari, seakan tertimpa durian runtuh."

"Ya, itulah kekuatan good loking."

Allura berjalan menuju ruangan Tirta, dengan segenap hati ia melangkah dan memberanikan diri menemui Tirta di ruangannya, sebelumnya ia bertanya pada Bagas, bisakah ia menemui Tirta, apa yang harus di bawanya dan bagaimana ia harus bersikap, tapi Bagas memberi jawaban yang singkat.

"Bersikaplah seperti biasa, kau sangat manis," jawabnya seraya menepuk pundak Allura.

Allura masih terpaku didepan pintu ruangan Tirta, ia hendak mengetuk tapi, mengurungkannya, ia maju mundurr beberapa kali hingga akhirnya pintu terbuka lebih dulu membuatnya tersentak kaget dan hampir lari dari sana.

Ia membelakangi pintu.

"Loh, Chef Lura," sapa Nyonya Winata saat melihatnya berpaling dari pintu.

Allura membalikan badan, memberi hormat, "saya bisa bertemu dengan, Pak Tirta?" Tanyanya gugup.

"Oo, silahkan, padahal ini hari libur anda kan?"

Allura mengangguk.

"Silahkan," ucapnya, ia meninggalkan ruangan anaknya dengan tersenyum lebar, tersenyum sebab merasa lucu melihat tingkah Allura, ia yakin keduanya akan sama-sama cocok.

Allura masuk dengan pelan membuka pintu, ia berharap pintu mewah ini tidak mengeluarkan derit, tapi flatshoesnya mengeluarkan suara keras hingga ia sendiri kaget.

"Aku sudah tahu kedatangan mu, " kata Tirta dengan tetap menatap layar laptopnya.

Allura mendekat, ia berdiri di depan meja Tirta, jari jemarinya saling bertautan didepan menunjukan ia sangat khawatir, terlebih ia hanya diam selama beberapa menit sebab Tirta tidak melihat ke arahnya sama sekali.

"Maaf, Pak, bisakah saya bicara?" tanyanya hati-hati.

"Bicaralah," Tirta tetap sibuk dengan laptopnya.

Allura menarik napas panjang, jantungnya berdetak sangat tidak beraturan membuat sendi kakinya lemas, "mm, mengenai tawaran kemarin."

Tirta menghentikan mausenya, ia melepas kacamata dan mulai menatap Allura yang terlihat sangat pucat, tapi satu yang membuatnya fokus terhadap wajah Allura, hidung bangir serta ranum bibir kecilnya, ia mencari sesuatu yang menarik seperti yang di katakan Bagas, ia hanya menemukan Allura yang tampak kikuk dan tidak nyaman dengan posisi yang di buatnya.

Tirta mendekat, membuat Allura mundur sedikit, "Pak, bisakah kita bicara?"

Tirta tetap terus menatapnya, ia mendengar detak jantung Allura yang berderu kencang, ia semakin menatap wajah Allura, kenapa kau berdegup kencang, apa kau menyukaiku atau takut.

Allura sedikit berkeringat.

Ya, kau takut

Terpopuler

Comments

Lin_nda

Lin_nda

hola kak, aku mampir di novel kedua kakak ya,,

2021-02-03

1

Rosni Lim

Rosni Lim

Salam kenal juga

2021-01-01

1

Azriel 계정

Azriel 계정

Novel yang bagus!!
Judul,Alur,dan penghayatan nya menarik!!
semangat Kakak!!
Ku sudah mampir pada Toko cerita mu!!
salam hangat dariku!!
Bunda Kai~
❦❧♫ᴋʏʟᴇ ʟɪʙʀᴀ_ᴋᴀɪ ʟɪʙʀᴀ♬❦❧

2020-12-29

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!