perjodohan.
Penerangan yang cukup harmonis di ruangan vip restoran ternama di kota gadis, Mahkota group memang memiliki standar tersendiri dalam berbisnis.
Hidangan ala asia berjejer di meja, bukan untuk tamu melainkan hidangan mewah untuk ceo muda Mahkota group.
Tirta menatap kedua orang tuanya, suasana ruang makan menjadi sangat hening, tidak ada gesekan pisau memotong steak serta suara renyah mengunyah salad.
Semua menunggu keputusan Tirta, anak semata wayang serta pewaris tunggal Mahkota group, topik yang sama sekali Tirta benci selama ia menjadi pria dewasa, perjodohan.
Entah yang keberapa kali orang tuanya menjodohkannya dengan anak dari pemegang saham atau anak dari rekan bisnis mereka, Tirta memang sudah memasuki masa pernikahan di umurnya yang ke 35.
"Apa ini kado ulang tahunku?"
Ayahnya mulai gundah, jawaban yang sama setiap kali membicarakan pernikahan.
"Kali ini dari mana? Pemegang saham? Salah satu rekan bisnis? dari keluarga apa?"
"Koki restoran kita," jawab ibunya cepat.
Tirta menghentikan irisan steaknya, mencibir jawaban ibunya, ia meletakkan garpunya.
"Apa wajahku seburuk itu? Hingga harus menikah dengan karyawan?" Ia menggeleng.
"Okey, temukan wanita yang kau nikahi dalam seminggu lalu datangi, Ayah, jika tidak, temui koki itu di restoran cabang A," ayahnya beranjak meninggalkan Tirta yang hanya geram dengan keputusan Orang tuanya.
Berkali-kali ia berdecak kesal, wine di gelasnya masih utuh, menurutnya tidak masuk akal menemukan calon istri dalam waktu satu minggu, teken kontrak saja butuh konfirmasi kurang lebih satu bulan.
Sekali lagi ia berdecak kesal.
"Kau tidak minum?" tanya temannya.
"Wine ini membuatku semakin buruk," jawabnya dengan nada malas.
Temannya tertawa kecil, "bukankah kau memang tidak pernah minum wine?" Temannya memesannya satu gelas cola dengan es.
"Gas, tahu koki di cabang A?" Ia menatap embun pada gelas cola tersebut.
Bagas menghentikan tegukkannya, "ow, dia sangat kompeten bahkan bisa menghandle dapur tanpa asisten koki," jelasnya.
"Ck, bukan itu ... apa dia cantik? seksi?" tanyanya dengan mengoyangkan gelas wine membuatnya teraduk.
Bagas hampir menyemburkan wine di mulutnya, ia tertawa kecil, "tidak, "ia menggelengkan kepalanya, "tapi, dia sangat menarik saat kau dekat dengannya."
Tirta menghela nafas pelan, "jadwalkan aku besok ke cabaang A."
"Apa rencana mu?"
"Hanya ingin tahu."
Bagas mengangguk seakan mengerti apa yang akan di lakukan Tirta, sebetulnya ia berharap Tirta tidak tertarik sama sekali dengan dia yang lugu juga sangat manis.
Sebetulnya ia menyimpan sesuatu untuk chef tersebut yang ia sendiri tidak berani mengungkapkannya, sejak satu tahun lalu ia selalu memperhatikan chef itu yang menjadi chef di cabang A, bukan karena dia gadis lugu, tapi ia memiliki daya tarik tersendiri.
Senyum yang membuat setiap orang melihatnya akan terbawa suasana bersama senyumnya itu, senyum dari bibir ranum yang tak henti-hentinya tersenyum saat mulai mengecap makanan.
Ia sangat menyukai senyum itu sampai tidak ada keneranian untuk mendekatinya barang sedikit, mungkin akan merusak suasana hatinya, pikirnya.
"Apa kau naksir dia?"
Pertanyaan tiba-tiba dari Tirta membuat Bagas hampir menyemburkan wine di mulutnya ke seorang bartender di depan, ia menutup mulut.
"Kau ini aneh, jelas dia bukan tipe ku."
"Bagus, jadi, aku bisa jatuh cinta kapanpun," gumamnya.
"Apa?" Bagas bertanya agar Tirta mengulangi perkataannya.
"Why? Aku tidak mengatakan apapun," Tirta tersenyum geli melihat ke kepoan temannya.
"Ku pikir kau berkata sesuatu tentang jatuh cinta."
Tirta tersenyum dan menggeleng, menyembunyikan ekspresi kaget, ia menenggak cola hingga habis tanpa mendengarkan Bagas yang mulai meracau sebab wine dari gelasnya telah naik ke ubun-ubun.
Tirta melempar handuk ke dalam ranjang baju kotor, ia melangkah menuju lap topnya, ada beberapa surel dari perusahaan rintisan yang mencari investor, beberapa surel di abaikannya, ia membuka surel dari Bagas pribadi, ia mengklik dan membaca dengan suara berbisik.
"Sekolah kejurusan masak, beasiswa, pengalaman berkerja di restaurant de lezrisa, Venesia sebagai chef utama."
Ia bersandar pada tumpukan bantal, ia membulatkan mulut takjub, Venesia bukan sembarang orang bisa sampai ke sana bahkan menjadi chef utama, kenapa dia kembali ke indonesia kalau karirnya bagus di sana.
************
Tirta memasuki dapur di ikuti oleh maneger restoran tersebut, semua tampak menyibukkan diri tanpa kecuali bagian dapur yang terus mengolah pesanan, di sisi pojok dapur terlihat sorang koki memplating pesanan, pandangannya langsung tertuju pada chef tersebut, ia sama sekali tak memerhatikan karyawan lainnya yang berkerja di dapur.
Semua tampak gugup saat tahu kalau bos mereka berdiri memerhatikan karyawannya bekerja, salah satu dari mereka tersadar bahwa bosnya hanya memerhatikan chef mereka dengan pengelihatan yang membuat tidak akan nyaman, tatapan seperti seorang stalker.
Beberapa dari mereka saling berbisik.
Chef itu membersihkan tangan sambil berteriak "Meja 18, siap."
"Ya, chef."
Ia masih memperhatikan chef tersebut.
Bagas mendekati chef tersebut, berbisik, seketika chef tersebut memberi hormat dan mendekati Tirta, ia tertunduk.
"Saya, chef Allura, pak," ia memperkenalkan diri dengan bergetar.
"Rainy allura?"
"Ya," ia mendongakkan kepalanya.
Tirta tersenyum.
Keduanya berjalan menyelusuri bagian belakang hotel cabang A, Tirta mengedarkan pandanganya, ditangannya memegang gelas coffe bersamaan dengan itu Allura hanya menatap langkah kakinya.
"Apa ada sesuatu di sepatu mu?"
Allura menoleh, ia berdehem kecil berjalan tegak.
"Kau pasti canggung dan tidak nyaman dengan ini, berjalan dengan anak bos yang juga pemegang cabang A, tapi ... lihat semua pengunjung melihat kemari dengan iri, jadi tidak ada alasan untuk menolakku," jelasnya dengan angkuh.
"Maaf?" Allura bertanya seakan meminta penjelasan dari maksud perkataan 'tidak ada alasan menolaknya'
"Mm, kawin kontrak, mungkin begitu lebih jelasnya," ia berkata dengan sangat enteng, Allura terpaku di tempat.
"Saya menolak," jawabnya.
Tirta berdecak dan berkacak pinggang, bagaimana bisa wanita kelas rendahan seperti dia menolaknya, ia meletakan gelas di meja pinggir kolam renang,"kau serius menolak ku? Bagaimana jika orang tuaku yang mengajukan tawaran pernikahan?, ini berbeda dari kawin kontrak biasanya, ini perjodohan, tanpa kontrak dan persyaratan," jelasnya.
Allura terpaku.
"Jadi, kau menerima ini tawaranku?"
Allura masih terpaku, ia menatap Tirta, "saya harus berpikir, Pak, mohon menunggu."
"Baik, satu hari tidak lebih," jawab Tirta, "sebentar, sebelumnya kau pernah bekerja di Vanesia bukan?"
Allura menggaruk pipinya yang tidak gatal, "ya, pak."
"Kenapa kau kembali ke indonesia?"
Allura menarik napas, "hanya ingin dekat dengan keluarga, lagi pula orang tua saya sudah mendekati masa lansia," jelasnya dengan mata terbelalak.
"Bukan karena biaya hidup yang lebih besar ?"
Allura mengangguk pelan.
"Oleh karena itu, menikah dengan ku ... kau akan mendapat kan segalanya," jawab Tirta dengan senyum angkuh di wajahnya.
Allura tidak menghiraukan Tirta yang masih mengoceh tentang keuntungan dari pernikahannya, ia berjalan menuju dapur melanjutkan perkerjaannya, ia menghela napas berat, kalau bukan karena peristiwa ayahnya kecelakaan saat proyek kontruksi berlangsung di gedung tempat kerjanya, mana mungkin ia meninggalkan kesempatan emas berada di Vanesia adalah cita-citanya.
Hingga saat ini, kaki Ayahnya masih belum sempurna untuk berjalan jadi butuh bantuan untuk melakukan aktifitas sehari-harinya.
Dengan gajinya sebagai chef utama di restoran kota gadis, beruntung cukup menghidupi dirinya dan ayahnya.
Dari balkon kamar hotel sepasang mata memerhatikan keduanya, Bagas tersenyum tahu kalau Allura tidak akan mudah menerima Tirta walaupun dengan imingan selangit, Allura mendambakan cinta dari pria yang akan di nikahinya.
Allura memasuki halaman rumahnya, tidak seperti biasanya lampu ruang tengah dirumahnya masih benderang, jam 22:00 ia yakin jam sama seperti hari-hari yang sudah, ayahnya tidak mungkin menunggunya pulang kerja, karena persendiannya akan sangat sakit kalau duduk di cuaca dingin, terlebih ini musim hujan.
"Oh, Allura, sudah pulang?" Tanya ayahnya yang duduk di shofa berhadapan dengan seseorang yang di kenalnya.
Tirta melempar senyum serta melambaikan tangan.
Allura terdiam sejenak, senyum Tirta membuat pikirannya berhenti sejenak, bahkan detak jantungnya berdegup kencang.
"Aku harus kedalam," katanya kikuk, ia berjalan cepat menuju dapur, menghembuskan napas pelan, ia meraba dadanya degupannya masih terasa, "apa-apaan senyumnya itu," batinnya, ia menengguk segelas air putih dingin," wah, cuaca sedingin ini tiba-tiba menjadi panas," ia bicara sendiri.
Allura mengantar Tirta menuju mobilnya diparkir jalan sebelum masuk gang rumahnya, memang rumah Allura di gang kecil tepat di belakang hotel dan restoran cabang A.
"Jadi, kau menerima tawaranku?"
"Apa pernikahan ini seperti di film atau novel, maksudku, aku hanya harus melahirkan keturunan?"
Mendengar pertanyaan Allura ia tertawa sangat keras hingga membungkuk, sudut matanya sedikit mengeluarkan air mata, "dasar tukang khayal," katanya seraya mengusap kepala Allura.
Allura tertegun, ia memegangi kepalanya.
"Tidak, tapi, kau peran utamanya," kata Tirta, ia meanarik tongkat persneling, sebelumnya melambaikan tangan ke arah Allura.
Allura juga melambaikan tangan setelah Tirta dengan mobilnya melaju, meninggalkan ia sendiri yang masih tersipu dengan senyum juga usapan pada kepalanya tadi.
Ia mengulum senyum, melangkah masuk kedalam rumah, pikirannya melayang membawanya ke masa interviewe untuk pertama kalinya di kantor pusat, opininya saat itu adalah Tirta seorang bos yang sombong, bisa di bilang se enaknya tanpa memikirkan perasaan orang lain, sebab saat itu ia melihat Tirta memarahi salah satu karyawan hotel yang salah terhadap tamu vip, Allura menggelengkan kepala dan membatin sangat keterlaluan.
Namun, di lain waktu, tanpa sengaja ia melihat Tirta membantu seorang nenek tua membawa belanjaannya begitu keluar dari swalayan, dengan senang hati Tirta membantunya menyebrang jalan dan memberinya tumpangan, seketika opini berubah menjadi Tirta bos yang sulit di terka.
Entah, mulai saat itu jantung Allura bedegup kencang setiap kali mengingat hal itu, mungkin terlihat biasa, tapi bagi Allura itu hal yang sangat menakjubkan, di bandingkan dengan keseharian Tirta yang berada di kantor, bahkan jika berpapasan wajah Allura akan berubah merah dan jantungnya berdegup kencang.
Ia menoleh kearah pintu yang di ketuk, ayahnya berdiri diambang pintu tersenyum kepadanya.
"Kau suka dengan pernikahan ini?"
"Entah, terlalu tiba-tiba," jawabnya dengan nada bingung, ia memeluk bantal.
"Kau bisa menolaknya kalau mau."
"Tidak, mungkin aku sudah memutuskan juga," jawabnya dengan tersenyum lebar.
Ayahnya memeluk erat, "kau bisa datang pada ayah, apapun yang terjadi nantinya.
Allura mengangguk.
**********
Allura turun dari Taxi tepat di depan pintu masuk Hotel Mahkota group, Hotel kelas bintang 5 sebagai pusat dari cabang hotel lainnya, tamu-tamu yang datang juga berbeda dari tamu vip cabang, ia masuk kedalam lobi dan berjalan menuju pintu lift, saat pintu terbuka beberapa karyawan hotel berada di sana dan mempersilahkan Allura untuk naik.
Hotel pusat memang berbeda, dari segi seragam serta furniture yang sangat elegant dan mewah, ia bersandar pada dinding hotel.
"Maaf, nona, kau akan naik ke lantai berapa?" Tanya seorang karyawan wanita.
"Ke ruangan ceo."
Karyawan itu mengangguk.
Diantara mereka mulai berbisik, "aku selalu gemetar saat mengantar kopi atau apapun ke ruangan, Pak Tirta," katanya seraya mempraktekan tangan yang gemetar.
"Ya, saat dia berkeliling aura sekitarnya berubah seperti saat ujian sekolah, mencekam ... juga horor."
"Tapi, aku suka, dia tampan," kata yang lainnya dengan wajah yang sangat terpesona.
"Ya, tapi, aku lebih suka, Pak Bagas," sahut lainnya.
"Beruntung semua staf bertemu mereka setiap hari, seakan tertimpa durian runtuh."
"Ya, itulah kekuatan good loking."
Allura berjalan menuju ruangan Tirta, dengan segenap hati ia melangkah dan memberanikan diri menemui Tirta di ruangannya, sebelumnya ia bertanya pada Bagas, bisakah ia menemui Tirta, apa yang harus di bawanya dan bagaimana ia harus bersikap, tapi Bagas memberi jawaban yang singkat.
"Bersikaplah seperti biasa, kau sangat manis," jawabnya seraya menepuk pundak Allura.
Allura masih terpaku didepan pintu ruangan Tirta, ia hendak mengetuk tapi, mengurungkannya, ia maju mundurr beberapa kali hingga akhirnya pintu terbuka lebih dulu membuatnya tersentak kaget dan hampir lari dari sana.
Ia membelakangi pintu.
"Loh, Chef Lura," sapa Nyonya Winata saat melihatnya berpaling dari pintu.
Allura membalikan badan, memberi hormat, "saya bisa bertemu dengan, Pak Tirta?" Tanyanya gugup.
"Oo, silahkan, padahal ini hari libur anda kan?"
Allura mengangguk.
"Silahkan," ucapnya, ia meninggalkan ruangan anaknya dengan tersenyum lebar, tersenyum sebab merasa lucu melihat tingkah Allura, ia yakin keduanya akan sama-sama cocok.
Allura masuk dengan pelan membuka pintu, ia berharap pintu mewah ini tidak mengeluarkan derit, tapi flatshoesnya mengeluarkan suara keras hingga ia sendiri kaget.
"Aku sudah tahu kedatangan mu, " kata Tirta dengan tetap menatap layar laptopnya.
Allura mendekat, ia berdiri di depan meja Tirta, jari jemarinya saling bertautan didepan menunjukan ia sangat khawatir, terlebih ia hanya diam selama beberapa menit sebab Tirta tidak melihat ke arahnya sama sekali.
"Maaf, Pak, bisakah saya bicara?" tanyanya hati-hati.
"Bicaralah," Tirta tetap sibuk dengan laptopnya.
Allura menarik napas panjang, jantungnya berdetak sangat tidak beraturan membuat sendi kakinya lemas, "mm, mengenai tawaran kemarin."
Tirta menghentikan mausenya, ia melepas kacamata dan mulai menatap Allura yang terlihat sangat pucat, tapi satu yang membuatnya fokus terhadap wajah Allura, hidung bangir serta ranum bibir kecilnya, ia mencari sesuatu yang menarik seperti yang di katakan Bagas, ia hanya menemukan Allura yang tampak kikuk dan tidak nyaman dengan posisi yang di buatnya.
Tirta mendekat, membuat Allura mundur sedikit, "Pak, bisakah kita bicara?"
Tirta tetap terus menatapnya, ia mendengar detak jantung Allura yang berderu kencang, ia semakin menatap wajah Allura, kenapa kau berdegup kencang, apa kau menyukaiku atau takut.
Allura sedikit berkeringat.
Ya, kau takut
...Express wedding....
Degup jantungnya masih terdengar, membuat Tirta sendiri tidak nyaman akan tetapi,
Tirta terus menatap Allura yang memejamkan mata dengan kedua tangan memblok bagian depan tubuhnya, seperti terpojok dengan situasi tersebut.
Kenapa dia takut seperti ini? Apa dia tidak pernah berciuman sebelumnya atau ...
Tirta memalingkan wajahnya, ia mundur dan bersandar pada meja.
"Baiklah, apa jawaban mu?" Tanyanya, ia meletakkan kedua tangannya di saku celana siap mendengarkan jawaban Allura tentang lamaran kemarin.
Ia berharap, jawabannya adalah tidak karena itu bisa di jadikan alasan terhadap orang tuanya, tidak ada lagi perjodohan atau kencan buta sesama anak kolega dan lainnya.
"Aku menyukaimu."
Jawaban Allura membuat Tirta terbelalak, kini jantungnya yang berdegup kencang bahkan hampir lompat dari tempatnya, ia mendesah pelan seakan tidak percaya apa yang di katakan Allura, ia hanya diam tanpa mengatakan apapun.
Allura sendiri juga memandang Tirta yang bersandar pada ujung meja, ia sangat gugup menyatakan perasaannya tanpa ada obrolan lainnya, ia berharap Tirta mengatakan sesuatu atau mengusirnya keluar, menurutnya itu lebih baik ketimbang harus diam dan hanya menatapnya.
"Dari awal, memang aku mengagumi mu, saat kau menatap kedua mataku tatapan itu jatuh ke hatiku hingga jantungku berdegup lebih kencang," ia menggerakan tangannya untuk menghilagkan kegugupannya.
"Apa yang membuatmu kagum tentangku?" Ia bertanya dengan nada angkuh.
"Senyum mu," Allura menjawab dengan mengikuti senyum Tirta.
Hal itu membuat Tirta mengernyit dan meraba bawah bibirnya," itu sudah sering ku dengar, apa yang membuatmu jantungmu berdegup sangat kencang?"
"Cinta."
Tirta kembali di buat berdegup dengan jawaban Allura, ia betul-betul tidak percaya dengan jawabannya kali ini, ia menyembunyikan wajahnya yang merona dengan menenggak segela air, ia sama sekali tidak bisa mengerti jawaban Allura.
"Saat kita mencintai seseorang jantung kita akan berdegup sangat kencang atau menjadi gelisah," Allura masih berdiri, ia mengoyangkan kakinya yang terasa semakin pegal.
"Apa ini jawabannya?" Tanyanya dengan pasti.
"Ya," jawabnya singkat, ia mengigit bibir bawah tampak sangat gelisah.
"Okey," Tirta memanggil seketarisnya lewat interkom, "datang ke ruangan, bawa semua brosur wedding organizer kemarin," ia menutup interkom, lalu tersenyum kepada Allura.
Allura masih terpaku, ia bertanya-tanya sendiri kenapa harus secepat ini memilih WO.
"Bukankah kita perlu tunangan, lalu kencan pertama dan saling mengenal?" Allura mengajukan pertanya dengan mata membulat.
"Mm, ini akan menjadi expres wedding dalam hidupmu, bagaimana?"
Allura memegang keningnya, seakan ia mendapatkan guncangan yang sangat keras dari Tirta, ia menoleh kearah pintu yang terbuka, Evan dan Bagas masuk bersamaan dengan beberapa katalog di tangannya.
"Selamat, Chef Lura," bisiknya sambil menyerahkan brosur kepadanya.
Allura tersenyum terpaksa.
"Yap, pilih konsep dan gaun yang kau suka, beritahu, Bagas, kalau sudah mendapatkan yang cocok."
Bagas menunjuk dirinya sendiri, mulutnya sedikit terbuka.
"Dan," ia menunjuk Allura," kau akan diantar, Bagas, untuk fitting gaun," ia melangkah keluar ruangan, meninggalkan Bagas dan Allura yang masih mencerna maksud Tirta bersikap seperti ini.
Tirta berjalan keluar dari ruangannya, Evan segera meraih tas bosnya dan mengikuti dengan berlari kecil.
Tirta menghembuskan napas, ia kembali bisa bernapas setelah mendapat serangan di dalam ruangannya sendiri, ia berjalan cepat, perlahan senyuman tersungging di wajahnya,.
Beberapa karyawan terheran melihat perubahan atmosfer bos mereka, Evan juga merasa aneh yang berjalan di belakangnya dengan susah payah mengikuti langkahnya.
"Haruskah aku yang repot, saat yang akan menikah adalah dia? Apa ini yang dinamakan posisi dan koneksi, ck ... hmm," ia duduk di sofa panjang, meminta Allura duduk, ia memberikan sebotol air mineral.
Allura menegaknya hingga habis, ia mengusap bibirnya dengan punggung tangan, ia menghembuskan napas.
"Kau nyaman dengan ini?" Tanya Bagas, sedari tadi dia memerhatikan Allura yang tampak seperti kebingungan, dengan harapan Allura dapat menceritakan bahwa semua ini tekana, jadi ia bisa menjadi pahlawan untuknya kali ini dan mengambil kesempatan mendapatkan hati Allura.
"Aku baik-baik saja," jawabnya dengan santai, ia membuka setiap brosur dan katalog, tapi tak satupun yang membuatnya tertarik.
Ia menjadi sedikit kecewa, dengan senyum terpaksa Bagas meraih brosur-brosur tersebut, "apa tidak ada yang bagus?" Ia ikut melihat-lihat brosur tersebut.
"Tidak, tidak, itu semua bagus," ia menjawab dengan panik.
"Tenanglah, sekarang ini kau itu calon istri bos ku, sekalipun aku sahabatnya, dia tetap atasanku," jelasnya.
Allura mengangguk.
"Ada yang kau impikan saat hari pernikahanmu?"
"Ya," jawabnya bersemangat.
"O, coba katakan, mungkin bisa jadi ide yang bagus."
Allura mengangguk, ia terlihat antusias, "gaun sederhana, pesta sederhana, tapi terlihat mewah, dekorasi simple yang elegant terlihat sangat kuat kalau itu acara yang khidmat dan sakral, para tamu yang ikut menikmati setiap acara, ikut berbahagia."
"Iringan lagu romantis serta dengan pemandangan sunrise sebagai penutup acara," Bagas menimpalinya.
"Ya, yang seperti itu,"
Bagas tersenyum seakan sedih, ia mengambil note kecil di meja, "ayo kita buat seperti perencanaan."
"Ya."
Setelah selesai, Bagas mempersilahkan Allura pergi saat Allura memintanya, ia menghela napas panjang, mengelap keringat pada pelipis dan menenggak air mineral.
Tiba-tiba terbayang, Allura menyentuh bibir bawahnya selepas minum tadi, ia menggelengkan kepalanya, "oh, sadarlah, sadar ..., Bagas, kini dia bukan bawahan mu lagi," batinnya.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*
Tirta menscrol handphone membaca beberapa pesan dari Bagas, akhir-akhir ini Bagas sering mengiriminya pesan bahkan isi pesan itu semua tentang Allura.
Aku mengantar, Allura, fitting
sekarang di butik, tepat di blok plaza c.
Tirta hanya menghela nafas, ia memperhatikan seluruh rumahnya, beberapa prabot kamarnya di ganti yang sesuai untuk pengantin baru, ia bersandar pada tembok, bukan ia tidak peduli dengan pernikahan dan sebagainya, jantungnya masih berdegup sangat kencang hingga sulit di kendalikan setiap kali ia ingat jawaban gadis lugu itu.
Mengagumi dan cinta, dua kata itu terus terngiang di telinganya hingga ia mengalami insomnia beberapa hari, beberapa staf karyawan di rumahnya berkata kalau ia sedikit memiliki kantung hitam di kedua mata, ia sekali lagi menghela napas berat.
Tangannya meraba tubuhnya memastikan ia masih dalam keadaan baik-baik saja.
"Tuan, haruskah saya meletakan bunga atau tanaman hias saja?" Tanya seorang pelayan.
"Sebentar," ia meraih handphonenya, mengetik pesan kepada Bagas menanyakan bunga favorit Allura.
'Bunga bank'
Tirta berkerut, dengan balasan pesan dari Bagas, haruskah ia pajang sahamnya di setiap perusahaan atau memajang cek dengan figura, bukankah sangat matearislistis sekali dan itu tidak seperti gambaran wajah Allura, ia menggaruk pipinya yang tidak gatal.
"Jadi, Tuan, bunga atau tanaman hias?"
"Letakan apa saja, asal jangan bunga bank," katanya beranjak dari sana masih dengan menatap handphonnya.
Pelayan itu terheran dan bergumam sendiri, "apa aku harus membeli tanaman dolar dan memberi ucapan selamat?" Ia menggeleng menerusi pekerjaannya.
Allura masih berada di ruang ganti, ia mencoba beberapa gaun wedding, tapi, untuk gaun ke tiga ia kesulitan mengapai resleting baju, sebelumnya Bagas sudah memberi tahu agar di temani seorang karyawan butik, ia menolak dengan alasan tidak terbiasa dan malu, saat ini ia masih mencoba menarik resleting untuk menutupnya tapi tangannya tidak bisa mencapai resleting, ia mengeluarkan kekesalannya dengan berdecak keras.
"Allura, apa bunga kesukaan mu?" tanya Bagas yang duduk di sofa menunggunya.
"Bunga bank," jawabnya kesal, haruskah sekarang menyakan bunga?
Jawaban singkat, tapi terdengar sangat kesal bahkan seperti kesulitan, ia berjalan menuju ruang ganti tapi mengurungkannya, ia mencari seorang karyawan wanita untuk membantu Allura, semua terlihat sibuk.
Ragu-ragu ia berdiri di depan ruang ganti, "Allura, apa ada masalah dengan gaunnya?" tanyanya dengan hati-hati
"Aku, ..."
"Bisa ku bantu?"
"Ya," jawab Allura lirih.
Bagas masuk, ia melihat Allura masih berusaha menggapai resleting di bagian belakang punggung, ia meraih resleting itu dan menutupnya, wajah Allura menjadi sangat bad mood, ia yakin sudah lama Allura mencoba meresletinginga tapi, tetap sulit.
Keduanya menatap cermin didepannya, mata keduanya saling bertemu membuat Bagas segera keluar dari sana, ia memegang dadanya, mencoba menyembunyikan suara yang sangat terdengar jelas.
"Aku suka bunga tulip, tulip merah,"
Bagas terhentak, Allura sudah berdiri di hadapannya dengan pakaian casual sebelum mencoba gaun, ia tersenyum sangat manis, Bagas memegangi dadanya takut kalau suaranya semakin terdengar keluar.
"Oh." Jawabnya singkat, ia menjadi bingung apa yang harus di katakannya, "Ayo, kita makan malam, sudah waktunya bukan?" Tanya Bagas kikuk.
Allura mengangguk, berjalan mengikuti Bagas.
Bagas hanya memegangi tengkuknya, ia tersenyum sendiri, menemai Allura sebelum hari pernikahan tiba juga tidak ada salahnya, padahal selama Allura kerja sebagai bawahannya ia tidak pernah bicara sedikitpun dengannya, hanya menyapa antara Boss dan karyawan.
Ia mengetik pesan pada Tirta memberi tahu bunga ke sukaan Allura, ia terdiam sejenak lalu mendelet pesan.
"Pak, ada yang kau pikirkan?"
"Ya? Ah, tidak, kenapa?"
"Biasanya kalau seseorang memegang tengkuk sambil berjalan di keramaian ada hal yang sedang di pikirkannya," jelas Allura.
Bagas meletakan kedua tangannya di pinggang, "kau ini chef atau cenayang?"
"Maaf, Pak." Ia menelungkupkan tangannya di dada.
Bagas tidak menghiraukannya, ia berjalan lebih dulu, wajahnya berseri seakan hujan bunga diatas kepala, aura bahagia mencuat dari senyum lebarnya.
Ia suka wajah bersalah Allura, sejak pertama kali Allura bekerja di cabang A dan setiap kali bawahan Allura melakukan kesalahan setiap itu juga ia memanggil Allura, Allura akan membuat raut wajah bersalah dengan mata membulat berseri-seri, itu yang membuat Bagas terpikat padanya.
"Pak, aku mau bertanya sesuatu?"
Bagas menoleh.
"Apa ... kau menyukai ku?"
Bagas diam, hanya mendengarkan suara klakson kendaraan yang berlalu lalang serta langkah kaki dari setiap orang yang melintas, tatapannya tetap pada Allura yang terlihat sangat biasa menanyakan hal tersebut, wajah manis itu tanpa ragu menyakannya, membuat degup jantung Bagas berpacu dengan pikirannya.
Allura juga tetap menatap Bagas, banyak hal yang ia tahu tentangnya dari beberapa staf restoran yang sering memergoki Bagas mencuri pandang pada dirinya, ia juga merasa seperti itu saat berjalan di resto atau sedang memasak, entah kenapa menyakan hal itu membuat Allura merasa bersalah juga.
Seharusnya ia cukup diam dan tidak perlu bertanya, tetapi ke ingin tahuannya mengalahkan diam, ia tetap menyakan dan menanti jawabnnya.
"Apa sekarang itu penting?" Bagas kembali bertanya.
Wajah Bagas terlihat serius hingga membuat Allura tertekan, Allura hanya menggeleng agar semua berlalu.
Bagas membalikan badan, ia berjalan cepat dari biasanya,
"Bisa aku mengajukan pertanyaan lain?"
Bagas hanya menghentikan langkah, ia memejamkan mata.
"Saat kau membantuk ku ... untuk ... menaikan resleting, apa kau ... " Allura terdiam sebentar, "kau melihat bagian belakang tubuhku?" Dengan cepat ia menutup wajahnya.
"Huh," Bagas mendengus, ia membalikan badan dengan cepat, melihat Allura menutupi wajah membuatnya harus berkata bohong, "tidak, bagian mana yang ku lihat? Aku memejamkan mata seperti ini," ia mempraktekan memejamkan mata dengan lucu.
Tentu saja Allura tersenyum, ia kembali melangkah berjalan sejajar dengan Bagas.
"Mau makan sesuatu yang pedas?" Tanya Allura.
"Em, boleh, sesuatu yang membuat perut penuh juga."
"Bagaimana dengan mie, mie ayam?"
"Dengan es teh? Kau tahu ... mie ayam yang recomended di sekitaran alun-alun?"
"Ayo, kita cukup berjalan, jadi biarkan mobilnya tetap terparkir di sana," ia menunjuk mobil milik Bagas.
Bagas menyetujuinya dengan mengangguk, keduanya berjalan dengan santai membiarkan hiruk pikuk kota malam ini berjalan bersama mereka, Bagas juga merasa sangat senang dengan keadaan yang mendukung tersebut, cahaya lampu alun-alun membuat ueforia tersendiri hingga hampir melayang jauh.
Allura juga terus tersenyum begitu melihat lampion yang bergantungan dengan cantik, ia menghentikan langkahnya, "cantik," gumamnya pelan.
Pelan-pelan Bagas memotret Allura.
Mie dengan toping ayam membuat Allura menghembuskan napas berat, perutnya sungguh penuh dengan semangkuk mie ayam dan es teh berukuran gelas besar, dia betul-betul menikmati makan tersebut.
Bagas hanya memerhatikan Allura yang menikmati makanannya, di pinggiran alun-alun kota, makan kaki lima dengan ruangan terbuka, ia sangat aneh, itu jauh dari image Allura sebagai chef restoran besar.
"Kau suka makan di pinggiran seperti ini?"
Allura mengangguk.
"Kita bahkan bisa makan di pizza hut, kartu kredit ku sangat cukup untuk itu," jelas Bagas dengan wajah heran.
"Aku suka makan di pinggiran, tapi ... sebelum itu aku selalu melihat tempat tersebut atau tidak, bagaimana mereka menyediakan makanan, tidak masalah bagiku dan yang terpenting siapa yang ku ajak makan," jelasnya.
Bagas tertawa, "maksudmu aku sering makan di pinggiran?"
"Bukan, begitu ... kau terlihat tidak pernah menolak di ajak makan di manapun, seakan kau sangat care dengan setiap orang," ia terlihat kebingunan dengan jawabannya sendiri.
"Kau betul, aku tidak pemilih, tapi ... kau tahu, saat aku mengajak, Tirta, survey makanan pinggir jalan ... ia muntah saat melihat makanannya dan itu sangat menganggu pelanggan lain, aku membayar dua kali lipat dan memohon maaf dengan si pemilik warung dan pelanggan lain," ia bercerita dengan bersemangat.
Allura tertawa keras, ia sangat menikmati cerita tersebut.
Bagas pun menikmati tawa renyah dari Allura, bintang juga tampil begitu banyak di langit, bersamaan malam yang semakin larut dan perlahan angin malam menusuk tulang.
Bagas beranjak dari duduknya, melepas jaz dan memakaikannya kepada Allura.
Allura hanya terdiam, sebab kemejanya juga menembus angin yang berhembus.
"Terimakasih," lirihnya.
Malam pertama
Allura berkali-kali menarik napas dan menghembuskan dengan sangat pelan, ia mengenggam buket bunga dengan kencang beberapa bibi dari keluarga Tirta menemaninya juga ada beberapa sepupu perempuan yang mencoba menenangkannya, tetap saja ia masih merasa gugup.
Ia berdiri menatap keluar jendela, pelataran rumah atau lebih tepatnya kastil keluarga Winata di sulap menjadi taman penuh dengan dekor bunga mawar putih dan liliy di sekitar meja tamu, selepas aqod berlangsung, semua tamu resepsi berdatangan memberi selamat pada keluarga Winata.
Betul-betul keluarga Winata dengan segala kemegahan, juga keluarga besar yang sangat di segani, tamu-tamu yang hadir bukan hanya dari kalangan kolega melainkan pejabat setempat, ia sendiri hanya memberikan undangan kepada kakak angkatnya dan satu orang kenalannya, Bagas.
Halaman luas dengan puluhan pekerja kebun, juga tataan pelataran yang klasik menambah suasana layaknya kembali pada jaman kerajaan berabad-abad lalu, seakan ia adalah cinderella millenium di kota gadis ini.
meneger WO menghampirinya sambil membantu Allura dengan gaun yang di kenakan ia membimbing Allura untuk ke taman, ia berjalan penuh percaya diri menghampiri Tirta yang berdiri di ambang pintu menunggunya, ia mengembangkan senyum terbaiknya dan menagaitkan tangannya pada lengan Tirta.
Tepuk tangan mengiringi kedua pengantin yang akan memperkenalkan diri sebagai pasangan di ikuti juga sesi melempar bunga, sebetulnya Allura merasa heran kenapa harus buket bunga dengan uang kertas bukan bunga sungguhan seprti mawar atau bunga lainnya, mungkin inilah cara orang kaya menghabiskan uang, ia sempat berpikir untuk menyimpannya saja ketimbang di lempar secara cuma-cuma.
Allura tersenyum lebar saat sesi melempar bunga, yang membuat terus berdegup adalah tangan kokoh Tirta terus merangkulnya, entah naluri atau sekedar memberi pertunjukan untuk para tamu, Allura tidak peduli, ia tetap bahagia saat ini.
Terlebih saat aqod berlangsung Tirta sangat lantang mengucapkan aqod, membuat yang hadir terpukau.
Ayah Allura yang tersenyum lebar duduk berdampingan dengan Pak Winata, Allura menyeka ujung matanya dengan jari telunjuk, terharu melihat senyum Ayahnya serta berani bersampingan Tuan Winata.
Tapi, air matanya tetap mengalir.
Seseorang memberikannya tissue, ia mengambilnya dan melihat yang memberikan tissue, "ah, Pak Bagas, aku baru baru melihat mu."
"Berarti kau mencariku sedari tadi?"
Allura mengangguk.
"Untuk apa?" Bagas bertanya dengan menatap Allura yang duduk dengan lesu.
"M, kau satu-satunya yang bisa ku ajak bicara dengan santai," bisiknya.
Bagas berekspresi tidak terima dengan yang di katakan Allura, "wah, apa karena sekarang kau istri, Tirta?"
Allura menggeleng, "maaf." Lirihnya, ia terhentak kaget begitu bahunya disentuh dengan sangat lembut, Tirta duduk disampingnya dan merangkulnya dengan mesra.
Bagas tersenyum dan mendengus,"apa kau sedang pamer?"
Tirta hanya mengedipkan sebelah matanya.
"Ya, aku jomblo," lirih Bagas, ia menenggak winenya hingga habis, "aku butuh wine lebih banyak," katanya dengan melihat gelas winenya telah kosong, ia beranjak meninggalkan keduanya.
Tirta menggandeng Allura menuju meja keluarganya, Allura hanya memerhatikan tangannya yang di gandeng Tirta dengan erat, kini ia memiliki tempat berbagi cerita bahkan kehidupan, semua yang ia lakukan hanya akan berada di samping suaminya apapun yang terjadi.
Ia berharap bisa meluluhkan hati Tirta di masa depan, bukan sekedar perjodohan atau melahirkan keturunan untuk keluarga Winata, ia harus mendapatkan cinta Tirta, hingga tua nanti terus berpegangan tangan dengan erat.
"I love you," bisik Allura di telinga Tirta.
Tirta hanya tersenyum tetap mengobrol dengan yang lainnya, tapi wajahnya sedikit memerah hingga telinga, Allura yakin kalau Tirta sangat malu mendengar pernyataan cinta seperti itu atau mungkin juga dia tipe pria yang suka menyembunyikan perasaan.
*********
Bagas meneggak winenya lalu mengoyangkan botol itu,"habis lagi," gumamnya, ia bangkit dan berjalan sepoyongan menuju rak dimana winenya tersimpan, tidak ada satupun yang tersisa, ia telah menenggak 2 botol terakhir setelah pulang dari pesta resepsi Tirta dan Allura.
Kakinya menyandung karpet membuatnya terjatuh, tidak ada satu lampu yang di nyalakan olehnya sejak tadi berada dalam kegelapan, ia berbaring lurus menatap lampu hias yang terlihat bergoyang ke kanan kiri dimatanya, jari telunjuknya mengikuti arah itu hingga ia mengeluarkan air mata.
"Why? Why? Why?" Teriaknya frustasi.
Ia memukul lantai dengan keras, banyak pertanyaan bergejolak di sela mabuknya yang semakin memuncak, "kenapa harus sefrustasi ini? Kenapa harus sesakit ini? Kenapa baru saat ini, apa ini, perasaan apa?", ia berguling ke kanan dan ke kiri, mencoba menghentikan mabuknya.
"Kenapa aku seperti orang gila, sedangkan dia menjalani malam pertama pernikahan yang panjang," pikirnya, ia tetap berbaring, pikirannya membawa pada punggung putih nan harum milik Allura, ya, siapa yang tidak akan melihatnya saat membantu Allura menutup resleting gaunnya di ruang ganti butik, ia juga bukan orang suci yang akan memejamkan mata ketika porselen cantik nan menawan di hadapannya membutuhkan bantuannya.
"Hah, aku harus menghilangkan itu," ia bangkit, mencari kunci mobil, "oh, berapa kunci apartemen ini?" gumamnya, berkali-kali ia memenekan nomor yang salah hingga akhir ia mendengus dan memaki pintu apartemennya sendiri.
"Hah, ya, security, oke ...," ia menscrol handphonenya mencari kontak security apartemen•
"hallo, pintu apartemenku rusak, dobrak saja, aku harus keluar sekarang!" Ia menempelkan handphonenya di telinga lalu melihatnya lagi, ia tersenyum begitu tahu kalau tersambung tanpa memperdulikan nama kontak yang tertera di layarnya.
Ia bersandar pada tembok, kepalanya sangat berat bahkan membuatnya ingin terlelap dan pergi jauh dari sana, samar-samar terdengar suara di luar pintu apartemennya, perlahan pintu terbuka, cahaya lampu membuatnya silau hingga tidak melihat siapa yang masuk.
"Pak, Bagas? Apa anda mabuk?"
Bagas merasa tubuhnya mendingin serta tamparan yang tidak asing di pipinya, Ia mengerjapkan mata dan melihat seseorang berjongkok didepannya.
"Lura?"
Allura mengangguk," kau mabuk di pernikahan sahabatmu itu tidak masuk akal, pak," omelnya seraya memapah Bagas menuju sofa, Allura melepaskan rangkulan tiba-tiba hingga membuat Bagas terbanting ke sofa.
Bagas meringis memegangi pingangnya, "dia bahkan tidak lembut."
"Aku akan memberimu air mineral, berapa botol yang kau minum? 4 atau 10?" Allura membuka botol air mineral menyodorkan pada Bagas.
Bagas menenggaknya, ia merasa baikan setelah melihat Allura yang datang, tapi, bagaimana dia bisa tahu apartemenya di sini?.
"Setiap kali mabuk kau akan menelpon."
Bagas terbelalak.
"Kadang meracau tidak jelas di jalan, mengacau di swalayan, bernyanyi tidak jelas di lorong apartemen dan sekarang kau menggedor pintu apartemen mu sendiri seperti orang gila," Allura menyalakan kompor gas, mencari bahan makanan di kulkas ia tetap mengoceh layaknya seorang ibu," Andai kau seperti itu saat sadar, mungkin aku menyukaimu," ia tetap mengiris beberapa sayuran untuk sup.
Ia melihat kearah Bagas yang tertidur di sofa, menyelimuti dan meletakan sup diatas meja, "makan ini saat kau bangun, mungkin kau akan kelaparan," Allura berbisik di telinga Bagas.
"Entah dia mendengar atau tidak," gumamnya, ia keluar dari apartemen Bagas.
Bagas mendengar pintu apartemennya tertutup, ia membuka mata dan duduk menatap supa diatas meja tertata dengan rapi, ia mengulang perkataan terakhir Allura di pikirannya, andai kau seperti ini saat sadar, mungkin aku menyukaimu, ia menghela nafas, perkataan itu menambahnya semakin frustasi.
Tapi, sejak kapan ia mabuk sering menelpon Allura, meracau dan lainya, apa itu berarti selama ia mabuk Allura selalu menolongnya dari berbagai tingkah kekacauan yang di buatnya, kenapa setiap kali mabuk keesokannya ia slalu lupa apa yang terjadi selama mabuk, yang ia ingat hanya mabuk lalu tertidur di rumahnya dengan sepatu, sup yang tertata diatas meja saat ia sadar.
Apa itu sup yang sama seperti sebelumnya ia mabuk, ia mendekati meja dan membuka penutupnya.
Bagas menutup wajah dengan kedua telapak tangannya, begitu sadar bahw sup yang sama serta teh dengan aroma vanila yang khas seperti saat sebelum-sebelumnya ia sadar dari mabuk.
Ini memalukan.
*********
Allura berjalan pelan masuk ke dalam kamarnya, ia takut menganggu Tirta yang mungkin saja sudah tidur, membuka pintu dengan sangat pelan dan menyalakan saklar lampu, kamar luas itu kosong, hanya ada tumpukan kado serta gaun tidur di atas kasur.
Ia melihat handphonenya, tepat jam 12 malam.
Mungkin, Tirta, masih berkumpul dengan teman-temannya , pikirnya. Ia mencoba mencarinya ke ruangan lain, tetapi terlalu luas hingga ia memutuskan untuk menelponnya saja.
Ia mengigit bibir, handphone milik Tirta tidak aktif, kemana dia selarut ini, di malam pertama pernikahan? Batinya dengan gelisah.
"Nona, apa kau butuh sesuatu?"
Seorang pelayan menghampirinya begitu tahu ia berdiri dengan memegang handphone dan terlihat snagat khawatir.
"Mm, apa kau tahu, kemana Tuan muda pergi?"
"M, dia harus menemui tamu vip di luar kota, sebab itu ia pergi sekitar jam 11 malam tadi."
"Oh, baikalah, aku akan ke kamar ku saja," ia melangkah dengan pelan.
Ada sedikit kekecewaan di wajahnya, saat setiap orang dengan senang hati menyambut malam pertama, ia sendiri di ranjang yang besar dengan pencahayaan yang cukup untuk dua orang memadu kasih setelah pernikahan, helaannya napasnya menggema di kamar besarnya, ia menatap dirinya di cermin cukup lama.
"Kenapa aku merasa seperti beuty and the beast, bukan cinderella," gumamnya.
Ia merebahkan badannya, matanya sedikit terpejam akan tetapi, ia kembali bangkit dan meraih handphonenya.
Satu panggilan tidak terjawab dari Bagas.
Ia megirim pesan.
Sudah tidur?
Getar handphone membuatnya kaget, "wah, dia membalas dengan cepat."
Belum, kau?
Keduanya terus berkirim pesan.
Tidak bisa memejamkan mata ><
Kenapa?
Aku hanya tidak bisa tidur ;)
Serius? Bukan kau tegang sebab malam pertama mu :)
Mesum ^^
:> :>
"Ish, apa dia sama sekali tidak berterimakasih," gumam Allura.
Thank you;)
Ia hanya tersenyum dengan pesan singkat dari Bagas, "ow, ternyata kau tahu cara berterimakasih."
Ya.
Mari tidur \~\~
Kau duluan.
Apa harus seperti itu? ^ ^
:)
Apa kau sedang tersenyum?
Bagaimana kau tahu?
Mulut Allura membulat, kaget.
Karena emoticon itu ^ ^
Bagas tersenyum sendiri, ia yakin Allura terus tersenyum sebab dia selalu menyunggingkan senyum hanya dengan lelucon yang sedikit menyentuh hatinya, mungkin malam ini tidak seperti bayangan sebelumnya, sebab Tirta berada di sampingnya menemani tamu vip yang juga anak seorang investor di Mahkota group.
Tirta hanya menimpali setiap percakapan bosan yang tidak berujung.
"Bagas, apa kau mulai kencan dengan seseorang?" Tanyanya.
"Tidak, why?" herannya, ia meletakan handphonya di meja.
"Kau tampak sibuk dengan chat, tidak peduli dengan kami, kau juga tersenyum saat mengetik pesan," jelasnya dengan nada memojokan.
"Apa itu sesuatu yang membahagiakan?" Tanya Tirta.
"Ya," jawab Bagas singkat.
"Aku yakin kau berkencan," tudingnya dengan tertawa.
"Belum, aku laki-laki yang di tinggal menikah oleh wanita yang ku taksir," ia berkata dengan wajah sedikit mendrama.
Semuanya meledeknya dengan menepuk pundak dan mengusap kepalanya.
Tirta tersenyum pinggir, "mungkin kau tidak memiliki keberanian, jadi, wanita itu memilih tempat ternyaman."
"Ya, aku tidak berani menyatakan perasaan apapun, selama ini hanya memerhatikannya dari jauh seperti penguntit, entah kenapa ... akhir-akhir ini terlalu menyenangkan, berjalan bersama di bawah langit, memberikan lelucon yang mudah menyentuhnya ... , andai, aku membawanya kabur satu hari sebelum pernikahannya, apa dia akan setuju?"
Semuanya terdiam, mendengarkan ocehan Bagas.
"Aku bahkan sangat kesal dengan laki-laki yang di nikahinya, pasangan macam apa yang meninggalkan psangannya sendirian di malam pertama pernikahan?"
"Waah, bukankah itu seperti dia tidak menghargai atau lebih tepatnya ... tidak ada cinta sama sekali diantara mereka."
Tirta menatap Bagas.
Bagas mengangguk, "pernikahan yang di sebut politik bisnis, membohongi para tamu dengan mesra menggandengnya ke pelaminan, " ia berdecih kesal, "haruskah aku memintanya untuk selingkuh dengan ku?"
Tanpa basa-basi Tirta melayangkan bogem kearah Bagas, yang membuatnya tersungkur hingga ujung bibir Bagas mengeluarkan darah. Seprang temannya melerai keduanya.
"Hei, apa kalian mencintai satu orang yang sama?"
Bagas menatap Tirta dengan mata mengejek.
"Kalau kau tidak bisa menemaninya, setidaknya beralasan ... "
Tirta menghantam Bagas dengan bogemnya lagi, tetapi tidak membuat Bagas menghentikan setiap ucapanya. Hingga temannya menarik Bagas menjauh dari jangkauan Tirta.
"Are you crazy?"
Tirta menghel napas, meninggalkan ruangan tersebut dengan kekesalan dalam hatinya.
Bagas hanya tersenyum dengan darah memenuhi mulutnya.
"Kau sengaja memprovokasinya kan? " tanya teman koleganya tersebut sambil membersihkan beberapa luka di wajahnya.
"Tidak."
Temannya menatap penuh tanda tanya dan hanya menggelangkan kepala.
Sesampainya di rumah, Tirta berlari cepat menaiki tangga dan membuka pintu kamar, ia berjalan pelan menghampiri ranjang dan duduk tepat di samping Allura tidur. Ia menatap wajah Allura yang tenang juga membuatnya ingin menangis.
"Seharusnya kau tolak lamaran ku, kau akan menemui pria yang baik, menemani malam pertama pernikahan mu, tetapi ... , aku akan sangat marah jika kau menolaknya , kau terus membuat degup jantungku tidak gak karuan, itulah sebabnya aku menghindari mu beberapa hari dan malam ini, harusku tebus kesalahan ku malam ini dengan apa?" Ia berbicara sendiri, tangannya terus memainkan rambut Allura.
Perlahan ia mendekatkan wajahnya, napas Allura begitu terasa hangat, mendekatkan bibirnya dan mencium pelan, dagup jantungnya semakin terdengar, ia kembali menatap Allura yang tetap terlelap tanpa bergerak sedikitpun.
"Kau milik ku, sekarang "
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!