Sebetulnya, sebelum usianya yang ke 7, Batari Mahadewi telah mengalami beberapa pengalaman berharga lainnya selain pertemuannya dengan harimau yang akhirnya membuka segel energi pertamanya dan pengalamannya berada dalam perut siluman selama tujuh hari.
Dari pengalaman-pengalaman itu, Batari Mahadewi mulai meragukan kediriannya. Ia menyadari bahwa hal yang ia alami tak mungkin bisa dilalui oleh manusia biasa, setidaknya oleh anak seumurannya. Namun ia belum menyadari bahwa sesungguhnya ia bukanlah manusia, melainkan pusaka dewa dalam wujud sepenuhnya manusia.
Setiap kali ia mendapatkan pengalaman aneh, ia akan sering menyendiri selama beberapa hari sebagaimana yang baru saja ia alami hari ini.
Ketika ia membantu ibunya mencuci baju di sungai, ia melihat permukaan air yang jernih itu memantulkan bayangan benda-benda yang ada di atasnya; langit, pepohonan, dan wajahnya sendiri. Mula-mula ia memandangi saja pantulan dari wajahnya dipermukaan sungai, namun lama-kelamaan, ia melihat ada sosok aneh di dalam sungai itu…makhluk yang wujudnya menyerupai orang.
Makhluk itu mengulurkan sesuatu dalam genggaman tangannya. Mula-mula Batari Mahadewi tak percaya, ia menengok ke arah ibunya dan melihat ibunya masih sibuk dengan cuciannya, kemudian ia kembali memandangi sosok di dalam air itu diam-diam tanpa berfikir untuk memberitahu ibunya lantaran ia tak ingin ibunya khawatir, panik, dan langsung mengajaknya menjauh dari sungai.
Sosok seperti manusia yang di dalam sungai itu menunggu Batari Mahadewi membalas uluran tangannya yang menggenggam sesuatu. Awalnya Batari Mahadewi ragu, namun akhirnya ia memutuskan untuk mencelupkan tangannya ke dalam sungai, menyambut uluran tangan sosok itu.
Batari Mahadewi tak tahu kalau sosok itu adalah dewa sungai, salah satu dewa yang luput dari serangan Kalapati dan balatentaranya karena pada waktu itu, ia tidak berada di khayangan, namun di dalam sungai. Ia tak pernah keluar dari sungai kecuali sang dewa raja memanggilnya.
Dewa sungai itu adalah salah satu dewa tertua yang turut menyumbangkan mustika dewanya untuk menciptakan pusaka dewa. Oleh karena itulah ia tahu bahwa Batari Mahadewi adalah pusaka dewa, salah satu bagian dari dirinya.
Tentu setiap Batari Mahadewi ikut ibunya mencuci di sungai, sang dewa sungai selalu memperhatikan kedatangannya. Namun ia tak pernah menampakkan dirinya karena waktunya belum tiba hingga pada hari itu ia mencoba untuk berkomunikasi dengan Batari Mahadewi.
Dewa sungai memberikan sesuatu dalam genggaman tangannya kepada Batari Mahadewi. Sebuah bola Kristal kecil berwarna biru. Setelah Batari Mahadewi menerimanya, dewa sungai itu menghilang dari pandangan Batari Mahadewi.
Apa itu? Siapakah itu tadi? Aku seperti tak asing dengan sosok itu, tapi kapan aku pernah melihatnya? kata Batari Mahadewi dalam hati.
“Apa yang sedang kamu lamunkan anakku?” Tanya Nyi Kunyit.
“Tidak ibu, aku hanya melihat ikan-ikan di dalam air.” Balas Batari Mahadewi yang berusaha menutupi apa yang baru saja ia alami.
“Airnya sangat jernih, banyak ikan kecil yang terlihat. Kalau kamu membuka celah-celah batu di pinggir sungai itu, kamu bisa menemukan udang dan kepiting. Dulu ibu sering mencari udang sewaktu kecil bersama nenekmu.” Nyi Kunyit bercerita kepada Batari Mahadewi.
“Apakah ibu sering dapat banyak udang?” tanya Batari Mahadewi.
“Iya, aku mengumpulkannya, lalu memasaknya di rumah bersama nenekmu. Rasanya sungguh enak.” Balas Nyi Kunyit. “Kalau ayahmu masih hidup, mungkin ia akan mengajarimu cara menangkap udang dan ikan di sungai. Dulu ayahmu sering mendapatkan ikan besar dari sungai ini.” Nyi Kunyit melanjutkan ceritanya.
“Ibu sudah selesai mencuci, apakah kamu sudah menyelesaikan cucianmu?” tanya Nyi Kunyit.
“Sudah, bu.” Jawab Batari Mahadewi.
“Kalau begitu ayo kita pulang selagi matahari belum tinggi.” Kata Nyi Kunyit.
“Baik ibu.” Jawab Batari Mahadewi. Kini Batari Mahadewi tidaklah sebandel dulu sebelum ia bertemu dengan harimau. Peristiwa itu mendewasakan Batari Mahadewi secara instan.
Bagaimanapun juga, ia tak ingin melihat ibunya sedih. Cukup sekali saja ia melihat ibunya ketakutan sewaktu berusaha menolongnya dari serangan harimau, dan cukup sekali saja ia melihat ibunya menangis tersedu-sedu ketika ia pulang setelah terbebas dari perut siluman ular yang menelannya waktu itu.
Setelah ia selesai membantu ibunya menjemur baju, Batari Mahadewi langsung menuju kamarnya. Ia mengeluarkan bola kristal kecil yang memancarkan cahaya berwarna biru yang ia dapatkan dari sosok dalam sungai pagi tadi.
Benda apa ini? gumam Batari Mahadewi. Meski ia tak tahu benda apakah itu, ia tahu bahwa benda itu memiliki energi yang sangat besar.
Batari Mahadewi mencoba menggenggam bola kristal itu dan berusaha menyerap energinya. Batari Mahadewi terkejut karena yang ia serap bukan hanya energi, tapi juga pengetahuan.
Baru sejenak ia mencoba mempelajari hal-hal baru melalui bola kristal itu, ibunya telah mengetuk pintu kamarnya. “Tari anakku sayang, ayo lekas makan. Ibu baru saja selesai memasak sayur kesukaanmu.” Suara Nyi Kunyit terdengar dari luar.
Batari Mahadewi memutuskan untuk menunda keasyikannya dengan bola kristal itu dan melanjutkannya nanti malam setelah ibunya tertidur. “Iya bu, aku akan segera keluar.” Jawab Batari Mahadewi.
“Makan yang banyak, anakku, biar kamu cepat tumbuh menjadi gadis cantik yang kuat” Kata Nyi Kunyit.
“Wah….sayur bayam.” Kata Batari Mahadewi penuh semangat karena di meja makan telah tersedia makanan kesukaannya. Masakan Nyi Kunyit selalu enak buat Batari Mahadewi, namun sayur bayam adalah makanan kesukaannya.
Yang membuat Nyi Kunyit terheran-heran dengan Batari Mahadewi adalah nafsu makannya yang besar. Sejak kecil Batari Mahadewi tidak pernah memilih-milih makanan. Ia selalu makan dengan lahap. Dan di usianya yang sekarang ini, Batari Mahadewi bahkan mampu makan lebih banyak dari porsi makan orang dewasa.
Namun demikian, tubuh Batari Mahadewi tak pernah tampak gendut. Tetapi ia lebih cepat tinggi dibandingkan dengan tinggi badan anak-anak seusianya.
“Tari, setelah makan nanti ibu akan mengajakmu belanja ke pasar, apakah kamu mau ikut?” Nyi Kunyit bertanya kepada Batari Mahadewi.
“Iya ibu, aku mau ikut.” Kata Batari Mahadewi gembira. Ia selalu senang kalau ibunya mengajak ke pasar. Di desa Cemara Seribu tidak ada pasar. Warga desa itu harus pergi ke desa sebelah, yakni desa Teratai Tanah yang jauh lebih ramai dan luas jika dibandingkan dengan desa Cemara Seribu.
Di sana terdapat pasar yang cukup besar karena pasar itu merupakan satu-satunya pasar diantara desa Cemara Seribu, Teratai Tanah, dan satu lagi desa Kayu Putih.
Desa Cemara Seribu dan desa Teratai Tanah dipisahkan oleh sebuah bukit. Maka untuk menuju ke sana, Nyi Kunyit dan Batari Mahadewi harus naik dan turun bukit terlebih dahulu, melewati sebuah hutan kecil yang banyak ditumbuhi pohon-pohon unik yang memiliki batang meliuk-liuk dan berdaun kecil.
Batari Mahadewi sangat senang melihat pohon-pohon itu karena ia tak bisa menemukannya di sekitar rumahnya.
Pohon-pohon unik itu hanya tumbuh di bukit berbatu. Ada jalan setapak kecil di hutan itu. Satu-satunya jalan yang digunakan oleh warga desa Cemara Seribu yang mau pergi ke pasar.
Batari Mahadewi berlari-lari riang mendahului ibunya melewati jalan setapak kecil di hutan itu menuju ke desa Teratai Tanah. Bagi anak kecil lain, barangkali hutan dengan pepohonan yang meliuk-liuk itu tampak menyeramkan, namun tidak buat Batari Mahadewi. Ia tak pernah merasa takut dengan hal-hal yang bagi orang lain menakutkan sejak kemampuannya menangkap dan menyerap pancaran energi meningkat pesat.
Pepohonan yang meliuk-liuk itu menjadi saksi sunyi pertarungan antara ki Gading Putih dengan pendekar golongan hitam, Raja Iblis, pendekar kejam yang bisa membunuh lawan-lawannya dengan tatapan matanya yang mengerikan. Tentu hal itu tak akan berlaku jika ia berhadapan dengan pendekar yang berilmu tinggi.
Pertarungan ki Gading Putih dengan Raja Iblis belangsung selama tiga hari tiga malam. Ki Gading Putih mengakhiri pertarungan dengan jurus pamungkasnya, tapak petir yang hampir tak pernah ia gunakan karena setelah ia menggunakan jurus itu, seluruh tenaganya akan terkuras habis dan ia tak akan mampu bertarung kembali hingga kekuatannya pulih.
Jurus tapak petir itu menghancurkan tubuh Raja Iblis. Percikan darahnya menyebar di pepohonan dan setelahnya, semua pohon yang terkena cipratan darahnya tidak akan tumbuh normal. Batang-batangnya menyusut dan meliuk-liuk. Daun-daunnya pun tak lagi rimbun dan rindang, melainkan menjadi daun-daun kecil. Pohon yang berbentuk aneh itu kemudian diberi nama sebagai pohon kematian karena memiliki buah yang beracun yang diwariskan dari darah Raja Iblis.
Pada siang hari, pohon-pohon itu tampak biasa saja; pohon elok dengan liukan batang yang indah. Namun ketika menjelang petang, pohon-pohon itu menampakkan aura mistis yang mengerikan sehingga tak ada seorangpun yang berani melintasi bukit itu ketika hari telah senja.
Orang-orang seperti Nyi Kunyit pun sebetulnya tak akan memilih jalan itu seandainya ada jalan lain menuju pasar. Biasanya orang-orang desa Cemara Seribu akan pergi bersama-sama atau memilih untuk tidak jadi pergi bila tidak ada barengan menuju ke sana.
Nyi Kunyit berharap ia akan berjumpa dengan orang-orang desanya yang hendak ke pasar untuk pergi bersama-sama, namun hari ini hanya ia dan Batari Mahadewi saja yang melewati jalan itu. Ada rasa khawatir dalam benak Nyi Kunyit. Namun ia tak punya pilihan, ia tak tega melihat Batari Mahadewi kecewa bila ia batal pergi ke pasar.
Batari Mahadewi melihat hutan kecil itu sebagai hal yang lain. Batari Mahadewi bisa mendengarkan pohon-pohon itu menyanyi sedih dan barangkali pohon kematian itu merupakan satu-satunya jenis pohon yang bisa menyanyi dan hanya ada di bukit itu. Inilah yang membuat Batari Mahadewi selalu senang jika diajak ke pasar dan melewati hutan itu.
“Jangan berlarian Tari, tunggu ibu.” Kata Nyi Kunyit yang tertinggal agak jauh di belakang Batari Mahadewi. Sebetulnya, Nyi Kunyit selalu merinding ketika melewati jalan kecil ini.
“Iya ibu.” Balas Batari Mahadewi yang kemudian langsung berbalik ke arah ibunya. Jalan setapak mulai menurun. Desa Teratai Tanah sudah mulai terlihat. Hari belum terlalu siang dan orang-orang masih terlihat ramai di pasar.
Sesampainya di pasar, Nyi Kunyit membeli beberapa kebutuhan yang tak bisa ia dapatkan di desanya, seperti misalnya garam, ikan asin, minyak, dan beberapa kebutuhan dapur lainnya.
Sebetulnya, untuk barang semacam ini, biasanya ada salah satu warga desa Cemara Seribu yang menjualnya. Ia adalah Ki Untung. Ia satu-satunya orang yang sering belanja ke pasar untuk ia jual kembali di desanya.
Namun sudah sebulan ini Ki Untung tidak berjualan. Ia jatuh sakit ketika suatu hari sewaktu ia pulang menuju ke desanya, segerombolan perampok datang dan mengambil seluruh dagangannya, uangnya, serta menghajarnya hingga babak belur.
Beruntung setelahnya ada orang yang menolong dan mengantar ki Untung pulang ke rumahnya. Setelah itu, kondisi kesehatan ki Untung tidak juga membaik. Imbasnya, kini warga desa Cemara Seribu kesulitan untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari seperti garam dan minyak karena mereka tidak bisa memproduksinya.
Biasanya, sebulan sekali Nyi Kunyit pergi ke pasar untuk menjual beberapa barang yang tak bisa didapatkan di desa lain, seperti akar cemara hitam yang bisa digunakan sebagai bahan obat. Hasil-hasil hutan semacam itulah yang bisa dijual Nyi Kunyit dengan harga lumayan untuk mencukupi kebutuhan belanjanya selama sebulan.
Sementara untuk bahan makanan lainnya seperti beras, ubi, jagung, dan lain sebagainya, Nyi Kunyit dan orang-orang desa Cemara Seribu bisa mendapatkannya dengan cara bertani.
Bisa dikatakan, desa Cemara Seribu cukup subur untuk pertanian dan memiliki hutan yang luas yang bisa mencukupi kebutuhan orang-orang desa. Andaikan tidak ada desa sebelah dan tidak ada pasar, mereka tetap bisa bertahan hidup dengan hasil alam yang mereka dapatkan di desa Cemara Seribu.
Namun kali ini, Nyi Kunyit tidak membawa apapun untuk dijual. Ia hanya butuh belanja garam dan minyak, serta beberapa keperluan dapur lainnya.
“Kau ingin dibelikan apa anakku?” Nyi Kunyit bertanya kepada Batari Mahadewi.
“Tidak usah bu, aku hanya ingin jalan-jalan saja di pasar.” Jawab Batari Mahadewi. Nyi Kunyit cukup beruntung karena Batari Mahadewi bukan anak yang suka meminta dibelikan sesuatu. Seingatnya, Batari Mahadewi memang tidak pernah meminta apapun ketika di ajak ke pasar.
Selang beberapa saat mereka bejalan-jalan di pasar, tiba-tiba terdengar suara keributan. Beberapa orang berlarian sambil berteriak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 358 Episodes
Comments
Mulyadi Rahmat
Nanti jadi temennya Popeye 🤭
2022-12-26
0
Lela Lela
lanjutkn 👍💪
2022-06-11
1
Garuda Phoenix
menarik
2022-05-31
1