I BECOME A STEPMOTHER
Pada sore yang cerah di kota X, Jane memutuskan untuk pergi ke mall setelah seharian sibuk bekerja. Ia jarang memiliki waktu luang untuk bersantai, dan hari itu terasa sempurna untuk berjalan-jalan, mungkin membeli sesuatu yang ia butuhkan, atau sekadar menikmati suasana.
Saat memasuki pintu utama mall, matanya tertuju pada seorang anak kecil yang terjatuh di tengah lorong. Anak itu tampak kebingungan dan tidak ada orang dewasa yang mendampinginya. Pengunjung mall lainnya hanya berjalan melewati tanpa berhenti.
Dengan langkah cepat, Jane mendekati anak itu dan berjongkok untuk membantunya berdiri. “Dek, ada yang sakit nggak badannya?” tanyanya lembut sambil menyentuh bahu kecil anak itu.
“Aduh… atidd…” keluh anak kecil itu sambil memegangi lututnya. Jane melihat ada lecet di lutut kecil itu, darah tipis mulai mengalir.
“Tahan sakitnya sebentar, ya,” kata Jane, berusaha menenangkan anak itu. “Kamu sama siapa ke sini?”
“Aku baleng tante jahad, Tante…” jawab anak itu dengan wajah bingung, air mata menggenang di matanya.
“Tantenya ada di mana, sayang?” tanya Jane sambil menahan napas.
“Enggak tahu, Tante. Tadi dia belanja…”
Jane merasa bingung. Anak ini jelas tidak bisa ditinggalkan sendirian, tapi ia juga tidak tahu siapa yang bertanggung jawab atas anak ini. “Oke, kalau begitu kita beli obat dulu buat lutut kamu, ya. Tapi, bilang ke papa kamu dulu. Kamu tahu nomor telepon papa?”
“Nama kamu siapa, Dek?” tanya Jane lagi, mencoba mencairkan suasana.
“Syifa, Tante,” jawab anak itu dengan suara pelan.
Jane tersenyum kecil. “Syifa inget nomor papa kamu?”
“Inget, Tante.”
Jane menyerahkan ponselnya kepada Syifa. “Ayo, coba telepon papa dulu, ya. Kita kasih tahu papa soal ini.”
Syifa mengetik nomor telepon ayahnya dengan jari-jari kecilnya, lalu menempelkan ponsel ke telinga. Setelah beberapa saat, suara pria dewasa terdengar di ujung sana.
“Papa…” ucap Syifa pelan.
“Syifa?” suara pria itu terdengar terkejut. “Kok kamu telepon pakai HP siapa?”
“HP Tante Jane, Pa,” jawab Syifa.
“Kok bisa telepon pakai HP Tante Jane?” tanyanya, nada suaranya berubah sedikit curiga.
“Tadi Syifa jatuh, terus Tante Jane yang nolongin,” jelas Syifa, sesekali menahan rasa sakit di lututnya.
“Kamu nggak apa-apa, kan? Ada yang luka?”
“Lutut Syifa luka, Pa… Tante Jane mau bawa Syifa ke rumah sakit dekat mall buat obatin ini, tapi katanya harus bilang ke Papa dulu.”
Pria itu terdiam sejenak, lalu akhirnya berkata, “Sayang, coba kasih HP-nya ke Tante Jane.”
Syifa menyerahkan ponsel itu kepada Jane. “Tante, Papa mau ngomong.”
Jane mengambil ponsel itu. “Halo?” sapanya singkat.
“Tolong antar Syifa ke alamat ini setelah selesai mengobatinya,” kata pria itu dengan nada dingin, menyebutkan alamat rumahnya. “Nanti saya suruh asisten saya membayar Anda.”
Jane terdiam, merasa tidak nyaman dengan nada perintah pria itu. “Maaf, Pak, saya membantu Syifa dengan ikhlas. Saya tidak mengharapkan uang Anda,” jawabnya tegas, menahan rasa kesal.
“Bisa nggak—” ucapan pria itu terputus karena ia langsung memutuskan telepon.
Jane mendesah. Kekesalan menggelayut di hatinya, tapi ia menyingkirkan perasaan itu ketika melihat Syifa memegang lututnya yang terluka sambil memandang Jane dengan mata polos.
“Yuk, kita ke rumah sakit dulu, ya,” kata Jane, berusaha tetap tersenyum sambil menggandeng tangan kecil Syifa.
Setelah selesai mengobati luka Syifa di rumah sakit, Jane membawanya ke sebuah kedai es krim kecil di lantai bawah mall. Syifa tampak ceria lagi setelah rasa sakit di lututnya berkurang.
“Tante juga beli es krim?” tanya Syifa sambil menjilat es krim cokelatnya.
“Beli dong. Tante suka es krim juga, sama seperti kamu,” jawab Jane sambil tersenyum.
Syifa tertawa kecil. “Tante cantik banget. Papa bilang tante-tante di mall nggak boleh ngomong sama Syifa, tapi Tante Jane baik.”
Jane terkejut mendengar komentar polos itu. “Papa kamu bilang begitu? Kenapa?”
“Nggak tahu, Papa suka marah kalau ada orang asing ngajak Syifa ngomong.”
Jane tersenyum kecut. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
Setelah puas menikmati es krim, Jane berkata, “Pulang yuk, Syifa. Papa kamu pasti sudah menunggu di rumah.”
“Oke, Tante cantik,” jawab Syifa dengan riang.
Jane mengantarkan Syifa ke rumahnya sesuai alamat yang diberikan. Rumah itu besar dan megah, dengan halaman yang luas. Jane melihat dari kejauhan ada seorang wanita paruh baya berdiri di teras, menatap kedatangannya dengan Syifa.
Setelah memastikan Syifa masuk ke dalam rumah dengan selamat, Jane melajukan mobilnya untuk pulang. Namun, pikirannya masih tertuju pada Syifa dan pria yang ia ajak bicara di telepon.
Malam harinya, Alvaro, ayah Syifa, baru saja sampai di rumah setelah menyelesaikan rapat penting. Ia langsung masuk ke ruang kerjanya dan menelepon Bella, wanita yang seharusnya menemani Syifa ke mall. Bella adalah seorang model cantik yang sering menemani Alvaro, meskipun ia tidak begitu dekat dengan Syifa.
“Halo, sayang,” jawab Bella dengan nada cemas ketika mendengar suara Alvaro.
“Kamu tadi di mana pas Syifa jatuh, hah?” bentak Alvaro tanpa basa-basi.
“Maaf, Va… tadi Syifa kabur,” jawab Bella, suaranya gemetar.
“Dia nggak bakal kabur kalau kamu becus jagain dia!” seru Alvaro dengan marah.
“Pas dia ngilang dari kamu, kenapa nggak kamu cari?!”
Bella terdiam, tahu ia salah. “Maaf, sayang…” ucapnya lirih.
Alvaro mematikan telepon dengan kasar. Tangannya terkepal, hatinya dipenuhi rasa marah dan bersalah. Namun, amarahnya sedikit mereda saat mendengar langkah kaki kecil di depan pintu ruang kerjanya.
“Papa…” suara kecil itu membuat Alvaro berbalik. Di depan pintu, Syifa berdiri dengan wajah polosnya.
Alvaro menghela napas panjang dan berjongkok di hadapan putrinya. “Papa cuma mau kamu aman, Sayang. Tante Bella seharusnya lebih hati-hati.”
Syifa mengangguk pelan. “Syifa juga salah. Maafin Syifa ya, Pa.”
Alvaro tersenyum tipis dan memeluk putrinya dengan lembut. “Bukan salah kamu, Sayang. Papa janji ini nggak akan terjadi lagi.”
Di rumahnya, Jane sedang menikmati secangkir teh hangat sambil memikirkan kejadian tadi sore. Ia merasa lega telah membantu Syifa, tapi sikap pria yang bicara di telepon tadi tetap mengganggunya.
“Orang kaya biasanya begitu,” gumamnya sambil menggoyangkan cangkir teh. “Tapi, kasihan Syifa. Dia masih kecil, tapi tampaknya kehidupannya nggak sederhana.”
Jane memejamkan mata, mencoba melupakan kejadian itu. Namun, rasa ingin tahunya semakin besar. Siapa pria itu? Apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga kecil ini?
“Ah, sudahlah. Yang penting Syifa sudah aman,” gumamnya lagi sambil mematikan lampu kamar dan bersiap tidur.
Tapi, jauh di lubuk hatinya, Jane tahu ini belum berakhir. Kejadian kecil di mall tadi mungkin adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments