NovelToon NovelToon

I BECOME A STEPMOTHER

Pertemuan Tak Terduga

Pada sore yang cerah di kota X, Jane memutuskan untuk pergi ke mall setelah seharian sibuk bekerja. Ia jarang memiliki waktu luang untuk bersantai, dan hari itu terasa sempurna untuk berjalan-jalan, mungkin membeli sesuatu yang ia butuhkan, atau sekadar menikmati suasana.

Saat memasuki pintu utama mall, matanya tertuju pada seorang anak kecil yang terjatuh di tengah lorong. Anak itu tampak kebingungan dan tidak ada orang dewasa yang mendampinginya. Pengunjung mall lainnya hanya berjalan melewati tanpa berhenti.

Dengan langkah cepat, Jane mendekati anak itu dan berjongkok untuk membantunya berdiri. “Dek, ada yang sakit nggak badannya?” tanyanya lembut sambil menyentuh bahu kecil anak itu.

“Aduh… atidd…” keluh anak kecil itu sambil memegangi lututnya. Jane melihat ada lecet di lutut kecil itu, darah tipis mulai mengalir.

“Tahan sakitnya sebentar, ya,” kata Jane, berusaha menenangkan anak itu. “Kamu sama siapa ke sini?”

“Aku baleng tante jahad, Tante…” jawab anak itu dengan wajah bingung, air mata menggenang di matanya.

“Tantenya ada di mana, sayang?” tanya Jane sambil menahan napas.

“Enggak tahu, Tante. Tadi dia belanja…”

Jane merasa bingung. Anak ini jelas tidak bisa ditinggalkan sendirian, tapi ia juga tidak tahu siapa yang bertanggung jawab atas anak ini. “Oke, kalau begitu kita beli obat dulu buat lutut kamu, ya. Tapi, bilang ke papa kamu dulu. Kamu tahu nomor telepon papa?”

“Nama kamu siapa, Dek?” tanya Jane lagi, mencoba mencairkan suasana.

“Syifa, Tante,” jawab anak itu dengan suara pelan.

Jane tersenyum kecil. “Syifa inget nomor papa kamu?”

“Inget, Tante.”

Jane menyerahkan ponselnya kepada Syifa. “Ayo, coba telepon papa dulu, ya. Kita kasih tahu papa soal ini.”

Syifa mengetik nomor telepon ayahnya dengan jari-jari kecilnya, lalu menempelkan ponsel ke telinga. Setelah beberapa saat, suara pria dewasa terdengar di ujung sana.

“Papa…” ucap Syifa pelan.

“Syifa?” suara pria itu terdengar terkejut. “Kok kamu telepon pakai HP siapa?”

“HP Tante Jane, Pa,” jawab Syifa.

“Kok bisa telepon pakai HP Tante Jane?” tanyanya, nada suaranya berubah sedikit curiga.

“Tadi Syifa jatuh, terus Tante Jane yang nolongin,” jelas Syifa, sesekali menahan rasa sakit di lututnya.

“Kamu nggak apa-apa, kan? Ada yang luka?”

“Lutut Syifa luka, Pa… Tante Jane mau bawa Syifa ke rumah sakit dekat mall buat obatin ini, tapi katanya harus bilang ke Papa dulu.”

Pria itu terdiam sejenak, lalu akhirnya berkata, “Sayang, coba kasih HP-nya ke Tante Jane.”

Syifa menyerahkan ponsel itu kepada Jane. “Tante, Papa mau ngomong.”

Jane mengambil ponsel itu. “Halo?” sapanya singkat.

“Tolong antar Syifa ke alamat ini setelah selesai mengobatinya,” kata pria itu dengan nada dingin, menyebutkan alamat rumahnya. “Nanti saya suruh asisten saya membayar Anda.”

Jane terdiam, merasa tidak nyaman dengan nada perintah pria itu. “Maaf, Pak, saya membantu Syifa dengan ikhlas. Saya tidak mengharapkan uang Anda,” jawabnya tegas, menahan rasa kesal.

“Bisa nggak—” ucapan pria itu terputus karena ia langsung memutuskan telepon.

Jane mendesah. Kekesalan menggelayut di hatinya, tapi ia menyingkirkan perasaan itu ketika melihat Syifa memegang lututnya yang terluka sambil memandang Jane dengan mata polos.

“Yuk, kita ke rumah sakit dulu, ya,” kata Jane, berusaha tetap tersenyum sambil menggandeng tangan kecil Syifa.

Setelah selesai mengobati luka Syifa di rumah sakit, Jane membawanya ke sebuah kedai es krim kecil di lantai bawah mall. Syifa tampak ceria lagi setelah rasa sakit di lututnya berkurang.

“Tante juga beli es krim?” tanya Syifa sambil menjilat es krim cokelatnya.

“Beli dong. Tante suka es krim juga, sama seperti kamu,” jawab Jane sambil tersenyum.

Syifa tertawa kecil. “Tante cantik banget. Papa bilang tante-tante di mall nggak boleh ngomong sama Syifa, tapi Tante Jane baik.”

Jane terkejut mendengar komentar polos itu. “Papa kamu bilang begitu? Kenapa?”

“Nggak tahu, Papa suka marah kalau ada orang asing ngajak Syifa ngomong.”

Jane tersenyum kecut. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

Setelah puas menikmati es krim, Jane berkata, “Pulang yuk, Syifa. Papa kamu pasti sudah menunggu di rumah.”

“Oke, Tante cantik,” jawab Syifa dengan riang.

Jane mengantarkan Syifa ke rumahnya sesuai alamat yang diberikan. Rumah itu besar dan megah, dengan halaman yang luas. Jane melihat dari kejauhan ada seorang wanita paruh baya berdiri di teras, menatap kedatangannya dengan Syifa.

Setelah memastikan Syifa masuk ke dalam rumah dengan selamat, Jane melajukan mobilnya untuk pulang. Namun, pikirannya masih tertuju pada Syifa dan pria yang ia ajak bicara di telepon.

Malam harinya, Alvaro, ayah Syifa, baru saja sampai di rumah setelah menyelesaikan rapat penting. Ia langsung masuk ke ruang kerjanya dan menelepon Bella, wanita yang seharusnya menemani Syifa ke mall. Bella adalah seorang model cantik yang sering menemani Alvaro, meskipun ia tidak begitu dekat dengan Syifa.

“Halo, sayang,” jawab Bella dengan nada cemas ketika mendengar suara Alvaro.

“Kamu tadi di mana pas Syifa jatuh, hah?” bentak Alvaro tanpa basa-basi.

“Maaf, Va… tadi Syifa kabur,” jawab Bella, suaranya gemetar.

“Dia nggak bakal kabur kalau kamu becus jagain dia!” seru Alvaro dengan marah.

“Pas dia ngilang dari kamu, kenapa nggak kamu cari?!”

Bella terdiam, tahu ia salah. “Maaf, sayang…” ucapnya lirih.

Alvaro mematikan telepon dengan kasar. Tangannya terkepal, hatinya dipenuhi rasa marah dan bersalah. Namun, amarahnya sedikit mereda saat mendengar langkah kaki kecil di depan pintu ruang kerjanya.

“Papa…” suara kecil itu membuat Alvaro berbalik. Di depan pintu, Syifa berdiri dengan wajah polosnya.

Alvaro menghela napas panjang dan berjongkok di hadapan putrinya. “Papa cuma mau kamu aman, Sayang. Tante Bella seharusnya lebih hati-hati.”

Syifa mengangguk pelan. “Syifa juga salah. Maafin Syifa ya, Pa.”

Alvaro tersenyum tipis dan memeluk putrinya dengan lembut. “Bukan salah kamu, Sayang. Papa janji ini nggak akan terjadi lagi.”

Di rumahnya, Jane sedang menikmati secangkir teh hangat sambil memikirkan kejadian tadi sore. Ia merasa lega telah membantu Syifa, tapi sikap pria yang bicara di telepon tadi tetap mengganggunya.

“Orang kaya biasanya begitu,” gumamnya sambil menggoyangkan cangkir teh. “Tapi, kasihan Syifa. Dia masih kecil, tapi tampaknya kehidupannya nggak sederhana.”

Jane memejamkan mata, mencoba melupakan kejadian itu. Namun, rasa ingin tahunya semakin besar. Siapa pria itu? Apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga kecil ini?

“Ah, sudahlah. Yang penting Syifa sudah aman,” gumamnya lagi sambil mematikan lampu kamar dan bersiap tidur.

Tapi, jauh di lubuk hatinya, Jane tahu ini belum berakhir. Kejadian kecil di mall tadi mungkin adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.

Malam yang Tenang

Alvaro mematikan ponselnya, menandai akhir dari pekerjaannya hari itu. Tepat saat ia ingin merebahkan diri di tempat tidur, suara lembut anaknya memecah keheningan. Syifa berdiri di depan pintu kamarnya dengan mata bulat yang tampak bersinar di bawah lampu redup.

“Sayang, kamu belum tidur?” tanya Alvaro lembut sambil menghampiri putrinya.

“Syifa nggak bisa tidur, Pa. Papa temenin Syifa tidur, ya?” pintanya dengan suara manja.

Alvaro tersenyum kecil. Bagaimana mungkin ia bisa menolak permintaan itu? “Ya sudah, yuk kita ke kamar,” jawabnya sambil mengulurkan tangan.

Syifa menggenggam tangan ayahnya erat, lalu mereka berjalan bersama menuju kamar Syifa. Dengan penuh kasih, Alvaro menidurkan putrinya, memastikan ia merasa aman dan nyaman di pelukannya hingga akhirnya mata kecil itu tertutup perlahan.

Pertemuan Tak Terduga

Beberapa hari kemudian, di sore yang cerah, Jane keluar dari mobilnya di depan sebuah kedai es krim. Ia memutuskan membeli es krim favoritnya untuk melepas penat setelah bekerja. Saat berdiri di antrean, suara ceria seorang anak memanggilnya.

“Tante Jane!”

Jane menoleh dan menemukan Syifa, anak kecil yang pernah ia bantu beberapa waktu lalu di mall. Syifa berlari ke arahnya dengan wajah ceria, lalu memeluknya erat.

“Hai, Syifa!” balas Jane senang. Ia sudah menganggap Syifa seperti anaknya sendiri sejak pertemuan pertama mereka.

Di belakang Syifa, berdiri seorang wanita paruh baya dengan rambut beruban yang tersisir rapi, mengenakan pakaian sederhana berwarna krem. Wajahnya menyiratkan keramahan dan kehangatan seorang nenek yang penuh kasih. Jane tersenyum, lalu segera menyapanya dengan sopan.

“Sore, Tante,” ucap Jane lembut sambil mendekat.

Wanita itu membalas dengan senyum ramah. “Sore juga, Nak. Saya Sintia, neneknya Syifa,” katanya, memperkenalkan diri.

“Saya Jane, Tante. Beberapa waktu lalu saya pernah bertemu Syifa di mall. Waktu itu Syifa hampir tersesat, jadi saya bantu mengantar dia ke ayahnya,” jelas Jane sambil tersenyum ke arah Syifa.

“Oh, jadi Nak Jane yang bantu Syifa waktu itu? Aduh, terima kasih banyak, ya. Saya sudah dengar ceritanya dari Alvaro, ayahnya Syifa. Kami sangat berterima kasih,” balas Sintia dengan tulus.

“Ah, nggak apa-apa, Tante. Syifa anak yang baik, kok. Saya senang bisa membantunya,” jawab Jane.

“Tante, habis beli es krim, kita ke taman, yuk!” seru Syifa tiba-tiba dengan mata berbinar, memecah percakapan mereka.

Jane menoleh ke arah Sintia, meminta persetujuan. “Boleh nggak ya, Tante?” tanyanya sambil tersenyum kecil.

Sintia berpikir sejenak, lalu mengangguk lembut. “Kalau Syifa mau, ya boleh saja. Tapi nggak usah terlalu lama, ya. Langit mulai mendung.”

Mendengar itu, Syifa langsung melompat girang. “Yeay! Ayo, Tante Jane!” serunya sambil menggandeng tangan Jane.

Setelah membeli es krim, mereka bertiga berjalan bersama menuju taman terdekat. Syifa langsung berlari ke arah ayunan, menikmati sorenya dengan penuh keceriaan.

“Tante Jane sering main ke taman juga?” tanya Sintia sambil duduk di bangku taman, memperhatikan Syifa yang bermain.

“Nggak sering, Tante. Biasanya saya sibuk kerja, jadi jarang ada waktu untuk santai begini. Tapi kalau ada kesempatan, saya suka sekali datang ke tempat seperti ini,” jawab Jane dengan senyum lemah.

“Kamu kerja apa, Nak?” Sintia bertanya, tampak tertarik.

“Saya desainer, Tante. Lumayan sibuk, apalagi kalau ada proyek besar,” jelas Jane.

“Wah, pekerjaan yang bagus. Tapi pasti melelahkan, ya?” Sintia menimpali sambil mengangguk paham.

“Iya, lumayan, Tante. Tapi saya menikmatinya. Kalau capek, biasanya saya cari hiburan, seperti jalan-jalan atau… yah, seperti ini, bermain sama Syifa,” katanya sambil melirik ke arah Syifa yang tertawa lepas di ayunan.

“Syifa memang anak yang ceria. Setelah ibunya meninggal, Alvaro sangat berusaha supaya dia tetap bahagia. Tapi saya tahu, dia masih butuh sosok ibu,” ungkap Sintia pelan, suaranya penuh kehangatan dan sedikit nada pilu.

Jane mengangguk, tak ingin memaksakan tanggapan. Ia hanya membalas dengan senyum kecil, berusaha memahami perasaan nenek itu.

Langit mulai gelap, dan angin dingin bertiup pelan. “Kayaknya kita harus pulang sekarang, Tante. Udah mulai malam,” ujar Jane sambil berdiri.

Sintia mengangguk. “Iya, Nak. Terima kasih sudah menemani Syifa sore ini.”

“Sama-sama, Tante. Senang banget bisa main sama kalian.” Jane menggandeng tangan Syifa, dan mereka bertiga berjalan kembali ke rumah Sintia. Setelah mengantar mereka sampai depan pintu, Jane pun berpamitan.

“Hati-hati di jalan, Nak Jane,” ujar Sintia.

“Terima kasih, Tante. Sampai ketemu lagi, ya!” balas Jane sambil tersenyum, sebelum melangkah pergi ke mobilnya.

Obrolan di Meja Makan

Di rumah Syifa, waktu makan malam menjadi momen kebersamaan keluarga. Alvaro, Syifa, Sintia, dan Aditya—ayah Alvaro—berkumpul di meja makan. Aroma masakan mengisi ruang makan yang hangat.

Namun, suasana santai itu berubah ketika Aditya membuka pembicaraan serius.

“Alvaro, kamu kapan mau nikah lagi? Syifa butuh seorang ibu, lho,” ujar Aditya tiba-tiba.

Alvaro yang sedang minum langsung tersedak. “Astaga, Pa. Kok ngomongnya pas lagi makan sih?” protesnya sambil mengusap mulut.

“Iya, Kek. Syifa juga pengen punya mama kayak teman-teman Syifa,” timpal Syifa polos.

“Tapi Syifa pengennya mama kayak Tante Jane!” sambungnya penuh semangat.

Alvaro mengerutkan dahi. “Tante Jane? Maksud kamu siapa, Nak?” tanyanya bingung.

“Itu lho, Pa, orang yang pernah nolong Syifa waktu itu. Dia baik banget,” jawab Syifa dengan wajah ceria.

“Oh, yang itu? Tapi kenapa kamu pengen kayak Tante Jane? Kan kamu cuma ketemu sekali sama dia,” tanya Alvaro heran.

“Enggak cuma sekali kok, Pa. Tadi aku main sama Tante Jane di taman,” jawab Syifa polos.

Sintia, yang mendengarkan percakapan itu, ikut menimpali. “Sudah, Va. Coba saja dekatin Jane. Orangnya baik kok. Mama juga lihat tadi.”

Alvaro menghela napas panjang. “Ya sudah, nanti aku pikirkan,” jawabnya asal untuk menyenangkan hati keluarganya.

Walau begitu, dalam hati kecilnya, Alvaro tidak benar-benar berniat memikirkan hal tersebut. Baginya, membesarkan Syifa sudah menjadi prioritas utama.

Setelah makan malam selesai, masing-masing kembali ke kamar mereka untuk beristirahat.

Dua hari kemudian, Jane bersiap berangkat kerja. Ia harus menyelesaikan desain yang sudah dikejar tenggat waktu. Karena terburu-buru, ia memutuskan mampir ke supermarket terdekat untuk membeli roti sebagai sarapan ringan.

Jane memarkir mobilnya di seberang supermarket, tepat di dekat jalan raya. Saat hendak menyeberang, lampu lalu lintas masih menyala hijau untuk kendaraan. Ia menunggu di tepi jalan sambil memandangi arus kendaraan yang melaju cepat.

Namun, pandangannya tiba-tiba tertuju pada seorang nenek yang tampak kebingungan di tengah jalan. Wanita tua itu terlihat panik, seolah tidak tahu harus melangkah ke mana.

Tanpa pikir panjang, Jane berlari menolong nenek tersebut.

“Bu, hati-hati!” serunya sambil mencoba menarik nenek itu ke pinggir jalan.

Namun dalam upaya menyelamatkan nenek itu, malapetaka terjadi.

Brukkk!

Suara dentuman keras membelah udara, menggetarkan jalan raya yang sesaat sebelumnya penuh hiruk-pikuk kendaraan.

Tubuh Jane terpental ke aspal dengan keras, darah mulai mengalir di sekitar tubuhnya. Jeritan panik terdengar, beberapa orang menutup mulut mereka, sementara yang lain berlari mendekat, mencoba memahami kejadian mencekam yang baru saja terjadi.

Nenek yang ditolongnya terjatuh ke pinggir jalan dengan luka ringan, sementara Jane terbaring tak sadarkan diri di tengah jalan. Darah mengalir deras dari tubuhnya, mengotori jalanan.

Kerumunan orang segera mengelilingi lokasi kejadian. Pemilik mobil yang menabrak Jane buru-buru keluar dari kendaraannya. Dengan wajah panik, ia mengangkat tubuh Jane yang berlumuran darah dan membawanya masuk ke dalam mobil.

Keadaan mendadak kacau. Orang-orang di sekitar jalan sibuk membicarakan kejadian tersebut. Beberapa orang mencoba membantu, namun si pengemudi mobil mengambil inisiatif membawa Jane ke rumah sakit terdekat.

Accident

Pagi itu, Alvaro merasa dunianya sedang tidak berpihak pada nya.

Telepon dari Arya, sekretarisnya, menyampaikan kabar buruk: salah satu cabang perusahaannya menghadapi masalah serius. Alvaro, seperti biasa, memilih menghadapi semuanya dengan kepala dingin, meski pagi itu perasaannya terasa lebih gelisah dari biasanya. Ia segera mandi, mengenakan pakaian kerjanya, dan melesat keluar rumah dengan tergesa-gesa.

Saat memutar kemudi menuju jalan utama, fokusnya terpecah. Pikirannya melayang pada kerugian, rapat darurat, dan potensi dampak besar bagi bisnisnya. Namun, sesuatu di jalan membuatnya menginjak rem mendadak.

Seorang nenek, tua dan rapuh, terlihat bingung di tengah jalan.

Sebelum sempat Alvaro bereaksi, seorang wanita melesat dari sisi trotoar, menarik nenek itu ke arah aman. Sayangnya, aksi heroik itu datang dengan konsekuensi. Mobil Alvaro yang tak sempat berhenti total, menyenggol tubuh wanita itu hingga tubuhnya terpental ke aspal dengan suara keras.

“Brukk!”

Alvaro membeku. Ia keluar dari mobil dengan langkah cepat, hatinya berpacu kencang. Tubuh wanita itu tergeletak di jalan, darah merembes dari luka di kepalanya. Kerumunan mulai terbentuk, bisik-bisik terdengar di sekelilingnya.

“Tolong… panggil ambulans!” serunya panik, meski tangannya sendiri sudah mengangkat tubuh wanita itu dengan hati-hati ke dalam mobilnya.

Di sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Alvaro hanya bisa memandang wajah pucat wanita itu. Ada rasa bersalah yang begitu besar menguasainya.

Jane merasa tubuhnya berat dan sakit.

Perlahan, kesadarannya mulai kembali. Matanya terasa sulit dibuka, tapi suara mesin monitor yang berdetak perlahan mulai terdengar.

“Aku di mana?” pikirnya.

Saat ia membuka matanya sepenuhnya, pandangannya bertemu dengan seorang pria yang duduk di samping ranjangnya. Wajahnya tegang, tapi matanya menyiratkan rasa bersalah.

“Permisi…” suara Jane lemah, nyaris berbisik. “Saya di mana? Bagaimana nenek itu? Apa dia baik-baik saja?”

Pria itu, yang sejak tadi terdiam, akhirnya bicara. Suaranya dalam, namun ada nada kaku di baliknya. “Kamu di rumah sakit. Nenek itu baik-baik saja, berkat kamu. Tapi kamu…”

Jane mengerutkan kening. “Saya kenapa?”

Pria itu menarik napas panjang, seolah berusaha mengumpulkan keberanian untuk menjelaskan. “Aku… aku harus memberitahumu sesuatu. Tolong dengarkan sampai selesai.”

Ia menjelaskan dengan perlahan. Tentang tabrakan itu, luka yang dialami Jane, dan berita buruk dari dokter tentang kemungkinan Jane yang sulit hamil akibat benturan keras di bagian perutnya.

Jane terdiam. Kata-kata pria itu seperti menghantamnya keras, lebih keras daripada tabrakan yang baru saja ia alami. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia menahan air matanya sekuat tenaga.

“Jadi… saya tidak bisa punya anak?” tanyanya dengan suara yang hampir tak terdengar.

Pria itu menunduk. “Kemungkinan besar, ya. Tapi dokter bilang, ada sedikit harapan. Semua tergantung Tuhan.”

Jane tertawa kecil, getir. “Tuhan, ya?” katanya, lebih kepada dirinya sendiri. “Lucu. Aku bahkan belum menikah. Belum pernah berpikir sejauh itu. Tapi sekarang…”

Air matanya akhirnya tumpah. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan, membiarkan kesedihannya mengalir tanpa hambatan. Pria di depannya hanya bisa menatap, rasa bersalah semakin berat di pundaknya.

“Maafkan aku,” katanya, suaranya rendah dan tulus. “Aku akan bertanggung jawab.”

Jane menurunkan tangannya perlahan, memandang pria itu dengan mata merah dan bengkak. Sorot matanya penuh amarah dan kelelahan. “Bertanggung jawab? Maksudmu apa?” tanyanya dengan suara dingin, namun tetap terdengar getir.

Pria itu menatapnya tanpa ragu. “Aku akan menikahimu.”

Jane tertegun. Untuk beberapa detik, ia hanya bisa menatapnya dengan ekspresi tak percaya. Kemudian, tawanya pecah, getir dan pedih. “Menikahiku? Kau bahkan tidak mengenalku. Apa kau serius? Atau ini hanya caramu untuk menghapus rasa bersalahmu?”

Alvaro tetap tenang meskipun kata-kata Jane seperti duri yang menusuk. “Aku tahu, kita saling asing. Tapi aku harus melakukannya. Aku tidak bisa membiarkanmu menjalani ini sendirian.”

“Sendirian?” Jane mendengus, nada suaranya meninggi. “Aku sudah biasa sendiri. Aku sudah hidup dengan cara ini selama bertahun-tahun. Tanpa siapa pun peduli. Jadi, jangan mencoba menjadi pahlawan yang merasa harus menyelamatkanku. Aku tidak butuh penyelamat, terutama penyelamat seperti kau.”

Kata-kata Jane tajam, namun Alvaro tetap tak bergeming. Sorot matanya tak berpaling dari Jane, dingin namun penuh keyakinan. “Ini bukan soal menyelamatkanmu. Ini soal tanggung jawab. Apa yang aku lakukan telah merusak hidupmu. Aku harus memperbaikinya.”

Jane terdiam, membuang pandangannya ke arah jendela. Langit sore yang mulai memerah seolah ikut menyuarakan suasana hatinya yang penuh luka. “Kau pikir dengan menikahiku, semuanya akan selesai? Kau pikir hidupku akan kembali utuh? Kau salah besar. Kerusakan ini, rasa sakit ini, tidak bisa diperbaiki begitu saja.”

“Tapi aku bisa mencoba,” jawab Alvaro cepat, suaranya dalam namun tegas.

Jane memalingkan wajahnya kembali, menatap pria itu dengan tatapan tajam. “Kau sudah punya istri, bukan?”

Alvaro menggeleng pelan. “Aku sudah lama bercerai.”

Jane mengerutkan kening, bingung. “Tapi aku dengar kau bilang kau punya anak?”

“Ya,” jawab Alvaro singkat, tanpa ragu. “Aku punya anak perempuan. Usianya enam tahun.”

Jane memicingkan mata, mencoba mencerna informasi itu. “Enam tahun? Namanya siapa?”

“Syifa.”

Mendengar nama itu, Jane seketika membeku. Nama itu terdengar begitu familiar di telinganya. Ingatannya berputar kembali ke pertemuan singkat di mall beberapa waktu lalu. “Syifa? Syifa yang aku bantu waktu itu?”

Alvaro mengangguk. “Ya, itu anakku.”

Jane memejamkan matanya, menarik napas panjang. Dunia terasa semakin kecil dan ironis. “Jadi, kau ayahnya Syifa. Hebat sekali. Dunia ini benar-benar kejam, ya. Aku menyelamatkan anakmu dulu, dan sekarang kau menghancurkanku.”

Alvaro tetap diam, menerima setiap pukulan emosional Jane tanpa mencoba membela diri.

“Dan kau ingin aku menikah denganmu setelah semua ini? Kau pikir itu solusi yang adil untukku?” Jane melanjutkan, suaranya terdengar lebih dingin daripada sebelumnya.

“Aku mengerti ini tidak adil. Aku tahu ini terlalu tiba-tiba dan mungkin terdengar egois. Tapi tolong… beri aku kesempatan. Aku ingin memperbaiki apa yang sudah terjadi.”

Jane membuka matanya, menatap pria di depannya. Wajah Alvaro tetap tenang, namun sorot matanya menyiratkan kesungguhan. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat Jane sulit berpaling.

“Kau bicara tentang memperbaiki. Tapi apa kau sadar? Aku tidak hanya kehilangan kemampuan untuk memiliki anak. Aku kehilangan kepercayaan diriku, masa depanku, impianku. Apa kau benar-benar berpikir kau bisa memperbaiki itu semua?”

“Aku tidak tahu,” jawab Alvaro jujur, tanpa sedikit pun keraguan dalam suaranya. “Tapi aku ingin mencoba. Aku ingin bertanggung jawab atas apa yang sudah aku lakukan.”

Jane menatapnya lama, mencoba mencari alasan untuk menolak. Tapi di hatinya, ia tahu kata-kata pria ini memiliki bobot. Namun, itu tidak membuat hatinya lebih ringan. Ia masih marah, masih kecewa, dan masih bingung.

“Aku tidak tahu…” katanya akhirnya, suaranya lebih pelan. “Aku tidak tahu apakah aku bisa menerimamu. Kau mungkin berpikir ini soal tanggung jawab, tapi bagiku ini soal hidupku. Aku belum siap memberikan jawabanku.”

Alvaro mengangguk pelan. “Aku mengerti. Aku tidak akan memaksamu. Tapi tolong, pikirkan baik-baik. Aku akan menunggu keputusanmu.”

Malam itu, Jane tak bisa memejamkan mata. Kata-kata Alvaro terus terngiang di kepalanya. Ia tidak tahu kenapa, tapi sorot mata pria itu begitu membekas di pikirannya. Ada sesuatu yang dingin dan tegas dalam dirinya, tapi di balik itu, Jane bisa merasakan ketulusan.

Pagi berikutnya, Jane akhirnya memutuskan untuk berbicara dengan Alvaro lagi. Saat pria itu memasuki kamar rumah sakit, Jane menatapnya dengan ekspresi yang lebih tenang.

“Aku telah memikirkannya,” kata Jane, suaranya terdengar lebih tegas dari sebelumnya.

Alvaro berdiri di dekat ranjang, menunggu jawabannya dengan sabar.

“Aku tidak percaya menikah denganmu akan memperbaiki semuanya,” lanjut Jane. “Tapi aku juga tahu, ini adalah jalan yang paling masuk akal untuk menghadapi semua ini.”

Alvaro mengangguk, menerima keputusannya dengan tenang. “Terima kasih. Aku tidak akan mengecewakanmu.”

Jane memandangnya dalam-dalam. “Tapi ada syaratnya. Aku tidak ingin kau hanya melakukannya karena rasa bersalah. Aku butuh waktu untuk melihat apakah kau benar-benar serius menjalani ini.”

“Aku akan membuktikannya,” jawab Alvaro tanpa ragu.

Jane mengangguk pelan, meski hatinya masih dipenuhi keraguan. Ia tahu, ini bukan keputusan yang mudah. Tapi mungkin, di balik semua ini, Tuhan memiliki rencana yang lebih besar untuk mereka.

Dua hari kemudian, Jane masih dirawat di rumah sakit.

Alvaro memutuskan untuk menghubungi kedua orang tua Jane dan meminta mereka datang ke rumah sakit. Ia tahu, ini adalah langkah pertama untuk menunjukkan keseriusannya.

Ketika orang tua Jane tiba, Lita, ibunya, langsung berlari menghampiri putrinya dengan wajah penuh kecemasan.

“Sayang, kamu nggak apa-apa? Mama khawatir sekali!” serunya sambil menggenggam tangan Jane.

“Aku baik-baik saja, Ma,” jawab Jane, mencoba tersenyum meski wajahnya masih pucat.

Abraham, ayahnya, berdiri di belakang Lita, menatap Alvaro dengan penuh tanda tanya. “Dan siapa ini?” tanyanya, suaranya berat.

Alvaro maju dan memperkenalkan dirinya. Dengan hati-hati, ia menjelaskan apa yang terjadi, termasuk kecelakaan itu, kondisi Jane, dan keputusannya untuk menikahi putri mereka.

Usai penjelasan panjang itu, ruangan menjadi sunyi. Namun, Lita tiba-tiba berdiri dan menatap Alvaro tajam.

“Kamu pikir menikahi anakku bisa menyelesaikan segalanya?” tanyanya tajam, lalu menampar Alvaro dengan keras.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!