Awal Kehangatan Keluarga

Keesokan Harinya

Pagi itu, Jane tiba di rumah Alvaro tepat pukul enam lewat. Dia mengenakan pakaian sederhana—jeans biru dan kemeja putih—yang selalu menjadi pilihannya saat keluar rumah di luar urusan kerja. Dengan langkah ringan, ia mengetuk pintu rumah besar itu.

Tok tok tok.

Pintu besar terbuka, dan seorang pelayan bernama Lola berdiri di ambang pintu. Wajahnya terlihat tidak ramah, bahkan sedikit angkuh. Lola, yang diam-diam menyukai Alvaro, memandang Jane dengan penuh kecurigaan.

“Siapa ya?” tanya Lola, suaranya dingin. Tatapannya menyapu Jane dari ujung kepala hingga kaki.

Jane tersenyum sopan, mencoba mencairkan suasana. “Pagi. Saya Jane.”

Lola memutar bola matanya, suaranya semakin ketus. “Cari siapa? Kalau mau daftar jadi pembantu, maaf ya, rumah ini nggak buka lowongan lagi.”

Jane menahan napas, mencoba sabar. “Maaf, saya bukan mau melamar kerja. Saya ke sini untuk bertemu Alvaro dan Syifa.”

Lola tertawa kecil, nada suaranya sinis. “Kamu? Mau ketemu Tuan Alvaro? Jangan halu deh. Kamu pikir bisa datang ke sini buat goda Tuan dan manfaatin hartanya?”

Jane tetap tenang, meskipun ucapannya terasa menyakitkan. “Saya hanya ingin bertemu mereka, tolong sampaikan saja.”

Namun, Lola justru semakin kasar. “Nggak usah pura-pura baik. Sudah sana pergi! Kamu nggak akan dapat uang di sini.”

Saat Lola hendak mendorong Jane keluar, sebuah tangan menahan lengannya dari belakang. Lola terkejut dan langsung menoleh. Wajahnya langsung pucat.

“Tu-tuan Alvaro…” katanya dengan suara gemetar.

Alvaro berdiri di belakangnya, wajahnya penuh amarah. “Ngapain kamu dorong dia, hah?” suaranya keras, membuat semua pelayan lain yang melihat dari kejauhan ketakutan.

“Sa… sa… saya kira dia orang yang mau minta sumbangan, Tuan,” jawab Lola tergagap, mencoba mencari alasan.

Alvaro mendengus. “Sumbangan?! Dia itu calon nyonya muda Dirgantara! Kamu pikir dia datang ke sini buat minta sumbangan?”

Wajah Lola semakin pucat. “Maaf, Tuan! Saya tidak tahu…”

Alvaro menunjuk pintu. “Pergi! Kamu saya pecat sekarang juga!”

“Tuan, jangan! Tolong jangan pecat saya! Saya tulang punggung keluarga. Adik-adik saya butuh saya!” Lola langsung berlutut, menangis, dan memegangi kaki Alvaro.

Jane yang melihat kejadian itu merasa tidak nyaman. Ia menghela napas panjang dan mendekati Lola. Pelayan lain yang menyaksikan mulai berbisik-bisik, menilai Jane dengan berbagai prasangka.

“Nyonya, saya minta maaf. Tolong saya! Saya janji nggak akan mengulangi ini lagi,” kata Lola sambil memegang kaki Jane.

Jane melepaskan tangannya perlahan. Lalu, tanpa berkata apa-apa, dia berjongkok dan membantu Lola berdiri. Semua pelayan yang melihat kejadian itu terkejut.

“Sudah, berdiri. Ini masih pagi, lantainya dingin. Kalau kamu sakit, siapa yang akan bantu adik-adikmu?” kata Jane dengan lembut.

Lola hanya bisa menunduk, merasa malu. Jane menoleh ke arah Alvaro. “Alvaro, tolong jangan pecat dia. Kalau dia kehilangan pekerjaan, adik-adiknya mau makan apa?”

Alvaro memandang Jane dengan tatapan tajam, seolah tidak percaya dia akan memintanya seperti itu. Tapi akhirnya, ia mengangguk. “Terserah kamu.”

Jane tersenyum kecil. “Terima kasih.”

Para pelayan semakin terkejut. Alvaro yang biasanya keras kepala saat marah, kali ini tunduk pada permintaan Jane. Kejadian itu menjadi perbincangan hangat di dapur setelahnya.

Di Dapur

Beberapa pelayan sedang berkumpul di dapur sambil mencuci piring dan menyiapkan sarapan.

“Jadi, wanita tadi yang bakal jadi nyonya muda? Cantik, ya, dan hatinya baik,” kata Tina, pelayan yang lebih tua.

“Baik gimana? Paling cuma pura-pura. Tunggu aja, nanti sifat aslinya kelihatan,” sindir Evline, salah satu pelayan yang kurang menyukai Jane.

Bimo, kepala pelayan, menggeleng pelan. “Kalian jangan bicara buruk dulu. Tadi saya lihat dia tulus. Semoga benar begitu.”

Percakapan itu terhenti ketika Alvaro melintas, membuat mereka kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Di Kamar Syifa

Jane melangkah masuk ke kamar Syifa dengan hati-hati setelah mendapat izin dari Alvaro. Kamar itu luas, dipenuhi warna-warna pastel lembut yang membuat suasananya hangat dan menyenangkan. Boneka-boneka berukuran besar berjajar di salah satu sudut, sementara rak buku kecil di samping tempat tidur penuh dengan buku cerita favorit Syifa.

Di tengah kamar, Syifa masih meringkuk di tempat tidurnya yang besar dengan selimut tebal bergambar karakter kartun favoritnya. Wajah kecilnya terlihat damai, pipinya sedikit memerah karena tidur nyenyak.

Jane mendekat pelan-pelan dan duduk di tepi tempat tidur. Ia menyentuh kepala Syifa dengan lembut, menyisir rambutnya yang lembut dengan jari-jari.

“Sayang, bangun,” ucap Jane lembut, suaranya seperti bisikan pagi yang menenangkan.

Syifa menggeliat kecil, menarik selimutnya lebih erat. “Emmh…” gumamnya, masih setengah bermimpi.

Jane tersenyum, melihat ekspresi manis gadis kecil itu. Ia memutuskan mencoba trik lain. “Kalau kamu nggak bangun, Mama Jane pergi ke X Land sendiri, ya,” godanya.

Mendengar itu, Syifa langsung membuka mata lebar-lebar, wajahnya penuh keterkejutan. “Jangan pergi tanpa aku, Ma!” serunya, suaranya penuh kekhawatiran.

Jane tertawa kecil, mengusap pipi Syifa yang hangat. “Ya sudah, cepat bangun. Kita harus bersiap-siap. Kamu nggak mau telat, kan?”

Syifa duduk perlahan, mengucek matanya sambil mengangguk. “Aku mimpi kita main di X Land, Ma! Seru banget!”

Jane tertawa lagi, kali ini lebih hangat. “Benar? Kalau begitu, kita wujudkan mimpimu hari ini.”

Syifa tersenyum lebar dan langsung memeluk Jane erat. “Aku sayang Mama Jane!”

Jane membalas pelukannya, merasa hati kecilnya dipenuhi kehangatan yang sulit dijelaskan. Dari pintu, Alvaro berdiri mengamati mereka. Matanya memperhatikan interaksi itu dengan ekspresi yang sulit ditebak—antara kagum, terharu, dan sesuatu yang lebih dalam.

“Syifa, cepat mandi. Kita harus berangkat pagi biar nggak terlalu ramai,” kata Alvaro akhirnya, suaranya terdengar datar tapi penuh perhatian.

“Iya, Papa!” jawab Syifa ceria, langsung melompat turun dari tempat tidur dan menuju kamar mandi dengan semangat.

Jane bangkit dari tempat tidur, lalu berjalan mendekati Alvaro. “Dia sangat manis. Kamu pasti bangga padanya,” katanya dengan nada tulus.

Alvaro mengangguk pelan, tapi matanya sedikit mengeras. “Dia sangat berarti bagiku.”

Jane memperhatikan nada suara Alvaro. Ada sesuatu di sana—beban yang tampaknya ia tanggung sendirian. Namun, Jane memilih untuk tidak bertanya lebih jauh.

“Kamu mau sarapan dulu sebelum kita berangkat?” tanya Alvaro, berusaha mengalihkan suasana.

“Boleh. Tapi aku nggak mau merepotkan,” jawab Jane sambil tersenyum kecil.

Alvaro mengangkat alis. “Kamu nggak merepotkan. Ayo ke bawah.”

Di Meja Makan

Ruang makan rumah Alvaro terasa megah, dengan meja kayu besar yang dihiasi vas bunga di tengahnya. Para pelayan telah menyiapkan berbagai hidangan, dari roti panggang, buah-buahan segar, hingga jus jeruk. Jane duduk di salah satu sisi meja, berhadapan dengan Alvaro.

Tidak lama, Syifa bergabung dengan rambut yang masih sedikit basah dan wajah penuh semangat. “Papa, aku mau main di wahana paling tinggi nanti!” katanya antusias sambil mengambil segelas jus jeruk.

Jane tertawa kecil, menatap gadis kecil itu dengan sayang. “Kamu berani? Jangan sampai nanti minta turun di tengah-tengah, ya.”

Syifa menggeleng kuat. “Aku pasti berani, Ma! Papa, nanti kita harus naik bareng!”

Syifa menatap Alvaro dengan penuh harap, dan pria itu mengangguk ringan. “Asal Mama Jane juga ikut,” jawabnya, singkat tapi tegas.

Syifa tertawa senang. “Yeay! Kita bertiga naik bareng, ya!”

Setelah sarapan selesai, Syifa sibuk mempersiapkan tas kecilnya. Ia memasukkan botol minum, camilan, dan bahkan beberapa mainan kecil. Jane membantu memastikan barang-barang itu tertata dengan rapi.

Sementara itu, Alvaro berdiri di depan pintu, memeriksa ponselnya sebentar. Ketika ia melihat Jane dan Syifa turun bersama, ia menyimpan ponselnya dan tersenyum kecil.

“Sudah siap?” tanyanya.

Syifa mengangguk semangat. “Siap banget!”

Alvaro membuka pintu mobil untuk Syifa dan Jane. Setelah mereka masuk, ia melangkah ke kursi pengemudi. Ketika mobil melaju meninggalkan rumah besar itu, Syifa mulai bercerita tentang wahana-wahana yang ingin ia coba di X Land, suaranya memenuhi perjalanan pagi itu dengan keceriaan.

Jane hanya duduk di sebelah Syifa, mendengarkan dan sesekali menimpali. Sementara Alvaro, yang biasanya terkesan dingin, sekali-sekali tersenyum mendengar obrolan putrinya. Di momen itu, mereka terlihat seperti keluarga kecil yang sempurna—meski tanpa ada yang benar-benar menyebutnya begitu.

Dalam hati, Jane merasa hari itu akan menjadi awal dari sesuatu yang baru. Sesuatu yang mungkin lebih dari sekadar janji untuk menemani Syifa bermain di X Land.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!