Decision

Jane terkejut. “Mama, hentikan!” serunya sambil berusaha bangkit dari ranjang.

“Dia sudah membuat hidupmu hancur! Bagaimana mungkin Mama bisa menerima ini?” teriak Lita, air matanya mulai jatuh.

Abraham mencoba menenangkan istrinya, memegangi lengannya dengan lembut. “Lita, cukup. Kita harus berpikir jernih.”

Jane menarik napas panjang, menatap ibunya dengan tegas. “Ma, ini keputusanku. Aku tahu Alvaro salah, tapi aku juga yang memilih untuk menolong nenek itu. Semua ini adalah konsekuensi dari pilihanku.”

Lita menatap putrinya dengan mata penuh kesedihan, akhirnya menghela napas panjang. “Kalau ini yang kamu mau, Mama hanya bisa berdoa semoga kamu bahagia.”

Alvaro menunduk hormat. “Terima kasih sudah memberi saya kesempatan. Saya berjanji akan menjaga Jane dengan baik.”

Jane hanya memandang Alvaro dengan tatapan kosong, pikirannya berputar. Di satu sisi, ia merasa hidupnya berubah terlalu cepat. Tapi di sisi lain, ia tahu, mungkin inilah cara Tuhan menunjukkan jalannya.

Keesokan Harinya

Malam itu, orang tua Jane harus kembali ke rumah karena ada urusan mendesak yang memerlukan perhatian mereka. Setelah menyelesaikan tugas mereka hingga larut malam, mereka memutuskan untuk menginap di rumah, karena terlalu lelah untuk kembali ke rumah sakit.

Sementara itu, di kamar rumah sakit, Jane merasa sedikit kesepian. Namun, rasa itu tidak berlangsung lama, karena Alvaro memutuskan untuk menemaninya. Dia merasa bertanggung jawab atas keadaan Jane, meskipun sebenarnya tak ada yang memaksanya untuk tetap berada di sana.

Malam itu berjalan tenang. Alvaro duduk di sofa kecil di sisi tempat tidur Jane, sementara Jane memejamkan mata, mencoba untuk beristirahat. Ada momen-momen hening, tetapi justru di keheningan itu, keduanya merasa nyaman.

“Kau tidak perlu mengorbankan waktu istirahatmu,” kata Jane pelan, membuka mata sejenak.

Alvaro mengangkat bahu. “Aku di sini karena aku ingin.”

Entah kenapa, jawaban sederhana itu membuat hati Jane terasa hangat. Ia tidak membalas, hanya tersenyum kecil sebelum kembali memejamkan matanya. Dan di sisi lain, Alvaro hanya duduk diam, memperhatikan Jane yang akhirnya tertidur nyenyak.

Keesokan paginya, orang tua Jane kembali ke rumah sakit. Mereka membawa makanan dan beberapa pakaian bersih untuk Jane.

Di saat yang sama, Alvaro sedang berada di rumahnya. Dia memutuskan untuk kembali sebentar untuk bertemu dengan orang tuanya, Sintia dan Aditya, untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

Di ruang makan rumah keluarga Alvaro, suasana sedikit tegang.

“Kamu nabrak Jane?!” suara Sintia meninggi, penuh keterkejutan.

“Iya, Ma. Tapi aku sudah berjanji akan bertanggung jawab,” jawab Alvaro dengan nada tenang.

Aditya, yang duduk di sisi Sintia, langsung menyahut. “Kamu sih, ngapain buru-buru ke kantor cuma gara-gara salah satu cabang bermasalah? Masalah seperti itu kan bisa diserahkan ke bawahanmu.”

Sintia menepuk pundak suaminya, mencoba menenangkan. “Sudahlah, Pa. Alvaro pasti sudah cukup capek seharian di rumah sakit. Jangan menambah bebannya.”

Aditya menghela napas panjang, lalu mengangguk kecil. “Baiklah. Tapi, Alvaro, kau harus lebih hati-hati ke depannya.”

Sintia beralih menatap Alvaro dengan penuh perhatian. “Kamu ke kamar dulu. Istirahat sebentar, mandi, lalu makan. Setelah itu kita semua ke rumah sakit, ya. Kita bawa Syifa juga, biar dia bisa menemui Jane.”

Alvaro hanya mengangguk, lalu berjalan ke kamarnya. Setelah mandi dan beristirahat selama 30 menit, dia bergabung kembali dengan keluarganya yang sudah siap berangkat.

Di Rumah Sakit

Ketika mereka tiba di rumah sakit, Syifa langsung berlari menuju kamar Jane dengan antusias.

“Tante Jane!” serunya riang.

Jane yang sedang duduk di tempat tidur, tersenyum lebar. “Hai, sayang!”

Namun, sebelum Syifa sempat memeluk Jane, Alvaro menahannya.

“Syifa, jangan lari-lari. Ini rumah sakit. Dan jangan peluk Mama Jane terlalu kencang. Nanti kena infusnya,” ucap Alvaro tegas.

Syifa mengerutkan kening, bingung. “Mama Jane?”

Aditya tersenyum sambil menyahut, “Iya, Tante Jane sebentar lagi jadi Mama Syifa.”

Mata Syifa berbinar. “Beneran, Nek, Kek? Horeee!”

Dia segera menghampiri Jane dengan hati-hati kali ini, lalu bertanya dengan nada polos, “Tante mau jadi Mama Syifa?”

Jane tersenyum lembut, matanya berbinar. “Iya, sayang. Memangnya Syifa tidak mau?”

“Mau banget, Tante! Syifa seneng banget!” seru Syifa sambil memeluk Jane pelan.

Sintia dan Aditya tersenyum melihat momen itu, sementara Alvaro hanya mengamati dari sisi ruangan dengan ekspresi yang lebih lembut dari biasanya.

“Tuh, kan, Ma bilang juga apa. Jane itu baik, dan dia cocok jadi mama Syifa,” bisik Sintia pada Alvaro.

Alvaro tidak berkata apa-apa, hanya tersenyum tipis.

Seminggu kemudian, sudah satu minggu sejak Jane keluar dari rumah sakit. Meskipun tubuhnya belum sepenuhnya pulih, dia mulai kembali ke rutinitas kerjanya seperti biasa. Hari-harinya berjalan lancar, namun ada kalanya pikirannya melayang kembali ke saat-saat Alvaro menemaninya di rumah sakit. Kehadiran pria itu memberinya kenyamanan yang tak bisa dijelaskan. Meskipun dia berusaha fokus pada pekerjaannya, pikiran tentang Alvaro dan Syifa terus mengisi ruang dalam hatinya.

Pada suatu malam yang tenang, ketika Jane sedang duduk di meja kerjanya, teleponnya berdering. Nama Alvaro muncul di layar ponselnya. Jane ragu sejenak, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengangkatnya.

“Halo, Alvaro,” suara Jane terdengar sedikit ragu, meskipun dia berusaha terdengar normal.

“Jane, besok Syifa ingin ke X Land. Dia bilang mau kamu ikut. Bisa?” suara Alvaro terdengar datar seperti biasa, tanpa ekspresi yang berarti.

Jane menatap kalender kecil di meja kerjanya, memeriksa jadwalnya. “Besok? Hmm… Bisa kok. Kebetulan aku libur,” jawabnya dengan cepat. Sebenarnya, ia merasa senang mendengar ajakan itu, meskipun hanya untuk menemani Syifa.

“Baik. Besok aku jemput,” jawab Alvaro singkat, masih dengan nada suara yang sama.

Jane tersenyum kecil, meski ia tahu Alvaro tidak akan melihatnya. “Tidak usah. Aku saja yang datang ke rumahmu. Lagipula, aku ingin mencoba sesuatu.”

Alvaro terdiam sejenak. Ada jeda beberapa detik di antara mereka, sebelum akhirnya Alvaro menjawab dengan suara datar, “Oke.”

Panggilan itu hampir berakhir, namun Jane merasa ada yang ingin dia katakan. “Alvaro?”

“Ya?” jawab Alvaro, terdengar sedikit terkejut dengan pemanggilan itu.

“Boleh nggak aku yang membangunkan Syifa besok pagi?” tanya Jane dengan suara pelan dan sedikit ragu, meskipun di dalam hatinya dia berharap Alvaro setuju.

Ada keheningan sejenak di ujung telepon. Jane bisa mendengar suara napas Alvaro yang berat, seolah mempertimbangkan permintaan itu. “Boleh,” jawab Alvaro akhirnya, dengan suara yang terdengar lebih lembut dari biasanya.

Jane tersenyum puas, meskipun dia tahu Alvaro tak bisa melihatnya. “Terima kasih. Sampai besok, ya,” kata Jane dengan nada gembira, meskipun hatinya sedikit berdebar.

“Selamat tidur, Jane,” balas Alvaro, suaranya kali ini terdengar lebih hangat. Mungkin karena kata-kata yang keluar dari mulutnya tadi, atau mungkin karena mereka berdua merasa semakin dekat.

“Selamat tidur juga, Alvaro,” jawab Jane, lalu menutup telepon.

Setelah itu, Jane duduk beberapa saat di kursinya, menatap layar ponsel yang sudah gelap. Hatinya berdebar. Ada sesuatu tentang permintaan kecil yang dia buat tadi yang membuatnya merasa semakin dekat dengan Alvaro. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar, meskipun dia tak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Yang pasti, dia merasa sangat senang bisa meluangkan waktu bersama Syifa dan Alvaro lagi.

Sebelum tidur, Jane sempat memikirkan apa yang akan terjadi keesokan harinya. Dia membayangkan bagaimana suasana di X Land akan terasa, terutama dengan Syifa yang penuh semangat. Sebuah senyum kecil menghiasi wajahnya saat dia memikirkan kebahagiaan anak itu.

“Besok akan menyenangkan,” pikir Jane sambil menatap langit-langit kamar tidurnya yang gelap.

Di sisi lain, Alvaro juga merenung sejenak setelah menutup telepon dengan Jane. Meskipun suaranya terdengar datar dan tenang, hatinya merasa sedikit lebih hangat. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya sejak dia mengenal Jane lebih dekat. Syifa sudah mulai memanggilnya ‘Mama Jane’, dan itu membuatnya merasa sedikit canggung, namun juga senang. Alvaro tahu bahwa hubungan mereka, meskipun belum diungkapkan dengan kata-kata, sedang berkembang ke arah yang lebih dalam.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!