Accident

Pagi itu, Alvaro merasa dunianya sedang tidak berpihak pada nya.

Telepon dari Arya, sekretarisnya, menyampaikan kabar buruk: salah satu cabang perusahaannya menghadapi masalah serius. Alvaro, seperti biasa, memilih menghadapi semuanya dengan kepala dingin, meski pagi itu perasaannya terasa lebih gelisah dari biasanya. Ia segera mandi, mengenakan pakaian kerjanya, dan melesat keluar rumah dengan tergesa-gesa.

Saat memutar kemudi menuju jalan utama, fokusnya terpecah. Pikirannya melayang pada kerugian, rapat darurat, dan potensi dampak besar bagi bisnisnya. Namun, sesuatu di jalan membuatnya menginjak rem mendadak.

Seorang nenek, tua dan rapuh, terlihat bingung di tengah jalan.

Sebelum sempat Alvaro bereaksi, seorang wanita melesat dari sisi trotoar, menarik nenek itu ke arah aman. Sayangnya, aksi heroik itu datang dengan konsekuensi. Mobil Alvaro yang tak sempat berhenti total, menyenggol tubuh wanita itu hingga tubuhnya terpental ke aspal dengan suara keras.

“Brukk!”

Alvaro membeku. Ia keluar dari mobil dengan langkah cepat, hatinya berpacu kencang. Tubuh wanita itu tergeletak di jalan, darah merembes dari luka di kepalanya. Kerumunan mulai terbentuk, bisik-bisik terdengar di sekelilingnya.

“Tolong… panggil ambulans!” serunya panik, meski tangannya sendiri sudah mengangkat tubuh wanita itu dengan hati-hati ke dalam mobilnya.

Di sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Alvaro hanya bisa memandang wajah pucat wanita itu. Ada rasa bersalah yang begitu besar menguasainya.

Jane merasa tubuhnya berat dan sakit.

Perlahan, kesadarannya mulai kembali. Matanya terasa sulit dibuka, tapi suara mesin monitor yang berdetak perlahan mulai terdengar.

“Aku di mana?” pikirnya.

Saat ia membuka matanya sepenuhnya, pandangannya bertemu dengan seorang pria yang duduk di samping ranjangnya. Wajahnya tegang, tapi matanya menyiratkan rasa bersalah.

“Permisi…” suara Jane lemah, nyaris berbisik. “Saya di mana? Bagaimana nenek itu? Apa dia baik-baik saja?”

Pria itu, yang sejak tadi terdiam, akhirnya bicara. Suaranya dalam, namun ada nada kaku di baliknya. “Kamu di rumah sakit. Nenek itu baik-baik saja, berkat kamu. Tapi kamu…”

Jane mengerutkan kening. “Saya kenapa?”

Pria itu menarik napas panjang, seolah berusaha mengumpulkan keberanian untuk menjelaskan. “Aku… aku harus memberitahumu sesuatu. Tolong dengarkan sampai selesai.”

Ia menjelaskan dengan perlahan. Tentang tabrakan itu, luka yang dialami Jane, dan berita buruk dari dokter tentang kemungkinan Jane yang sulit hamil akibat benturan keras di bagian perutnya.

Jane terdiam. Kata-kata pria itu seperti menghantamnya keras, lebih keras daripada tabrakan yang baru saja ia alami. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia menahan air matanya sekuat tenaga.

“Jadi… saya tidak bisa punya anak?” tanyanya dengan suara yang hampir tak terdengar.

Pria itu menunduk. “Kemungkinan besar, ya. Tapi dokter bilang, ada sedikit harapan. Semua tergantung Tuhan.”

Jane tertawa kecil, getir. “Tuhan, ya?” katanya, lebih kepada dirinya sendiri. “Lucu. Aku bahkan belum menikah. Belum pernah berpikir sejauh itu. Tapi sekarang…”

Air matanya akhirnya tumpah. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan, membiarkan kesedihannya mengalir tanpa hambatan. Pria di depannya hanya bisa menatap, rasa bersalah semakin berat di pundaknya.

“Maafkan aku,” katanya, suaranya rendah dan tulus. “Aku akan bertanggung jawab.”

Jane menurunkan tangannya perlahan, memandang pria itu dengan mata merah dan bengkak. Sorot matanya penuh amarah dan kelelahan. “Bertanggung jawab? Maksudmu apa?” tanyanya dengan suara dingin, namun tetap terdengar getir.

Pria itu menatapnya tanpa ragu. “Aku akan menikahimu.”

Jane tertegun. Untuk beberapa detik, ia hanya bisa menatapnya dengan ekspresi tak percaya. Kemudian, tawanya pecah, getir dan pedih. “Menikahiku? Kau bahkan tidak mengenalku. Apa kau serius? Atau ini hanya caramu untuk menghapus rasa bersalahmu?”

Alvaro tetap tenang meskipun kata-kata Jane seperti duri yang menusuk. “Aku tahu, kita saling asing. Tapi aku harus melakukannya. Aku tidak bisa membiarkanmu menjalani ini sendirian.”

“Sendirian?” Jane mendengus, nada suaranya meninggi. “Aku sudah biasa sendiri. Aku sudah hidup dengan cara ini selama bertahun-tahun. Tanpa siapa pun peduli. Jadi, jangan mencoba menjadi pahlawan yang merasa harus menyelamatkanku. Aku tidak butuh penyelamat, terutama penyelamat seperti kau.”

Kata-kata Jane tajam, namun Alvaro tetap tak bergeming. Sorot matanya tak berpaling dari Jane, dingin namun penuh keyakinan. “Ini bukan soal menyelamatkanmu. Ini soal tanggung jawab. Apa yang aku lakukan telah merusak hidupmu. Aku harus memperbaikinya.”

Jane terdiam, membuang pandangannya ke arah jendela. Langit sore yang mulai memerah seolah ikut menyuarakan suasana hatinya yang penuh luka. “Kau pikir dengan menikahiku, semuanya akan selesai? Kau pikir hidupku akan kembali utuh? Kau salah besar. Kerusakan ini, rasa sakit ini, tidak bisa diperbaiki begitu saja.”

“Tapi aku bisa mencoba,” jawab Alvaro cepat, suaranya dalam namun tegas.

Jane memalingkan wajahnya kembali, menatap pria itu dengan tatapan tajam. “Kau sudah punya istri, bukan?”

Alvaro menggeleng pelan. “Aku sudah lama bercerai.”

Jane mengerutkan kening, bingung. “Tapi aku dengar kau bilang kau punya anak?”

“Ya,” jawab Alvaro singkat, tanpa ragu. “Aku punya anak perempuan. Usianya enam tahun.”

Jane memicingkan mata, mencoba mencerna informasi itu. “Enam tahun? Namanya siapa?”

“Syifa.”

Mendengar nama itu, Jane seketika membeku. Nama itu terdengar begitu familiar di telinganya. Ingatannya berputar kembali ke pertemuan singkat di mall beberapa waktu lalu. “Syifa? Syifa yang aku bantu waktu itu?”

Alvaro mengangguk. “Ya, itu anakku.”

Jane memejamkan matanya, menarik napas panjang. Dunia terasa semakin kecil dan ironis. “Jadi, kau ayahnya Syifa. Hebat sekali. Dunia ini benar-benar kejam, ya. Aku menyelamatkan anakmu dulu, dan sekarang kau menghancurkanku.”

Alvaro tetap diam, menerima setiap pukulan emosional Jane tanpa mencoba membela diri.

“Dan kau ingin aku menikah denganmu setelah semua ini? Kau pikir itu solusi yang adil untukku?” Jane melanjutkan, suaranya terdengar lebih dingin daripada sebelumnya.

“Aku mengerti ini tidak adil. Aku tahu ini terlalu tiba-tiba dan mungkin terdengar egois. Tapi tolong… beri aku kesempatan. Aku ingin memperbaiki apa yang sudah terjadi.”

Jane membuka matanya, menatap pria di depannya. Wajah Alvaro tetap tenang, namun sorot matanya menyiratkan kesungguhan. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat Jane sulit berpaling.

“Kau bicara tentang memperbaiki. Tapi apa kau sadar? Aku tidak hanya kehilangan kemampuan untuk memiliki anak. Aku kehilangan kepercayaan diriku, masa depanku, impianku. Apa kau benar-benar berpikir kau bisa memperbaiki itu semua?”

“Aku tidak tahu,” jawab Alvaro jujur, tanpa sedikit pun keraguan dalam suaranya. “Tapi aku ingin mencoba. Aku ingin bertanggung jawab atas apa yang sudah aku lakukan.”

Jane menatapnya lama, mencoba mencari alasan untuk menolak. Tapi di hatinya, ia tahu kata-kata pria ini memiliki bobot. Namun, itu tidak membuat hatinya lebih ringan. Ia masih marah, masih kecewa, dan masih bingung.

“Aku tidak tahu…” katanya akhirnya, suaranya lebih pelan. “Aku tidak tahu apakah aku bisa menerimamu. Kau mungkin berpikir ini soal tanggung jawab, tapi bagiku ini soal hidupku. Aku belum siap memberikan jawabanku.”

Alvaro mengangguk pelan. “Aku mengerti. Aku tidak akan memaksamu. Tapi tolong, pikirkan baik-baik. Aku akan menunggu keputusanmu.”

Malam itu, Jane tak bisa memejamkan mata. Kata-kata Alvaro terus terngiang di kepalanya. Ia tidak tahu kenapa, tapi sorot mata pria itu begitu membekas di pikirannya. Ada sesuatu yang dingin dan tegas dalam dirinya, tapi di balik itu, Jane bisa merasakan ketulusan.

Pagi berikutnya, Jane akhirnya memutuskan untuk berbicara dengan Alvaro lagi. Saat pria itu memasuki kamar rumah sakit, Jane menatapnya dengan ekspresi yang lebih tenang.

“Aku telah memikirkannya,” kata Jane, suaranya terdengar lebih tegas dari sebelumnya.

Alvaro berdiri di dekat ranjang, menunggu jawabannya dengan sabar.

“Aku tidak percaya menikah denganmu akan memperbaiki semuanya,” lanjut Jane. “Tapi aku juga tahu, ini adalah jalan yang paling masuk akal untuk menghadapi semua ini.”

Alvaro mengangguk, menerima keputusannya dengan tenang. “Terima kasih. Aku tidak akan mengecewakanmu.”

Jane memandangnya dalam-dalam. “Tapi ada syaratnya. Aku tidak ingin kau hanya melakukannya karena rasa bersalah. Aku butuh waktu untuk melihat apakah kau benar-benar serius menjalani ini.”

“Aku akan membuktikannya,” jawab Alvaro tanpa ragu.

Jane mengangguk pelan, meski hatinya masih dipenuhi keraguan. Ia tahu, ini bukan keputusan yang mudah. Tapi mungkin, di balik semua ini, Tuhan memiliki rencana yang lebih besar untuk mereka.

Dua hari kemudian, Jane masih dirawat di rumah sakit.

Alvaro memutuskan untuk menghubungi kedua orang tua Jane dan meminta mereka datang ke rumah sakit. Ia tahu, ini adalah langkah pertama untuk menunjukkan keseriusannya.

Ketika orang tua Jane tiba, Lita, ibunya, langsung berlari menghampiri putrinya dengan wajah penuh kecemasan.

“Sayang, kamu nggak apa-apa? Mama khawatir sekali!” serunya sambil menggenggam tangan Jane.

“Aku baik-baik saja, Ma,” jawab Jane, mencoba tersenyum meski wajahnya masih pucat.

Abraham, ayahnya, berdiri di belakang Lita, menatap Alvaro dengan penuh tanda tanya. “Dan siapa ini?” tanyanya, suaranya berat.

Alvaro maju dan memperkenalkan dirinya. Dengan hati-hati, ia menjelaskan apa yang terjadi, termasuk kecelakaan itu, kondisi Jane, dan keputusannya untuk menikahi putri mereka.

Usai penjelasan panjang itu, ruangan menjadi sunyi. Namun, Lita tiba-tiba berdiri dan menatap Alvaro tajam.

“Kamu pikir menikahi anakku bisa menyelesaikan segalanya?” tanyanya tajam, lalu menampar Alvaro dengan keras.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!