NovelToon NovelToon

Rantai Kekayaan

Gagal Panen

Dirja melangkah masuk ke rumah dengan langkah lunglai, wajahnya terlihat kusut penuh beban. Keringat masih menempel di dahinya, bekas dari kepergiannya dari sawah dan kebun yang baru saja dia cek.

"Mas, pulang-pulang kok wajahnya lesu gitu? Kenapa?" tanya Darmi sambil menyipitkan mata, dia menyeka debu yang menempel di kedua tangannya.

Darmi baru saja menyalakan api di tungku, dia ingin merebus air. Dirja duduk terhuyung di bangku kayu, memijat pelipisnya. Suaranya berat, hampir tak ada suaranya.

"Dek, padi kita... dimakan tikus. Sayurnya juga ludes dimakan belalang." Napasnya tersendat, seolah kata-kata itu susah keluar dan tertahan di tenggorokan. "Gagal panen, Dek. Tak tersisa."

Darmi mengerutkan dahi, menatap kosong ke arah suaminya. Padahal kemarin padinya sudah terlihat menguning, seminggu lagi sudah siap panen. Nyatanya, malah hal yang tak terduga mereka dapat saat ini.

"Terus, gimana dong? Kita nggak ada makanan sama sekali? Kalau tak ada padi, setidaknya ada sayuran atau umbi kayu dan kentang."

Dirja menggertakkan gigi, tangannya gemetar saat meraih gelas berisi air putih. Sedih sekali rasanya, kecewa juga iya. Berkebun dan bertani memerlukan waktu yang panjang, biaya yang dikeluarkan juga tak sedikit.

Mereka berubah untuk bertani dan berkebun setelah kedua orang tua Dirja meninggal, tanah yang dia kelola warisan dari kedua orang tuanya. Biaya untuk mengolah sawah dan kebun juga dapat meminjam, bukan dari uang pribadi.

Dulu dia tak perlu mengeluarkan modal untuk bercocok tanam, karena dia cukup membantu kedua orang tuanya saja. Dengan seperti itu, dia bisa mendapatkan upah yang lumayan besar.

Namun, kini dia malah harus mengeluarkan biaya yang besar untuk bertani dan juga berkebun. Dirja yang tak biasa mengolah semuanya tentu saja kewalahan, menghasilkan tidak, banyak hutang iya.

"Kemarau panjang, tanah keras sampai susah menyerap air. Aku udah capek banget sirami semua. Tapi malah kena sial, hama habisin panen kita." Ia menghela napas panjang, matanya sembab menahan kecewa.

Sang istri menatap wajah suaminya yang kusut dengan lama, bibirnya gemetar antara yakin dan takut. Namun, dia tidak mau menyembunyikan pemikirannya.

"Mas, ini aneh gak sih? Biasanya hama nggak sampai habisin semua sayur dan padi loh, apalagi sampai gagal panen kaya gini. Apa mungkin ini bukan hama biasa?"

Suara Darmi setengah berbisik, suaranya seakan takut terdengar orang lain. Wanita itu bahkan menolehkan wajahnya ke piri dan juga ke kanan, takutnya nanti ada orang yang mendengar karena rumah mereka terbuat dari bilik dan juga kayu.

Sebenarnya saat kedua orang tua Dirja meninggal, ada warisan rumah dari kedua orang tuanya itu. Namun, terpaksa dia jual karena dipakai untuk mengobati anaknya yang sakit kanker.

Namun, sial menghampiri hidupnya. Uang sudah keluar banyak, tapi anaknya yang baru berusia 2 tahun itu malah meninggal dunia. Sia-sia rasanya, kepedihan baru saja mereda, keduanya mulai bangkit dan menyibukkan diri dengan berkebun dan bertani. Namun, lagi-lagi mereka harus menelan kecewa.

"Mungkin yang makan itu hewan jadi-jadian, kayak yang penganut ilmu hitam, gitu."

Dirja terdiam, tatapannya menerawang jauh, ada kegelisahan yang sulit diungkap dengan kata. Namun, dia merasa tidak percaya dengan hal mistis seperti itu.

"Halah! Mana ada hal semacam itu, Mas gak percaya. Kita aja selama ini tinggal di dekat hutan, tapi tak pernah sekalipun melihat yang namanya setan.''

Darmi mengangguk pelan, bibirnya sedikit menekuk. Dia setuju dengan apa yang dikatakan oleh suaminya, tapi kesal juga karena pria itu langsung menepis kata-katanya.

"Iya juga sih, Mas. Tapi kan' bisa saja," katanya lirih, suaranya ada getar ragu. Matanya menatap kosong ke tanah, seperti berusaha menepis kekhawatiran yang terus menggelayut di pikiran.

Dirja menghela napas panjang, lalu mengusap kepala Darmi dengan tangan kasarnya karena terlalu cape bekerja.

"Sudahlah, jangan pikirin itu terus. Aku mau cari makanan dulu, di rumah udah kosong," ujarnya tegas, tapi nada suaranya hangat penuh perhatian.

Darmi mengangkat wajah, mencoba tersenyum. "Iya, Mas. Memang di rumah nggak ada bahan pangan lagi, tapi di pinggir rumah masih ada daun singkong yang bisa diambil."

Dirja mengangguk cepat, matanya menyipit mengingat tugasnya. "Ya udah, kamu ambil daun singkongnya. Aku mau cari beras biar kita bisa makan."

Darmi membalas dengan suara pelan. "Siap! Mas harus hati-hati ya, jangan sampai kenapa-kenapa."

Wajahnya penuh harap dan cemas sekaligus, seperti berharap semuanya akan baik-baik saja. Dirja menganggukan kepalanya.

"Emm!" jawabnya dengan deheman saja. Dia mengambil wadah kecil, dia berharap walaupun tidak mendapatkan beras hari ini, tetapi setidaknya bisa mendapatkan makanan lain.

Matahari sudah mulai meninggi, tetapi dia harus mencari beras agar dia bisa makan bersama dengan istrinya. Namun, dia bingung harus mencari beras ke mana. Karena pastinya beras itu harus dibeli dengan uang, sedangkan dirinya tidak memiliki uang sama sekali.

Utang untuk membayar hutang bekas mengolah sawah dan kebun saja tidak ada, pusing sekali rasanya. Dirja malah diam di tepi sungai, sungai yang kering. Hanya ada batu-batu besar yang begitu panas ketika dia duduki.

"Duh Gusti! Aku kudu piye?"

Cukup lama Dirja duduk di atas batu besar yang ada di pinggir kali, hingga tidak lama kemudian dia melihat ada orang yang melintas di hadapannya sambil membawa

dua keranjang singkong.

"Kang! Abis panen singkong ya?"

Pria itu menolehkan wajahnya ke arah Dirja, dia merasa iba melihat pria itu karena tahu kalau pria itu baru saja kena sial. Hampir tanaman semua warga diserang hama, tetapi memang milik Dirja yang paling parah.

"Iya, alhamdulillah masih ada yang tersisa. Bisa buat makan, sisanya bisa dijual ke pasar. Buat beli lauk," jawabnya.

"Ehm! Saya boleh minta gak?" tanya Dirja dengan malu.

"Boleh, Dirja. Ambil sini, dulu bapakmu itu orangnya baik sekali. Masa anaknya minta singkong saja saya nggak kasih, ambil."

Orang itu memberikan beberapa buah singkong kepada Dirja, pria itu kesenangan. Dengan cepat dia memasukkan singkong itu ke dalam wadah kecil yang dia bawa.

"Makasih, Kang. Kalau gitu saya pulang, istri saya pasti sudah kelaparan di rumah."

"Sama-sama, saya turut sedih melihat kebun dan juga sawah kamu yang gagal panen."

"Iya, Kang. Permisi," ujar Dirja.

Dengan senyum yang mengembang di bibirnya Dirja pulang ke kediamannya, dia berharap istrinya itu tak marah karena dia hanya mendapatkan singkong saja.

"Dek! Mas pulang!" teriak Dirja ketika dia tiba di rumahnya.

Namun, rumah itu terasa begitu sepi. Tak ada sahutan dari istrinya, hal itu membuat Dirja takut.

"Dek! Kamu di mana sih?" tanya Dirja sambil melangkahkan kakinya menuju dapur.

Dia mencari istrinya di sana tapi ternyata tidak ada, dia membuka pintu belakang dan berusaha untuk mencari istrinya di sana. Karena Dirja ingat kalau istrinya berkata di pinggir rumah masih ada daun singkong yang bisa diambil, pohon singkong yang masih kecil-kecil itu menghasilkan daun yang bisa direbus dan dijadikan lalapan.

"Astagfirullah! Kamu kenapa Dek?"

Kesialan Yang Tiada Henti

Dirja sempat diam terpaku begitu tiba di belakang rumah. Di sana, istrinya duduk terdiam dengan kepala yang bersandar di batu besar, darah mengalir deras dari luka di kepalanya. Mata wanita itu tertutup rapat, seolah tak menyadari apa pun di sekitarnya. 

Di tangannya masih tergenggam beberapa pucuk daun singkong, saksi bisu kejadian yang baru saja terjadi. Dirja menelan ludah, ingatannya segera menangkap kemungkinan istrinya terpeleset di jalanan licin saat memetik daun singkong itu, lalu terjatuh dan menghantam batu dengan kepala terlebih dahulu. Jantungnya berdetak tidak karuan. 

Astagfirullah! Sayang, bangun! Jangan bikin Mas takut!” 

Suaranya serak, tangan gemetar saat ia mengangkat tubuh istrinya. Ketakutan mencekam, menusuk hingga ke tulang. Dengan sigap, Dirja membawa istrinya masuk ke dalam rumah, meletakkannya di atas kasur dengan lembut walaupun dalam perasaan panik. 

Berulang kali dia berusaha untuk membangunkan istrinya, berharap dia akan segera membuka mata dan tidak membuatnya khawatir seperti ini. Namun, matanya tak kunjung terbuka. Napas pria itu tersengal, kini pikirannya tidak karuan.

"Tolong! Tolong istri saya!” 

Suaranya pecah oleh rasa takut dan harap, takut kalau istrinya akan kenapa-kenapa. Namun, dia tetap berharap kalau ada tetangga yang menolong dan akan membuat istrinya itu cepat sadar. 

Pak Kamto berlari mendekat, wajahnya penuh kekhawatiran melihat Dirja yang teriak minta tolong. Dia merupakan tetangga yang tidak Jauh rumahnya dari Dirja, pria yang usianya jauh lebih tua dari Dirja.

"Ada apa, Ja? Kenapa kamu berteriak-teriak?" tanyanya dengan nada panik. Dirja menunduk, napasnya tercekat. 

"Istri saya jatuh, kepalanya berdarah, Pak. Dia nggak sadarkan diri. Tolong saya, Pak. Saya nggak tahu harus gimana." 

Matanya berusaha menahan air mata yang siap tumpah. Dia benar-benar sedih melihat keadaan istrinya saat ini,  sungguh dia merasa tidak berdaya. Pak Kamto menghela napas panjang. 

"Astagfirullah! Saya nggak bisa langsung bantu, tapi saya bisa panggil mantri. Tunggu di sini, saya pinjam motor Darto dulu."

Dirja mengangguk cepat, suara serak, "Boleh, Pak. Tolong cepet ya, saya takut dia kenapa-kenapa."

Pak Kamto segera berlari pergi, dia meninggalkan Dirja yang saat ini sedang gemetaran. Dirja masuk ke rumah, tangannya masih gemetar sambil mengambil air hangat. 

Lalu, dia mengelap kepala istrinya, matanya tak lepas dari luka berdarah itu. Di sela-sela membersihkan luka istrinya itu, dadanya terasa semakin sesak. 

"Ya Allah, dari mana nanti aku dapat uang buat bayar mantri?" bisiknya dengan suara hampir patah. 

Rasa takut dan putus asa menghimpit hatinya dalam keheningan itu. Hingga tidak lama kemudian matanya menatap cincin kawin yang tersemat di jari manis Darmi. Cincin kawin yang beratnya dua gram itu dia rasa sangat berharga, tapi dalam keadaan mendesak seperti ini, dia merasa tidak ada pilihan untuk menjual cincin kawin itu. 

"Dek! Mas pinjam dulu cincinya, nanti Mas ganti. Ini juga untuk biaya berobat kamu, karena pasti pengobatan kamu membutuhkan uang yang banyak."

Dengan berat hati Dirja mengangkat tangan istrinya, lalu dia melepaskan cincin itu dengan sangat perlahan. Isak tangis terdengar dari bibir pria itu, dia merasa sangat payah menjadi seorang suami. 

"Mmmmmp!"

Dirja yang sedang menangis langsung membuka mata, dia begitu senang ketika melihat istrinya yang sudah sadar. Namun, dia merasa bingung karena istrinya berusaha untuk berbicara tapi tidak bisa. 

"Kenapa, Dek? Ada apa? Mau bicara apa?"

Darmi berusaha untuk berbicara, tetapi tidak bisa karena bibirnya terlihat miring ke kiri. Di saat wanita itu berusaha untuk menggerakkan tangan kirinya, ternyata tidak bisa juga. Dia merasa sekujur tubuhnya lemas. 

"Ya Allah, Dek? Cobaan apa yang sedang mendera kita? Sudah uang habis dipakai untuk modal bercocok tanam, bahkan harus hutang karena masih kurang, ini kamu jatuh dan bangun dalam keadaan seperti ini. Kenapa begitu banyak ujian yang datang?"

Dirja menangis karena sedih, Darmi juga hanya bisa menangis sambil menatap suaminya. Di saat dia sedang menangisi nasib buruknya hari ini, pak Kamto datang bersama dengan pak mantri.

"Setelah saya periksa, istri anda mengalami kelumpuhan saraf. Sepertinya istri anda jatuh dalam keadaan duduk, kepalanya juga terbentur dengan begitu keras. Jadinya ada beberapa saraf yang rusak, hal itu menyebabkan dia tidak bisa berjalan dan tidak bisa berbicara."

"Astagfirullah! Lalu, bagaimana dengan biaya pengobatannya?"

"Mahal, sangat mahal."

"Duh Gusti! Aku kudu piye, Pak?" tanya Dirja sambil menangis di dekat pak Kamto.

"Sabar, Ja. Ini ujian," ujar Pak Kamto.

"Ujian sih ujian, Pak. Tapi kalau ujiannya terus-menerus kayak gini saya jadinya nggak tahan, saya nggak sanggup."

"Istighfar, Le. Banyak minta sama Allah," bujuk Pak Kamto.

Pria paruh baya itu berusaha menenangkan Dirja, dia sangat baik sekali. Bahkan untuk biaya pak mantri, dia yang membayarnya. Setelah pak mantri pergi, Dirja memberikan cincin kawin milik istrinya itu kepada pak Kamto.

"Ini untuk ganti uang pengobatan istri saya, sisanya boleh saya minta uang tidak? Soalnya kalau harus pergi ke pasar buat jual cincin, saya gak punya ongkos."

Pak Kamto memang bukan orang kaya, tetapi pria itu masih punya simpanan uang yang diberikan oleh anaknya yang sudah menikah. Karena merasa kasihan akhirnya dia membeli cincin kawin milik Darmi sesuai harga toko emas saat ini.

Dirja menatap penuh cemas ke arah istrinya yang hanya terbaring lemah di atas tempat tidur. Air matanya menetes tanpa henti, dia merasa kalau hidupnya sangatlah tidak beruntung.

Darmi merasa hidupnya tidak berarti ketika dia melihat kesedihan yang tergambar jelas di mata pria itu. Bukannya menguatkan suaminya di saat susah, rasa sakit yang dideritanya malah menjadi beban tambahan dalam hidup Dirja. 

'Maafkan Adek, Mas. Adek benar-benar tak berguna,' ujar Darmi dalam hati.

Walaupun merasa sedih, tetapi Dirja sadar kalau istrinya itu harus makan dan juga minum obat. Dia bergegas membeli beras 1 kilo dan membuatkan bubur untuk istrinya, selain agar istrinya mudah dalam menelan bubur itu, dia juga berharap kalau dengan membuat bubur bisa makan hemat.

Karena beras 1 kilo itu bisa menjadi bubur yang banyak, bisa dia makan berkali-kali. Cukup dihangatkan saja setiap kali dia akan memakannya, bumbunya juga hanya diberikan garam saja agar ada rasanya.

Setelah menyuapi istrinya dengan bubur hangat dan juga memberikan obat, Dirja menunggu hingga wanita itu tertidur lelap. Setelah wanita itu tidur, dia juga ingin tidur di samping istrinya.

Namun, kepalanya yang berdenyut sakit membuatnya memutuskan keluar rumah, kakinya melangkah perlahan ke halaman belakang. Ia berjalan tanpa tujuan, berharap angin malam bisa mengusir gelisah yang menggerogoti hatinya. 

 Tanpa sadar, langkahnya semakin jauh hingga kakinya mulai terasa lelah. Dirja berhenti dan menoleh ke sekeliling. Hanya pohon-pohon besar dengan dedaunan rimbun yang menyambut matanya. 

"Eh? Ini di mana, ya?” gumamnya pelan seraya menarik napas dalam-dalam, dia mencoba menenangkan diri di tengah sunyinya malam.

Kejanggalan

Dirja mengangkat wajahnya ke langit yang gelap gulita, hanya ada cahaya rembulan yang bulat sempurna memancar terang menyelinap di sela pepohonan. Kilauan putih itu seperti lentera hidup di tengah kegelapan malam. 

Matanya bergerak pelan mengikuti bayangan pepohonan besar di sekelilingnya, pohon beringin dengan akar menjuntai yang tampak seperti tangan raksasa menyentuh tanah.

Ada juga pohon kapuk yang serat halus dari buahnya berguguran seperti serpihan awan kecil, serta ada pohon asam Jawa tua dengan buah yang berjatuhan berceceran seperti camilan alami. Ia mengerutkan kening, dada berdebar menahan cemas. 

"Di mana aku? Kenapa bisa sampai di sini?" gumamnya, suara seraknya pecah dalam keheningan. 

Tangannya meraih sesuatu dari terdekat, berharap ada yang bisa dia jadikan petunjuk. Namun, semua hanya terasa asing. Di setiap sisi dia memandang, tetap saja dia tidak mengenal di mana saat ini dirinya berada.

"Apakah aku terlalu lama berjalan sampai tersesat di hutan?" 

Matanya tak lepas menelisik gelap, mencari petunjuk di antara pepohonan besar yang seolah memeluknya tanpa jawaban. Ketakutan mulai menyelimuti jiwanya. Dirja menghela napas panjang, dadanya naik turun berusaha menenangkan diri.

"Sabar, Dirja. Tenang. Jangan takut," bisiknya, tangan gemetar. Namun, dia mencoba untuk menenangkan dirinya.

Matanya menyapu setiap sudut jalan yang tampak serupa, berharap bisa menemukan jalan pulang yang tak terlihat karena semua jalan terasa sama. Dirja berusaha untuk mencari jalan pulang, dia melangkahkan kakinya di jalan yang dia anggap benar.

Namun, jam-jam berlalu tanpa ampun, ia selalu berputar kembali ke titik awal, seolah tersesat dalam labirin yang tak berujung. Dirja mulai takut dengan keadaan ini.

"Ya Allah, tolong hamba-Mu ini," suaranya melemah, tapi penuh harap. "Aku ingin pulang. Jangan biarkan hamba tersesat di tempat asing ini. Darmi butuh aku. Maafkan aku kalau aku tadi terlalu tenggelam dalam kesedihan sampai akhirnya tersesat seperti ini."

Dirja terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu menyejukkan hatinya yang mulai goyah. Namun, tubuhnya sudah lelah. Keringat dingin membasahi punggungnya.

"Sial! Aku capek! Aku lelah! Aku mau pulang!" teriaknya sambil meninju tanah di depannya.

Kak! Kak! Kak!

Tiba-tiba suara burung berdengung dengan nada tinggi menusuk telinga. Dirja menutup kedua kupingnya, badannya tertekuk sambil jongkok, kepala menunduk dalam ketakutan.

Burung itu berkicau dengan suara yang asing, melampaui apa pun yang pernah didengar olehnya. Ketakutan menyeruak, tapi ada sesuatu dalam suara itu yang membuatnya bertanya-tanya, apakah ini awal sebuah petunjuk atau hanya semakin memperdalam kesendiriannya.

"Telingaku sangat sakit," ujar Dirja.

Dirja menutup matanya rapat-rapat, lirih dia mengucap istighfar berkali-kali. Dia berharap suara burung mengerikan itu segera menghilang. Saat ia membuka mata, keheningan itu terganti oleh tawa cekikikan.

Tawa itu seperti jarum yang menusuk telinganya hingga sakit, bukan sekedar suara tawa seorang perempuan. Jantungnya berdegup tak beraturan, hawa dingin merayap di seluruh tubuhnya.

"Ya Allah, lindungi aku," bisiknya dengan suara gemetar.

Tiba-tiba, bayangan wanita berbaju putih lusuh melesat di hadapannya. Rambut panjangnya acak-acakan dan menyelimuti wajahnya yang pucat pasi.

Perut wanita itu berlubang, menganga dan belatung putih menggeliat-geliat di sela daging yang membusuk. Mual menusuk perut Dirja, dadanya seperti diremas.

Hoek! Hoek!

Napasnya tersengal, ia mundur ketakutan. Sosok itu kini berdiri jelas, darah kental mengalir dari perut yang mengerikan itu, bau busuk memenuhi udara. Tubuhnya gemetar hebat, pandangannya kabur oleh rasa jijik dan ketakutan.

"Makhluk apa itu?" tanya Dirja. Selama ini dia tak pernah sekalipun melihat yang namanya setan, makanya dia tak begitu percaya jika setan itu ada.

Ketika wanita itu mulai melayang mendekat, Dirja seolah ingin menghilang, tubuhnya membeku di tempat. Suaranya tercekat, akhirnya pecah dengan teriakan putus asa.

"Pergi!"

Sosok wanita itu tidak mundur saat Dirja mengusirnya. Malah, ia melangkah semakin dekat, hingga bayangannya menggelayuti kepala pria itu. Tetesan darah hitam berbau amis jatuh dari tangan wanita itu, menempel di wajah dan dada Dirja. 

Bau busuk dan amis itu menyengat, membuat napasnya tersendat. Baru kali ini dia merasakan siksaan yang begitu pedih, siksa yang dirasa lebih-lebih dari yang namanya di neraka.

 "Hihihihihi! Rasakan, enak, kan?" celetuk wanita itu dengan tawa seram. 

Dirja terbatuk-batuk, tubuhnya menggigil, mulutnya mual luar biasa. Dia muntah-muntah tanpa henti, hingga akhirnya ia terjatuh lemas, pingsan diselimuti aroma darah yang mengerikan itu.

***

Dirja terbaring tak sadarkan diri di tanah hutan larangan, sinar matahari pagi menyelinap di antara dedaunan dan menari-nari di kulitnya yang pucat. Lambat laun, tubuhnya menggeliat.

Tangan yang terbiasa sigap refleks menutup matanya yang silau tertimpa cahaya. Detik-detik berlalu dengan lambat, napasnya memburu saat ia mencoba membuka mata perlahan. 

"Masya Allah! Aku masih hidup," gumam Dirja dengan suara parau. 

Matanya menelusuri setiap inci tubuhnya. Bersih. Tak ada noda darah yang menodai kulitnya, berbeda jauh dari ingatannya semalam yang mengerikan. Sosok wanita itu mengeluarkan darah dari perutnya, darah yang berhamburan sampai membanjiri tubuhnya. Dirja mengerjap bingung. 

"Apa semua itu cuma mimpi?" bisiknya, masih terguncang oleh bayangan yang baru saja memeluk ketidaksadaran.

Dirja memperhatikan sekelilingnya, ternyata hari benar-benar sudah sangat siang. Matahari sudah begitu panas sekali, dia langsung terperanjat karena teringat akan istrinya.

"Ya Allah, aku sudah meninggalkan istriku dalam waktu yang lama. Bagaimana keadaan dia sekarang?"

Dirja cepat-cepat bangun dan mencoba untuk pergi dari sana, tapi lagi-lagi dia hanya berputar-putar saja di sana. Dia merasa putus asa, ingin bertanya tetapi bingung kepada siapa.

Karena sejauh mata memandang, tidak ada orang sama sekali di sana. Bahkan, binatang saja dia tidak melihatnya. Tak ada nyamuk sekalipun di sana.

"Ya Allah, aku mau pulang!" teriak Dirja.

Plak!

"Aduh!"

Dirja merasa kaget karena ada yang memukul pundaknya, dia lebih kaget lagi ketika melihat pria paruh baya yang kini berdiri di hadapannya. Dia tidak melihat kapan pria itu datang, tetapi tiba-tiba saja sudah ada di hadapannya dan mengagetkannya.

"Kakek siapa?" tanya Dirja dengan suara gemetar karena pria itu menatap dirinya dengan tatapan tajamnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!