Dirja sempat diam terpaku begitu tiba di belakang rumah. Di sana, istrinya duduk terdiam dengan kepala yang bersandar di batu besar, darah mengalir deras dari luka di kepalanya. Mata wanita itu tertutup rapat, seolah tak menyadari apa pun di sekitarnya.
Di tangannya masih tergenggam beberapa pucuk daun singkong, saksi bisu kejadian yang baru saja terjadi. Dirja menelan ludah, ingatannya segera menangkap kemungkinan istrinya terpeleset di jalanan licin saat memetik daun singkong itu, lalu terjatuh dan menghantam batu dengan kepala terlebih dahulu. Jantungnya berdetak tidak karuan.
Astagfirullah! Sayang, bangun! Jangan bikin Mas takut!”
Suaranya serak, tangan gemetar saat ia mengangkat tubuh istrinya. Ketakutan mencekam, menusuk hingga ke tulang. Dengan sigap, Dirja membawa istrinya masuk ke dalam rumah, meletakkannya di atas kasur dengan lembut walaupun dalam perasaan panik.
Berulang kali dia berusaha untuk membangunkan istrinya, berharap dia akan segera membuka mata dan tidak membuatnya khawatir seperti ini. Namun, matanya tak kunjung terbuka. Napas pria itu tersengal, kini pikirannya tidak karuan.
"Tolong! Tolong istri saya!”
Suaranya pecah oleh rasa takut dan harap, takut kalau istrinya akan kenapa-kenapa. Namun, dia tetap berharap kalau ada tetangga yang menolong dan akan membuat istrinya itu cepat sadar.
Pak Kamto berlari mendekat, wajahnya penuh kekhawatiran melihat Dirja yang teriak minta tolong. Dia merupakan tetangga yang tidak Jauh rumahnya dari Dirja, pria yang usianya jauh lebih tua dari Dirja.
"Ada apa, Ja? Kenapa kamu berteriak-teriak?" tanyanya dengan nada panik. Dirja menunduk, napasnya tercekat.
"Istri saya jatuh, kepalanya berdarah, Pak. Dia nggak sadarkan diri. Tolong saya, Pak. Saya nggak tahu harus gimana."
Matanya berusaha menahan air mata yang siap tumpah. Dia benar-benar sedih melihat keadaan istrinya saat ini, sungguh dia merasa tidak berdaya. Pak Kamto menghela napas panjang.
"Astagfirullah! Saya nggak bisa langsung bantu, tapi saya bisa panggil mantri. Tunggu di sini, saya pinjam motor Darto dulu."
Dirja mengangguk cepat, suara serak, "Boleh, Pak. Tolong cepet ya, saya takut dia kenapa-kenapa."
Pak Kamto segera berlari pergi, dia meninggalkan Dirja yang saat ini sedang gemetaran. Dirja masuk ke rumah, tangannya masih gemetar sambil mengambil air hangat.
Lalu, dia mengelap kepala istrinya, matanya tak lepas dari luka berdarah itu. Di sela-sela membersihkan luka istrinya itu, dadanya terasa semakin sesak.
"Ya Allah, dari mana nanti aku dapat uang buat bayar mantri?" bisiknya dengan suara hampir patah.
Rasa takut dan putus asa menghimpit hatinya dalam keheningan itu. Hingga tidak lama kemudian matanya menatap cincin kawin yang tersemat di jari manis Darmi. Cincin kawin yang beratnya dua gram itu dia rasa sangat berharga, tapi dalam keadaan mendesak seperti ini, dia merasa tidak ada pilihan untuk menjual cincin kawin itu.
"Dek! Mas pinjam dulu cincinya, nanti Mas ganti. Ini juga untuk biaya berobat kamu, karena pasti pengobatan kamu membutuhkan uang yang banyak."
Dengan berat hati Dirja mengangkat tangan istrinya, lalu dia melepaskan cincin itu dengan sangat perlahan. Isak tangis terdengar dari bibir pria itu, dia merasa sangat payah menjadi seorang suami.
"Mmmmmp!"
Dirja yang sedang menangis langsung membuka mata, dia begitu senang ketika melihat istrinya yang sudah sadar. Namun, dia merasa bingung karena istrinya berusaha untuk berbicara tapi tidak bisa.
"Kenapa, Dek? Ada apa? Mau bicara apa?"
Darmi berusaha untuk berbicara, tetapi tidak bisa karena bibirnya terlihat miring ke kiri. Di saat wanita itu berusaha untuk menggerakkan tangan kirinya, ternyata tidak bisa juga. Dia merasa sekujur tubuhnya lemas.
"Ya Allah, Dek? Cobaan apa yang sedang mendera kita? Sudah uang habis dipakai untuk modal bercocok tanam, bahkan harus hutang karena masih kurang, ini kamu jatuh dan bangun dalam keadaan seperti ini. Kenapa begitu banyak ujian yang datang?"
Dirja menangis karena sedih, Darmi juga hanya bisa menangis sambil menatap suaminya. Di saat dia sedang menangisi nasib buruknya hari ini, pak Kamto datang bersama dengan pak mantri.
"Setelah saya periksa, istri anda mengalami kelumpuhan saraf. Sepertinya istri anda jatuh dalam keadaan duduk, kepalanya juga terbentur dengan begitu keras. Jadinya ada beberapa saraf yang rusak, hal itu menyebabkan dia tidak bisa berjalan dan tidak bisa berbicara."
"Astagfirullah! Lalu, bagaimana dengan biaya pengobatannya?"
"Mahal, sangat mahal."
"Duh Gusti! Aku kudu piye, Pak?" tanya Dirja sambil menangis di dekat pak Kamto.
"Sabar, Ja. Ini ujian," ujar Pak Kamto.
"Ujian sih ujian, Pak. Tapi kalau ujiannya terus-menerus kayak gini saya jadinya nggak tahan, saya nggak sanggup."
"Istighfar, Le. Banyak minta sama Allah," bujuk Pak Kamto.
Pria paruh baya itu berusaha menenangkan Dirja, dia sangat baik sekali. Bahkan untuk biaya pak mantri, dia yang membayarnya. Setelah pak mantri pergi, Dirja memberikan cincin kawin milik istrinya itu kepada pak Kamto.
"Ini untuk ganti uang pengobatan istri saya, sisanya boleh saya minta uang tidak? Soalnya kalau harus pergi ke pasar buat jual cincin, saya gak punya ongkos."
Pak Kamto memang bukan orang kaya, tetapi pria itu masih punya simpanan uang yang diberikan oleh anaknya yang sudah menikah. Karena merasa kasihan akhirnya dia membeli cincin kawin milik Darmi sesuai harga toko emas saat ini.
Dirja menatap penuh cemas ke arah istrinya yang hanya terbaring lemah di atas tempat tidur. Air matanya menetes tanpa henti, dia merasa kalau hidupnya sangatlah tidak beruntung.
Darmi merasa hidupnya tidak berarti ketika dia melihat kesedihan yang tergambar jelas di mata pria itu. Bukannya menguatkan suaminya di saat susah, rasa sakit yang dideritanya malah menjadi beban tambahan dalam hidup Dirja.
'Maafkan Adek, Mas. Adek benar-benar tak berguna,' ujar Darmi dalam hati.
Walaupun merasa sedih, tetapi Dirja sadar kalau istrinya itu harus makan dan juga minum obat. Dia bergegas membeli beras 1 kilo dan membuatkan bubur untuk istrinya, selain agar istrinya mudah dalam menelan bubur itu, dia juga berharap kalau dengan membuat bubur bisa makan hemat.
Karena beras 1 kilo itu bisa menjadi bubur yang banyak, bisa dia makan berkali-kali. Cukup dihangatkan saja setiap kali dia akan memakannya, bumbunya juga hanya diberikan garam saja agar ada rasanya.
Setelah menyuapi istrinya dengan bubur hangat dan juga memberikan obat, Dirja menunggu hingga wanita itu tertidur lelap. Setelah wanita itu tidur, dia juga ingin tidur di samping istrinya.
Namun, kepalanya yang berdenyut sakit membuatnya memutuskan keluar rumah, kakinya melangkah perlahan ke halaman belakang. Ia berjalan tanpa tujuan, berharap angin malam bisa mengusir gelisah yang menggerogoti hatinya.
Tanpa sadar, langkahnya semakin jauh hingga kakinya mulai terasa lelah. Dirja berhenti dan menoleh ke sekeliling. Hanya pohon-pohon besar dengan dedaunan rimbun yang menyambut matanya.
"Eh? Ini di mana, ya?” gumamnya pelan seraya menarik napas dalam-dalam, dia mencoba menenangkan diri di tengah sunyinya malam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
🍒⃞⃟🦅AmaraGold☆⃝𝗧ꋬꋊ
kegagalan berujung kemiskinan membuat orang jadi salah jalan.
tersesat dalam rayuan setan
rasa putus asa yang mendera ,membuat dia memutuskan apa yang terlihat saat itu.
demi perut dan pengobatan ...
limpahan harta tapi semu dan kelak ditebus dengan nyawa
2025-10-10
0
kaliaa🐈🐈⬛👯
hayo🤣🤣
2025-10-10
0
kaliaa🐈🐈⬛👯
kasiann bangett darmiii
2025-10-10
0